Rachel duduk di ruang tamu rumahnya, memandangi ponselnya dengan perasaan tak menentu. Pesan dari Leonard masih ada di layar, menawarkan bantuan yang sulit ia tolak. Meskipun ia tahu Martin tak akan menyukai kedekatannya dengan Leonard, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa memiliki seseorang yang bisa diandalkan.Namun, pikirannya kembali ke ibunya. Sudah lama ia tidak menghubungi wanita itu. Sejak kehidupannya berubah drastis, Rachel merasa enggan untuk mengingat masa lalunya yang penuh kesulitan. Namun, di balik semua kemewahan ini, ia tahu ibunya masih hidup dalam keterbatasan.Ia menggigit bibir, merasa bersalah. “Mungkin aku harus mengunjunginya sebentar,” gumamnya.Belum sempat ia mengambil keputusan, suara pintu diketuk keras dari luar. Rachel terkejut. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.Seorang wanita berdiri di hadapannya, dengan wajah penuh amarah.“Kamu Rachel, kan?” suara wanita itu dingin, menusuk.Rachel mengerutkan kenin
Rachel berdiri dengan tubuh tegang di tengah ruangan. Sofia menyilangkan tangan di depan dada, menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan. Dua pria berbadan kekar berdiri di dekat pintu, memastikan bahwa Rachel tidak bisa keluar dengan mudah.“Aku tidak akan tinggal diam,” kata Rachel, mencoba menahan getaran dalam suaranya.Sofia tertawa kecil, seolah menganggap ancaman Rachel sebagai lelucon. “Lalu, apa yang bisa kau lakukan? Leonard mungkin kasihan padamu, tapi dia tidak akan bisa menyelamatkanmu dari ini.”Rachel menggertakkan giginya. Ia tahu bahwa Sofia bukan orang yang bisa dianggap enteng. Wanita itu selalu punya cara untuk menghancurkan orang lain tanpa harus mengotori tangannya sendiri.“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Sofia?” Rachel bertanya, mencoba mengulur waktu.Sofia berjalan mendekat, menundukkan wajahnya hingga hampir sejajar dengan Rachel. “Aku hanya ingin melihat bagaimana seorang wanita murahan sepertimu jatuh dari tempat yang kau pikir sudah aman. Kau pikir den
Rachel merasa jantungnya berdegup kencang saat tatapan Sofia tak lepas dari wajahnya. Ruangan terasa semakin sempit, udara seolah menipis. Ia harus segera keluar dari tempat ini, sebelum Sofia benar-benar menghancurkan hidupnya.Namun, dua pria berbadan kekar yang berjaga di pintu menjadi penghalang utama. Rachel melirik sekeliling, mencoba mencari celah. Tidak ada jendela besar yang bisa ia panjat, tidak ada pintu lain selain yang dijaga ketat.Sofia tampaknya menyadari kegelisahan Rachel. Ia tertawa kecil dan berjalan ke arah meja, menuangkan anggur ke dalam gelasnya. “Jangan repot-repot mencari jalan keluar, Rachel. Aku sudah memastikan kau tidak bisa kabur dengan mudah.”Rachel mengepalkan tangannya. Ia harus tetap tenang dan tidak menunjukkan ketakutan. Jika ia panik, Sofia akan semakin menikmati permainan ini.“Aku sudah memberi pilihan padamu,” lanjut Sofia, mengaduk-aduk anggurnya dengan gerakan santai. “Tinggalkan Martin dengan cara yang kuberitahukan, atau… aku pastikan duni
Rachel menunduk, jantungnya masih berdebar keras setelah insiden di butik. Langkah kaki Leonard terdengar jelas di lorong sempit itu, tegas dan penuh tekanan. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Rachel, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain mengikutinya.Saat mereka tiba di luar, Leonard melepaskan genggamannya. Ia menatap Rachel dalam-dalam, ekspresi wajahnya sulit ditebak.“Kau ingin menjelaskan sekarang atau harus kupaksa?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun kelembutan.Rachel menelan ludah. Ia tahu Leonard tidak akan mudah percaya. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, ada kemungkinan ia semakin terjebak dalam masalah ini.“Aku hanya datang ke sana untuk berbicara dengan Sofia,” jawab Rachel akhirnya, berusaha terdengar santai.Leonard tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sindiran. “Berbicara? Kau terlihat seperti orang yang baru saja ditahan paksa.”Rachel terdiam. Leonard benar. Apa yang terjadi di dalam butik tadi bukan sekadar percakapan biasa.Leonard menyilangka
Rachel duduk di restoran mewah dengan interior klasik, dikelilingi lampu gantung kristal yang berkilauan. Gaun merah marun yang membalut tubuhnya semakin menegaskan status barunya sebagai istri pria kaya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi empuk, menyeruput kopi mahal sambil menelusuri layar ponsel.Di media sosial, notifikasinya terus berdering.“Rachel, kamu benar-benar seperti sosialita sejati!”“Cantik dan berkelas!”“Aku ingin hidup seperti kamu!”Rachel tersenyum puas. Ini adalah kehidupan yang dulu hanya bisa ia impikan yaitu hidup di lingkungan elite, menikmati kemewahan tanpa harus memikirkan uang. Sekarang, ia sudah berada di puncak, dan tidak ada yang bisa menjatuhkannya.Namun, lamunannya terganggu oleh sebuah notifikasi dari grup keluarga. Itu dari salah satu kerabat ibunya.“Rachel, ibumu sakit. Dia butuh uang untuk berobat.”Tatapan Rachel mengeras. Ia membaca pesan itu tanpa ekspresi, lalu dengan santai meletakkan ponselnya di atas meja. Perasaan tidak nyaman sempat men
Rachel berdiri terpaku di depan cermin, ponsel masih menempel di telinganya. Kata-kata Lina barusan masih bergema di kepalanya. “Sepertinya… kau harus datang sekarang.” Dada Rachel terasa sesak, tapi ia menepis perasaan itu. Ia mencoba berpikir jernih. Martin adalah pria yang kuat. Ia pasti akan baik-baik saja. “Ini pasti hanya masalah kecil.” Namun, saat ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, jari-jarinya justru bergerak sendiri, meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam mobilnya, melaju menuju rumah sakit. Di Ruang Rumah Sakit Begitu Rachel tiba di rumah sakit, ia berjalan cepat ke ruang VIP yang disebutkan Lina. Aroma antiseptik menyengat hidungnya, dan suara alat-alat medis berdenging di telinganya. Saat ia membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang terbaring lemah di tempat tidur. Martin. Wajahnya pucat, dengan selang infus terpasang di tangannya. Dokter dan perawat masih berdiri di sekelilingnya, mencatat sesuatu di papan
Rachel menatap Leonard dengan tajam. Ia masih tidak percaya pria ini tiba-tiba muncul di rumah sakit dan sekarang menawarkan sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya.Martin masih terbaring lemah di tempat tidur, sementara Lina tampak tidak nyaman dengan kehadiran Leonard.“Apa maksudmu dengan tawaran itu, Leonard?” tanya Rachel dengan suara pelan namun penuh tekanan.Leonard menyilangkan tangan di dadanya, lalu melirik sekilas ke arah Martin. “Aku pikir kita bisa bicara berdua. Aku tidak ingin pria ini mendengar percakapan kita.”Rachel menggeleng. “Kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja di sini.”Leonard mendesah, lalu melangkah lebih dekat. “Aku hanya ingin tahu… bagaimana rasanya hidup dengan pria yang tidak bisa memberikan apa pun lagi untukmu?”Rachel tersentak.“Apa maksudmu?”Leonard menatapnya penuh keyakinan. “Martin sakit. Kau tahu itu, aku tahu itu. Dia tidak bisa lagi memberimu kehidupan yang mewah. Tidak bisa lagi memanjakanmu seperti dulu. Bahkan, dia mungk
Rachel berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap ke luar dengan pikiran yang berkecamuk. Sudah beberapa hari ini ia merasa ada yang berbeda dalam sikap Martin. Suaminya yang dulu hangat dan penuh perhatian, kini terasa semakin jauh. Setiap kali Rachel mencoba berbicara dengannya, pria itu selalu terlihat sibuk atau malah menghindar.Dia memegang kepalanya, mencoba menahan perasaan gelisah yang mulai menguasai hatinya. Apakah Martin mulai bosan dengannya? Apakah dia diam-diam menyimpan sesuatu?Ketukan pintu tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan ekspresi ragu.“Madam, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda,” katanya dengan suara hati-hati.Rachel mengernyit. “Siapa?”Pelayan itu menunduk sedikit sebelum menjawab, “Nyonya Keiza.”Jantung Rachel berdegup kencang. Nama itu membawa kembali begitu banyak kenangan, kebanyakan di antaranya tidak menyenangkan. Keiza adalah mantan tunangan Martin, wanita yang selalu dipandang sebagai pasangan
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu. Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda. Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih b
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara