Aku tak bisa menolak keinginan Giska yang mendadak mengajak berbicara empat mata setelah sekian lama dia mengabaikan aku, tanpa aku tahu sebab pastinya.
“Kamu mau ngomong apa Gis?” tanyaku ingin tahu.
Sekarang kami duduk berhadapan di kantin, sementara wajah Giska terlihat begitu serius.
“Aku mau ngasih penawaran menarik buat kamu Rin.”
“Penawaran apa Gis?”
Aku menjadi kian penasaran.
“Sebelumnya lihat dulu ini, apa kamu suka dengan tas ini Rin?”
Aku memandang tas mewah yang dipakai Giska saat ini. Sebuah tas jinjing yang aku rasa sangata kurang tepat untuk dipakai ke kampus terlebih desain tas itu terlalu mewah untuk ukuran seorang mahasiswa seperti Giska.
“Tas itu bagus,” jawabku singkat. Padahal aku sendiri juga sudah memiliki tas semacam itu
Aku hanya bisa pasrah ketika Mas Bara memandangiku dengan sangat tajam ketika kami sudah berada di dalam kamar.Tatapannya yang menelisik benar-benar menyurutkan nyali. Bahkan saat ia mulai mendekat dan mulai membelai wajahku sebelum kemudian Mas Bara malah mencengkeram daguku dengan kuat yang membuatku langsung mengernyit tanpa keberanian.Aku memejamkan mata kuat-kuat, tak pernah sanggup menentang tatapan suamiku, yang saat ini sedang dikuasai amarah.Tapi setelah itu tak pernah aku sangka Mas Bara melucuti seluruh pakaianku dengan penuh pemaksaan dan aku benar-benar tak bisa melawan.Kali ini dia tak menghadirkan kelembutan sama sekali saat menyentuhku.“Kamu harus tahu kalau wajah cantik kamu ini hanya punyaku,” tegas Mas Bara terlalu posesif sembari dia mulai mencumbu setiap detail parasku, tanpa memberikan aku kesempatan untuk menampiknya.B
Tanpa sadar mulutku ternganga saat melihat keindahan cincin berlian di tanganku.Mas Bara bahkan sudah memakaikan cincin itu pada jari manisku di sebelah kanan, karena sebelumnya Mas Bara juga sudah memakaikan cincin yang lain pada jariku sebelah kiri.Lagi-lagi suamiku menghujaniku dengan kemewahan.Cincin bermata biru ini terlihat sangat berkilauan, menjadi terlihat sangat istimewa karena batunya yang terlihat terasah dengan sempurna hingga mengeluarkan semburat kilau yang sangat menawan.Walau aku tak bisa menaksir nilainya, tapi aku terlalu yakin kalau perhiasan ini berharga sangat mahal.Karena sejak awal aku tahu Mas Bara hanya memberikan yang terbaik untukku.“Kamu suka cincin itu sayang?”Aku mengangguk cepat dengan sepasang mata yang terasa menghangat. Keharuanku menjadi semakin tak tertahan.Saat
Aku langsung memusatkan perhatian pada Pak Ragil yang sekarang sudah mendekat.“Ada apa ya Pak?” tanyaku sedikit penasaran karena melihat ekspresi dosenku yang terlihat agak ganjil itu.Tapi ketika melihat tatapan mataku yang menyiratkan tanya pria muda berkacamata itu malah mengulas senyumnya tipis.“Aku hanya ingin mengatakan kalau Pak Dahlan ingin berbicara dengan kita semua dan beliau sepertinya ingin bertanya pada kita tentang kendala apa saja yang kita hadapi di lapangan untuk kegiatan sosial ini.”“Baik Pak, mari kita temui beliau sekarang.”Tapi sebelum aku sampai di ambang pintu mendadak Pak Ragil menjejeri langkahku.“Aku pikir tidak ada salahnya kamu menawarkan pada kekasih kamu yang kaya itu untuk ikut andil dalam kegiatan sosial kampus kita ini.”Ketika mendengar ucapan Pak Ragi
“Kamu kenapa Neng?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.Sahabatku yang selama setahun ini selalu membersamaiku dan sering memberiku perhatian serta kebaikan padaku itu sekarang hanya bisa memandangku luruh.Keraguannya kini mulai mencemaskan aku.“Neng, kamu ngomong dong.”Aku mulai mendesak sembari memendam rasa khawatir saat mendapati sikapnya yang terlihat sangat gamang untuk mengungkapkan masalahnya padaku.“Udahlah Rin, aku akan baik-baik saja, lagipula aku nggak mau merepotkan teman-temanku.”“Kamu kok ngomong gitu sih Neng, kita sudah berteman sangat baik selama ini, bahkan aku sering nebeng makan di tempat kos kamu ini.”Aku mulai mengungkit apa yang pernah kami lalui bersama, tentang Neneng yang begitu dermawan membagikan makanannya pada kami teman-temannya di saat kami mampir ke tempat
“Terus gimana caranya kamu bantu Neneng, Rin?” Dania masih saja terlihat meragukan aku. Aku mengabaikan keraguan Dania dengan memberikan perhatian penuh pada Neneng yang masih saja tersedu. “Aku benar-benar akan membantu kamu Neng, tapi aku harap kamu memenuhi syarat dariku.” Neneng dan Dania kembali memandangku lugas penuh rasa ingin tahu. “Memangnya apa syaratnya?” Neneng mulai bertanya. Aku menarik nafas sesaat. Sejenak aku masih merasa ragu tapi aku benar-benar tak bisa membiarkan sahabatku mengalami kesusahan. “Aku sangat berharap kalian tidak membocorkan tentang pertolongan yang aku berikan ini.” Aku mulai memindai wajah Neneng dan Dania bergantian, sebagai isyarat tentang keseriusanku saat ini. “Jangan sampai ada yang tahu kalau aku memberikan bantuan buat Neneng. Dan a
“Sebenarnya Mas Bara berada di mana sekarang, dan kenapa dia semakin jarang pulang menengokku?”Aku mengunggah pertanyaanku dengan menegaskan rasa khawatirku yang kini tak bisa aku tutupi lagi.Sudah hampir dua bulan Mas Bara tak pernah lagi singgah meski dia masih menyempatkan diri untuk menghubungiku, tapi tak setiap saat juga aku bisa mengetahui kabarnya dengan mudah. Karena terlampau sering Mas Bara mengabaikan panggilanku, bahkan itu sampai berhari-hari.“Katakan padaku sebenarnya apa kesibukan suamiku sekarang?”Aku kembali mendesak Rina yang sekarang malah mengulas senyumnya itu.“Tentu saja Tuan Richard sibuk dengan bisnisnya.”Aku masih enggan untuk bisa menerimanya.“Mbak, jangan terlalu banyak memendam prasangka, Tuan Richard tidak akan pernah meninggalkan Mbak Rindu sampa
Aku merutuki kebodohanku berkali-kali kenapa aku menyimpan obat itu di dalam tasku dan kenapa aku tak mencaritahu tentang pil apa itu sejak awal?.Kalau aku tahu jika obat pemberian Mas Bara selama ini adalah pil KB aku tak akan sembarangan menaruhnya di dalam tasku yang bahkan aku bawa ke kampus itu.Keadaan ini akan sangat mempersullitku kalau sampai Giska memperturutkan rasa curiganya dan terus memancingku untuk mengungkapkan status diriku.Aku kian merasa tak nyaman ketika melihat tatapan Ridho yang sangat lain padaku, terlebih aku sempat melihatnya berbicara serius dengan Giska.Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan saat ini tentang diriku. Tapi yang jelas perasaanku sudah menjadi sangat tidak enak saat ini.Di tengah segala kekalutanku mendadak aku mendapatkan kabar tentang kepulangan suamiku.Telah berminggu-minggu kami tak saling
Aku terperangah saat Mas Bara menyodorkan sekoper uang padaku.“Bulan ini aku berikan kamu tunai saja, karena kebetulan aku membawanya.”Mas Bara berucap dengan terlalu santai saat memberikan uang dengan jumlah terlalu besar itu.Untuk ke sekian kalinya Mas Bara menggelontorkan hartanya untukku.Dia membuatku hidup berkelimpahan, mengentaskan aku beserta keluargaku dari kemiskinan yang dulu pernah membelenggu hidup kami.Harusnya aku bisa merasa bahagia dan beruntung tapi dengan segala rahasianya dan sikapnya yang misterius aku tak lagi merasakan ketenangan.Sekarang tatapanku memindai sangat lekat pada sosok suamiku yang sekarang sudah mulai menutup pintu brankas setelah memasukkan uang dari dalam kopor.Melihat penampilan Mas Bara yang rapi dengan rambutnya yang terlihat klimis, aku memendam gusar. 
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira