Aku terperangah saat Mas Bara menyodorkan sekoper uang padaku.
“Bulan ini aku berikan kamu tunai saja, karena kebetulan aku membawanya.”
Mas Bara berucap dengan terlalu santai saat memberikan uang dengan jumlah terlalu besar itu.
Untuk ke sekian kalinya Mas Bara menggelontorkan hartanya untukku.
Dia membuatku hidup berkelimpahan, mengentaskan aku beserta keluargaku dari kemiskinan yang dulu pernah membelenggu hidup kami.
Harusnya aku bisa merasa bahagia dan beruntung tapi dengan segala rahasianya dan sikapnya yang misterius aku tak lagi merasakan ketenangan.
Sekarang tatapanku memindai sangat lekat pada sosok suamiku yang sekarang sudah mulai menutup pintu brankas setelah memasukkan uang dari dalam kopor.
Melihat penampilan Mas Bara yang rapi dengan rambutnya yang terlihat klimis, aku memendam gusar.
 
“Jawab saja pertanyaanku Rin, aku harap kamu bisa menjawabnya dengan jujur.”Aku bisa merasakan kalau Pak Ragil sepertinya sudah kehilangan kesabaran. Kecurigaannya semakin tak bisa dia kendalikan.Sementara sekarang aku hanya bisa diam terperangah di depannya karena terlalu kaget saat mendengar pertanyaannya yang sangat tak aku duga ini.Aku menjadi bertanya-tanya dari mana Pak Ragil tahu tentang uang 100 juta yang aku berikan pada Neneng itu.“Dari mana Bapak tahu tentang hal itu?”Aku malah melontarkan pertanyaan bodoh yang membuat apa yang sebenarnya harus aku rahasiakan menjadi terkuak.“Jadi benar kamu memberikan uang sebanyak itu pada Neneng,” ucap Pak Ragil membuat kesimpulan sendiri dengan sangat mudah.“Aku harap tadi hanya aku yang mendengar saat Neneng mengungkapkan apa yang suda
“Katakan saja apa yang kamu minta Rin.” Pak Ragil kembali memindaiku dengan wajahnya yang masih saja menegaskan sebuah keseriusan. Pria muda yang hampir satu setengah tahun ini menjadi dosenku itu, benar-benar ingin mengorek habis tentang kehidupan pribadiku, sesuatu yang selama ini selalu mati-matian aku sembunyikan bahkan dari teman-teman dekatku sendiri. Walau Pak Ragil terkesan sangat mendesak dan menyudutkan aku tapi aku bisa merasakan kalau di dalam hatinya yang terdalam dia masih menyimpan sebuah perhatian, sebuah celah yang harus aku manfaatkan sebaik mungkin agar aku tetap bisa merahasiakan pernikahanku bersama Mas Bara di kampus ini, setidaknya sampai aku bisa menyelesaikan kuliahku di tempat ini. “Kalau memohon pada Bapak untuk merahasiakan statusku, apa Bapak akan bersedia?” Aku memohon dengan begitu terang dengan nada pengharapan yang juga lugas.
“Selain bakso dan takaran sambal yang aku suka, katakan apalagi yang Bapak tahu tentang aku?”Aku mulai memancing pria berambut lurus itu yang sekarang masih saja menelisikku dengan tatapannya yang lekat.“Apa kamu sedang mengujiku?”Aku mengedikkan bahu sembari mengulas senyuman agar kecanggungan yang mendadak menguasaiku tidak terlalu menjadi ketara.“Aku hanya ingin tahu saja.”“Kalau aku katakan aku tahu apapun tentang kamu apa kamu akan percaya?”Aku tersenyum lebih lebar.“Aku tak menyangka kalau selama ini Bapak sudah menjadi seorang stalker untuk memata-mataiku.”“Terserah kamu menganggapku seperti apa, tapi yang jelas sejak awal kamu begitu istimewa hingga selalu memercikkan rasa penasaran di hatiku yang membuatku selalu ingin mencaritahu tenta
{“Alasan yang lain apa maksud kamu Rin?”}Aku malah tak bisa menjawab ketika ibu mulai melontarkan pertanyaan.Aku memilih untuk tak menjawab apapun. Sebisa mungkin aku harus menutupi apa yang terjadi pada rumah tanggaku saat ini. Aku tak mau masalahku membebani ibu, setelah apa yang sudah ibu lewati selama ini, bahkan aku yakin luka kehilangan bapak masih belum sepenuhnya ibuku hilangkan. Jadi aku merasa tak seharusnya aku memberinya luka baru dengan kacaunya pernikahanku saat ini.{“Bukan Bu, barangkali karena Ibu juga nggak mau meninggalkan Laras dan cucu-cucu Ibu karena mereka masih membutuhkan perhatian Ibu juga.”}{“Iya kamu benar, mereka selalu membutuhkan ibu, Rin.”}Aku bisa rasakan kalau sekarang tatapan ibu kembali terlihat sangat lekat.{“Kamu baik-baik ya di sana, sering-sering ngasih kabar sama Ibu, semo
Sekarang kami semua terperangah ketika Giska menunjukkan foto Pak Ragil sedang berpelukan dengan seorang pria yang wajahnya tersamarkan hingga kami tak bisa melihatnya dengan jelas.Dari sudut yang diambil membuat foto itu memberikan kesan yang ambigu yang membuat kami bisa mengambil kesimpulan yang bisa saja salah.“Apa benar ini Pak Ragil?!” Anjar terlihat tak percaya.Setelah itu riuh pertanyaan mulai terlontar dari mulut teman-temanku yang lain.Ketika aku melirik pada Giska, wanita itu mengulas segaris senyuman yang terlihat seperti garis kemenangan yang lugas.Melihatnya seperti itu, aku malah tak bisa meyakini berita yang ditiupkan oleh Giska saat ini. Rasanya memang sangat sulit dipercaya kalau Pak Ragil adalah sosok yang memiliki orientasi menyimpang.Meski namanya memiliki kemiripan dengan sosok influencer yang dengan tegas menyatakan se
“Apa benar kalau Pak Ragil itu sudah berubah orientasi?”Aku melontarkan tanyaku dengan lugas, dengan tatapan yang menyiratkan rasa ingin tahu.Nyatanya pertanyaanku malah ditanggapi dengan kekehan panjang dari Pak Ragil, yang bahkan sempat tersedak saat akan menyeruput espressonya.Aku mengernyit jengah saat melihat responnya.“Sepertinya kamu sudah termakan isu itu, apakah karena aku memiliki nama yang sama seperti influencer banci itu, kalian bisa menuduhku ikut berubah orientasi?”Aku terdiam mulai merutuki pertanyaan bodohku tadi.Tapi Pak Ragil malah memindaiku semakin lekat.“Apa kamu ingin aku membuktikannya?”Tatapannya yang terlalu lekat itu terkesan ambigu yang membuatku langsung melengos canggung.Namun Pak Ragil malah kian menjadi tergelak.&
“Apa kamu tidak akan memberiku kado?”Saat mendengar permintaannya aku kembali dibuatnya kaget. Pak Ragil sangat terang-terangan meminta sebuah kado padaku.“Bapak ingin kado?” Aku balik bertanya.Pria itu tersenyum lalu mengangguk.“Apa Bapak tidak berpikir kalau semua yang aku miliki adalah pemberian dari suamiku, orang yang selalu Bapak anggap akan memberikan aku kesengsaraan?”“Aku belum mengatakan padamu kado apa yang aku inginkan Rin.”Aku memandangnya jengah.“Kalau begitu kado apa yang Bapak inginkan?” Aku bertanya dengan lugas.Pria itu terlihat menautkan alisnya tampak berpikir untuk beberapa saat.“Aku menginginkan cukup dua permintaan saja.”Ganti aku yang mengernyitkan dahi saat mendengar ucap
Saat mendengar pertanyaanku Mas Bara membalas tatapanku dengan lebih lekat.“Kenapa kamu berpikir jika aku akan meninggalkan kamu?”Aku mendesah pelan dan memalingkan wajahku. Rasanya menjadi sangat sulit bagiku untuk menentang tatapan suamiku yang setajam itu.“Apa kamu sudah tidak mempercayaiku Rin?”Aku termangu, menjadi semakin ragu karena nyatanya Mas Bara selalu saja akan mengulangi kalimat yang sama, bahkan awal kami menikah dia selalu menegaskan padaku untuk selalu mempercayainya.Kini saat kalimat itu kembali diucapkan berulang-ulang aku malah memendam curiga yang kian sulit untuk aku hempaskan.“Aku sekarang malah berpikir kalau kamu yang akan pergi meninggalkan aku.”Aku terkejut saat mendengar ucapan Mas Bara, yang membuat kedua mataku membulat ke arahnya.Tapi Mas Bara
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira