“Mas ....”
Tanpa sadar aku menarik nafas panjang saat mendengar kalimatnya barusan. Ia menjauhkan wajahnya, kemudian menatap penuh padaku. Ada sorot kagum, penuh kerinduan yang kutangkap dari matanya kala menatapku.“Kamu sudah membuatku lama menunggu, Rindu.”Aku kembali dibuat terkesiap oleh kalimat Mas Bara. Kami bahkan tidak akrab, bagaimana mungkin ia sudah lama menungguku?Namun, karena kalimatnya itulah aku kembali teringat oleh berbagai tanya dalam kepala. Apa yang membuat seseorang seperti Mas Bara dengan ketampanan dan kemampanannya memilih untuk memperistri diriku yang cuma seorang gadis desa? Ditambah lagi, dengan nama baik yang sudah tercoreng karena peristiwa itu.Posisi kami bagaikan bumi dan langit. Mas Bara orang terpandang dengan pendidikan yang pasti tinggi, kalau tidak mana mungkin dia bisa merancang bangunan jembatan. Satu lagi yang selalu membuat para gadis kampung sepertiku bangga, adalah bahwa pria yang sudah memperistriku itu berasal dari kota. Kabarnya, Mas Bara berasal dari Ibukota, sangat jauh dari desaku yang berada di kaki gunung.“Aku tahu ada yang ingin kamu sampaikan. Bicaralah.”“Mas, apa yang membuat Mas bersedia menikahiku?”Aku mulai membuka suara dan mengatakan rasa ingin tahuku yang paling besar saat ini. Aku sendiri masih meraba-raba sendiri alasannya tapi tetap tak bisa menemukan kepastian apapun. Terlebih ketika Mas Bara sekarang malah kian memandangku lekat sembari menyunggingkan segaris senyuman yang kian membuat dadaku berdebar. Napasku bahkan seolah tertahan karena terseret pada pesona wajahnya yang tampan paripurna.“Ada banyak hal yang membuatku begitu mudah untuk memilihmu." Ia kembali mengunggingkan senyuman tipis ke arahku. "Kalau aku bilang aku kepincut sama kecantikan kamu, apa kamu kemudian berpikir kalau aku sama mesumnya seperti orang-orang yang ingin memiliki kamu sebelumnya?”Napasku semakin tercekat. Kecanggungan yang aku rasakan semakin membuat tubuhku kaku. Ketika Mas Bara kembali menggerakkan tubuhnya mendekatiku, aku bahkan hanya bisa terpaku. Tangannya yang kokoh kembali membelai wajahku, menyentuh dengan sepenuh perasaan pada kening, hidung, kedua pipiku dan setelah itu dia mengusap lebih lama pada bibirku.Mas Bara terus saja memandangiku dengan tatapan penuh arti. Bahkan kini aku melihat ada kilat gairah pada sepasang matanya.“Kecantikanmu terlalu luar biasa untuk ukuran seorang gadis desa." Ia membuat jeda beberapa saat. "Kepolosanmu membuatmu senantiasa dalam bahaya. Kamu membutuhkan pelindung yang bisa melindungi kamu, seorang pelindung yang kuat.”Aku hanya bisa diam terkesiap mendengar kata-katanya. Aku masih merasa bingung mendengar kata-katanya. Pujiannya terlalu berlebihan karena aku tak pernah merasa diriku secantik itu.“Percayalah, untuk sekarang dan selamanya ... aku akan selalu melindungi kamu.”Perlahan Mas Bara kemudian kian mendekatkan wajahnya. Sementara aku masih mematung di depannya bahkan menjadi diam tak mampu bergerak sama sekali.Meski aku tahu apa yang akan dilakukannya, nyatanya aku tak kuasa berontak hingga akhirnya Mas Bara mulai mendaratkan ciumannya pada bibirku. Ia memagut dengan begitu lembut yang nyata mampu membawaku melayang ke awang-awang, menghapus canggung dan rasa gelisahku. Ketika cumbuan Mas Bara semakin dalam dan menuntut, aku mulai kehabisan napas hingga membuatku terengah ketika suamiku mulai melepaskan pagutannya.Mas Bara kembali menyunggingkan senyumnya saat aku spontan memegangi dada yang semakin berdebar tak karuan. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku. Kedekatan seperti ini benar-benar terlalu meresahkan."Bagian itu, aku akan memintanya nanti." Mas Bara kemudian berdiri dan menanggalkan pakaian atasnya, membuatku memalingkan wajah.Teringat oleh pesan ibuku sebelum akad tadi, aku buru-buru menawarkannya air hangat. Udara di sini sudah cukup dingin, kasihan kalau ia harus mandi dengan air kran yang mampu membuat tubuh menggigil.Saat Mas Bara mandi, aku segera mengganti pakaianku mumpung Mas Bara tidak berada di dalam kamar. Aku masih sangat canggung menampakkan ketelanjanganku di hadapan pria yang baru beberapa jam berstatus sebagai suamiku itu.Ketika akhirnya Mas Bara mulai masuk ke dalam kamar dan melihatku memakai abaya panjang yang biasa aku pakai sehari-hari, suamiku malah meresponnya dengan helaan nafas panjang.“Apa kamu selalu tidur dengan pakaian seperti itu?” tanya Mas Bara sembari mengusap rambutnya yang sekarang basah dengan handuk.Aku yang sedang menyisir rambutku di depan cermin melirik sekilas ke arahnya dan langsung menahan napas ketika melihatnya kembali membuka bathrobe yang dipakainya.Pahatan tubuhnya yang sempurna kembali terunggah jelas, terlalu mendebarkan untuk gadis polos seperti aku yang sebelumnya tak pernah berdekatan dengan pria manapun.“Kamu kenapa?”Mas Bara kemudian mendekat seakan memaksaku untuk memandangi semua pesonanya dengan lebih jelas. Perut berotot yang berbentuk seperti ada kotak-kotaknya itu malah didekatkan padaku yang sekarang hanya bisa mematung dan tak berkutik.Aku langsung menunduk menjadi terlalu canggung.Tak mendapatkan jawaban dariku, Mas Bara kemudian kembali bertanya. “Apa kamu tidak punya lingerie dan semacamnya?”“Apa?”Aku mengernyit, kembali tak paham dengan apa yang dikatakan suamiku. Dari tadi, sudah beberapa kosakata asing yang kupelajari dari Mas Bara. Mulai dari heater; alat pemanas air yang otomatis keluar dari kran, bathrobe; jubah mandi yang tadi ia gunakan, hingga kini ... Lingerie.“Kamu juga tidak tahu apa itu lingerie?’Aku langsung menunduk dan menggeleng. Ternyata mempunyai suami orang kota itu sangat sulit. Terlalu banyak benda yang tidak aku ketahui. Mas Bara bahkan begitu terkejut saat tahu kalau aku tak memiliki ponsel tadi. Untuk gadis desa sepertiku yang hanya tamatan SMA, dan bekerja serabutan ... Ponsel pintar memang sebuah barang mewah yang sulit kugapai."Apa itu?"Kali ini Mas Bara tak menertawakan ketidaktahuanku. Dia malah menepuk keningnya sendiri. “Sudahlah kalau begitu kamu lepaskan pakaian kamu, lalu kita tidur.”Ketika mendengar permintaan suamiku spontan aku meletakkan kedua tanganku di depan dada. Sementara tanganku yang sebelah yang masih belum sembuh benar tetap aku gantung.“Apa Mas memintaku untuk tidur dengan telanjang?”Aku sudah bergidik ngeri memikirkan semuanya. Mas Bara malah menatapku dengan tegas.“Iya, karena aku akan mulai memberikan kamu pelajaran pertama yang harus kamu pahami sebagai istri dari Richard Sembara.”***""Ma-af Mas, aku ...."Tanpa sadar aku menggeleng ragu. Aku terlalu takut untuk melakukan apa yang Mas Bara kehendaki."Kamu menolakku?" tanya Mas Bara yang langsung membuatku terkesiap dan mulai menatapnya gamang.Tatapan Mas Bara masih saja terarah lugas padaku yang membuatku semakin rikuh. Nyatanya Mas Bara sekarang malah tertawa singkat sembari tidak melepas tatapan intensnya pada tubuhku. Sekarang bahkan pria itu sudah beringsut semakin mendekat. Gelisahku kian terunggah nyata ketika akhirnya Mas Bara kembali membelai wajahku seperti yang tadi sudah dia lakukan.Aku terlalu malu hingga memilih menunduk. Tapi lagi-lagi Mas Bara menahanku kembali mengangkat wajahku dengan meraih daguku untuk ia gerakkan ke atas. "Jangan pernah menundukkan wajahmu lagi."Mas Bara berbisik begitu dekat kala aku sudah mendongakkan muka. Tatapan Mas Bara intens memindai, membuat degup jantungku semakin sulit dikendalikan. "M-maaf, Mas.""Berhenti juga meminta maaf, Rindu." Suara pria itu mulai terdenga
'Lina? Siapa itu Lina?'Hatiku menjadi bertanya-tanya. Dengan memendam rasa ingin tahu, tanganku mulai bergerak hendak menjangkau benda yang kembali berdering itu. Namun sebelum aku bisa meraih ponsel itu, mendadak Mas Bara datang dan segera menyambar ponsel tersebut begitu saja. Aku hanya bisa termangu memandang punggung lebarnya yang langsung menjauh sembari membawa ponsel itu.Setelah beberapa lama, akhirnya Mas Bara kembali lagi ke dalam kamar dengan membawa senyumnya. Seketika aku menyergapnya dengan tatapan ingin tahu."Telepon dari siapa Mas?" "Bukan siapa-siapa," jawabnya datar.Aku memilih untuk tak terlalu banyak bertanya, terlebih sekarang suamiku tampak sibuk mencari sesuatu di dalam kopernya. Aku tak memiliki keberanian untuk mendesak suamiku meski rasa penasaranku masih menghantui."Apa ada yang bisa aku bantu, Mas?"Aku menawarkan diri. Mas Bara hanya melirikku sesaat. "Aku mencari sereal yang aku bawa kemarin untuk sarapan."Mas Bara menunjukkan sebungkus minuman inst
“Assalamualaikum, Rindu!” Aku yang sedang duduk berdampingan dengan pria asing yang baru kemarin menjadi suamiku segera mendongak dan mengarahkan tatapan pada asal suara di ambang pintu. Segera kerikuhan menyergapku terlebih setelah melihat tatapan Mas Bara yang begitu tajam ketika melihat sosok pemuda yang sedang mengulas senyum padaku itu, tamu kami yang tak terduga datang di awal pagi. Aku berusaha menenangkan diri dengan membalas salamnya. “Wa’alaikumsalam,” balasku dengan pelan sembari mulai bangkit dari dudukku. Aku tak bisa segera mendekat pada pria berpenampilan rapi yang masih menyunggingkan senyumnya padaku itu. Tatapan lugas Mas Bara yang membuatku ragu melangkah. “Siapa dia Rindu?” Pada akhirnya Mas Bara bertanya dengan tegas meski dia masih bertahan duduk di tempatnya. Aku tak segera menjawab karena detik berikutnya tatapan Mas Hilman yang merupakan teman baikku itu ikut tertuju pada Mas Bara yang masih menampakkan dominasinya. Ketika melihat tatapan Mas Hilman ya
Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”“Aku biasanya
Meski aku sedikit bisa menduga kalau Mas Bara memintaku melayani hasratnya, tapi tetap aku tidak menyangka kalau suamiku akan menggempurku sedahsyat ini hingga menjelang saat maghrib.Jika saja aku tidak mengatakan kalau aku harus datang ke acara pengajian tujuh harinya bapak, pasti Mas Bara tetap akan mengurungku di kamar megah ini dengan kasurnya yang sangat empuk.Saat berada di kamar mandi lagi-lagi aku terpukau dengan berbagai perangkat modern yang ada di dalamnya. Ada kran yang dilengkapi dengan wajah keramik halus dan berkilau, yang dikatakan Mas Bara sebagai wastafel, juga ada kran besar lubang-lubang kecil yang disebut dengan shower, yang bisa mengucurkan air dengan deras. Belum lagi ada bak besar yang sekarang kami masuki bersama yang membuat Mas Bara kembali menjahiliku saat dia memaksa untuk mengusapkan gelembung-gelembung sabun di sekujur tubuhku.Aku sendiri tidak mengerti Mas Bara sangat suka sekali mengel
Aku semakin gusar kian terseret dalam sikap yang serba salah saat Mas Hilman terang-terangan mengajakku untuk mengobrol dan saling bercerita seperti dulu.Bahkan tatapan Mas Bara sudah terlihat nyalang sekarang. Pastinya Mas Bara sudah terlihat tersinggung sekarang karena ajakan Mas Hilman padaku.“Tapi tentu saja kamu harus mengajak suami kamu juga, karena aku juga ingin bisa mengenal suami kamu lebih dekat.”Kali ini Mas Hilman mulai menyunggingkan senyumnya pada suamiku, tapi tetap saja Mas Bara masih menunjukkan sikapnya yang cenderung dingin.Ibu yang melihat jika suasana sudah menjadi kurang nyaman, akhirnya mulai melerai kami.“Sepertinya kamu sudah mengantuk ya Rindu? Ya sudah kamu pulang saja, ke rumah suami kamu. soal baju-baju kamu besok saja kamu ambil, nanti biar Mbak Murni yang menyiapkannya.”“Benar Rindu memang me
“Kenapa kamu mendadak bertanya tentang manusia iblis itu?” sergah Mas Bara yang sekarang bahkan ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan tegas.Aku mulai merutuki pertanyaan sendiri yang membuat wajah manis suamiku berubah dalam sekejap.“Maaf, Mas,” gumamku gusar.Jika melihat perubahan sikap Mas Bara aku menjadi enggan untuk mendesak meski hatiku masih saja diliputi rasa ingin tahu.“Kamu cukup tahu kalau mereka tidak akan bisa mendekati kamu lagi. Aku sudah mengatakan padamu kalau sekarang aku adalah pelindung kamu,” tegas Mas Bara lagi.Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata lagi.“Sudahlah, mulai sekarang jangan pernah kamu tanyakan tentang mereka.”Mas Bara kemudian menarik nafas panjang seakan ingin mentralisir segala emosinya yang sempat terpantik tadi.
“Apa ini?”Dahiku langsung mengernyit lugas sembari tanpa sadar aku mulai memandang penasaran pada Mas Bara yang malah tersenyum simpul padaku.“Aku ingin kamu mencobanya sekarang,” ucap Mas Bara tegas.Sudah lebih dari seminggu kami menikah, aku mulai sedikit hafal dengan karakter suamiku. Jika nada bicara Mas Bara sudah seperti itu, jelas dia tak akan bisa ditolak.Tapi aku sendiri masih tak yakin, karena memang aku tak pernah memakai pakaian seterbuka ini.Gaun berbahan halus itu semuanya tanpa lengan dengan belahan dada rendah dan begitu pendek. Ada banyak warna dan model, ada yang polos tapi kebanyakan dipenuhi renda yang cantik.“Tapi apa ini Mas?”“Itu namanya lingerie, dan aku ingin kamu memakainya setiap malam saat kita tidur bareng.”Aku langsung disergap gelis
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira