"Mau pergi kemana kamu?" tanya pria paruh baya, yang seluruh rambutnya sudah memutih itu, pada seorang pemuda tampan tiga puluh tahun yang rapi dengan setelan jas hitam, dasi kupu-kupu dan celana panjang warna senada.
Pemuda bernama Mahardika itu, menghentikan langkahnya sembari menghela napas panjang, "ya, apa lagi kakek, selain ke kantor. Aku harus menghadiri rapat penting dengan beberapa petinggi perusahaan. Rapatnya akan dimulai satu jam lagi."Mahardika melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. Keningnya sedikit mengerut karena jalanan pasti akan sangat ramai di jam-jam segini."Duduklah! Ada hal penting yang ingin kakek bicarakan denganmu," pinta pria tujuh puluh lima tahun itu, mengiba.Mahardika mengangguk pelan. Padahal ia ingin menolak. Namun, diurungkannya karena yang meminta adalah sang kakek."Sebenarnya, apa yang ingin kakek bicarakan denganku?" Kini giliran Mahardika yang bertanya."Batalkan, rapat itu!" tegas pria paruh baya itu, tanpa berkedip."Dibatalkan, maksud kakek?" Mahardika menaikkan sebelah alisnya setengah terkejut."Iya, setiap hari kau selalu saja sibuk dengan pekerjaan. Tidak pernah ada waktu untuk keluarga dan memikirkan masa depanmu. Apa kau tidak ingin berkeluarga?"Pria paruh bayar bernama lengkap Bambang Wijaya itu, bertanya dengan nada serius. Menyandarkan kepalanya ke belakang sambil melipat kedua tangan di dada.Mahardika kembali menghela napas panjang, "aku belum siap berkeluarga. Aku masih ingin mengembangkan usaha keluarga kita." Kemudian dia beranjak bangun.Mahardika sudah bisa menebak arah pembicaraan ini dan tidak ingin melanjutkannya. Dia mengancingi jasnya, hendak pergi."Duduk kamu!" titah Bambang, tegas."Sudahlah, Kakek. Jangan lanjutkan obrolan ini. Mahardika sedang tidak ingin membahas apa pun mengenai jodoh." Helaan napasnya sangat panjang dan berat.Seketika senyuman memudar dari wajah tampan nan rupawan itu. Suasan hatinya berubah tidak enak sekarang."Tapi, kamu harus menikah, Nak. Usiamu sudah tiga puluh tahun. Sampai kapan kamu akan sendiri, sedangkan ayah dan bundamu sudah ingin menggendong cucu. Kekek pun, ingin melihatmu ada yang mengurus," kata Bambang Wijaya sedikit bergetar suaranya.Lagi-lagi, Mahardika membuang napas berat. "Bukankah kakek pernah mengatakan, kalau jodoh akan datang dengan sendirinya. Lantas, mengapa Dika harus mencari, jikalau dia bisa datang sendiri?"Bambang Wijaya menepuk keningnya. Tidak habis pikir dengan pola pikir cucu kesayangannya itu. Mahardika memang pandai di dunia bisnis, terbilang sangat sukses, tapi caranya mengartikan ucapan orang tua, sangatlah payah."Terserah padamu saja, tapi kakek ingin hari ini kau membatalkan seluruh agendamu!" tegas Bambang Wijaya tanpa bisa diganggu gugat."Alasannya?" Mahardika mempertanyakan keinginan kakeknya."Karena kita semua akan pergi melamar.""Ngelamar? Kakek ingin kita ngelamar di perusahaan mana lagi? Kita sudah memiliki banyak perusahaan di beberapa kota. Perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara," jawab Mahardika polos.Kembali Bambang Wijaya menepuk keningnya sambil geleng-geleng kepala. Dia mengikis jarak. Kini posisinya dengan Mahardika kurang dari atau meter. Saking gemasnya dengan kepolosan sang cucu, Bambang Wijaya pun menyentil kening Mahardika."Aduh kakek, sakit," keluh Mahardika spontan sambil mengusap keningnya."Melamar, bukan ngelamar. Maksudnya melamar seorang gadis." Pria paruh baya itu merapatkan gigi-giginya karena gemas plus kesal dalam satu waktu.Mahardika diam sejenak. Kalimat terakhir Kakeknya perlu ditelaah lebih lama."Kamu tuh, sudah dewasa, Dika. Sudah seharusnya kamu berumah tangga. Dulu, ayah kamu menikah di usia 25 tahun, sedangkan kamu tiga puluh tahun, belum memiliki pendamping. Ayah dan Bunda sudah sama-sama sepakat untuk menikahkan kamu dengan Eka ...""Eka, anaknya Om Teguh Saputra?" sahut Mahardika cepat, mengarahkan pandangannya pada sosok wanita cantik, yang datang dari arah dapur."Bunda mau, kamu bertemu Eka hari ini karena pernikahan kalian sudah ditetapkan," ucap wanita yang akrab disapa bunda tersebut.Mahardika tidak mengiyakan, tapi tidak juga menolak. Diam seperti patung batu untuk beberapa saat.***Balaraja, Tangerang Banten.Kediaman keluarga Saputra. Keluarga sederhana yang memiliki rumah makan cukup terkenal di kawasan Balaraja.Rumah dengan lantai dua dan memiliki halaman luas yang ditumbuhi banyak pepohonan dan tanaman hias itu, membuat siapa pun yang melihatnya merasa tenang."Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap Bambang Wijaya dan keluarga saat berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Teguh Saputra, berdiri tepat di bibir pintu."Kalian masuk saja duluan. Aku harus terima telpon dulu. Tidak lama. Lima menit saja," kata Mahardika, di sela-sela sambutan hangat.Dia tidak bisa mengabaikan sambungan telepon satu ini karena menyangkut proyek besar yang sedang dikerjakannya.Bambang Wijaya geleng-geleng kepala. Selalu saja seperti itu. Sambungan telpon datang diwaktu yang tidak tepat.Setelah itu, Sang tuan rumah segera membersihkan tamu spesial itu untuk masuk."Ayo, silahkan duduk. Mohon maaf keadaannya seperti ini," ucap Teguh, merendah.Bambang Wijaya, Frans dan Annata duduk di sofa yang ada di sana. Tak henti-henti senyuman terukir di wajah masing-masing. Kedatangan mereka, semata-mata untuk melamar anak bungsu dari keluarga Saputra.Sementara itu, Mahardika yang belum masuk ruangan lantaran harus menerima sambungan telpon terlebih dahulu, tampak menyudahi pembicaraannya dengan seseorang yang jauh di sana.Saat berbalik badan, Mahardika melihat ada sosok gadis mungil, memakai kaos lengan panjang dan celana jins itu, sedang berjalan mengendap-endap di antara pohon mangga dan pohon jambu. Gerak geriknya yang mencurigakan sungguh memantik rasa penasaran Mahardika.Kening Mahardika mengerut, lantaran dia mengenal gadis tersebut. Wajahnya tidak asing, meskipun sudah lama tidak bertemu."Mau pergi kemana dia? Mengapa gayanya seperti musang yang hendak menerkam ayam warga?" gumam Mahardika terheran-heran.Demi menjawab rasa penasarannya, Mahardika berlari guna mengikuti gadis tersebut.Tepat saat di depan gerbang, gadis itu menghentikan langkahnya. "Di mana kuncinya." Dia merogoh-rogoh tas selempang warna biru itu."Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" ucap Mahardika mengejutkan.Gadis mungil itu, terperanjat. Bahunya sampai bergerak sedikit. Dia berbalik badan. Aksinya ternyata sudah diketahui seseorang. Padahal dia sudah memastikan, keadaan sepi. Hari ini memang cukup sial baginya."Apa yang Om Dika lakuin di sini?" tanya gadis itu, polos."Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya."Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya."Ya, Om lah. Memangnya siapa lagi yang aku ajak bicara sekarang? Tidak ada orang di sini selain kita." Gadis itu berbicara ketus, melipat kedua tangannya di dada dan membuang pandangan ke arah berbeda.Mahardika merasa kesal dan mendidih aliran darahnya. Dia belum setua itu, untuk dipanggil om-om berkumis dan perut buncit. "Hendak pergi kemana kamu? Jangan-jangan, kamu ingin kabur ya?" terka Mahardika, yang membuat gadis tersebut semakin membuang pandangannya. "Ayo, ngaku kamu! Di saat yang lain ada di dalam, kenapa kamu ada di sini?" tambahnya semakin curiga.Gadis cantik yang akrab dipanggil Eka itu, menurunkan tangannya. "Om sendiri gimana? Kenapa ada di luar, bukannya di dalam?" sunggut Eka, membalikkan ucapan Mahardika.Sang pria sedikit menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Soal itu ..." Bola matanya berputar cepat. Mencari cela untuk menyusun kata-kata."Kenapa, Om? Jangan-jangan, Om Dika, mau kabur juga ya
Hari yang dinanti-nanti pun tiba.Ruangan yang telah didekorasi sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti negeri dongeng di dunia nyata. Di bawah derasnya guyuran hujan, tidak menyulutkan semangat dua keluarga dan para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan. Mahardika sudah duduk berhadap-hadapan dengan Teguh Saputra. Ayah, sekaligus orang yang bertindak sebagai wali nikah di hari paling bahagia ini. "Saya nikahkan dan kawinkan, ananda Mahardika Wijaya bin Frans Adi Wijaya dengan putri saya, Eka Maheswari Saputra binti Tegus Saputra, dengan maskawin uang tunai sebesar 10 juta, emas lima gram, serta satu unit rumah dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinya Eka Maheswari Saputra dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Mahardika dengan satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" kata para Saksi serentak. Begitu juga dengan para tamu yang berteriak berbarengan. Selanjutnya Pak Penghulu memimpin doa. Mahardika mengangkat kedua tang
"Boleh melihat, maksud, Om?" Saking terkejutnya, Eka sampai terperanjat bangun. Kini pandangnya dan Mahardika saling bertemu dalam garis lurus. Semula tersulut emosi, kini terkesan canggung karena baru sadar jarak yang tercipta hanya beberapa sentimeter saja. Mahardika tertawa kecil, "kamu itu, memang polos, Dek." Dia menekan kening Eka, hingga sedikit terdorong. "Apa yang kamu pikirkan? Kamu mau lihat punya saya sekarang?" godanya kemudian.Eka yang gelagapan buru-buru berbalik badan, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Dih, Om kegeeran. Siapa juga yang mau lihat? Udah lah, aku ngantuk. Mau tidur aja," kata Eka mengelak, lalu mengayunkan kakinya menjauh dari Mahardika.Dia bisa gila dan lepas kendali, jika terus disudutkan seperti ini.Mahardika melipat kedua tangannya di dada, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Astaga ... Dia sangat menggoda dan menggemaskan. Pantas saja, kakek sangat menyukainya," gumamnya dan menyentuh kening dengan sebelah tangan. Menertawakan ting
Beberapa jam berikutnya. Lebih tepatnya pukul 08:00 WIB.Pintu kamar pun ada yang mengetuk. Mahardika kebetulan sudah bangun pun, lantas mengayunkan kakinya menuju pintu. Penasaran, siapa yang pagi-pagi sudah datang bertamu."Iya, sebentar." Suaranya tidak terlalu besar karena takut akan membangunkan Eka, yang masih terlelap dalam mimpi.Mahardika menggenggam kenop pintu, kemudian menariknya dan pintu pun terbuka."Bunda?" katanya setengah terkejut."Kamu sudah bangun, Sayang? Bunda ganggu kamu ya?" tanya Annata ragu."Enggak kok, Bun. Ada apa Bunda datang? Masih pagi ini loh, Bun.""Mana Eka? Dia belum bangun ya?" Annata melayangkan pertanyaan lain. "Iya, Bunda. Sepertinya dia sangat kelelahan. Jadi, belum bangun deh. Memangnya kenapa, Bunda?" Kening Mahardika sedikit mengerut. Annata terkekeh geli, "heum, tidak perlu dibangunkan. Biarkan dia tidur. Pasti dia capek setelah ... Ehem."Wanita lima puluh tahun itu, tak melanjutkan kalimatnya. Dia menutupi mulutnya dengan sebelah tanga
Eka melipat kedua tangannya di dada, wajahnya sedikit ditekuk. Mahardika melirik sang istri yang seperti sedang melafalkan mantra."Ah, sekarang aku tahu!" Eka langsung berdiri, tindakannya yang mendadak membuat Mahardika terkejut."Tahu apa?" tanya Dika sedikit meninggikan suara. Saking terkejutnya, dia mengelus dada. Spontan, jantungnya seperti ingin berpindah tempat. Istrinya memang kadang-kadang ya."Iya, aku tahu, alasan Bunda tidak marah." Eka memandang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya itu."Mungkin dia berpikir untuk tidak memarahiku karena kita baru saja menikah. Aku yakin, beberapa hari kemudian, Bunda akan marah dan jengkel kalau aku tidak bangun pagi."Eka pun memulainya lagi. Mahardika geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Kesabarannya sedang diuji sekarang. Dia tidak habis pikir kenapa istrinya masih saja membahas hal sepele dan tidak penting? Sudah begitu, menuduh yang bukan-bukan."Bagaimana ini, Om. Aku sangat malu bertemu Bunda nanti," celotehnya
"Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu. "Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong. "Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda. Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, han
Sore hari sebelum Maghrib. Eka keluar dari kamarnya setelah beristirahat sejak siang. Sebenarnya tidak ada hal yang Eka lakukan saat di kamar, selain bermain ponsel. Sesekali ia keluar kamar dan bertanya pada Bi Endang soal Mahardika. Sang suami sedang sibuk di ruangannya. Eka pun tidak ingin mengganggu. Terlebih lagi, dia dan Mahardika tidak seakrab itu, meskipun sudah sah menjadi suami istri. Eka menuruni anak-anak tangga. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma yang sangat harum dan menggugah selera makannya. Eka membayangkan saat menyantap makanan ini dengan nasi hangat, tempe goreng dan lalapan. Cacing-cacing dalam perutnya pun langsung berdemo. Minta diberi makan secepatnya. "Aromanya enak banget. Ini pasti, Bi Endang yang masak," tebak Eka sambil mempercepat langkahnya karena penasaran, siapa yang sedang memasak.Tepat di ujung anak tangga, Eka pun melihat Bi Endang yang sedang berjalan dari arah luar sambil menenteng tas belanjaan di tangan kiri dan kanan. "Bi Endang," pa
"Om, besok aku mau ke rumah ayah," kata Eka sambil mengelap bibirnya dengan tipis, setelah menyelesaikan makan malamnya. "Iya, Dek, tapi maaf saya tidak bisa anter kamu. Nanti, kamu diantar supir aja ya," balas Dika sembari meraih buah apel yang ada di sana. "Soalnya saya harus menghadiri rapat besok," sambungnya dan mengupas kulit apel itu. "Enggak mau! Om harus anter aku pokoknya. Titik, enggak pake koma!" tegas Eka dengan tatapan mengarah tajam pada sang suami."Lagian kenapa si, Om udah kerja aja? Kita kan baru selesai nikah. Ngapain harus sibuk sama pekerjaan? Masih ada waktu nanti-nanti untuk pekerjaan," terusnya mengomel.Dika mengerjapkan matanya pelan dan mengulas senyuman tipis. "Baiklah, Tuan Putri. Saya akan minta Robi untuk mewakilkan saya dalam rapat tersebut. Jadi, saya bisa mengantarkan kamu ke rumah Ayah. Apa kamu puas, Dek?""Terima kasih, suamiku yang ganteng," ucap Eka sambil mengambil buah apel yang sudah dikupas kulitnya itu dari tangan Dika. Tanpa merasa bers
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak