Adzan subuh pun berkumandang. Eka perlahan-lahan membuka matanya, bersamaan dengan suara lembut memanggilnya."Bangun, Dek. Sudah waktunya sholat subuh."Suara lembut itu terus mendorong Eka untuk bangun dari alam mimpi. Lambat laun kesadarannya mulai terkumpul."Heum, iya, Om," gumam Eka sembari mengucek matanya."Ya udah, saya wudhu duluan ya, nanti kamu nyusul," kata sang pemilik suara lembut, yang tidak lain adalah sang suami.Eka mengangguk. Sepasang mata indah itu, masih terbuka sebagian saja. Namun, bayangan ketampanan sang suami sudah terlihat. Meskipun belum sepenuhnya.Lima menit kemudian, Eka pun keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah terlihat sangat segar, setelah membasuhnya dengan air."Om Dika." Eka menghampiri Dika yang duduk di atas sajadahnya."Iya, Dek?" "Maaf, Om. Aku enggak sholat subuh ... Soalnya itu ..." Eka menjeda kalimatnya karena ragu untuk dilanjutkan.Dika mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lembut. "Ya sudah, kamu istirahat aja. Kemarin saya sudah min
Pukul 09:05 WIB."Jangan ada yang ketinggalan, Dek." Dika memperingatkan dan Eka langsung mengangguk yakin."Tidak ada yang kubawa selain hp. Semua barang-barang kan sudah di mobil. Om Dika sendiri yang mengurusnya tadi."Dika membuang napas lembut. Memang benar ia telah memerintahkan supirnya untuk membawa beberapa barang untuk bertemu ayah mertuanya nanti.Setelah menikah, ini kali pertama keduanya pulang ke rumah orang tua. Dika sangat menantikan dan Eka sangat merindukan ayahnya."Assalamualaikum ..."Langkah sepasang pengantin baru itu, terhenti di bibir pintu, saat seorang wanita cantik mengucap salam."Waalaikumsalam," jawab keduanya serentak."Mas Dika." Tanpa merasa malu, wanita itu langsung memeluk Mahardika sangat erat. "Aku sangat merindukanmu, Mas," ucapnya mesra sambil memasang raut wajah memelas.Dilihat dari penampilannya, ia tampak sopan, tapi itu saat mengucap salam saja. Selepas itu, ia seperti wanita penghibur yang tidak memiliki urat malu. Dika mematung beberapa
"Kita enggak usah ke rumah ayah, ya. Aku takut kamu ...""Enggak mau!" Belum sempat Dika menuntaskan kalimatnya, Eka sudah lebih dulu menyambar sambil melepaskan pelukannya. Seperti biasa, dia menggembungkan pipinya, menunjukkan ketidaksukaannya tanpa bisa ditutupi. "Atas dasar apa kita tidak jadi ke rumah ayah? Kita sudah niat untuk pergi ke sana, lantas kenapa harus dibatalkan?" Raut wajahnya kembali galak seperti raja hutan yang hendak menerkam seekor kijang. Dika membuang napas panjang. Istrinya benar-benar memiliki kepribadian ganda. Setiap waktunya bisa berubah tanpa bisa diterka. "Saya takut mood kamu tidak bagus akibat kejadian tadi, ditambah kamu sedang datang bulan ...""Apa hubungannya datang bulan dengan bertemu ayah?"Skak! Pertanyaan Eka membuat Mahardika diam dan memutar otaknya cepat. Tatapan tajam sang istri, membuat fokusnya terpecah belah. "Saya hanya takut, kamu bakalan meluapkan semua emosi kepada ayah, sedangkan ayah sama sekali tidak tahu soal masalah Nadi
Malam harinya. Eka dan Dika pun meninggalkan kediaman Teguh Saputra. Sebenarnya, Dika mengusulkan untuk menginap di sana. Namun, Eka tidak mau. Dia ingin pulang saja. Sebagai suami. Ya, Dika menuruti permintaan tersebut. "Siang tadi, siapa yang menelpon?" tanya Eka, di tengah-tengah keheningan malam, jalanan Kota Tangerang. "Heum, Robi yang menelpon. Kenapa?"Eka menggeleng sembari menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Aku ngantuk, Om.""Iya, tidurlah, Dek." Dika mengelus lembut pipi Eka. Namun, fokusnya tepat pada jalan. Perlahan-lahan Eka pun memejamkan matanya. Entah ia benar-benar terlelap atau hanya sekedar ingin menikmati kenyamanan yang entah kapan terakhir kali ia rasakan?Dika pun menurunkan kecepatan mobilnya. Tidak mau, mengusik istirahat Eka, yang sepertinya sangat kelelahan itu. Perjalanan yang seharusnya ditempuh satu jam itu, menjadi satu setengah jam. Sebelum memasuki pekarangan rumah, Dika lebih dulu mengirim pesan singkat pada penjaga rumahnya, untuk membu
"Ada apa, Dek?" Dika buru-buru menghampiri Eka yang berteriak tadi. Langkahnya terhenti ketika melihat Eka yang langsung menatapnya penuh kebingungan. "Kenapa enggak ada darah?" Mimik wajahnya begitu datar. "Darah apa?" tanya balik Mahardika, yang sebenernya tidak mengerti arti dari darah yang dimaksudkan?"Itu loh ..." Eka mengangkat kepalanya. Ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.Apa itu disebutnya? Eka kesulitan merangkai kata-katanya. "Apa, Dek? Kalau ngomong sampai tuntas dong. Saya kan enggak ngerti yang kamu maksud. Darah apa?"Eka menghela napas panjang, "itu loh Om ... Darah perawan ..."Dika berpikir sejenak, mencoba mengartikan maksud kalimat yang terpotong-potong itu. Darah perawan? Bukankah itu judul sebuah film? Heum ... Dika pun mengerutkan keningnya. "Masa iya, Om enggak ngerti? Kan kita semalam habis ..."Pada kalimat berikutnya, barulah Dika paham arah pembicaraan ini. Meskipun Eka belum menuntaskan kalimatnya. "Oh, maksudnya darah setelah melakukan malam perta
"Habiskan sarapannya. Oh iya, hari ini saya akan ke kantor karena ada rapat penting yang harus saya hadiri," kata Dika tanpa melihat sang istri.Eka yang hendak menyantap sarapannya itu, seketika menghentikan aktivitasnya. Tiba-tiba ia sudah merasa kenyang tanpa harus makan. "Hari ini Om ke kantor?" tanyanya dan ada raut kekecewaan terpancar di wajah mungil itu.Dika mengangkat kepalanya, "iya, Dek. Maaf tidak memberitahumu sebelumnya karena saya tidak ingin kamu merasa kecewa.""Kalau Om ke kantor, terus aku sama siapa?""Kan, ada Bi Endang, Dek. Oh iya, Bunda juga akan datang ke sini. Kemarin saya sudah memberitahu ke Bunda, soal rapat ini. Jadi, Bunda bakalan main ke sini untuk nemenin kamu." Dika menerangkan situasi yang ada."Oh ..." Meskipun sudah berusaha untuk tersenyum manis, tetapi kekecewaan itu masih tampak dan tidak mampu Eka sembunyikan sepenuhnya.Dika menghela napas panjang, "maafkan saya, Dek. Saya harus menghadiri rapat ini. Investor dari Prancis, berniat untuk menj
Rapat pun dimulai. Dika sangat bersemangat saat menjelaskan proyek kerja sama yang akan dilakukan dengan perusahaan Prancis.Raut wajahnya begitu serius. Namun, aura kepemimpinannya keluar dengar sempurna. Aura setelah menikah, membuat Dika lebih tampan dari sebelum-sebelumnya. Kesepakatan pun terjalin. Perusahaan Prancis tertarik dan menerima proyek kerja sama ini.Dika dan salah satu utusan dari Prancis itu, segera melakukan tanda tangan kontrak kerja sama."Terima kasih. Senang bisa bekerja sama dengan kalian," kata Dika, yang berbicara dalam bahasa Inggris sambil menjabat tangan pria tersebut.Senyuman terus terukir indah di wajah tampan pria tiga puluh tahun itu. Nyatanya ucapan semangat dari sang istri, membawa dampak luar biasa bagi Dika. ***Dika pun kembali ke ruangannya. Ada rasa puas dalam hatinya untuk kali ini. Terlihat jelas dari mimik wajahnya, yang tidak henti-hentinya mengumbar senyum. Semua ini karena dorongan semangat dari Eka, meskipun hanya terucap melalui samb
Seharian itu, Dika terus menempel pada sang istri. Dia seolah enggan lepas dari Eka sedetik pun.Bahkan selama perjalanan pulang. Dika sampai tertidur, dengan posisi kepala bersandar di bahu Eka. Annata yang duduk di kursi kemudi pun, berulang kali melihat putra semata wayangnya yang sedang tidur itu. Nyatanya, kehadiran Nadia masih mampu memporak-porandakan suasana hatinya.Annata berharap, Nadia tidak membuat rumah tangga Dika dan Eka kacau balau. Seperti yang pernah Nadia lakukan dulu pada Dika. ***Mobil pun terparkir di halaman utama kediaman Eka dan Dika."Biar bunda panggil Pak Rudi, untuk bantu keluarin Dika," kata Annata, sambil melepas sabuk pengaman. Selanjutnya ia keluar mobil.Eka mengangguk pelan. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Dia takut kalau bersuara, akan membangunkan sang suami yang sedang terlelap dalam mimpi itu.Selang beberapa menit kemudian, Pak Rudi pun datang. Dia membuka pintu mobil, lalu membantu mengeluarkan Dika yang terlelap itu.Dika
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak