Seharian itu, Dika terus menempel pada sang istri. Dia seolah enggan lepas dari Eka sedetik pun.Bahkan selama perjalanan pulang. Dika sampai tertidur, dengan posisi kepala bersandar di bahu Eka. Annata yang duduk di kursi kemudi pun, berulang kali melihat putra semata wayangnya yang sedang tidur itu. Nyatanya, kehadiran Nadia masih mampu memporak-porandakan suasana hatinya.Annata berharap, Nadia tidak membuat rumah tangga Dika dan Eka kacau balau. Seperti yang pernah Nadia lakukan dulu pada Dika. ***Mobil pun terparkir di halaman utama kediaman Eka dan Dika."Biar bunda panggil Pak Rudi, untuk bantu keluarin Dika," kata Annata, sambil melepas sabuk pengaman. Selanjutnya ia keluar mobil.Eka mengangguk pelan. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Dia takut kalau bersuara, akan membangunkan sang suami yang sedang terlelap dalam mimpi itu.Selang beberapa menit kemudian, Pak Rudi pun datang. Dia membuka pintu mobil, lalu membantu mengeluarkan Dika yang terlelap itu.Dika
Mahardika pun telah menyiapkan sarapan yang menjadi favorit sang istri. Beruntungnya Eka, memiliki suami seperti Mahardika. Eka benar-benar diperlakukan layaknya seorang ratu. Dipenuhi segala kebutuhannya.Eka pun masuk ke ruang makan, sedikit mendehem, supaya sang suami menyadari kedatangannya. Dika mengangkat kepalanya, setelah meletakkan piring di atas meja makan. "Sarapan dulu, Dek," kata Dika sambil menarik kursi, supaya memudahkan Eka untuk duduk. Namun, gadis itu malah menduduki kursi yang lain.Ngeselin banget bukan? Namun, Dika tidak melawan. Ekor mata Eka masih melirik tajam, sembari menyelengos, membuang pandangannya ke sisi berbeda.Dika tersenyum kecil, melihat tingkah laku Eka yang masih ngambek karena ciuman pagi ini dan dirinya tidak marah sama sekali akan sikap istrinya tersebut. "Kamu sarapannya yang banyak. Supaya semangat menjalani hari," kata Dika mengingatkan."Iya, Om. Om juga. Sarapan yang banyak."Dika tersenyum lembut disertai anggukan kepala, "pasti itu.
Pernikahan yang belum ada satu Minggu itu, kini telah diterpa badai prahara yang cukup besar. Beberapa menit yang lalu, Eka baru saja melihat hal yang tidak sepatutnya ia lihat. Sebuah video yang mempertontonkan adegan dua insan sedang bercinta, layaknya suami istri, tanpa ikatan pernikahan. Suara lengkuhan yang ada pada video tersebut, masih terngiang-ngiang di benak Eka. Entah yang ada di dalam video tersebut benar atau tidak? Eka tidak bisa berpikir jernih sekarang.Dia mengacak-acak rambutnya. Menutup telinganya dengan kedua tangan. Berupaya untuk menghilangkan suara itu dari pikirannya. "Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ...!!!"Eka menangis sejadi-jadinya. Meraung keras seolah ingin dunia mendengar tangisannya. Dia mengacak-acak seisi meja rias. Menatap dirinya yang kacau dari pantulan cermin. Mengetahui suaminya telah melakukan hubungan badan sebelum pernikahan, membuatnya sangat sakit. Hatinya seolah tercabik-cabik. Kenyataan sedang menamparnya. Badai besar sedang menerjan
"Aku lihat semuanya, Om!" teriak Eka keras."Lihat apa, Dek! Apa yang kamu lihat?!" Suara Dika tidak kalah tinggi dari sang istri, bahkan sampai melotot, seolah sepasang mata itu hendak melompat keluar dari tempatnya."Aku lihat video, Om lagi berhubungan badan sama nenek sihir itu!" Perlahan suaranya mengecil. Namun, rintikan air matanya belum kunjung reda. Dika bisa melihat, ada kekecewaan yang besar dari sorot mata istrinnya.Dika memeluk erat tubuh mungil wanita yang sangat dicintainya itu. Dika menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. "Maafin saya ya, Dek. Seharusnya saya tidak pergi ke kantor tadi. Mungkin kejadiannya tidak akan separah ini," ungkap Dika, yang terus menarik napasnya dari waktu ke waktu.Eka tidak memberontak, tetapi dia masih terisak-isak. Dika pun membelainya lembut. Tidak ada bait yang terucap dari bibirnya. Dia sudah mengeluarkan seluruh energinya tadi, demi bisa menenangkan emosi Eka yang meluap-luap.Bi Endang memperhatikan sepasang
Berlanjut ...•••"Lantas, apa yang harus gue lakuin buat elu, sekarang?" tanya pemuda, bernama Boy itu, setelah menghabiskan seluruh sarapannya."Gue, mau elu cari tahu dari mana Nadia dapetin video yang mirip gue itu. Gue si yakin, dia enggak kerja sendirian. Pasti ada yang bantuin dia," jawab Dika serius tanpa berkedip.Suhu ruangan yang full AC, sama seperti aura yang terpancar dari tatapan mata Dika. Sangat dingin. "Heum, elu bener juga." Boy mengelus dagunya pelan. Bola matanya berputar cepat, sedang berpikir sejenak.Keyakinan Dika tadi, seirama dengan yang Boy pikirkan sekarang. Tebakan Dika tidak meleset, tapi belum bisa dikatakan benar juga. Lantaran tidak ada bukti kuat untuk melawan balik Nadia. "Beres kalau soal mencari informasi, tapi elu harus pastiin si Nadia enggak ketemu sama istri elu. Bakalan berabe kalau mereka ketemu lagi. Gue yakin, Nadia bakalan nunjukin hal gila lainnya demi dapetin elu. Dia kayaknya belum bisa move on deh dari elu."Dika pun tertawa kecil m
"Om, bilang apa tadi?" Eka terperanjat sampai posisinya sekarang menjadi duduk dan memandang wajah sang suami, penuh tanda tanya. "Bulan madu, Dek." Dika mengulangi kalimat terakhirnya diiringi dengan senyuman kecil. Berharap istrinya akan terpesona. "Ngapain kita bulan madu?" celetuk Eka asal ceplos. Dika geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan kepolosan sang istri. "Ya, apa lagi, bikin dedek bayi," godanya sambil cengengesan.Eka menganga. Namun, sebelum ia bisa mendapatkan kembali kesadarannya, Dika sudah lebih dulu menggendongnya ala bridal style. "Ih, Om. Apaan si? Om mau mesum ya?" rengek Eka sambil memukul bidang dada suaminya. Akan tetapi, usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Dika menyeringai puas, melihat aksi istrinya yang selalu membuatnya gemas. Dika turun dari ranjang sambil menggendong Eka, yang berat tubuhnya kurang dari 60 kilogram itu."Om, mau ajak aku kemana si? Aku bisa jalan sendiri, Om. Turunin aku!" pinta Eka, merengek dan terus memukul dada
"Aku tidak mau disentuh oleh laki-laki, yang telah mengkhianati kepercayaan keluarganya!" Suara Eka yang lantang, seketika membuat kepala Dika ingin pecah. Ia seperti dihantam sebuah bongkahan batu besar.Mengapa masalah ini sampai serumit ini? Bukan tidak mungkin, pernikahan yang belum genap satu bulan, bisa hancur hanya masalah sepele. "Om, jahat! Kenapa aku baru tahu hal ini sekarang, itu pun orang lain yang memberitahunya, bukan Om sendiri yang mengatakannya! Aku benci, Om!"Suara Eka semakin tinggi. Membuat Dika mengepalkan kedua tangannya. Emosinya memuncak di ujung ubun-ubun. Dika menggenggam erat pergelangan tangan Eka. Menjatuhkan tatapan tajam, setajam ujung mata pedang yang siap menebas leher manusia. "Kenapa kamu keras kepala banget, Dek?! Saya sudah katakan! Saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Nadia! Mengapa, kamu membuat masalah ini semakin rumit?! Saya berpikir, kamu sudah melupakan masalah ini. Kenyataannya, tidak!""Iya, Mau gimana lagi? Setiap Om deketin
Nadia yang tahu, kalau semua ini hanyalah kebohongan, mulai merasa gelisah. Namun, dia berusaha tetap tenang, di hadapan Annata dan Bi Endang. Bisa ketahuan semua, kalau yang di video tadi memang bukan Dika. Melainkan orang lain, yang sudah direkayasa sedemikian rupa, sehingga mirip dengan Dika. Dua puluh menit kemudian, Dika dan Eka sampai juga di rumah. Keduanya berjalan tak berbarengan layaknya sepasang suami istri yang sedang dimabuk cinta. Eka menjaga jaraknya dengan Dika. Hal tersebut, langsung disadari oleh Annata. "Assalamualaikum, Bunda." Dika dan Eka mengecup punggung tangan Annata, saling bergantian."Waalaikumsalam." Annata bernapas lega, lantaran anak dan menantunya, tiba dengan selamat. Namun, pertanyaan besar sedang mengusik pikirannya.Annata menatap mata Eka, yang sembam. Garis bawah matanya merah, meskipun sudah tertutup make up. Namun, Annata bisa melihat adanya kesedihan yang terpancar dari mata sang menantu."Kalian duduk dulu!" pinta Annata lembut. Dika menga
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak