Hari yang dinanti-nanti pun tiba.
Ruangan yang telah didekorasi sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti negeri dongeng di dunia nyata. Di bawah derasnya guyuran hujan, tidak menyulutkan semangat dua keluarga dan para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan.Mahardika sudah duduk berhadap-hadapan dengan Teguh Saputra. Ayah, sekaligus orang yang bertindak sebagai wali nikah di hari paling bahagia ini."Saya nikahkan dan kawinkan, ananda Mahardika Wijaya bin Frans Adi Wijaya dengan putri saya, Eka Maheswari Saputra binti Tegus Saputra, dengan maskawin uang tunai sebesar 10 juta, emas lima gram, serta satu unit rumah dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinya Eka Maheswari Saputra dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Mahardika dengan satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" kata para Saksi serentak. Begitu juga dengan para tamu yang berteriak berbarengan.Selanjutnya Pak Penghulu memimpin doa. Mahardika mengangkat kedua tangannya, mengaminkan setiap doa yang terucap.Bukan ia saja, tetapi seluruh orang yang mengisi ruangan tersebut ikut mengaminkan juga.Sesekali Teguh Saputra, tampak menyeka air matanya. Emosinya begitu memuncak setelah menyelesaikan tugasnya sebagai ayah."Silahkan, hadirkan pengantin wanitanya untuk menandatangani buku nikah," ucap Ketua KUA, yang bertugas hari ini.Mahardika merasa lega sekarang. Ibarat bisul mah sudah pecah. Tidak ada lagi yang mengganjal. Akhirnya ia telah sah menjadi suami bagi seorang gadis yang usianya baru menginjak 21 tahun.Eka dengan didampingi Annata dan dua sahabat karibnya itu, berjalan menghampiri Mahardika di sana.Hari ini, Eka benar-benar menjadi pusat perhatian semua orang. Berbalut gaun pengantin khas sunda, Eka terlihat sangat cantik dan anggun. Mahardika sampai melongo, melihat wanita yang kini telah sah menjadi istrinya itu.Eka tersenyum lembut, begitu juga dengan Mahardika. Dia mengulurkan tangan kanannya dan Eka meraihnya dengan perasaan yang campur aduk. Senang, bahagia, haru dalam satu waktu.Para tamu undangan yang hadir, sibuk mengambil gambar dengan kamera ponsel masing-masing. Tidak ingin melewatkan momen pemasangan cincin dan lainnya.Mahardika menyematkan cincin di jari manis sang istri. Selanjutnya Eka, yang memasangkan cincin di jari pria yang kini telah sah menjadi suaminya.Eka mengecup punggung tangan Mahardika sebagai rasa hormatnya. Kini giliran Mahardika mengecup kening Eka, sebagai bentuk kasih sayangnya. Momen tersebut terekam indah di memori semua orang.Sentuhan hangat Mahardika menciptakan desiran hebat di hati Eka, seolah ada aliran listrik bertegangan tinggi menyambar tubuhnya sekarang.***Pukul 03:00 WIB. Hari yang begitu indah memang telah berlalu, tetapi kesan bahagianya masih terasa hingga sekarang.Mahardika dan Eka sudah berada di kamar, yang telah dihias begitu indah, menciptakan kesan romantis bagi sepasang pengantin yang sedang berbahagia.Di atas ranjang berukuran besar itu, telah ditaburi kelopak bunga mawar. Ada banyak lilin yang tersebar di penjuru ruangan, membuat suasana semakin romantis.Eka baru saja keluar dari kamar mandi. Dia sudah berganti pakaian. Sementara Mahardika duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.Eka berjalan pelan sambil merasakan desiran hebat menerjang tubuhnya.Ya. Malam ini, seharusnya menjadi momen indah baginya dan sang suami. Kata orang, malam ini disebut malam pertama."Kamu sudah selesai, Dek?" tanya Mahardika, yang beranjak bangun dari sofa.Eka terperanjat dan sedikit mengangguk, "iya. Kalau Om Dika mau ke kamar mandi, silahkan."Meskipun sudah menikah, tapi kebiasaan Eka tidak berubah, yaitu memanggil Mahardika dengan sebutan 'Om'.Mahardika mengikis jarak, sehingga ia dan Eka kini hanya berjarak beberapa jengkal saja."Kenapa, kamu masih manggil saya dengan sebutan 'Om'?" tanya Mahardika lembut.Eka mengangkat kepalanya, kini menatap lurus pria, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjadi suaminya."Karena aku suka," celetuk Eka, terlihat menggemaskan di mata Mahardika."Meskipun sekarang kita sudah sah menjadi suami istri, aku akan tetap memanggil Om Dika, dengan sebutan 'Om'. Aku tidak nyaman jika harus memanggil 'Sayang, Ayang, atau Mas.' itu terlalu serius menurutku."Mahardika tertawa kecil. Saking gemasnya dia pun menarik hidung sang istri."Aduh, Om ... Sakit," keluh Eka, menarik cepat tangan Mahardika. Dia mengusap hidungnya kemudian. "Kenapa si, Om suka banget tarik-tarik hidung aku? Nanti kalau hidung aku panjang kayak Pinokio gimana? Pasti orang-orang menjelekkan aku nanti."Eka menggerutu sambil menggembungkan pipinya. Alih-alih jengkel, Mahardika mahal semakin gemas dengan tingkah polos istri kecilnya itu.Mahardika memajukan wajahnya, sehingga jaraknya dan Eka benar-benar intim. Lalu berkata, "tidak akan ada yang berani berkata buruk kepada kamu. Saya akan melindungi kamu dan tidak akan membiarkan kamu dihina. Ini janji saya sebagai suami. Ingat itu."Selanjutnya dia berjalan melewati Eka, menuju kamar mandi.Eka termangu seperti patung batu di sana. Perkataan Mahardika seperti anak panah yang langsung menembus hatinya dan tepat mengenai hatinya.Eka tidak mengerti, mengapa Mahardika memperlakukannya sangat lembut dan hangat. Padahal, yang ia tahu, Mahardika sosok tegas dan cuek terhadap wanita. Setidaknya itulah yang pernah diceritakan Bambang Wijaya.Lima belas menit berikutnya. Mahardika pun keluar dari kamar mandi. Memakai mantel mandi yang panjangnya sampai sebatas lutut saja.Eka menutup matanya dan berbalik badan. Ah, kalau boleh jujur, ini kali pertama Eka melihat laki-laki lain, selain ayah dan kakaknya dalam satu atap."Kenapa kamu, Dek?" tanya Mahardika heran, sembari berjalan menuju meja rias."Aku malu lah, Om," kata Eka, sedikit merengek.Mahardika tertawa kecil, "malu kenapa, Dek?saya ini, suami kamu loh, Dek. Ngapain harus malu."Setelah menyemprotkan parfum, Mahardika pun mengayunkan kakinya menghampiri Eka, yang duduk di tepi ranjang."Ah pokoknya aku malu." Eka masih enggan berbalik badan, biarpun Mahardika sudah membujuknya."Hadeuh ... Kamu ini ya, Dek. Polos banget deh.""Biarin. Aku kan enggak pernah satu kamar dengan cowok. Lagi pula, kenapa Om masih pake itu, bukannya langsung pake baju aja? Aku malu lihatnya, Om."Mahardika mengulas senyuman tipis, mendengar kalimat tersebut. Hatinya merasa lega karena wanita yang ia nikahi, benar-benar mampu menjaga kehormatannya.Tidak seperti kebanyakan gadis di luaran sana, yang dengan bebas mengajak laki-laki masuk kamarnya."Ya, kamu tidak perlu malu lah, Dek. Saya ini suami kamu. Kita sudah sah menjadi suami istri. Jadi, apa pun yang ada di diri saya, kamu boleh melihatnya."Boleh lihat?Eka membulatkan matanya. Pikirannya mulai menerawang kemana-mana."Boleh melihat, maksud, Om?" Saking terkejutnya, Eka sampai terperanjat bangun. Kini pandangnya dan Mahardika saling bertemu dalam garis lurus. Semula tersulut emosi, kini terkesan canggung karena baru sadar jarak yang tercipta hanya beberapa sentimeter saja. Mahardika tertawa kecil, "kamu itu, memang polos, Dek." Dia menekan kening Eka, hingga sedikit terdorong. "Apa yang kamu pikirkan? Kamu mau lihat punya saya sekarang?" godanya kemudian.Eka yang gelagapan buru-buru berbalik badan, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Dih, Om kegeeran. Siapa juga yang mau lihat? Udah lah, aku ngantuk. Mau tidur aja," kata Eka mengelak, lalu mengayunkan kakinya menjauh dari Mahardika.Dia bisa gila dan lepas kendali, jika terus disudutkan seperti ini.Mahardika melipat kedua tangannya di dada, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Astaga ... Dia sangat menggoda dan menggemaskan. Pantas saja, kakek sangat menyukainya," gumamnya dan menyentuh kening dengan sebelah tangan. Menertawakan ting
Beberapa jam berikutnya. Lebih tepatnya pukul 08:00 WIB.Pintu kamar pun ada yang mengetuk. Mahardika kebetulan sudah bangun pun, lantas mengayunkan kakinya menuju pintu. Penasaran, siapa yang pagi-pagi sudah datang bertamu."Iya, sebentar." Suaranya tidak terlalu besar karena takut akan membangunkan Eka, yang masih terlelap dalam mimpi.Mahardika menggenggam kenop pintu, kemudian menariknya dan pintu pun terbuka."Bunda?" katanya setengah terkejut."Kamu sudah bangun, Sayang? Bunda ganggu kamu ya?" tanya Annata ragu."Enggak kok, Bun. Ada apa Bunda datang? Masih pagi ini loh, Bun.""Mana Eka? Dia belum bangun ya?" Annata melayangkan pertanyaan lain. "Iya, Bunda. Sepertinya dia sangat kelelahan. Jadi, belum bangun deh. Memangnya kenapa, Bunda?" Kening Mahardika sedikit mengerut. Annata terkekeh geli, "heum, tidak perlu dibangunkan. Biarkan dia tidur. Pasti dia capek setelah ... Ehem."Wanita lima puluh tahun itu, tak melanjutkan kalimatnya. Dia menutupi mulutnya dengan sebelah tanga
Eka melipat kedua tangannya di dada, wajahnya sedikit ditekuk. Mahardika melirik sang istri yang seperti sedang melafalkan mantra."Ah, sekarang aku tahu!" Eka langsung berdiri, tindakannya yang mendadak membuat Mahardika terkejut."Tahu apa?" tanya Dika sedikit meninggikan suara. Saking terkejutnya, dia mengelus dada. Spontan, jantungnya seperti ingin berpindah tempat. Istrinya memang kadang-kadang ya."Iya, aku tahu, alasan Bunda tidak marah." Eka memandang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya itu."Mungkin dia berpikir untuk tidak memarahiku karena kita baru saja menikah. Aku yakin, beberapa hari kemudian, Bunda akan marah dan jengkel kalau aku tidak bangun pagi."Eka pun memulainya lagi. Mahardika geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Kesabarannya sedang diuji sekarang. Dia tidak habis pikir kenapa istrinya masih saja membahas hal sepele dan tidak penting? Sudah begitu, menuduh yang bukan-bukan."Bagaimana ini, Om. Aku sangat malu bertemu Bunda nanti," celotehnya
"Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu. "Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong. "Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda. Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, han
Sore hari sebelum Maghrib. Eka keluar dari kamarnya setelah beristirahat sejak siang. Sebenarnya tidak ada hal yang Eka lakukan saat di kamar, selain bermain ponsel. Sesekali ia keluar kamar dan bertanya pada Bi Endang soal Mahardika. Sang suami sedang sibuk di ruangannya. Eka pun tidak ingin mengganggu. Terlebih lagi, dia dan Mahardika tidak seakrab itu, meskipun sudah sah menjadi suami istri. Eka menuruni anak-anak tangga. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma yang sangat harum dan menggugah selera makannya. Eka membayangkan saat menyantap makanan ini dengan nasi hangat, tempe goreng dan lalapan. Cacing-cacing dalam perutnya pun langsung berdemo. Minta diberi makan secepatnya. "Aromanya enak banget. Ini pasti, Bi Endang yang masak," tebak Eka sambil mempercepat langkahnya karena penasaran, siapa yang sedang memasak.Tepat di ujung anak tangga, Eka pun melihat Bi Endang yang sedang berjalan dari arah luar sambil menenteng tas belanjaan di tangan kiri dan kanan. "Bi Endang," pa
"Om, besok aku mau ke rumah ayah," kata Eka sambil mengelap bibirnya dengan tipis, setelah menyelesaikan makan malamnya. "Iya, Dek, tapi maaf saya tidak bisa anter kamu. Nanti, kamu diantar supir aja ya," balas Dika sembari meraih buah apel yang ada di sana. "Soalnya saya harus menghadiri rapat besok," sambungnya dan mengupas kulit apel itu. "Enggak mau! Om harus anter aku pokoknya. Titik, enggak pake koma!" tegas Eka dengan tatapan mengarah tajam pada sang suami."Lagian kenapa si, Om udah kerja aja? Kita kan baru selesai nikah. Ngapain harus sibuk sama pekerjaan? Masih ada waktu nanti-nanti untuk pekerjaan," terusnya mengomel.Dika mengerjapkan matanya pelan dan mengulas senyuman tipis. "Baiklah, Tuan Putri. Saya akan minta Robi untuk mewakilkan saya dalam rapat tersebut. Jadi, saya bisa mengantarkan kamu ke rumah Ayah. Apa kamu puas, Dek?""Terima kasih, suamiku yang ganteng," ucap Eka sambil mengambil buah apel yang sudah dikupas kulitnya itu dari tangan Dika. Tanpa merasa bers
Adzan subuh pun berkumandang. Eka perlahan-lahan membuka matanya, bersamaan dengan suara lembut memanggilnya."Bangun, Dek. Sudah waktunya sholat subuh."Suara lembut itu terus mendorong Eka untuk bangun dari alam mimpi. Lambat laun kesadarannya mulai terkumpul."Heum, iya, Om," gumam Eka sembari mengucek matanya."Ya udah, saya wudhu duluan ya, nanti kamu nyusul," kata sang pemilik suara lembut, yang tidak lain adalah sang suami.Eka mengangguk. Sepasang mata indah itu, masih terbuka sebagian saja. Namun, bayangan ketampanan sang suami sudah terlihat. Meskipun belum sepenuhnya.Lima menit kemudian, Eka pun keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah terlihat sangat segar, setelah membasuhnya dengan air."Om Dika." Eka menghampiri Dika yang duduk di atas sajadahnya."Iya, Dek?" "Maaf, Om. Aku enggak sholat subuh ... Soalnya itu ..." Eka menjeda kalimatnya karena ragu untuk dilanjutkan.Dika mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lembut. "Ya sudah, kamu istirahat aja. Kemarin saya sudah min
Pukul 09:05 WIB."Jangan ada yang ketinggalan, Dek." Dika memperingatkan dan Eka langsung mengangguk yakin."Tidak ada yang kubawa selain hp. Semua barang-barang kan sudah di mobil. Om Dika sendiri yang mengurusnya tadi."Dika membuang napas lembut. Memang benar ia telah memerintahkan supirnya untuk membawa beberapa barang untuk bertemu ayah mertuanya nanti.Setelah menikah, ini kali pertama keduanya pulang ke rumah orang tua. Dika sangat menantikan dan Eka sangat merindukan ayahnya."Assalamualaikum ..."Langkah sepasang pengantin baru itu, terhenti di bibir pintu, saat seorang wanita cantik mengucap salam."Waalaikumsalam," jawab keduanya serentak."Mas Dika." Tanpa merasa malu, wanita itu langsung memeluk Mahardika sangat erat. "Aku sangat merindukanmu, Mas," ucapnya mesra sambil memasang raut wajah memelas.Dilihat dari penampilannya, ia tampak sopan, tapi itu saat mengucap salam saja. Selepas itu, ia seperti wanita penghibur yang tidak memiliki urat malu. Dika mematung beberapa
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak