"Mas berangkat dulu ya, Dek. Ingat, kalau keluar pakai masker, jangan sampai para tetangga ngomong yang gak enak tentang kamu," ucap Irfan sebelum berangkat.
Dia menarik kopernya dan memasukkannya ke bagasi mobil.
"Iya, Mas, aku mengerti," jawab Airin sambil berdiri di samping mobil suaminya yang sudah dipanasi mesinnya dari pagi itu.
"Mas juga, selamat menikmati ya?"
Irfan tersentak mendengar ucapan Airin. Dia seketika menoleh pada Airin dengan gugup.
"Apa maksudmu, Dek?" tanyanya. "Mas kan ke sana untuk kerja?"
Airin tertawa geli dalam hati. Dia menatap pria yang belum lama dinikahinya itu.
"Maksudku selamat menikmati perjalanannya, Mas. Kenapa Mas jadi gugup begitu?" tanya Airin lagi.
"Ooh," Irfan mengusap pelipisnya yang tiba-tiba berkeringat. "Iya, doain Mas sampai dengan selamat, ya?"
"Iya, Mas. Pasti," jawab Airin. "Cepet pulang ya, Mas?"
"Iya, begitu pekerjaan Mas selesai, Mas akan segera pulang," ucap Irfan lagi.
Airin membuang napas. Pekerjaan? Mempersiapkan acara pernikahan, foto pre wedding di Singapura, semua itu dia bilang pekerjaan? Ah, ingin rasanya dia memaki suaminya saat itu juga. Tapi sebisa mungkin dia tahan, karena pembalasan manis akan segera dia dapatkan.
Irfan bergegas memasuki mobilnya, lalu melambaikan tangan seraya menyalakan mesin. Airin masih berdiri di tempatnya, menatap mobil Irfan sampai benar-benar hilang ditelan tikungan jalan.
Airin membuang napas lagi, lalu mengambil gawainya. Belum sempat dia menelpon, gawainya sudah berdering lebih dulu.
"Aku dalam perjalanan menjemputmu," terdengar suara Bella di seberang telepon.
"Baiklah, aku akan bersiap-siap," jawab Airin.
Airin masuk kembali ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Dia menatap ke arah cermin saat membuka pakaiannya. Sebagia tubuhnya masih penuh dengan luka bakar, hingga tampak menyeramkan. Kebakaran hebat waktu itu telah merenggut segalanya darinya.
Keluarga Airin sudah lama mengenal keluarga Irfan, meskipun jarang sekali bertemu. Airin baru bertemu Irfan sekali saat wajahnya belum menjadi seperti itu. Bahkan orang tua mereka memang sudah jauh-jauh hari berencana menjodohkan mereka, sebelum insiden kebakaran itu terjadi.
Karena itu Airin tidak bisa langsung menuduh kalau Nyonya Mia lah yang melakukan rencana pembakaran itu. Untuk apa? Bukankah dari awal mereka memang sudah berencana menjadi besan?
Lamunan Airin buyar ketika mendengar bunyi klakson mobil dari depan rumah. Airin cepat-cepat memakai bajunya, dan bersiap untuk pergi. Dia mengunci semua pintu rumah dan berjalan keluar di mana Bella sudah menunggunya.
Mobil Pajero mewah milik Bella itu langsung meluncur pelan begitu Airin masuk. Airin menatap lurus ke depan dengan pikiran yang masih berkecamuk.
"Suamimu sudah berangkat?" tanya Bella.
Airin tersenyum lalu menoleh pada Bella.
"Tumben kau berbasa basi?" Airin balik bertanya.
Bella tertawa miris, lalu menatap majikan yang sudah dia anggap adik kandungnya sendiri itu.
"Suamimu pergi ke Singapura untuk ...."
"Aku tahu," sahut Airin sambil mengalihkan pandangan ke depan lagi.
Bella sedikit tersentak.
"Kau sudah tahu? Aku mau memberitahumu dari beberapa hari yang lalu, tapi menunggu saat yang tepat."
Bella mengambil gawainya, lalu mengulurkannya pada Airin. Airin terdiam sambil melihat layar gawai Bella, lalu tersenyum miris.
Terlihat Irfan merangkul mesra Amel sambil berjalan masuki gedung bandara.
"Mereka akan melakukan foto pre wedding di Singapura," ucap Bella lagi.
Wanita yang biasanya selalu tegas dan blak-blakan dalam bicara itu menahan sebisa mungkin menahan suaranya. Dia tahu, meskipun dari luar Airin tampak baik-baik saja, hatinya pasti benar-benar terluka.
"Mereka akan melakukan pernikahan di pertengahan bulan depan. Dan kamu tahu di mana itu dilaksanakan?"
Airin menatap Bella dengan mata membulat penuh tanda tanya. Bella tersenyum miring lalu menatap Airin sesaat.
"Di Hotel Merry Land, hotel kita!"ucap Bella dengan emosi yang tertahan.
Mata Airin semakin membulat. Entah dia harus tertawa, atau menangis. Suaminya akan menikah lagi, dan acara pernikahan itu akan di laksanakan di hotel miliknya! Sungguh gila!
Mobil memasuki gedung rumah sakit besar bernuansa putih itu, dan langsung berhenti di area parkir. Bella dan Airin turun dari mobil dan memasuki gedung itu, dan langsung disambut oleh beberapa orang petugas rumah sakit.
"Nona Bella, silahkan masuk. Dokter Ae Shin Ri sudah menunggu," ucap salah satu petugas dan langsung mengiringi mereka masuk ke dalam ruangan dokter spesialis dari Korea itu.
"Selamat datang Nona Bella, Nona Airin," sapa Dokter Ae Shin Ri sambil menjabat tangan mereka berdua. "Silahkan duduk."
"Berapa lama waktu yang diperlukan untuk operasi, Dokter?" tanya Bella begitu mereka duduk.
"Karena tidak perlu mengubah bentuk wajah, operasi bisa dilakukan lebih cepat," jawab Dokter Ae Shin Ri.
"Lalu, untuk pemulihannya?"
"Akan terjadi pembengkakan beberapa hari pasca operasi, tapi akan saya pastikan dalam sebulan Anda sudah bisa beraktifitas normal, dan sudah bisa memakai make up. Dalam tiga sampai enam bulan, wajah Anda sudah akan terlihat sempurna."
Bella mengangguk, lalu menatap Airin.
"Bagaimana? Apa kau sudah siap?" tanyanya kemudian.
Airin tak langsung menjawab. Dia berpikir sebentar, lalu menatap Bella seraya tersenyum.
"Berarti aku sudah bisa menghadiri acara pernikahan suamiku?" tanyanya.
Bella membulatkan mata mendengar pertanyaan Airin.
"Apa kau serius?" tanya Bella.
Airin tertawa melihat ekspresi wajah Bella.
"Aku cuma bercanda," ucapnya kemudian.
Bella tiba-tiba memegang pundak Airin lalu menatapnya dengan serius.
"Kau harus datang. Tunjukkan padanya kalau dia bukan siapa-siapa di acara itu. Aku akan membantumu," ucapnya.
Airin terdiam. Benar juga, mempermalukannya di acara pernikahan, mungkin akan sangat menyenangkan.
"Baiklah, persiapkan diri Anda. Kita akan memulai operasinya sekarang," ucap Dokter Ae Shin Ri seraya berdiri.
Airin mengangguk, lalu mengikuti Dokter Ae-Ri menuju ruang operasi.
Tunggulah, Mas. Aku akan membuat kejutan untukmu di hari pernikahanmu, ucap Airin dalam hati, sebelum dia memasuki ruangan yang serba tertutup itu.
Ara menatap luar jendela rumah sakit, sambil memangku laptopnya. Wajahnya masih dibalut perban. Diliriknya sekali lagi rekaman yang terpampang di layar laptopnya. Terlihat Irfan dan Amel berfoto dengan pakaian pengantin di samping patung singa. Airin membuang napas, lalu menutup laptopnya.Tiba-tiba gawai Airin berdering. Telepon masuk dari Irfan. Airin tersenyum miris, lalu mengangkatnya."Hallo, Dek," terdengar suara Irfan di seberang telepon. "Maaf, Mas baru sempat telepon. Sibuk sekali di sini. Kamu sudah makan?"Sudah, Mas, makan hati, batin Airin."Belum, Mas," jawab Airin."Kok belum sih, Dek? Nanti kamu sakit loh."Airin membuang napas, muak dengan perhatian yang cuma pura-pura semata."Iya, Mas. Sebentar lagi. Mas ada di mana? Kok kayak dengar suara air mancur?""Oh, iya, Mas lagi keluar kantor jalan-jalan sebentar," jawab Irfan terdengar gugup."Ke Taman Merlion, Mas?""I-iya, Mas kan kerja di Distrik Bisnis Center yang ada di dekat sini, Dek," jawab Irfan lagi."Owh, sendir
"Ayo, Mas, kita masuk," Amel menarik tangan Irfan masuk ke dalam toko.Pandangan Irfan masih belum bisa lepas dari Airin."Mas kenapa menatap ke arah wanita itu terus sih?" tanya Amel kesal. "Mas kenal dia?"Irfan tersentak kaget, lalu menatap Amel."Bukan begitu, Dek. Mas sepertinya pernah melihat wanita itu," jawab Irfan gugup."Bilang saja Mas terpesona karena dia cantik," ucap Amel lagi, mulai cemberut."Tidak, Dek, bener. Muka dia tembem begitu, jauh dari kamu lah," ucap Irfan sambil merangkul Amel, meskipun dalam hati dia mengakui kalau wanita itu memang cantik.Mereka berjalan dan berdiri di samping Airin, sehingga membuat jantung Airin berdegup kencang. Bella menyenggol lengan Airin dengan sikunya, sehingga membuatnya tersentak kaget."Bersikap biasa saja. Ingat, wajahmu sudah berubah," bisik Bella padanya.Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan dirinya yang dari tadi merasa. Benar juga, Irfan tidak mungkin mengenalinya. Tak ada alasan baginya untuk merasa gugu
Para tamu undangan yang hadir masih fokus menatap Airin yang berdiri di depan microphone."Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian," ucap Airin seraya tersenyum manis."Apa kalian tidak mengenaliku?" tanya Airin pada Irfan dan Amel.Irfan dan Amel membulatkan mata mereka, lalu saling bertatapan. Mereka masih bingung tentang siapa wanita yang berdiri di hadapan mereka itu. Apa mungkin dia seseorang yang mereka kenal?Sementara itu Bella mengawasi semua itu dari jauh."Ayolah Airin, bongkar semuanya, permalukan mereka. Aku sudah tidak sabar ingin melempar kue pernikahan itu ke muka mereka berdua," gumannya sambil mengepalkan kedua tangan.Tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri tak jauh dari kedua mempelai. Mata Bella membulat dengan jantung yang berdegup kencang. Bukankah pria itu ....Bella berjalan mendekati pria itu, untuk memastikan dia tidak salah lihat. Benar saja, ternyata pria itu benar-benar Handoko, salah satu orang yang masuk dafta
Airin mencoba menenangkan dirinya agar tidak panik. Dia harus tenang agar bisa berpikir. Akhirnya dia mengambil masker di atas meja dan memakainya, lalu membuka pintu."Loh, Mas sudah pulang?" Airin pura-pura terkejut seraya mencium tangan suaminya."Kok kamu pakai masker, Dek? Mau ke mana?" Irfan balik bertanya."Mau pergi belanja sebentar, Mas," ucap Airin beralasan. "Mas pulang kok gak ngasih kabar?"" Iya, Dek. Pekerjaan Mas sudah selesai, ini mau ke kantor untuk membuat laporan," ucap Irfan sambil membawa kopernya masuk.Airin diam. Pasti ada sesuatu sampai Irfan tiba-tiba harus pulang."Katanya mau pergi belanja, Dek? Pergi saja, Mas gak apa-apa. Sebentar lagi Mas mau berangkat lagi ke kantor," ucap Irfan yang membuat Airin semakin curiga."Iya, aku pergi dulu ya, Mas?"Airin pura-pura keluar rumah, tapi dia berbelok ke samping pagar. Dia ingin tahu apa yang Irfan lakukan. Irfan tampak sedang menelpon seseorang setelah memastikan dia pergi.Tak beberapa lama kemudian tampak seb
Airin dari tadi berusaha menghubungi Bella, tapi tak diangkat. Tidak biasanya Bella tak menjawab teleponnya. Ke mana perginya Bella?Dari depan terdengar suara teriakan tukang sayur langganannya. Airin mengambil maskernya, lalu bersiap berbelanja. Tapi tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella."Bella, kamu di mana?" tanya Airin saat dia mengangkat teleponnya. "Kenapa susah sekali dihubungi?""Aku sedang ada di kota B, Rin," jawab Bella dari seberang telepon."Kenapa tiba-tiba kamu pergi ke luar kota, Bell?" tanya Airin lagi."Aku menemukan sesuatu yang mengejutkan, Rin. Aku tidak akan bisa tidur sebelum tahu."Airin membuang napas. Sifat Bella memang seperti itu. Begitu tahu sesuatu, dia akan langsung bertindak cepat tanpa berpikir macam-macam. Karena itulah dia selalu bisa mengandalkan wanita berpenampilan tomboy itu."Aku juga menemukan sesuatu, Bell," ucap Airin lagi."Kita bicarakan saat aku pulang. Ini penting, karena ada hubungannya dengan Amel," ucap Bella lagi.A
"Kamu bercanda kan, Bell? Itu tidak mungkin," ucap Airin, masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Aku serius, Airin. Kalau tidak, mana mungkin aku sampai memastikannya ke luar kota?""Tapi, ini tidak masuk akal, Bell."Bella terdengar membuang napas kesal."Bagaimana kalau Jumat besok kita ikuti dia? Biar kau lihat dengan mata kepalamu sendiri."Airin terdiam. Wanita seperti Amel bisa nekad menikah dengan suami orang, padahal dia sendiri masih bersuami! Ini benar-benar gila!"Baiklah, aku akan mengawasi dia, dan menelponmu begitu dia keluar rumah besok," jawab Airin sebelum menutup telepon.Airin membuang napas. Pikirannya berkecamuk. Kenapa kehidupan rumah tangganya yang dia harapkan bisa bahagia jadi begini rumit? Lamunannya buyar seketika ketika Irfan masuk ke dalam kamar."Bagaimana keadaan wanita itu, Mas?" tanya Airin dengan hati yang masih dongkol."Dia masih shock. Lain kali jangan seperti itu lagi, Dek," jawab Irfan sambil menatap kesal padanya."Kok Mas ja
Bella dan Airin berlari sekencang mungkin untuk menghentikan Rifki. Rifki tampak sangat kaget melihat kedatangan dua wanita asing itu."Kalian siapa?" tanyanya.Bella dan Airin tak menjawab. Keduanya berusaha menarik kursi roda Rifki keluar dari rel kereta, tapi tak berhasil. Benar, saat kereta mendekat besi baja itu akan berubah menjadi Medan elektromagnetik yang bisa menghentikan kendaraan apapun. Mungkin karena itu kursi rodanya terasa begitu berat.Tidak ada waktu lagi, saat kereta mulai mendekat ke arah mereka, tanpa pikir panjang lagi Bella dan Airin menarik tangan Rifki dari kursi rodanya, hingga membuat mereka bertiga jatuh terbetguling di tanah miring di samping rel.BRAAAKKK!Kursi roda Rifki terpental sejauh beberapa meter, dan ringsek tak berbentuk. Kereta melesat cepat melewati mereka bertiga yang masih terbaring di sisi rel sambil menutup muka mereka dari angin kencang dan debu yang dibawa oleh badan kereta.Cukup lama mereka menunggu hingga badan kereta habis melintas.
Airin dan Bella turun dari mobil begitu mereka sampai di rumah sakit. Para petugas ambulans menurunkan Rifki dengan memakai tandu, lalu mendorongnya menuju ruang IGD.Bella dan Airin menunggu di kursi ruang tunggu."Oh, iya, bukannya kemarin kau bilang ingin memberitahu sesuatu padaku?" tanya Bella.Airin mengambil gawainya dari dalam tas, lalu menunjukkan foto berkas yang dia dapat kemarin dari ruang kerja Irfan. Mata Bella membulat ketika melihatnya."Kalau profit perusahaan begitu kecil dan terus menurun, dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu selama ini?" tanya Bella sambil mengerutkan kening."Itu yang mengganggu pikiranku, Bell. Tidak mungkin Amel yang membiayai semua itu, kan?" Airin balik bertanya.Bella diam dan sambil berpikir. Mereka berdua mencoba "Sepertinya aku harus lebih berusaha lagi untuk mencari semua data keuangan mendiang Papamu, Rin," ucap Bella kemudian. "Semua data pribadi mereka lenyap dalam kebakaran waktu itu, dan anehnya tak satupun data yang tersisa d
Airin masih berdiri melihat Amel berdiri di depan pintu rumahnya. Dia menatapnya tajam, penuh kemarahan. Bau bensin menyengat hidung Airin. Airin baru sadar Amel membawa jirigen besar berisi benda bensin."Mau apa kamu, Amel?" tanya Airin dengan mata membulat."Kamu puas kan sekarang? Pernikahanku hancur! Karirku hancur!" ucap Amel histeris."Kamu menyalahkan aku karena itu semua?" tanya Airin lagi."Iya! Ini semua salahmu! Kenapa kau bisa mendapatkan semua yang ingin aku miliki? Aku membencimu! Aku mau kamu mati!"Airin terkejut melihat Amel membuka jirigen yang dibawanya dan mulai mengucurkan isinya. Dia mundur, mencoba menghindar dari cairan itu, namun Amel menyudutkannya di sisi ruangan."Hentikan Amel!" teriaknya panik. "Apa kamu sudah tidak waras?!"Amel tertawa sambil menyalakan korek api."Mati kamu, Airin!""Hentikan!"Api berkobar membakar apa saja yang dia temui. Airin berteriak. Dia terjatuh di sudut ruangan. Tubuhnya bergetar hebat. Bayangan orang tuanya yang tewas dilaha
Irfan berlari dengan cemas sambil membopong tubuh Airin memasuki gedung rumah sakit."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya.Seorang Dokter dan beberapa orang perawat langsung menangani Airin. Mereka membawa Airin masuk, diikuti oleh Irfan."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Irfan begitu Dokter selesai memeriksanya."Dia baik-baik saja, hanya kelelahan saja. Sebentar lagi pasti akan siuman. Untuk sementara biarkan dia istirahat dulu," jawab Dokter.Irfan membuang napas lega. Dokter meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Irfan duduk di samping Airin yang masih belum sadarkan diri.Dia menatap lekat wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Penyesalan mulai menyusupinya lagi. Airin berbesar hati memaafkannya atas apa yang pernah dia lakukan.Jari Airin bergerak, dia perlahan membuka matanya."Kau sudah siuman, Airin?" tanya Irfan dengan mata berbinar.Airin perlahan menatap ke arah Irfan, lalu dia mencoba untuk bangun."Berbaring saja dulu, tubuhmu masih lemah," ucap Irfan lagi."
( Flash back )"Kanker Laring ?" mata Bella membulat mendengar ucapan Dokter tentang penyakit Heru, suaminya."Benar, harus segera dioperasi. Kalau tidak sel kanker bisa menyebar. Apakah Bapak ini merokok, atau minum alkohol?"Bella menatap ke arah Heru. Dan Heru menggeleng cepat."Dia tidak merokok, apalagi minum minuman keras," jawab Bella."Atau mungkin dia terpapar virus dan polusi di tempatnya bekerja," ucap Dokter lagi.Bella terdiam. Suaminya memang bekerja di pabrik besi yang menyebabkan dia terpapar debu logam setiap saat. Dia menatap ke arah suaminya. Tidak ada pilihan lain, Heru harus berhenti bekerja, dan kembali pulang ke kampung halaman mereka."Apa? Bekerja di kota?" tanya Bu Rahma ketika Bella mengutarakan maksudnya."Kita butuh biaya banyak untuk operasi Mas Heru, Buk," ucap Bella. "Biar Bella mencari pekerjaan di sana.""Kita bisa menjual sawah untuk biaya operasi. Sejak dulu cita-cita kamu memang ingin ke sana, kan? Ingin jadi pengusaha sukses, padahal kamu cuma lul
Airin masih berdiri di luar ruang rawat inap Amel, tak tahu apa yang harus dia lakukan."Kenapa tidak masuk?"Airin mengangkat wajahnya. Irfan berdiri di depannya sambil menatapnya. Sesaat kemudian dia salah tingkah."Eh, anu, mungkin aku akan menjenguk Bella lebih dulu," ucap Airin sambil beranjak dari tempatnya."Tunggu aku ikut," ucap Irfan, berjalan mengikuti Airin di belakangnya.Mereka naik ke lantai atasnya, tempat Bella dirawat. Sesampainya di sana, terlihat para perawat berlarian, seperti sedang ada situasi yang darurat. Jantung Airin berdegup kencang ketika tahu mereka menuju kamar Bella."Apa yang terjadi?" tanya Airin pada salah satu Suster dengan cemas."Pasien atas nama Bella, sedang dalam kondisi kritis," jawab Suster itu.Mata Airin membulat karena terkejut. Dia langsung berlari masuk ke kamar Bella, tapi beberapa perawat menahannya."Mohon tunggu di luar, Dokter sedang melakukan tindakan," ucap salah satu dari mereka.Pintu ruangan Bella tertutup rapat. Airin tidak b
"Hendra Kurniawan itu suamiku!" ucap Dila dengan lantang di atas panggung.Semua yang hadir langsung heboh dengan pernyataan Dila. Wajah kedua mempelai merah padam karena tak bisa menahan malu.Airin tak menduga, perbuatan yang dulu hampir dia lakukan pada Amel, kini dilakukan oleh orang lain. Entah kenapa, dia seperti melihat dirinya di atas panggung itu. Tapi kenapa sekarang dia justru merasa kasihan pada Amel?Hendra berdiri, lalu menarik tangan Dila dari microphone."Apa yang kamu lakukan? Berani kamu mempermalukanku!" ucap Hendra."Lihat itu, Mas! Lihat!" Dila menunjuk layar lebar yang terpampang foto Amel di sana. "Kamu jatuh cinta pada perempuan ini karena lebih cantik dariku, kan? Nyatanya kecantikan dia palsu! Lihat itu!"Muka Hendra semakin memerah. Amel tak sanggup lagi menahan malu. Akhirnya dia berdiri dengan gaun mewahnya, beranjak meninggalkan pelaminan."Mau kemana kamu wanita jalang?" terima Dila sambil menghalangi Amel turun dari panggung.Dengan satu gerakan Dila me
Mobil Airin memasuki kawasan perkampungan yang masih alami dan rindang. Setelah melewati hutan pinus yang berjejer, terlihat hamparan sawah yang luas.Sesaat mereka berdua terpesona melihat pemandangan yang ada di bawah bukit itu. Airin membuka jendela mobil, membiarkan udara sejuk masuk ke dalam mobilnya itu.Airin mengeluarkan sedikit kepalanya keluar jendela mobil, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Senyumnya mengembang, terlihat begitu menikmati suasana perkampungan itu.Rifki melirik ke arah Airin. Wajah Airin terlihat begitu berseri-seri. Dia ikut tersenyum melihatnya seperti itu. Dalam hati dia berharap Airin bisa terus ceria seperti ini.Rifki menghentikan mobilnya begitu melihat mobil Bella terparkir tak jauh dari situ. Mereka berdua turun, lalu menatap sekeliling untuk mencari Bella."Pergi kamu!!"Airin dan Rifki terkejut. Mereka segera berlari ke arah salah sudut pematang sawah yang ada di sana. Terlihat seorang wanita tua mengusir Bella. Di belakang wanita itu, seorang pr
Rifki memacu mobilnya langsung menuju ke arah rumah sakit. Dalam beberapa menit mereka akhirnya sampai ke tempat yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan Airin berusaha menelpon Bella, tapi gawainya tidak aktif."Bagaimana mungkin dia menghilang? Kenapa dia bisa lepas dari pengawasan kalian?" Airin langsung memberondor Suster dengan berbagai pertanyaan."Dilihat dari rekaman CCTV, dia pergi diam-diam atas kemauannya sendiri, Non," jawab suster itu dengan ketakutan.Airin membuang napas kesal. Tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella. Airin cepat-cepat mengangkatnya."Bella, kamu ke mana saja?" tanya Airin cemas."Jangan marahi para Suster," ucap Bella dari seberang telepon, seolah tahu kalau Airin pasti akan memarahi mereka. "Aku hanya keluar untuk jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah sakit terus.""Kamu di mana? Biar aku menemanimu," tanya Airin lagi."Aku tidak apa-apa, aku ingin sendirian dulu sekarang," jawab Bella lagi.Airin membuang napas, berusaha mengerti keingina
Tak Berhati"Mama! Mama!" Irfan menggoncang tubuh Mamanya yang tak sadarkan diri."Bagaimana ini, Mas?" tanya Amel pada Irfan. "Rumah ini punya Mas, kan? Jangan biarkan mereka mengambilnya!""Mamaku pingsan! Kamu malah memikirkan masalah rumah!" bentak Irfan pada istrinya itu."Aku gak peduli, Mas! Pokoknya aku gak mau rumah ini sampai diambil oleh mereka!"Irfan masih menggoncang tubuh Mamanya itu. Airin membuang napas, lalu menatap Rifki."Rifki, tolong panggilkan ambulans," pintanya.Rifki mengangguk, lalu mengambil gawainya dan memanggil ambulan seperti yang Airin perintahkan."Aku beri waktu untuk kalian sampai satu minggu, bayar hutang kalian atau rumah ini kami sita," ucap Airin sambil berdiri dan beranjak pergi."Kamu gak punya hati, Airin!" ucap Amel.Airin menghentikan langkah, lalu menoleh pada Amel."Tidak punya hati?" tanyanya sambil tersenyum miring."Pak Notaris, tolong berikan surat itu padanya." lanjutnya.Petugas Notaris itu memberikan sebuah map kepada Amel. Amel se
Hutang yang harus dibayarAmel berjalan dengan penuh percaya diri memasuki toko barang-barang branded langganannya yang berada di dalam Mall terbesar di kota itu."Selamat datang, Nona Amel," sambut para pegawai toko begitu Amel masuk, beserta manager mereka."Keluarkan semua pakaian model terbaru kalian," ucap Amel pada mereka.Semua pegawai langsung menutup toko, kebiasaan yang selalu mereka lakukan ketika Amel mengunjungi toko mereka. Beberapa pegawai langsung menunjukkan berbagai macam model pakaian terbaru mereka.Amel berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba semua pakaian-pakaian itu, hingga tampak tumpukan semua pakaian yang sudah dicobanya. Bagi pegawai toko, semua itu bukan masalah, karena biasanya Amel akan memborong semuanya.Setelah puas mencoba pakaian, kini giliran dia berburu tas dan sepatu. Semua yang ada di sana dia coba satu-persatu. Setelah itu dia memilih mana saja yang akan dia beli.Para pegawai toko dengan sigap mengemas semua barang-barang yang Am