Ara menatap luar jendela rumah sakit, sambil memangku laptopnya. Wajahnya masih dibalut perban. Diliriknya sekali lagi rekaman yang terpampang di layar laptopnya. Terlihat Irfan dan Amel berfoto dengan pakaian pengantin di samping patung singa. Airin membuang napas, lalu menutup laptopnya.
Tiba-tiba gawai Airin berdering. Telepon masuk dari Irfan. Airin tersenyum miris, lalu mengangkatnya.
"Hallo, Dek," terdengar suara Irfan di seberang telepon. "Maaf, Mas baru sempat telepon. Sibuk sekali di sini. Kamu sudah makan?"
Sudah, Mas, makan hati, batin Airin.
"Belum, Mas," jawab Airin.
"Kok belum sih, Dek? Nanti kamu sakit loh."
Airin membuang napas, muak dengan perhatian yang cuma pura-pura semata.
"Iya, Mas. Sebentar lagi. Mas ada di mana? Kok kayak dengar suara air mancur?"
"Oh, iya, Mas lagi keluar kantor jalan-jalan sebentar," jawab Irfan terdengar gugup.
"Ke Taman Merlion, Mas?"
"I-iya, Mas kan kerja di Distrik Bisnis Center yang ada di dekat sini, Dek," jawab Irfan lagi.
"Owh, sendirian, Mas?"
"Iya, sendirian. Mas kan gak kenal siapa-siapa selain rekan bisnis Mas di sini."
"Mas kapan pulang?"
"Maaf ya, Dek. Kayaknya Mas harus lebih lama lagi di sini. Pekerjaan Mas belum selesai."
Airin diam tak menjawab. Ke Singapura untuk liburan sekaligus melakukan foto pre wedding dengan gundiknya dia bilang pekerjaan? Bagus sekali.
"Ya sudah, cepet makan, Dek. Mas nggak mau kamu sakit. Mas kan masih lama di sini."
"Iya, Mas," ucap Airin singkat seraya menutup telepon.
Irfan menutup telponnya dengan bimbang.
"Ada apa, Mas?" tanya Amel melihat wajah Irfan tampak kebingungan.
"Apa Airin curiga padaku, ya?" tanyanya.
"Memangnya apa yang istrimu katakan, Mas?"
"Dia langsung bisa menebak kalau Mas ada di taman Merlion."
Amel tertawa mendengar ucapan Irfan.
"Gak mungkin lah, Mas. Namanya juga kita di Singapura, pasti yang terpikirkan semua orang itu patung singa," ucapnya.
"Benar juga, ya?" Irfan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ayo kita lanjutkan fotonya," ajak Amel sambil menarik tangan Irfan kembali ke samping patung singa.
.
.
.
Airin membuang napas lagi. Sudah hampir sebulan, kebohongan demi kebohongan selalu Irfan ucapkan. Kali ini Airin sudah benar-benar muak.
Airin sedikit tersentak ketika pintu terbuka. Bella dan Dokter Ae Shin Ri masuk ke dalam ruangan itu.
"Sudah saatnya perbannya dilepas," ucap Dokter Ae Shin Ri seraya tersenyum.
Airin mengangguk, lalu menggeser duduknya. Dokter Ae Shin Ri mengambil gunting dan perlahan membuka perban di wajah Airin. Sehelai demi sehelai perban telah dilepas.
Setelah semuanya selesai, Airin membuka matanya. Dokter Ae Shin Ri tampak tersenyum, begitupun Bella. Airin mengambil cermin yang sudah Dokter itu persiapkan, lalu melihat wajahnya.
Mata Airin membulat ketika melihat wajah barunya, tepatnya wajahnya yang dulu telah kembali dengan sedikit perubahan. Luka bakar yang buruk itu kini sudah tidak ada lagi.
"Masih belum sempurna, tapi Anda sudah bisa menggunakan make up untuk menutupinya," ucap Dokter Ae Shin Ri. "Akan saya rekomendasikan make up yang aman untuk Anda."
"Terima kasih, Dokter," ucap Airin seraya tersenyum.
Dokter Ae Shin Ri mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu. Bella duduk di samping Airin.
"Kau sudah melihat foto yang kukirim?" tanyanya.
Airin mengangguk pelan.
"Mereka memesan tiket perjalanan pulang untuk besok," ucap Bella lagi.
Airin diam. Sudah dia duga, suaminya berbohong tentang kapan dia pulang. Tentu saja, acara pernikahan mereka akan berlangsung Minggu depan.
"Katakan, apa yang harus kulakukan di acara itu?" tanya Bella pada Airin. "Kue rasa garam? Minuman rasa pedas?"
Airin menahan tawa. Dia tidak boleh banyak menggerakkan wajahnya untuk saat ini.
"Kau mau menghancurkan pernikahan mereka atau hotel kita?" tanyanya kemudian.
Bella tertawa.
"Kalau boleh biar kulempar kue pernikahan itu ke wajah mereka satu persatu," ucapnya.
Airin lagi-lagi membuang napas.
"Ada cara yang jauh lebih terhormat dari hal itu," ucapnya kemudian.
"Baguslah," ucap Bella lega. "Aku senang kau baik-baik saja."
Airin diam sebentar, lalu menatap Bella.
"Kau sudah mendapatkan data yang kuminta?" tanyanya.
"Baru aku mau memberitahumu," jawab Bella.
"Ada catatan hutang sebesar dua milyar atas nama Nyonya Mia."
Airin membulatkan mata. Jadi benar Mama mertuanya memiliki hutang pada mendiang orang tuanya? Mungkinkah memang benar Nyonya Mia yang menyabotase kebakaran itu? Ah, Airin tak bisa berpikiran lebih jauh.
"Kamu tenang saja, aku akan terus melakukan penyelidikan tentang kebakaran itu," ucap Bella, seperti bisa mengetahui apa yang Airin pikirkan.
"Ada satu lagi pesaing bisnis Papamu yang punya motif untuk itu," ucap Bella lagi sambil menunjukkan sebuah foto di gawainya pada Airin.
Airin mengerutkan kening. Tampak laki-laki berwajah oriental berdiri di depan mobil mewahnya.
"Namanya Handoko, dulu dia adalah sahabat sekaligus rekan bisnis Papamu."
Airin mengepalkan tangannya. Siapapun mereka, kalau berhubungan dengan kematian orang tuanya, dia tidak akan melepaskannya.
"Sudahlah, hari ini kau sudah boleh pulang, kan? Besok aku akan mengantarmu berbelanja make up," ucap Bella mencairkan suasana yang menegang.
.
.
.
"Kita shopping dulu ya, Mas? Peralatan make up milikku sudah mau habis," ucap Amel saat dia dan Irfan keluar dari gedung bandara.
"Kenapa tidak belanja waktu di Singapura saja sih, Sayang?" protes Irfan.
"Mana sempat? Kita kan sibuk keliling Singapura dan mengurus foto pre wedding di sana?"
"Ya sudah, Mas antar kamu sebentar."
Mereka menaiki mobil mereka dan meluncur ke arah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Mobil berhenti di area parkir dan mereka langsung turun.
Amel berjalan di samping Irfan sambil bergelayut manja padanya. Sesampainya di pusat kosmetik, tiba-tiba Irfan menghentikan langkah.
Matanya langsung tertuju pada sosok wanita cantik yang sedang memilih kosmetik, sedangkan seorang wanita berambut cepak menemaninya.
"Ada apa, Mas?" tanya Amel heran melihat Irfan diam mematung.
Irfan tak menjawab. Dia masih memperhatikan wanita itu. Sepertinya dia pernah melihatnya. Tapi di mana?
Sementara itu, Airin yang sibuk memilih peralatan make up, tak sengaja menoleh ke arah pintu masuk. Matanya membulat seketika melihat Irfan berdiri di samping pintu kaca itu bersama Amel. Kapan mereka pulang? Kenapa mereka bisa bertemu di sini?
"Ayo, Mas, kita masuk," Amel menarik tangan Irfan masuk ke dalam toko.Pandangan Irfan masih belum bisa lepas dari Airin."Mas kenapa menatap ke arah wanita itu terus sih?" tanya Amel kesal. "Mas kenal dia?"Irfan tersentak kaget, lalu menatap Amel."Bukan begitu, Dek. Mas sepertinya pernah melihat wanita itu," jawab Irfan gugup."Bilang saja Mas terpesona karena dia cantik," ucap Amel lagi, mulai cemberut."Tidak, Dek, bener. Muka dia tembem begitu, jauh dari kamu lah," ucap Irfan sambil merangkul Amel, meskipun dalam hati dia mengakui kalau wanita itu memang cantik.Mereka berjalan dan berdiri di samping Airin, sehingga membuat jantung Airin berdegup kencang. Bella menyenggol lengan Airin dengan sikunya, sehingga membuatnya tersentak kaget."Bersikap biasa saja. Ingat, wajahmu sudah berubah," bisik Bella padanya.Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan dirinya yang dari tadi merasa. Benar juga, Irfan tidak mungkin mengenalinya. Tak ada alasan baginya untuk merasa gugu
Para tamu undangan yang hadir masih fokus menatap Airin yang berdiri di depan microphone."Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian," ucap Airin seraya tersenyum manis."Apa kalian tidak mengenaliku?" tanya Airin pada Irfan dan Amel.Irfan dan Amel membulatkan mata mereka, lalu saling bertatapan. Mereka masih bingung tentang siapa wanita yang berdiri di hadapan mereka itu. Apa mungkin dia seseorang yang mereka kenal?Sementara itu Bella mengawasi semua itu dari jauh."Ayolah Airin, bongkar semuanya, permalukan mereka. Aku sudah tidak sabar ingin melempar kue pernikahan itu ke muka mereka berdua," gumannya sambil mengepalkan kedua tangan.Tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri tak jauh dari kedua mempelai. Mata Bella membulat dengan jantung yang berdegup kencang. Bukankah pria itu ....Bella berjalan mendekati pria itu, untuk memastikan dia tidak salah lihat. Benar saja, ternyata pria itu benar-benar Handoko, salah satu orang yang masuk dafta
Airin mencoba menenangkan dirinya agar tidak panik. Dia harus tenang agar bisa berpikir. Akhirnya dia mengambil masker di atas meja dan memakainya, lalu membuka pintu."Loh, Mas sudah pulang?" Airin pura-pura terkejut seraya mencium tangan suaminya."Kok kamu pakai masker, Dek? Mau ke mana?" Irfan balik bertanya."Mau pergi belanja sebentar, Mas," ucap Airin beralasan. "Mas pulang kok gak ngasih kabar?"" Iya, Dek. Pekerjaan Mas sudah selesai, ini mau ke kantor untuk membuat laporan," ucap Irfan sambil membawa kopernya masuk.Airin diam. Pasti ada sesuatu sampai Irfan tiba-tiba harus pulang."Katanya mau pergi belanja, Dek? Pergi saja, Mas gak apa-apa. Sebentar lagi Mas mau berangkat lagi ke kantor," ucap Irfan yang membuat Airin semakin curiga."Iya, aku pergi dulu ya, Mas?"Airin pura-pura keluar rumah, tapi dia berbelok ke samping pagar. Dia ingin tahu apa yang Irfan lakukan. Irfan tampak sedang menelpon seseorang setelah memastikan dia pergi.Tak beberapa lama kemudian tampak seb
Airin dari tadi berusaha menghubungi Bella, tapi tak diangkat. Tidak biasanya Bella tak menjawab teleponnya. Ke mana perginya Bella?Dari depan terdengar suara teriakan tukang sayur langganannya. Airin mengambil maskernya, lalu bersiap berbelanja. Tapi tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella."Bella, kamu di mana?" tanya Airin saat dia mengangkat teleponnya. "Kenapa susah sekali dihubungi?""Aku sedang ada di kota B, Rin," jawab Bella dari seberang telepon."Kenapa tiba-tiba kamu pergi ke luar kota, Bell?" tanya Airin lagi."Aku menemukan sesuatu yang mengejutkan, Rin. Aku tidak akan bisa tidur sebelum tahu."Airin membuang napas. Sifat Bella memang seperti itu. Begitu tahu sesuatu, dia akan langsung bertindak cepat tanpa berpikir macam-macam. Karena itulah dia selalu bisa mengandalkan wanita berpenampilan tomboy itu."Aku juga menemukan sesuatu, Bell," ucap Airin lagi."Kita bicarakan saat aku pulang. Ini penting, karena ada hubungannya dengan Amel," ucap Bella lagi.A
"Kamu bercanda kan, Bell? Itu tidak mungkin," ucap Airin, masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Aku serius, Airin. Kalau tidak, mana mungkin aku sampai memastikannya ke luar kota?""Tapi, ini tidak masuk akal, Bell."Bella terdengar membuang napas kesal."Bagaimana kalau Jumat besok kita ikuti dia? Biar kau lihat dengan mata kepalamu sendiri."Airin terdiam. Wanita seperti Amel bisa nekad menikah dengan suami orang, padahal dia sendiri masih bersuami! Ini benar-benar gila!"Baiklah, aku akan mengawasi dia, dan menelponmu begitu dia keluar rumah besok," jawab Airin sebelum menutup telepon.Airin membuang napas. Pikirannya berkecamuk. Kenapa kehidupan rumah tangganya yang dia harapkan bisa bahagia jadi begini rumit? Lamunannya buyar seketika ketika Irfan masuk ke dalam kamar."Bagaimana keadaan wanita itu, Mas?" tanya Airin dengan hati yang masih dongkol."Dia masih shock. Lain kali jangan seperti itu lagi, Dek," jawab Irfan sambil menatap kesal padanya."Kok Mas ja
Bella dan Airin berlari sekencang mungkin untuk menghentikan Rifki. Rifki tampak sangat kaget melihat kedatangan dua wanita asing itu."Kalian siapa?" tanyanya.Bella dan Airin tak menjawab. Keduanya berusaha menarik kursi roda Rifki keluar dari rel kereta, tapi tak berhasil. Benar, saat kereta mendekat besi baja itu akan berubah menjadi Medan elektromagnetik yang bisa menghentikan kendaraan apapun. Mungkin karena itu kursi rodanya terasa begitu berat.Tidak ada waktu lagi, saat kereta mulai mendekat ke arah mereka, tanpa pikir panjang lagi Bella dan Airin menarik tangan Rifki dari kursi rodanya, hingga membuat mereka bertiga jatuh terbetguling di tanah miring di samping rel.BRAAAKKK!Kursi roda Rifki terpental sejauh beberapa meter, dan ringsek tak berbentuk. Kereta melesat cepat melewati mereka bertiga yang masih terbaring di sisi rel sambil menutup muka mereka dari angin kencang dan debu yang dibawa oleh badan kereta.Cukup lama mereka menunggu hingga badan kereta habis melintas.
Airin dan Bella turun dari mobil begitu mereka sampai di rumah sakit. Para petugas ambulans menurunkan Rifki dengan memakai tandu, lalu mendorongnya menuju ruang IGD.Bella dan Airin menunggu di kursi ruang tunggu."Oh, iya, bukannya kemarin kau bilang ingin memberitahu sesuatu padaku?" tanya Bella.Airin mengambil gawainya dari dalam tas, lalu menunjukkan foto berkas yang dia dapat kemarin dari ruang kerja Irfan. Mata Bella membulat ketika melihatnya."Kalau profit perusahaan begitu kecil dan terus menurun, dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu selama ini?" tanya Bella sambil mengerutkan kening."Itu yang mengganggu pikiranku, Bell. Tidak mungkin Amel yang membiayai semua itu, kan?" Airin balik bertanya.Bella diam dan sambil berpikir. Mereka berdua mencoba "Sepertinya aku harus lebih berusaha lagi untuk mencari semua data keuangan mendiang Papamu, Rin," ucap Bella kemudian. "Semua data pribadi mereka lenyap dalam kebakaran waktu itu, dan anehnya tak satupun data yang tersisa d
"Apa kau pernah menandatangani sesuatu yang Irfan berikan padamu?" Bella mengulang pertanyaannya.Airin masih diam, mencoba mengingat-ingat. Akhirnya dia hanya mengingat satu hal saja."Satu-satunya yang pernah kutanda tangani adalah surat persyaratan pernikahan kami, Bell," jawab Airin kemudian."Licik! Benar-benar licik!" Bella terdengar mengumpat dari seberang telepon."Bell?""Suamimu itu tidak bisa dimaafkan, Rin! Dia itu licik! Mamanya juga! Rupanya semua sudah mereka rencanakan dari jauh-jauh hari sebelumnya."Airin menelan ludah, bersiap dengan apa yang akan Bella katakan."Dengar, Airin. Uang asuransi jiwa kedua orang tuamu, juga rumah beserta isinya yang terbakar itu, sudah dicairkan atas nama Irfan Setiawan, dan atas surat persetujuan darimu."Tubuh Airin seketika bergetar hebat. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kapan Irfan mendapatkan tanda tangannya?"Mulai sekarang kamu harus bertindak! Kamu harus mengawasi langsung perusahaan Papamu yang saat ini dipegang oleh Irfan.
Airin masih berdiri melihat Amel berdiri di depan pintu rumahnya. Dia menatapnya tajam, penuh kemarahan. Bau bensin menyengat hidung Airin. Airin baru sadar Amel membawa jirigen besar berisi benda bensin."Mau apa kamu, Amel?" tanya Airin dengan mata membulat."Kamu puas kan sekarang? Pernikahanku hancur! Karirku hancur!" ucap Amel histeris."Kamu menyalahkan aku karena itu semua?" tanya Airin lagi."Iya! Ini semua salahmu! Kenapa kau bisa mendapatkan semua yang ingin aku miliki? Aku membencimu! Aku mau kamu mati!"Airin terkejut melihat Amel membuka jirigen yang dibawanya dan mulai mengucurkan isinya. Dia mundur, mencoba menghindar dari cairan itu, namun Amel menyudutkannya di sisi ruangan."Hentikan Amel!" teriaknya panik. "Apa kamu sudah tidak waras?!"Amel tertawa sambil menyalakan korek api."Mati kamu, Airin!""Hentikan!"Api berkobar membakar apa saja yang dia temui. Airin berteriak. Dia terjatuh di sudut ruangan. Tubuhnya bergetar hebat. Bayangan orang tuanya yang tewas dilaha
Irfan berlari dengan cemas sambil membopong tubuh Airin memasuki gedung rumah sakit."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya.Seorang Dokter dan beberapa orang perawat langsung menangani Airin. Mereka membawa Airin masuk, diikuti oleh Irfan."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Irfan begitu Dokter selesai memeriksanya."Dia baik-baik saja, hanya kelelahan saja. Sebentar lagi pasti akan siuman. Untuk sementara biarkan dia istirahat dulu," jawab Dokter.Irfan membuang napas lega. Dokter meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Irfan duduk di samping Airin yang masih belum sadarkan diri.Dia menatap lekat wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Penyesalan mulai menyusupinya lagi. Airin berbesar hati memaafkannya atas apa yang pernah dia lakukan.Jari Airin bergerak, dia perlahan membuka matanya."Kau sudah siuman, Airin?" tanya Irfan dengan mata berbinar.Airin perlahan menatap ke arah Irfan, lalu dia mencoba untuk bangun."Berbaring saja dulu, tubuhmu masih lemah," ucap Irfan lagi."
( Flash back )"Kanker Laring ?" mata Bella membulat mendengar ucapan Dokter tentang penyakit Heru, suaminya."Benar, harus segera dioperasi. Kalau tidak sel kanker bisa menyebar. Apakah Bapak ini merokok, atau minum alkohol?"Bella menatap ke arah Heru. Dan Heru menggeleng cepat."Dia tidak merokok, apalagi minum minuman keras," jawab Bella."Atau mungkin dia terpapar virus dan polusi di tempatnya bekerja," ucap Dokter lagi.Bella terdiam. Suaminya memang bekerja di pabrik besi yang menyebabkan dia terpapar debu logam setiap saat. Dia menatap ke arah suaminya. Tidak ada pilihan lain, Heru harus berhenti bekerja, dan kembali pulang ke kampung halaman mereka."Apa? Bekerja di kota?" tanya Bu Rahma ketika Bella mengutarakan maksudnya."Kita butuh biaya banyak untuk operasi Mas Heru, Buk," ucap Bella. "Biar Bella mencari pekerjaan di sana.""Kita bisa menjual sawah untuk biaya operasi. Sejak dulu cita-cita kamu memang ingin ke sana, kan? Ingin jadi pengusaha sukses, padahal kamu cuma lul
Airin masih berdiri di luar ruang rawat inap Amel, tak tahu apa yang harus dia lakukan."Kenapa tidak masuk?"Airin mengangkat wajahnya. Irfan berdiri di depannya sambil menatapnya. Sesaat kemudian dia salah tingkah."Eh, anu, mungkin aku akan menjenguk Bella lebih dulu," ucap Airin sambil beranjak dari tempatnya."Tunggu aku ikut," ucap Irfan, berjalan mengikuti Airin di belakangnya.Mereka naik ke lantai atasnya, tempat Bella dirawat. Sesampainya di sana, terlihat para perawat berlarian, seperti sedang ada situasi yang darurat. Jantung Airin berdegup kencang ketika tahu mereka menuju kamar Bella."Apa yang terjadi?" tanya Airin pada salah satu Suster dengan cemas."Pasien atas nama Bella, sedang dalam kondisi kritis," jawab Suster itu.Mata Airin membulat karena terkejut. Dia langsung berlari masuk ke kamar Bella, tapi beberapa perawat menahannya."Mohon tunggu di luar, Dokter sedang melakukan tindakan," ucap salah satu dari mereka.Pintu ruangan Bella tertutup rapat. Airin tidak b
"Hendra Kurniawan itu suamiku!" ucap Dila dengan lantang di atas panggung.Semua yang hadir langsung heboh dengan pernyataan Dila. Wajah kedua mempelai merah padam karena tak bisa menahan malu.Airin tak menduga, perbuatan yang dulu hampir dia lakukan pada Amel, kini dilakukan oleh orang lain. Entah kenapa, dia seperti melihat dirinya di atas panggung itu. Tapi kenapa sekarang dia justru merasa kasihan pada Amel?Hendra berdiri, lalu menarik tangan Dila dari microphone."Apa yang kamu lakukan? Berani kamu mempermalukanku!" ucap Hendra."Lihat itu, Mas! Lihat!" Dila menunjuk layar lebar yang terpampang foto Amel di sana. "Kamu jatuh cinta pada perempuan ini karena lebih cantik dariku, kan? Nyatanya kecantikan dia palsu! Lihat itu!"Muka Hendra semakin memerah. Amel tak sanggup lagi menahan malu. Akhirnya dia berdiri dengan gaun mewahnya, beranjak meninggalkan pelaminan."Mau kemana kamu wanita jalang?" terima Dila sambil menghalangi Amel turun dari panggung.Dengan satu gerakan Dila me
Mobil Airin memasuki kawasan perkampungan yang masih alami dan rindang. Setelah melewati hutan pinus yang berjejer, terlihat hamparan sawah yang luas.Sesaat mereka berdua terpesona melihat pemandangan yang ada di bawah bukit itu. Airin membuka jendela mobil, membiarkan udara sejuk masuk ke dalam mobilnya itu.Airin mengeluarkan sedikit kepalanya keluar jendela mobil, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Senyumnya mengembang, terlihat begitu menikmati suasana perkampungan itu.Rifki melirik ke arah Airin. Wajah Airin terlihat begitu berseri-seri. Dia ikut tersenyum melihatnya seperti itu. Dalam hati dia berharap Airin bisa terus ceria seperti ini.Rifki menghentikan mobilnya begitu melihat mobil Bella terparkir tak jauh dari situ. Mereka berdua turun, lalu menatap sekeliling untuk mencari Bella."Pergi kamu!!"Airin dan Rifki terkejut. Mereka segera berlari ke arah salah sudut pematang sawah yang ada di sana. Terlihat seorang wanita tua mengusir Bella. Di belakang wanita itu, seorang pr
Rifki memacu mobilnya langsung menuju ke arah rumah sakit. Dalam beberapa menit mereka akhirnya sampai ke tempat yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan Airin berusaha menelpon Bella, tapi gawainya tidak aktif."Bagaimana mungkin dia menghilang? Kenapa dia bisa lepas dari pengawasan kalian?" Airin langsung memberondor Suster dengan berbagai pertanyaan."Dilihat dari rekaman CCTV, dia pergi diam-diam atas kemauannya sendiri, Non," jawab suster itu dengan ketakutan.Airin membuang napas kesal. Tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella. Airin cepat-cepat mengangkatnya."Bella, kamu ke mana saja?" tanya Airin cemas."Jangan marahi para Suster," ucap Bella dari seberang telepon, seolah tahu kalau Airin pasti akan memarahi mereka. "Aku hanya keluar untuk jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah sakit terus.""Kamu di mana? Biar aku menemanimu," tanya Airin lagi."Aku tidak apa-apa, aku ingin sendirian dulu sekarang," jawab Bella lagi.Airin membuang napas, berusaha mengerti keingina
Tak Berhati"Mama! Mama!" Irfan menggoncang tubuh Mamanya yang tak sadarkan diri."Bagaimana ini, Mas?" tanya Amel pada Irfan. "Rumah ini punya Mas, kan? Jangan biarkan mereka mengambilnya!""Mamaku pingsan! Kamu malah memikirkan masalah rumah!" bentak Irfan pada istrinya itu."Aku gak peduli, Mas! Pokoknya aku gak mau rumah ini sampai diambil oleh mereka!"Irfan masih menggoncang tubuh Mamanya itu. Airin membuang napas, lalu menatap Rifki."Rifki, tolong panggilkan ambulans," pintanya.Rifki mengangguk, lalu mengambil gawainya dan memanggil ambulan seperti yang Airin perintahkan."Aku beri waktu untuk kalian sampai satu minggu, bayar hutang kalian atau rumah ini kami sita," ucap Airin sambil berdiri dan beranjak pergi."Kamu gak punya hati, Airin!" ucap Amel.Airin menghentikan langkah, lalu menoleh pada Amel."Tidak punya hati?" tanyanya sambil tersenyum miring."Pak Notaris, tolong berikan surat itu padanya." lanjutnya.Petugas Notaris itu memberikan sebuah map kepada Amel. Amel se
Hutang yang harus dibayarAmel berjalan dengan penuh percaya diri memasuki toko barang-barang branded langganannya yang berada di dalam Mall terbesar di kota itu."Selamat datang, Nona Amel," sambut para pegawai toko begitu Amel masuk, beserta manager mereka."Keluarkan semua pakaian model terbaru kalian," ucap Amel pada mereka.Semua pegawai langsung menutup toko, kebiasaan yang selalu mereka lakukan ketika Amel mengunjungi toko mereka. Beberapa pegawai langsung menunjukkan berbagai macam model pakaian terbaru mereka.Amel berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba semua pakaian-pakaian itu, hingga tampak tumpukan semua pakaian yang sudah dicobanya. Bagi pegawai toko, semua itu bukan masalah, karena biasanya Amel akan memborong semuanya.Setelah puas mencoba pakaian, kini giliran dia berburu tas dan sepatu. Semua yang ada di sana dia coba satu-persatu. Setelah itu dia memilih mana saja yang akan dia beli.Para pegawai toko dengan sigap mengemas semua barang-barang yang Am