"Kamu bercanda kan, Bell? Itu tidak mungkin," ucap Airin, masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Aku serius, Airin. Kalau tidak, mana mungkin aku sampai memastikannya ke luar kota?""Tapi, ini tidak masuk akal, Bell."Bella terdengar membuang napas kesal."Bagaimana kalau Jumat besok kita ikuti dia? Biar kau lihat dengan mata kepalamu sendiri."Airin terdiam. Wanita seperti Amel bisa nekad menikah dengan suami orang, padahal dia sendiri masih bersuami! Ini benar-benar gila!"Baiklah, aku akan mengawasi dia, dan menelponmu begitu dia keluar rumah besok," jawab Airin sebelum menutup telepon.Airin membuang napas. Pikirannya berkecamuk. Kenapa kehidupan rumah tangganya yang dia harapkan bisa bahagia jadi begini rumit? Lamunannya buyar seketika ketika Irfan masuk ke dalam kamar."Bagaimana keadaan wanita itu, Mas?" tanya Airin dengan hati yang masih dongkol."Dia masih shock. Lain kali jangan seperti itu lagi, Dek," jawab Irfan sambil menatap kesal padanya."Kok Mas ja
Bella dan Airin berlari sekencang mungkin untuk menghentikan Rifki. Rifki tampak sangat kaget melihat kedatangan dua wanita asing itu."Kalian siapa?" tanyanya.Bella dan Airin tak menjawab. Keduanya berusaha menarik kursi roda Rifki keluar dari rel kereta, tapi tak berhasil. Benar, saat kereta mendekat besi baja itu akan berubah menjadi Medan elektromagnetik yang bisa menghentikan kendaraan apapun. Mungkin karena itu kursi rodanya terasa begitu berat.Tidak ada waktu lagi, saat kereta mulai mendekat ke arah mereka, tanpa pikir panjang lagi Bella dan Airin menarik tangan Rifki dari kursi rodanya, hingga membuat mereka bertiga jatuh terbetguling di tanah miring di samping rel.BRAAAKKK!Kursi roda Rifki terpental sejauh beberapa meter, dan ringsek tak berbentuk. Kereta melesat cepat melewati mereka bertiga yang masih terbaring di sisi rel sambil menutup muka mereka dari angin kencang dan debu yang dibawa oleh badan kereta.Cukup lama mereka menunggu hingga badan kereta habis melintas.
Airin dan Bella turun dari mobil begitu mereka sampai di rumah sakit. Para petugas ambulans menurunkan Rifki dengan memakai tandu, lalu mendorongnya menuju ruang IGD.Bella dan Airin menunggu di kursi ruang tunggu."Oh, iya, bukannya kemarin kau bilang ingin memberitahu sesuatu padaku?" tanya Bella.Airin mengambil gawainya dari dalam tas, lalu menunjukkan foto berkas yang dia dapat kemarin dari ruang kerja Irfan. Mata Bella membulat ketika melihatnya."Kalau profit perusahaan begitu kecil dan terus menurun, dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu selama ini?" tanya Bella sambil mengerutkan kening."Itu yang mengganggu pikiranku, Bell. Tidak mungkin Amel yang membiayai semua itu, kan?" Airin balik bertanya.Bella diam dan sambil berpikir. Mereka berdua mencoba "Sepertinya aku harus lebih berusaha lagi untuk mencari semua data keuangan mendiang Papamu, Rin," ucap Bella kemudian. "Semua data pribadi mereka lenyap dalam kebakaran waktu itu, dan anehnya tak satupun data yang tersisa d
"Apa kau pernah menandatangani sesuatu yang Irfan berikan padamu?" Bella mengulang pertanyaannya.Airin masih diam, mencoba mengingat-ingat. Akhirnya dia hanya mengingat satu hal saja."Satu-satunya yang pernah kutanda tangani adalah surat persyaratan pernikahan kami, Bell," jawab Airin kemudian."Licik! Benar-benar licik!" Bella terdengar mengumpat dari seberang telepon."Bell?""Suamimu itu tidak bisa dimaafkan, Rin! Dia itu licik! Mamanya juga! Rupanya semua sudah mereka rencanakan dari jauh-jauh hari sebelumnya."Airin menelan ludah, bersiap dengan apa yang akan Bella katakan."Dengar, Airin. Uang asuransi jiwa kedua orang tuamu, juga rumah beserta isinya yang terbakar itu, sudah dicairkan atas nama Irfan Setiawan, dan atas surat persetujuan darimu."Tubuh Airin seketika bergetar hebat. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kapan Irfan mendapatkan tanda tangannya?"Mulai sekarang kamu harus bertindak! Kamu harus mengawasi langsung perusahaan Papamu yang saat ini dipegang oleh Irfan.
Airin masih mendengarkan pembicaraan Irfan dan Handoko."Baiklah, pastikan surat-surat ini aman sampai pelantikan bulan depan," ucap Handoko. "Ada satu tikus kecil yang harus kusingkirkan terlebih dahulu.""Tikus?" Irfan tidak mengerti apa yang mertuanya itu katakan.Handoko tertawa melihat wajah kebingungan Irfan."Bukan apa-apa," ucapnya sambil menepuk pundak Irfan.Handoko berdiri, lalu bersiap meninggalkan tempat itu. Airin cepat-cepat menyingkir dari tempat persembunyiannya. Dia beringsut mundur, bersembunyi di samping tembok pagar rumah itu.Handoko memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Irfan sesaat masih berdiri di teras rumah sampai Papa mertuanya itu pergi, lalu masuk kembali ke dalam rumah."Bagaimana, Mas? Semua sudah beres?" tanya Amel begitu Irfan duduk di sampingnya."Semua beres, Sayang. Papamu sudah resmi membeli perusahaan itu," jawab Irfan."Baguslah, Mas, kamu bisa mengambil hati Papa," Amel merangkul lengan Irfan mesra. "Tadinya aku harus bersusah payah mey
Airin masih mengikuti Amel masuk ke ruang tengah. Amel duduk di sofa empuk yang ada di ruangan itu."Duduklah, aku akan mendengarkan apa yang akan kau katakan," ucapnya.Irfan duduk di kursi sisi lain dari sofa itu, sedangkan Airin masih berdiri di tempatnya."Maaf, ya, Mel. Istriku tidak bermaksud berbuat seperti itu," ucap Irfan sambil tersenyum manis pada Amel."Gak papa kok, Mas. Aku paham kok, kenapa Mbak Airin bersikap seperti itu. Dia pasti tidak suka kalau ada wanita cantik dekat dengan kalian," ucap Amel dengan angkuhnya. "Dia pasti cemburu, aku paham itu kok, Mas.Irfan hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu menatap Airin yang masih berdiri."Duduklah, Dek!" pinta Irfan sambil menarik tangan Airin.Airin mengibaskan tangan Irfan, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada."Aku berubah pikiran, Mas!" ucap Airin sambil menatap mereka dingin."Apa maksudmu, Dek? Bukannya kamu tadi bilang mau minta maaf?" tanya Irfan kemudian."Tadinya begitu, Mas. Tapi sepertinya kami berdua s
Mata Irfan membulat melihat map yang diberikan oleh Rifki padanya, tapi sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak."Hahaha, kamu salah alamat, Bung!" ucapnya sambil membeber map yang ternyata berisi foto pernikahan itu."Lihat ini! Wanita dalam foto ini jauh berbeda dari Amel! Wajah wanita ini jelek sekali, bagaimana bisa kau menganggap dia sebagai Amel? Mimpi kamu, Bung!" ucap Irfan sambil tertawa, seraya membandingkan foto itu dengan Amel.Rifki tersenyum miring dan tetap tenang, lalu melirik sesaat ke arah Amel yang masih bungkam."Kenapa tidak kau tanyakan padanya langsung?" tanyanya.Irfan berhenti tertawa. Dia menatap ke arah Amel dengan mata membulat. Jangan-jangan ...."Apa yang kau pikirkan itu benar, Irfan!" ucap Rifki lantang. "Wanita dalam foto itu adalah wajah asli Amel Angelina, istrimu! Dia menguras semua hartaku, memakai semua uangku untuk biaya bedah plastik agar dia cantik! Dan setelah aku bangkrut, dia dengan seenak hatinya mencampakkan aku!"Semua yang ada di situ
Airin berlari ke arah Bella yang yang tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka."Bella! Bella!" Airin menggoncang tubuh Bella yang tidak bergerak. "Apa yang terjadi padanya?""Warga menemukan pasien dalam kondisi tak sadarkan diri di tepi jurang," jawab salah satu petugas."Maaf, Nona. Pasien sedang dalam kondisi sangat kritis. Kami harus segera memberi pertolongan darurat padanya," ucap petugas ambulan sambil mendorong tandu memasuki gedung rumah sakit.Airin ikut berlari mengikuti para petugas yang langsung menuju ruang IGD. Beberapa orang dokter langsung menyusul ke sana."Dokter, tolong selamatkan dia! Tolong selamatkan dia, Dokter!" ucap Airin pada para Dokter itu."Kami akan berusaha sebaik mungkin," jawab salah satu Dokter sebelum masuk ke dalam ruangan besar yang langsung tertutup rapat itu.Airin menunggu di luar ruangan sambil mondar-mandir karena panik. Rifki berjalan perlahan mendekati Airin."Tenanglah, Bella pasti selamat," ucapnya mencoba menghibur Airin."
Airin masih berdiri melihat Amel berdiri di depan pintu rumahnya. Dia menatapnya tajam, penuh kemarahan. Bau bensin menyengat hidung Airin. Airin baru sadar Amel membawa jirigen besar berisi benda bensin."Mau apa kamu, Amel?" tanya Airin dengan mata membulat."Kamu puas kan sekarang? Pernikahanku hancur! Karirku hancur!" ucap Amel histeris."Kamu menyalahkan aku karena itu semua?" tanya Airin lagi."Iya! Ini semua salahmu! Kenapa kau bisa mendapatkan semua yang ingin aku miliki? Aku membencimu! Aku mau kamu mati!"Airin terkejut melihat Amel membuka jirigen yang dibawanya dan mulai mengucurkan isinya. Dia mundur, mencoba menghindar dari cairan itu, namun Amel menyudutkannya di sisi ruangan."Hentikan Amel!" teriaknya panik. "Apa kamu sudah tidak waras?!"Amel tertawa sambil menyalakan korek api."Mati kamu, Airin!""Hentikan!"Api berkobar membakar apa saja yang dia temui. Airin berteriak. Dia terjatuh di sudut ruangan. Tubuhnya bergetar hebat. Bayangan orang tuanya yang tewas dilaha
Irfan berlari dengan cemas sambil membopong tubuh Airin memasuki gedung rumah sakit."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya.Seorang Dokter dan beberapa orang perawat langsung menangani Airin. Mereka membawa Airin masuk, diikuti oleh Irfan."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Irfan begitu Dokter selesai memeriksanya."Dia baik-baik saja, hanya kelelahan saja. Sebentar lagi pasti akan siuman. Untuk sementara biarkan dia istirahat dulu," jawab Dokter.Irfan membuang napas lega. Dokter meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Irfan duduk di samping Airin yang masih belum sadarkan diri.Dia menatap lekat wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Penyesalan mulai menyusupinya lagi. Airin berbesar hati memaafkannya atas apa yang pernah dia lakukan.Jari Airin bergerak, dia perlahan membuka matanya."Kau sudah siuman, Airin?" tanya Irfan dengan mata berbinar.Airin perlahan menatap ke arah Irfan, lalu dia mencoba untuk bangun."Berbaring saja dulu, tubuhmu masih lemah," ucap Irfan lagi."
( Flash back )"Kanker Laring ?" mata Bella membulat mendengar ucapan Dokter tentang penyakit Heru, suaminya."Benar, harus segera dioperasi. Kalau tidak sel kanker bisa menyebar. Apakah Bapak ini merokok, atau minum alkohol?"Bella menatap ke arah Heru. Dan Heru menggeleng cepat."Dia tidak merokok, apalagi minum minuman keras," jawab Bella."Atau mungkin dia terpapar virus dan polusi di tempatnya bekerja," ucap Dokter lagi.Bella terdiam. Suaminya memang bekerja di pabrik besi yang menyebabkan dia terpapar debu logam setiap saat. Dia menatap ke arah suaminya. Tidak ada pilihan lain, Heru harus berhenti bekerja, dan kembali pulang ke kampung halaman mereka."Apa? Bekerja di kota?" tanya Bu Rahma ketika Bella mengutarakan maksudnya."Kita butuh biaya banyak untuk operasi Mas Heru, Buk," ucap Bella. "Biar Bella mencari pekerjaan di sana.""Kita bisa menjual sawah untuk biaya operasi. Sejak dulu cita-cita kamu memang ingin ke sana, kan? Ingin jadi pengusaha sukses, padahal kamu cuma lul
Airin masih berdiri di luar ruang rawat inap Amel, tak tahu apa yang harus dia lakukan."Kenapa tidak masuk?"Airin mengangkat wajahnya. Irfan berdiri di depannya sambil menatapnya. Sesaat kemudian dia salah tingkah."Eh, anu, mungkin aku akan menjenguk Bella lebih dulu," ucap Airin sambil beranjak dari tempatnya."Tunggu aku ikut," ucap Irfan, berjalan mengikuti Airin di belakangnya.Mereka naik ke lantai atasnya, tempat Bella dirawat. Sesampainya di sana, terlihat para perawat berlarian, seperti sedang ada situasi yang darurat. Jantung Airin berdegup kencang ketika tahu mereka menuju kamar Bella."Apa yang terjadi?" tanya Airin pada salah satu Suster dengan cemas."Pasien atas nama Bella, sedang dalam kondisi kritis," jawab Suster itu.Mata Airin membulat karena terkejut. Dia langsung berlari masuk ke kamar Bella, tapi beberapa perawat menahannya."Mohon tunggu di luar, Dokter sedang melakukan tindakan," ucap salah satu dari mereka.Pintu ruangan Bella tertutup rapat. Airin tidak b
"Hendra Kurniawan itu suamiku!" ucap Dila dengan lantang di atas panggung.Semua yang hadir langsung heboh dengan pernyataan Dila. Wajah kedua mempelai merah padam karena tak bisa menahan malu.Airin tak menduga, perbuatan yang dulu hampir dia lakukan pada Amel, kini dilakukan oleh orang lain. Entah kenapa, dia seperti melihat dirinya di atas panggung itu. Tapi kenapa sekarang dia justru merasa kasihan pada Amel?Hendra berdiri, lalu menarik tangan Dila dari microphone."Apa yang kamu lakukan? Berani kamu mempermalukanku!" ucap Hendra."Lihat itu, Mas! Lihat!" Dila menunjuk layar lebar yang terpampang foto Amel di sana. "Kamu jatuh cinta pada perempuan ini karena lebih cantik dariku, kan? Nyatanya kecantikan dia palsu! Lihat itu!"Muka Hendra semakin memerah. Amel tak sanggup lagi menahan malu. Akhirnya dia berdiri dengan gaun mewahnya, beranjak meninggalkan pelaminan."Mau kemana kamu wanita jalang?" terima Dila sambil menghalangi Amel turun dari panggung.Dengan satu gerakan Dila me
Mobil Airin memasuki kawasan perkampungan yang masih alami dan rindang. Setelah melewati hutan pinus yang berjejer, terlihat hamparan sawah yang luas.Sesaat mereka berdua terpesona melihat pemandangan yang ada di bawah bukit itu. Airin membuka jendela mobil, membiarkan udara sejuk masuk ke dalam mobilnya itu.Airin mengeluarkan sedikit kepalanya keluar jendela mobil, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Senyumnya mengembang, terlihat begitu menikmati suasana perkampungan itu.Rifki melirik ke arah Airin. Wajah Airin terlihat begitu berseri-seri. Dia ikut tersenyum melihatnya seperti itu. Dalam hati dia berharap Airin bisa terus ceria seperti ini.Rifki menghentikan mobilnya begitu melihat mobil Bella terparkir tak jauh dari situ. Mereka berdua turun, lalu menatap sekeliling untuk mencari Bella."Pergi kamu!!"Airin dan Rifki terkejut. Mereka segera berlari ke arah salah sudut pematang sawah yang ada di sana. Terlihat seorang wanita tua mengusir Bella. Di belakang wanita itu, seorang pr
Rifki memacu mobilnya langsung menuju ke arah rumah sakit. Dalam beberapa menit mereka akhirnya sampai ke tempat yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan Airin berusaha menelpon Bella, tapi gawainya tidak aktif."Bagaimana mungkin dia menghilang? Kenapa dia bisa lepas dari pengawasan kalian?" Airin langsung memberondor Suster dengan berbagai pertanyaan."Dilihat dari rekaman CCTV, dia pergi diam-diam atas kemauannya sendiri, Non," jawab suster itu dengan ketakutan.Airin membuang napas kesal. Tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella. Airin cepat-cepat mengangkatnya."Bella, kamu ke mana saja?" tanya Airin cemas."Jangan marahi para Suster," ucap Bella dari seberang telepon, seolah tahu kalau Airin pasti akan memarahi mereka. "Aku hanya keluar untuk jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah sakit terus.""Kamu di mana? Biar aku menemanimu," tanya Airin lagi."Aku tidak apa-apa, aku ingin sendirian dulu sekarang," jawab Bella lagi.Airin membuang napas, berusaha mengerti keingina
Tak Berhati"Mama! Mama!" Irfan menggoncang tubuh Mamanya yang tak sadarkan diri."Bagaimana ini, Mas?" tanya Amel pada Irfan. "Rumah ini punya Mas, kan? Jangan biarkan mereka mengambilnya!""Mamaku pingsan! Kamu malah memikirkan masalah rumah!" bentak Irfan pada istrinya itu."Aku gak peduli, Mas! Pokoknya aku gak mau rumah ini sampai diambil oleh mereka!"Irfan masih menggoncang tubuh Mamanya itu. Airin membuang napas, lalu menatap Rifki."Rifki, tolong panggilkan ambulans," pintanya.Rifki mengangguk, lalu mengambil gawainya dan memanggil ambulan seperti yang Airin perintahkan."Aku beri waktu untuk kalian sampai satu minggu, bayar hutang kalian atau rumah ini kami sita," ucap Airin sambil berdiri dan beranjak pergi."Kamu gak punya hati, Airin!" ucap Amel.Airin menghentikan langkah, lalu menoleh pada Amel."Tidak punya hati?" tanyanya sambil tersenyum miring."Pak Notaris, tolong berikan surat itu padanya." lanjutnya.Petugas Notaris itu memberikan sebuah map kepada Amel. Amel se
Hutang yang harus dibayarAmel berjalan dengan penuh percaya diri memasuki toko barang-barang branded langganannya yang berada di dalam Mall terbesar di kota itu."Selamat datang, Nona Amel," sambut para pegawai toko begitu Amel masuk, beserta manager mereka."Keluarkan semua pakaian model terbaru kalian," ucap Amel pada mereka.Semua pegawai langsung menutup toko, kebiasaan yang selalu mereka lakukan ketika Amel mengunjungi toko mereka. Beberapa pegawai langsung menunjukkan berbagai macam model pakaian terbaru mereka.Amel berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba semua pakaian-pakaian itu, hingga tampak tumpukan semua pakaian yang sudah dicobanya. Bagi pegawai toko, semua itu bukan masalah, karena biasanya Amel akan memborong semuanya.Setelah puas mencoba pakaian, kini giliran dia berburu tas dan sepatu. Semua yang ada di sana dia coba satu-persatu. Setelah itu dia memilih mana saja yang akan dia beli.Para pegawai toko dengan sigap mengemas semua barang-barang yang Am