“Gi-la, mimpi apa aku harus berjodoh dengan cewek tompelan kayak gitu! Dosa apa aku?! Aku yakin, keluarga tuh cewek sengaja nekan papa atas nama utang budi itu!” batin Jordhy menggerutu. Jordhy mengacak rambutnya sambil melempar jas pengantin sembarang. Diliriknya sang istri dengan pandangan tak berminat. Baginya, pernikahan ini adalah mimpi buruk.
“Mas, mau aku siapin bajunya!” Suara lembut Arumi terdengar. Perempuan dengan kebaya pengantin itu baru hendak melepas cadarnya. Hanya saja, suara Jordhy membuatnya mengurungkan niat. “Ahm, Rumi! Stop! Mulai hari ini, elo wajib pake cadar kalau di depan gue!” tukas Jordhy dengan nada bicara dibuat sebiasa mungkin. Reflek Arumi menghentikkan gerakkan tangan untuk melepas cadar. Awalnya, Arumi mau memberikan kejutan pada Jordhy pas akad kalau tanda hitam di pipinya sudah hilang. Namun, kemarin dengan sangat mendadak, Jordhy mengabarkan padanya jika pada waktu akad nanti, pengantin wanitanya harus mengenakan cadar. Arumi mengira, Jordhy memang menginginkan perempuan yang menutup aurat secara keseluruhan. Tanpa dia tahu, alasan Jordhy sebenarnya karena malu memiliki pendamping dengan wajah yang dinilainya tak sempurna itu. Akhirnya Arumi memutuskan untuk menunjukkan wajah cantiknya pada sang suami di malam pengantin ini. Riasan hitam menyerupai tompel yang biasa dia pakai, kini tak lagi diperlukan. Menurut Arumi, Cinta sejati itu sudah datang, Jordhylah orangnya, lelaki yang menerima dia dengan segala kekurangan. Namun siapa sangka, Jordhy malah memintanya untuk tetap memakai cadar walau di dalam kamar. Ada apa ini? Apakah ketulusan yang ia tunjukkan itu palsu? “Kenapa gitu, Mas?” Arumi menatap heran pada lelaki yang beberapa jam lalu baru mengucap akad di depan penghulu itu. Jordhy membuang napas kasar. Tak mungkin dia mengatakan kalau dia jijik melihat sang istri dengan wajah tompelan. Jordhy tak ingin Arumi mengadu, bisa habis dia diamuk sang Papa. “Ahm, gue ingin belajar mencintai elo tanpa harus memandang fisik!” Otak cerdas Jordhy akhirnya menemukan alasan yang dia rasa paling tepat. Senyum tersungging pada bibir Arumi. Itu juga keinginannya kenapa memakai tanda hitam palsu itu di pipi. Sejak kepindahannya dari Surabaya ke Bekasi, dia memulai hidup dengan penampilan baru yaitu tompel hitam pada wajah. Patah hati terdalam karena sang kekasih ternyata hanya menginginkan fisiknya saja, membuatnya sangat berhati-hati ketika harus kembali memilih lelaki. Hanya saja, desakkan sang papa agar dia segera menikah, tak bisa dibantah. Lelaki itu khawatir usianya tak lama lagi. Lelaki tua itu mensyaratkan agar Arumi menikah dulu, baru dirinya bersedia melakukan operasi untuk penyakit jantung yang dideritanya. Karena itu, tak ada pilihan lain ketika akhirnya Arumi harus menerima perjodohan demi perjodohan. Meskipun demikian, permintaan sang papa tak membuat Arumi surut untuk mencari lelaki yang benar-benar tulus. Bersamaan dengan pembukaan cabang baru butiknya di daerah Bekasi, Arumi meminta sang papa agar dia bisa memiliki tampilan wajah yang berbeda. Di tempat baru ini, dia bukan hanya ingin mengubur masa lalu, tetapi ingin memulai masa depan dengan orang terpilih yang tulus dan tak hanya memandang kecantikkan fisik belaka. Berulang kali dikenalkan dengan kolega sang Papa. Hanya Jordhy yang akhirnya mau menerima dan melanjutkan ke jenjang pernikahan dengannya. “Oh begitu, alhamdulilah … aku akan berusaha menjadi istri terbaik buat kamu, Mas!” tutur Arumi dengan hati berbunga-bunga. Bibir Jordhy menyeringai. Rupanya perempuan yang dia nikahi itu mudah sekali percaya pada orang. Jordhy bersedekap sambil menatap sekilas ke arah Arumi. “Ya, syukurlah kalau elo pun paham … hmmm cuma gue harap, elo pun ngerti kalau cinta itu gak bisa dipaksakan ‘kan?” “Huum. Lalu?” “Hmmm … gini, gue mau … hm … kita buat kesepakatan … misalkan dalam waktu enam bulan, elo gak bisa buat gue jatuh cinta! Berarti elo harus setuju kalau kita udahan! Gimana?” Senyum Jordhy terukir sempurna. Akhirnya dia bisa menemukan alasan yang paling logis untuk menyelesaikan pernikahan yang tak dia hendaki itu. Arumi bergeming. Keterkejutan luar biasa, kini hadir. Dia bukan gadis bodoh yang tak paham jika ini merupakan sebuah penolakan. Berarti kesediaan Jordhy menikahinya atas keterpaksaan? Lalu, kenapa lelaki itu tak menolak saja pada pertemuan pertama waktu itu? “Hmmm … boleh aku tanya satu hal, Mas?” Sepasang netra bening Arumi menatap wajah Jordhy dengan pandangan menilai. “Ya.” Jordhy menjawab tak acuh. Diam-diam dia melirik wajah Arumi, hanya saja matanya malah terfokus pada sepasang netra beriris cokelat dengan bulu mata lebat yang tampak indah itu. “Kalau mukanya ditutup gitu, mata itu kenapa sangat indah, ya? Sayangnya …mukanya bopeng,” batin Jordhy, tiba-tiba seolah terhipnotis pada keindahan mata Arumi. “Kenapa pada saat perkenalan keluarga? Kamu tak menolakku? Sedangkan sekarang, baru malam pertama, kamu sudah membicarakan perpisahan, Mas?” “Hmmm itu … sudah gue bilang, gue hanya ingin ngasih elo kesempatan untuk kita saling mengenal tanpa takut dosa. Kalau gak cocok ‘kan gak bisa juga dipaksa. Tenang saja, elo gak usah takut dirugikan … gue gak akan nyentuh elo. Adil bukan?” Sekilas, Jordhy memandang remeh pada Arumi. Dia yakin sekali dia tak akan jatuh cinta pada sosok yang ada di depannya. Seorang per4w4n tua yang gak laku-laku karena wajah buruknya. Jordhy membenci kata utang budi. Andai saja dulu keluarganya tak berhutang budi pada keluarga Arumi, Atmaja---sang papa mungkin tak akan mengancam Jordhy seperti ini. Ancaman yang membuat Jordhy benar-benar dilemma. Bagaimana tidak, sejak kecil sudah terbiasa menjadi sultan, tiba-tiba saja papanya mengancam jika dia tak mau menikahi Arumi, maka semua hak waris akan jatuh pada Kevandra sang adik. Mana mungkin Jordhy rela melepas kemewahan itu untuk Kevandra. Setahu Jordhy, mama Reska, istri kedua sang Papa itu hanya orang biasa, tak setara dengan almarhum sang mami yang kaya raya. Enak saja kalau akhirnya harus mereka yang menikmati hasil jerih payah sang mami dengan papanya dulu. Arumi menggeleng pelan. Wajah papanya yang penuh kebahagiaan ketika dirinya mendapat pinangan seketika terbayang. Dia pun sempat berbunga-bunga ketika Jordhy bilang tak keberatan setelah melihat tanda hitam di pipi kirinya. Namun, kini barulah jelas, Jordhy sepertinya tak menginginkan pernikahan ini. Meskipun Arumi tak pasti apakah alasannya karena tanda hitam di pipinya atau memang karena mereka belum saling cinta. Tak ingin memperpanjang perdebatan, Jordhy lekas beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sementara Jordhy di kamar mandi, Arumi lekas berganti pakaian dan melepas riasan. Dia pun mengenakan dress lengan panjang yang dia bawa, rencananya untuk esok dipakai pulang. Malam ini terpaksa, Arumi tak mengenakan baju tidur, karena kemarin, dia membawa pakaian yang cukup terbuka. “Sepertinya aku harus bertahan dengan tanda hitam ini setidaknya untuk enam bulan ke depan. Semoga setelah enam bulan ini, opreasi jantung papa sudah berhasil dan beliau sudah sehat seperti dulu lagi,” batin Arumi sambil memasang kembali kerudung dan cadarnya. Tak berapa lama, Jordhy keluar kamar mandi. Dia sudah mengenakan kaos warna putih dan celana pendek. Tubuh tegap yang atletis membuat dia selalu terlihat pas mengenakan pakaian apa saja. Rahang tegas dengan sedikit jambang tipis, membuat dia terlihat keren mengenakan apa saja. Jordhy lekas mengambil ponsel yang sejak tadi berpendar. Arumi sempat melihat banyak chat dan panggilan masuk. Sebagai eksekutif muda, jelas saja Jordhy memiliki circle pergaulan yang luas. “Hallo, Ma!” Arumi mendengar Jordhy menerima telepon dan berjalan ke arah balkon. Wajah Jordhy tampak memberengut selama berbicara melalui telepon. Bahkan lebih kusut dari pada ketika mengobrol dengannya. Arumi perlahan berjalan menuju pintu ke arah balkon sambil membawakan teh hangat yang baru saja dia buat. Hanya saja, langkahnya melambat ketika terdengar jelas Jordhy berbicara dengan seseorang di seberang sana. “Mama gak usah sok baik, dari dulu memang mama cuma ingin yang terbaik buat Kevandra! Puas ‘kan sudah buat aku nikahin gadis buruk rupa itu?” Deg! Hati Arumi berdentum. Fakta baru yang dia dengar membuat hatinya terasa sesak. Rupanya, benar, Jordhy menikahinya karena terpaksa. Meskipun belum jelas apa penyebabnya. Bahkan, Jordhy menyebutnya gadis buruk rupa. “Fix, aku harus lebih lama berpura-pura menjadi gadis buruk rupa. Aku harus tahu dulu, apakah kamu benar-benar orang baik yang layak aku perjuangkan? Atau hanya lelaki pecundang yang layak aku buang? Aku ingin tahu reaksimu setelah nanti kutunjukkan yang sebenarnya wajah asliku, Mas!”Keesokan harinya, Arumi dan Jordhy keluar dari kamar hotel president suite yang dipesankan orang tua Jordhy untuk mereka menghabiskan malam pertama. Seperti permintaan Jordhy, Arumi harus mengenakan cadar ketika sedang bersama dengannya. Karena Arumi belum membeli cadar, dia masih mengenakan cadar yang bekas resepsi kemarin. Mereka menyelesaikan sarapan. Lalu, setelah itu, Jordhy mengajak Arumi ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Hanya saja, sebelum pulang, Jordhy mengajak Arumi mampir dan membeli beberapa set pakaian dan cadar baru. Mereka mampir ke salah satu outlet Sabia Fashion. Salah satu outlet pakaian branded yang cabangnya sudah menyebar di berbagai kota di Indonesia.“Ambillah! Gak usah sungkan! Gue yang bayar! Asal lo tahu, Sabia fashion ini salah satu outlet fashion terbaik di negeri ini! Rancangannya unik karena langsung di desain oleh ownernya yang merupakan lulusan S1 ESMOD di Paris. Mumpung jadi istri gue, puas-puasin elo pilih!” tutur Jordhy sambil
“Apa se-enggak ada kerjaan itu, sampe elo harus ngajak ngobrol kakak ipar sendiri di jalanan?” Suara ketus itu membuat Arumi dan Kevandra menoleh. Jordhy sudah berdiri di ambang pintu sambil menyampirkan handuk ke bahu.“Sorry, gue lupa, Mas! Elo penganten baru! Gi-l4, baru semalam akad, sudah bucin akut!” kekeh Kevandra sambil tertawa. Senyumnya terlihat manis dengan netra yang menyipit. Dia membetulkan ikatan rambut sebahunya dan lekas berjalan meninggalkan Arumi yang masih mematung.“Elo, ngapain bengong disitu! Ayo masuk!” ketus Kevandra sambil kembali masuk ke dalam kamar. Arumi membuang napas kasar. Lalu, dia pun melangkah dan masuk. Aroma maskulin menguar. Warna kamar dominan formal dan tak ada sentuhan artistik sama sekali. Barang-barang yang diletakkan tampak rapi dan terkesan kaku. Tak ada hiasan apapun pada dinding, hanya satu jam digital yang terpajang pada tembok kamar. Arumi menjatuhkan bokongnya pada sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Sofa tersebut berada di deka
“Suara itu? Kenapa mirip sekali dengan suara Mas Jordhy suamiku? Namanya juga sama. Lalu, apa itu tadi? Desain gaun pengantin? Untuk siapa? Bukankah kami baru saja menikah?” batin Arumi sambil menahan napas karena rasa terkejutnya.Arumi membuang napas kasar sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan lelaki yang namanya sama dengan sang suami.“Saya sedang cuti, Pak Jordhy! Anda bisa jelaskan saja pada assisten saya dan biarkan dia merekamkan untuk saya! Asissten saya sudah menghandel jutaan klien, tolong jangan ragukan dia!” Lelaki dari seberang sana, beberapa detik tak mengeluarkan suara. Hingga akhirnya Arumi memutuskan sendiri panggilan teleponnya.“Semoga Anda mengerti! Selamat siang!” ujar Arumi sebelum panggilan berakhir. Ditatapnya ponsel yang ada di tangannya dengan kepala diisi beragam pertanyaan. “Apakah dia Mas Jordhy suamiku atau bukan? Ck, sayangnya ponsel lamaku ditinggal di rumah, jadi aku gak bisa check CCTV dari sini.” Arumi menyimpan ponsel dan mengambil laptop mil
Arumi berdiri di ruang keluarga yang ada di lantai dua. Ruang itu tak besar, tetapi tertata cukup apik dan terlihat artistik dengan guci-guci mahal, lukisan di dinding dan juga lampu hias yang besar. Di samping ruang tersebut terpasang dinding kaca yang luas sehingga ketika gorden dibuka, bisa langsung melihat taman yang ada di Balkon. Di sanalah kini lelaki berambut sebahu itu duduk santai pada sofa dan membelakanginya. Petikan gitarnya terdengar merdu mendayu. Entah kenapa, nuansa musik akustik itu mengingatkan kenangannya di kota Paris. Tanpa sadar, Arumi memejamkan mata, terbayang lagi deretan bangunan dengan desain unik, sudut-sudut kafe yang nyaman, angin musim semi yang membelai, monumen-monumen indah, megah dan ikonik, lalu seraut wajah yang ingin ia lupakan. “Hey, elo sedang apa?” Suara itu membuat Arumi membuka mata. Jordhy sudah berdiri di belakangnya. “Tidak.” Arumi menjawab singkat. Lalu mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Jordhy.“Dia sepertinya memperhat
“Bi, Arumi masih makan?” “Iya, Tuan, sama Tuan Kevan.” “Hah, sama Kevan?” Jordhy menautkan alis. Tiba-tiba saja dia meletakkan daging panggang dan lekas berjalan menuju ruang makan. Ketika tiba, tampak Kevandra tengah asik bercerita dan sesekali Arumi tertawa. “Dia kenapa tampak bahagia sekali bersama Kevandra, ya?” batin Jordhy sambil menatap sepasang netra dengan bulu mata lentik itu yang menyipit. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman di hatinya melihat sang istri tertawa lepas bersama lelaki lain di depannya. “Makanan gue mana, Rum?” Jordhy berdehem lalu duduk di samping Arumi. “Eh gue makan, Mas! Tadinya dari pada mubazir, kata Mbak Rumi, elo makan bareng Shelma, Mas?” Bukan Arumi yang menjawab, tetapi Kevandra yang langsung mendongak ke arahnya.“Iya tadinya, tapi males nunggu! Lama matengnya! Ambilin lagi, Rum!” titah Jordhy sambil menoleh pada Arumi yang baru saja menghabiskan suapan terakhir di piringnya.“Iya, Mas! Bentar aku siapin!” tutur Arumi seraya mengambil minum dan men
Jordhy masuk ke dalam kamar dan sedikit terkejut ketika melihat Arumi hanya mengenakan piyama tidur. Istrinya tampak meringkuk di sofa dengan rambut hitam legamnya diikat asal. “Ck, apa dia berusaha menggodaku? Kenapa berpakaian seperti itu di dalam kamar?” batin Jordhy sambil bergerak mendekat. Jantungnya berdegup ketika melihat kaki mulus Arumi yang kuning langsat. Juga bagian-bagian tertentu yang cukup menantang dalam posisi terlentang seperti itu.Seperti terhipnotis, Jordhy mematung dan menatap sang istri yang sedang terlelap dalam temaram itu. Sepasang bulu mata lentik itu mengatup, hidung mancung Arumi tertutup oleh masker. Lekas Jordhy menepis fantasi yang mulai berkeliaran. Sebagai seorang lelaki normal, Jordhy mengakui jika Arumi memiliki tubuh yang proporsional, tinggi dan semampai juga terlihat padat pada beberapa bagian. Hanya saja, semua kekaguman itu rusak ketika bayangan pertemuan pertama mereka melintas. *** “Perkenalkan, ini Arumi, Putri kami.” Wajah dengan pipi
Jordhy menyuap dengan cepat. Dia malas sekali melihat Kevandra yang anteng duduk di depannya menikmati menu yang sama. Menu yang dimasakkan Arumi untuknya. Bukan hanya itu, Kevandra juga begitu asyik menyesap kopi pahitnya. Tak berapa lama, Atmaja, Reska dan Shelma ikut bergabung juga. Arumi duduk di samping Jordhy dan sesekali mengambilkan lauk atau kebutuhan lain untuknya.“Walau aku merasa, kamu tak menginginkan pernikahan ini! Namun, biarkan aku berbakti selayaknya seorang istri hingga jodoh ini akan memilih … berhenti atau lanjutkan,” batin Arumi sambil mulai menyuap dalam diam. Jordhy berangkat kerja dengan mood yang kurang baik. Atmaja berangkat lebih siang. Sementara itu, Arumi meminta izin berangkat belakangan. “Tempat kerja elo jauh? Sorry, gue gak bisa nganter! Bisa pake mobil online saja pake duit yang gue kasih.” Jordhy bicara ketika Arumi baru selesai mencium punggung tangannya. “Iya, Mas!” Arumi tersenyum lembut. Jordhy pun berangkat menuju kantornya yang ada di sal
“Kalau begitu, jadwalkan saja! Desain yang kemarin kita diskus tolong siapkan!” tuturnya. Arumi lupa, jika Lisa yang disebutkan oleh sang assisten adalah perempuan yang kemarin datang ke butik bersama Jordhy. “Oke.” Arumi lekas berkemas. Dia mengambil beberapa potong pakaian dan dimasukkan ke dalam tasnya. Tak banyak yang bisa dia bawa. Karena meskipun dulu sudah mengenakan jilbab, tetapi dia lebih suka mengenakan jilbab modern seperti pashmina dan scrapt. Pakaiannya pun jarang dia memiliki gamis. Kebanyakan sejenis pakaian semi casual untuk ke butik atau jalan ke luar. Jamsuit, blazer, rok, kemeja dan cardigan. Pakaian yang dia kemas, lekas disimpannya ke bagasi mobil. “Um, Rumi berangkat dulu, ya!” “Ke?” “Ke butik sebentar, tadi Vera nelpon, ada customer baru yang mau ketemu langsung dan dapatkan advise!” “Oh ya sudah, hati-hati!” Arumi mencium punggung tangan Maziah, lalu beralih pada Khaidir. Keduanya tengah menikmati camilan pagi. Setelahnya, Arumi lekas berjalan menin
“Mana ada, itu lukisan pesanan teman.” Kevandra menjawab untuk menghindarkan spekulasi. Bisa-bisa kisruh kalau Shelma sudah bersuara. Dia pun lekas mengeluarkan uang pecahan lima ribuan.“Ini duitnya! Sana pergi jajan!” tutur Kevandra sambil menyodorkan uang itu pada Shelma. “Dih, goceng! Kayak zaman penjajahan, ish! Maratus, Mas! COD besok pagiiiii!” Shelma nyengir kuda sambil menengadahkan tangan.Kevandra menggeleng pelan. Tak banyak pecahan ratusan ribu di dalam dompetnya. Dia lebih banyak menyimpan uang-uang kecil. Karena memang cash yang dia pegang, biasanya untuk berbagi pada pedagang-pedagang kecil yang kebetulan ia temui, tukang sapu jalanan, pengamen, pemulung atau entah siapa saja. “Nih, besok balikin!” tutur Kevandra sambil menyodorkan uang sejumlah yang Shelma minta.“Thanks a lot! Aku doain biar Mas Kev cepet dapet jodoh!” kekehnya sambil mencium lembaran uang serratus ribuan itu, lekas dia beranjak begitu saja meninggalkan Kevandra yang mematung menatap sepasang mata
Usai makan malam, Kevandra mengecek beberapa pesan pada emailnya sebentar. Dia memeriksa laporan dari manager property. Semua investasi yang dibangun almarhum Suryadinata---sang ayah sebelum meninggal, mau tak mau harus dia teruskan. Beruntung, Kevandra dikelilingi orang-orang baik. Juga Atmaja---sang ayah sambung yang cukup amanah dan totalitas mendukungnya.Selama dia belum bisa mengelola bisnis property peninggalan sang ayah sendiri, Atmaja dengan telaten mengurus dan menjaganya, sehingga ketika Kevandra dewasa dia bisa menyerahkan semua asset itu tanpa berkurang satu apapun. Meskipun bisnisnya tak sebanyak perusahaan yang dikelola Atmaja, tetapi dua unit apartemen dan satu buah hotel yang sudah berdiri lama itu, cukup untuk membiayai kehidupan Kevandra sendiri. Hanya saja, sayang sekali, Kevandra tak terlalu menyukai bidang itu. Saat ini, dia hanya mengelola yang sudah ada dan mempercayakan pada orang-orang di bawahnya. Sementara itu, dia sendiri malah mengambil kuliah jurusan s
“Dah pulang elo, Mas? Yok, makan!” tutur Kevandra yang sudah melepas tangannya yang tadi menyangga tubuh Arumi. “Gak selera! Masakan amatiran kek gitu, paling gak enak!” oceh Jordhy sambil melirik sebal ke arah piring Kevandra yang sudah hampir kosong. Terbayang dalam benaknya, apa saja yang sudah dua orang itu lakukan.“Ya elah, gitu amat, Mas!” decih Kevandra sambil kembali duduk dan bersila. Sementara itu, Arumi menoleh pada Jordhy sekilas. Awalnya hendak menawari makan. Namun, kalimat barusan membuat Arumi mengurungkan niat. Jordhy bilang masakannya amatiran, tidak enak. Akhirnya Arumi mengambil piring bekas makan dan berjalan meninggalkan Jordhy dan Kevandra berduaan. Lalu dia ke dapur dan meletakkan piring bekas itu ke wastafel. “Eh, sudah pada selesai makannya, Non? Biar bibi bereskan!” Bi Armah yang baru selesai menyetrika menoleh pada Arumi.“Masih ada Kevan sama Shelma, Bi! Cuma Shelmanya masih di kamar mandi.” “Oh, baik, Non!” Arumi lekas mengambil buah potong dari lem
“Wah masakan kamu enak banget, Rum! Gagal diet nih, Mama!” Reska meletakkan sendok dan garpu pada piring kosongnya. Ide Kevandra untuk makan bersama di gazebo belakang, rupanya tak buruk juga.Dia bahkan sibuk membantu dua ART menyiapkan alat panggang untuk steak ikan tuna yang sudah Arumi siapkan bumbunya. Kevandra, selalu rindu kebersamaan dengan keluarga. Terlalu lama di negeri orang, membuatnya memaksimalkan waktu yang ada untuk bersama dengan Reska, sang mama. “Iya loh, Mbak! Masakan kamu enak. Kamu gak seburuk yang dulu aku pikirkan. Pas awal-awal, aku underestimate banget sama kamu, Mbak! Sorry ya, Mbak! Habisnya kata Mas Jordhy kamu itu kampungan, mukanya jelek ada tompel dan kayaknya manja sampai-sampai nyari suami saja dicariin sama keluarga.” Shelma masih bicara sambil menyuap. Wajah judesnya masih sama, hanya saja dia sudah mulai menyukai Arumi karena masakan-masakan enaknya. Cuma tetap saja, kalimatnya yang blak-blakkan membuat Arumi mengelus dada.“Ini, nih! Kalau ngomo
“Ah, persetan! Ngapain mikirin mereka! Bukannya justru malah bagus kalau mereka makin akrab! Jadi, setelah enam bulan ini! Aku bisa menceraikan Arumi tanpa takut disalahkan papa! Nanti tinggal kubilang saja, aku terganggu dengan kedekatan Rumi dan Kevandra.” Jordhy tersenyum sendiri. Meski dia pun tak sadar, ketika hatinya mulai tak sejalan dengan rencana yang dia susun berdasarkan logika. Hanya saja, dia masih bertahan. ****** Sore harinya, usai meeting dengan klien. Jordhy bersiap-siap pulang. Hatinya mengajaknya untuk pergi. Apalagi teringat percakapan Arumi dan Kevandra tadi pagi. Sore ini, Arumi akan memasakkan tuna grilled steak untuk makan malam. “Mas, kita jadi ‘kan?” Suara Lisa membuat Jordhy yang tengah mematikan laptop mendongak. Tampak Lisa dengan wajah yang sudah di touch up dengan make up dan terlihat segar berdiri di depannya. Pakaiannya, tentunya memang style Lisa selalu membuat betah orang yang memandang. “Ke mana, Lis?” Jordhy menautkan alis. Seharian ini begitu
“Kalau kita tak pergi, apa papa akan marah? Kebetulan aku baru mau minta izin pulang ke Surabaya. Abi mau operasi.”Jordhy bergeming. Dia kira, akan mendapat respon kegirangan. Bukankah Arumi hanya anak seorang pengusaha kecil saja? Bukankah pernikahan mereka pun atas perjanjian kedua pihak, orang tua mereka? Jordhy mengira, Arumi akan jingkrak-jingkrak senang karena akan diajak ke kota yang cukup terkenal. Eh, ternyata responnya diluar dugaan.“Kalau elo yang nolak, kayaknya gak marah dia. Asal jangan nyuruh gue bilang ke papanya.” “Oke, Mas! Nanti aku bilang papa.” Arumi mengangguk dan meletakkan lagi voucher liburan itu ke tempat semula. Lalu dia beranjak ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Setelahnya, dia melaksanakan shalat isya dan terlihat berdoa dengan khusuk. Usai shalat, dia kembali berbaring pada sofa setelah berganti dengan piyama. “Perempuan aneh, diajak ke luar negeri, malah nolak!” batin Jordhy sambil merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Hatinya mulai mendefinisikan
“Enggak kok, Bi! Abi tenang saja! Mas Jordhy baik dan pengertian, kok, Bi! Cuma dia memang workaholic, ya maklum, abi tahu sendiri sebesar apa tanggung jawab Mas Jordhy di perusahaan!” Arumi berbicara panjang lebar. Dia berusaha meyakinkan sang ayah jika rumah tangganya dengan Jordhy baik-baik saja. Meskipun, kenyataannya tak seindah yang Arumi katakan. Bahkan, seminggu saja belum usia pernikahan mereka, Arumi sudah mengetahui fakta ada wanita lain di hati suaminya. Sementara itu, Arumi tak sadar jika sejak tadi Jordhy sudah berdiri tak jauh dari dirinya yang membelakangi kamar. “Apa katanya tadi, aku orang baik dan pengertian? Apa seperti itu ya, aku di matanya? Jangan-jangan dia sudah jatuh cinta dan mulai kagum padaku? Ck, memang pesonaku gak ada yang bisa menolaknya,” Jordhy tersenyum sambil mengusap bulu halus yang tumbuh sekitar pelipis dan dagu. Entah kenapa hatinya menghangat ketika mendengar Arumi memujinya. Jordhy berjalan dan kembali masuk ke dalam kamar. Dia pu
Perlahan Jordhy berusaha melupakan kecurigaannya terkait Arumi. Sisi logisnya sibuk menepis. Tak mungkin jika owner Sabia collection yang butiknya sampai di manca negara itu, seorang perempuan dengan muka buruk. Dia berusaha mencari beragam informasi dari internet, tetapi tak satupun yang menampilkan wajah owner Sabia collection tersebut. Di beberapa kesempatan ada potret ketika perempuan itu menerima penghargaan, tetapi memang wajahnya selalu menggunakan masker. [Owner Sabia Collection merupakan seorang fashion desainer lulusan universitas Ecole superieure des arts et techniques de la mode atau yang lebih dikenal dengan kependekkan ESMOD yang berada di Paris, Prancis. Dia berhasil menyelesaikan S1 nya di sekolah mode tertua dan bergengsi di dunia tersebut dan sukses mengembangkan bisnisnya di tanah air. Owner Sabia Collection memiliki kurang lebih dua puluh cabang butik yang berada di kota-kota besar di nusantara. Pusat butiknya berada di Surabaya, sedangkan cabangnya berada di ber
“Mas, please! Aku harus menyiapkan data meeting dengan Pak Arshaka hari ini ‘kan?”“Dengan mobil online saja atau taxi, bisa?” “Dari tadi gak dapet-dapet, Mas! Jam sibuk!” Jordhy berpikir sejenak. Benar, dia ada meeting dengan Arshaka. Lalu, rengekkan Lisa membuatnya dilemma. Namun, bukannya dia sudah berjanji mengantarkan Arumi. “Mas, please! Meetingnya pagi masalahnya! Langsung ke sini, ya! Sarapan bareng nanti!” “Baiklah!” Jordhy kalah. Hatinya yang memang masih gamang memutuskan dengan cepat. Dia pun turun dan membawa tas kerja menyusul Arumi ke meja makan. Tampak sang istri tengah menyiapkan sarapan untuknya. “Hari ini aku siapkan grilled tuna mozzarella! Makanan kesukaan abi! Kata Bi Armah, kamu suka juga,” tutur Arumi seraya meletakkan cappuccino panas kesukaan Jordhy.“Enak tahu, Mas! Aku baru tahu Mbak Rumi pintar masak!” Shelma yang sudah menduduki kursi di samping kursi Arumi berkomentar. Shelma bukan orang berhati busuk, tetapi memang karakternya saja yang blak-blak