“Gi-la, mimpi apa aku harus berjodoh dengan cewek tompelan kayak gitu! Dosa apa aku?! Aku yakin, keluarga tuh cewek sengaja nekan papa atas nama utang budi itu!” batin Jordhy menggerutu. Jordhy mengacak rambutnya sambil melempar jas pengantin sembarang. Diliriknya sang istri dengan pandangan tak berminat. Baginya, pernikahan ini adalah mimpi buruk.
“Mas, mau aku siapin bajunya!” Suara lembut Arumi terdengar. Perempuan dengan kebaya pengantin itu baru hendak melepas cadarnya. Hanya saja, suara Jordhy membuatnya mengurungkan niat. “Ahm, Rumi! Stop! Mulai hari ini, elo wajib pake cadar kalau di depan gue!” tukas Jordhy dengan nada bicara dibuat sebiasa mungkin. Reflek Arumi menghentikkan gerakkan tangan untuk melepas cadar. Awalnya, Arumi mau memberikan kejutan pada Jordhy pas akad kalau tanda hitam di pipinya sudah hilang. Namun, kemarin dengan sangat mendadak, Jordhy mengabarkan padanya jika pada waktu akad nanti, pengantin wanitanya harus mengenakan cadar. Arumi mengira, Jordhy memang menginginkan perempuan yang menutup aurat secara keseluruhan. Tanpa dia tahu, alasan Jordhy sebenarnya karena malu memiliki pendamping dengan wajah yang dinilainya tak sempurna itu. Akhirnya Arumi memutuskan untuk menunjukkan wajah cantiknya pada sang suami di malam pengantin ini. Riasan hitam menyerupai tompel yang biasa dia pakai, kini tak lagi diperlukan. Menurut Arumi, Cinta sejati itu sudah datang, Jordhylah orangnya, lelaki yang menerima dia dengan segala kekurangan. Namun siapa sangka, Jordhy malah memintanya untuk tetap memakai cadar walau di dalam kamar. Ada apa ini? Apakah ketulusan yang ia tunjukkan itu palsu? “Kenapa gitu, Mas?” Arumi menatap heran pada lelaki yang beberapa jam lalu baru mengucap akad di depan penghulu itu. Jordhy membuang napas kasar. Tak mungkin dia mengatakan kalau dia jijik melihat sang istri dengan wajah tompelan. Jordhy tak ingin Arumi mengadu, bisa habis dia diamuk sang Papa. “Ahm, gue ingin belajar mencintai elo tanpa harus memandang fisik!” Otak cerdas Jordhy akhirnya menemukan alasan yang dia rasa paling tepat. Senyum tersungging pada bibir Arumi. Itu juga keinginannya kenapa memakai tanda hitam palsu itu di pipi. Sejak kepindahannya dari Surabaya ke Bekasi, dia memulai hidup dengan penampilan baru yaitu tompel hitam pada wajah. Patah hati terdalam karena sang kekasih ternyata hanya menginginkan fisiknya saja, membuatnya sangat berhati-hati ketika harus kembali memilih lelaki. Hanya saja, desakkan sang papa agar dia segera menikah, tak bisa dibantah. Lelaki itu khawatir usianya tak lama lagi. Lelaki tua itu mensyaratkan agar Arumi menikah dulu, baru dirinya bersedia melakukan operasi untuk penyakit jantung yang dideritanya. Karena itu, tak ada pilihan lain ketika akhirnya Arumi harus menerima perjodohan demi perjodohan. Meskipun demikian, permintaan sang papa tak membuat Arumi surut untuk mencari lelaki yang benar-benar tulus. Bersamaan dengan pembukaan cabang baru butiknya di daerah Bekasi, Arumi meminta sang papa agar dia bisa memiliki tampilan wajah yang berbeda. Di tempat baru ini, dia bukan hanya ingin mengubur masa lalu, tetapi ingin memulai masa depan dengan orang terpilih yang tulus dan tak hanya memandang kecantikkan fisik belaka. Berulang kali dikenalkan dengan kolega sang Papa. Hanya Jordhy yang akhirnya mau menerima dan melanjutkan ke jenjang pernikahan dengannya. “Oh begitu, alhamdulilah … aku akan berusaha menjadi istri terbaik buat kamu, Mas!” tutur Arumi dengan hati berbunga-bunga. Bibir Jordhy menyeringai. Rupanya perempuan yang dia nikahi itu mudah sekali percaya pada orang. Jordhy bersedekap sambil menatap sekilas ke arah Arumi. “Ya, syukurlah kalau elo pun paham … hmmm cuma gue harap, elo pun ngerti kalau cinta itu gak bisa dipaksakan ‘kan?” “Huum. Lalu?” “Hmmm … gini, gue mau … hm … kita buat kesepakatan … misalkan dalam waktu enam bulan, elo gak bisa buat gue jatuh cinta! Berarti elo harus setuju kalau kita udahan! Gimana?” Senyum Jordhy terukir sempurna. Akhirnya dia bisa menemukan alasan yang paling logis untuk menyelesaikan pernikahan yang tak dia hendaki itu. Arumi bergeming. Keterkejutan luar biasa, kini hadir. Dia bukan gadis bodoh yang tak paham jika ini merupakan sebuah penolakan. Berarti kesediaan Jordhy menikahinya atas keterpaksaan? Lalu, kenapa lelaki itu tak menolak saja pada pertemuan pertama waktu itu? “Hmmm … boleh aku tanya satu hal, Mas?” Sepasang netra bening Arumi menatap wajah Jordhy dengan pandangan menilai. “Ya.” Jordhy menjawab tak acuh. Diam-diam dia melirik wajah Arumi, hanya saja matanya malah terfokus pada sepasang netra beriris cokelat dengan bulu mata lebat yang tampak indah itu. “Kalau mukanya ditutup gitu, mata itu kenapa sangat indah, ya? Sayangnya …mukanya bopeng,” batin Jordhy, tiba-tiba seolah terhipnotis pada keindahan mata Arumi. “Kenapa pada saat perkenalan keluarga? Kamu tak menolakku? Sedangkan sekarang, baru malam pertama, kamu sudah membicarakan perpisahan, Mas?” “Hmmm itu … sudah gue bilang, gue hanya ingin ngasih elo kesempatan untuk kita saling mengenal tanpa takut dosa. Kalau gak cocok ‘kan gak bisa juga dipaksa. Tenang saja, elo gak usah takut dirugikan … gue gak akan nyentuh elo. Adil bukan?” Sekilas, Jordhy memandang remeh pada Arumi. Dia yakin sekali dia tak akan jatuh cinta pada sosok yang ada di depannya. Seorang per4w4n tua yang gak laku-laku karena wajah buruknya. Jordhy membenci kata utang budi. Andai saja dulu keluarganya tak berhutang budi pada keluarga Arumi, Atmaja---sang papa mungkin tak akan mengancam Jordhy seperti ini. Ancaman yang membuat Jordhy benar-benar dilemma. Bagaimana tidak, sejak kecil sudah terbiasa menjadi sultan, tiba-tiba saja papanya mengancam jika dia tak mau menikahi Arumi, maka semua hak waris akan jatuh pada Kevandra sang adik. Mana mungkin Jordhy rela melepas kemewahan itu untuk Kevandra. Setahu Jordhy, mama Reska, istri kedua sang Papa itu hanya orang biasa, tak setara dengan almarhum sang mami yang kaya raya. Enak saja kalau akhirnya harus mereka yang menikmati hasil jerih payah sang mami dengan papanya dulu. Arumi menggeleng pelan. Wajah papanya yang penuh kebahagiaan ketika dirinya mendapat pinangan seketika terbayang. Dia pun sempat berbunga-bunga ketika Jordhy bilang tak keberatan setelah melihat tanda hitam di pipi kirinya. Namun, kini barulah jelas, Jordhy sepertinya tak menginginkan pernikahan ini. Meskipun Arumi tak pasti apakah alasannya karena tanda hitam di pipinya atau memang karena mereka belum saling cinta. Tak ingin memperpanjang perdebatan, Jordhy lekas beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sementara Jordhy di kamar mandi, Arumi lekas berganti pakaian dan melepas riasan. Dia pun mengenakan dress lengan panjang yang dia bawa, rencananya untuk esok dipakai pulang. Malam ini terpaksa, Arumi tak mengenakan baju tidur, karena kemarin, dia membawa pakaian yang cukup terbuka. “Sepertinya aku harus bertahan dengan tanda hitam ini setidaknya untuk enam bulan ke depan. Semoga setelah enam bulan ini, opreasi jantung papa sudah berhasil dan beliau sudah sehat seperti dulu lagi,” batin Arumi sambil memasang kembali kerudung dan cadarnya. Tak berapa lama, Jordhy keluar kamar mandi. Dia sudah mengenakan kaos warna putih dan celana pendek. Tubuh tegap yang atletis membuat dia selalu terlihat pas mengenakan pakaian apa saja. Rahang tegas dengan sedikit jambang tipis, membuat dia terlihat keren mengenakan apa saja. Jordhy lekas mengambil ponsel yang sejak tadi berpendar. Arumi sempat melihat banyak chat dan panggilan masuk. Sebagai eksekutif muda, jelas saja Jordhy memiliki circle pergaulan yang luas. “Hallo, Ma!” Arumi mendengar Jordhy menerima telepon dan berjalan ke arah balkon. Wajah Jordhy tampak memberengut selama berbicara melalui telepon. Bahkan lebih kusut dari pada ketika mengobrol dengannya. Arumi perlahan berjalan menuju pintu ke arah balkon sambil membawakan teh hangat yang baru saja dia buat. Hanya saja, langkahnya melambat ketika terdengar jelas Jordhy berbicara dengan seseorang di seberang sana. “Mama gak usah sok baik, dari dulu memang mama cuma ingin yang terbaik buat Kevandra! Puas ‘kan sudah buat aku nikahin gadis buruk rupa itu?” Deg! Hati Arumi berdentum. Fakta baru yang dia dengar membuat hatinya terasa sesak. Rupanya, benar, Jordhy menikahinya karena terpaksa. Meskipun belum jelas apa penyebabnya. Bahkan, Jordhy menyebutnya gadis buruk rupa. “Fix, aku harus lebih lama berpura-pura menjadi gadis buruk rupa. Aku harus tahu dulu, apakah kamu benar-benar orang baik yang layak aku perjuangkan? Atau hanya lelaki pecundang yang layak aku buang? Aku ingin tahu reaksimu setelah nanti kutunjukkan yang sebenarnya wajah asliku, Mas!”Keesokan harinya, Arumi dan Jordhy keluar dari kamar hotel president suite yang dipesankan orang tua Jordhy untuk mereka menghabiskan malam pertama. Seperti permintaan Jordhy, Arumi harus mengenakan cadar ketika sedang bersama dengannya. Karena Arumi belum membeli cadar, dia masih mengenakan cadar yang bekas resepsi kemarin. Mereka menyelesaikan sarapan. Lalu, setelah itu, Jordhy mengajak Arumi ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Hanya saja, sebelum pulang, Jordhy mengajak Arumi mampir dan membeli beberapa set pakaian dan cadar baru. Mereka mampir ke salah satu outlet Sabia Fashion. Salah satu outlet pakaian branded yang cabangnya sudah menyebar di berbagai kota di Indonesia.“Ambillah! Gak usah sungkan! Gue yang bayar! Asal lo tahu, Sabia fashion ini salah satu outlet fashion terbaik di negeri ini! Rancangannya unik karena langsung di desain oleh ownernya yang merupakan lulusan S1 ESMOD di Paris. Mumpung jadi istri gue, puas-puasin elo pilih!” tutur Jordhy sambil
“Apa se-enggak ada kerjaan itu, sampe elo harus ngajak ngobrol kakak ipar sendiri di jalanan?” Suara ketus itu membuat Arumi dan Kevandra menoleh. Jordhy sudah berdiri di ambang pintu sambil menyampirkan handuk ke bahu.“Sorry, gue lupa, Mas! Elo penganten baru! Gi-l4, baru semalam akad, sudah bucin akut!” kekeh Kevandra sambil tertawa. Senyumnya terlihat manis dengan netra yang menyipit. Dia membetulkan ikatan rambut sebahunya dan lekas berjalan meninggalkan Arumi yang masih mematung.“Elo, ngapain bengong disitu! Ayo masuk!” ketus Kevandra sambil kembali masuk ke dalam kamar. Arumi membuang napas kasar. Lalu, dia pun melangkah dan masuk. Aroma maskulin menguar. Warna kamar dominan formal dan tak ada sentuhan artistik sama sekali. Barang-barang yang diletakkan tampak rapi dan terkesan kaku. Tak ada hiasan apapun pada dinding, hanya satu jam digital yang terpajang pada tembok kamar. Arumi menjatuhkan bokongnya pada sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Sofa tersebut berada di deka
“Suara itu? Kenapa mirip sekali dengan suara Mas Jordhy suamiku? Namanya juga sama. Lalu, apa itu tadi? Desain gaun pengantin? Untuk siapa? Bukankah kami baru saja menikah?” batin Arumi sambil menahan napas karena rasa terkejutnya.Arumi membuang napas kasar sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan lelaki yang namanya sama dengan sang suami.“Saya sedang cuti, Pak Jordhy! Anda bisa jelaskan saja pada assisten saya dan biarkan dia merekamkan untuk saya! Asissten saya sudah menghandel jutaan klien, tolong jangan ragukan dia!” Lelaki dari seberang sana, beberapa detik tak mengeluarkan suara. Hingga akhirnya Arumi memutuskan sendiri panggilan teleponnya.“Semoga Anda mengerti! Selamat siang!” ujar Arumi sebelum panggilan berakhir. Ditatapnya ponsel yang ada di tangannya dengan kepala diisi beragam pertanyaan. “Apakah dia Mas Jordhy suamiku atau bukan? Ck, sayangnya ponsel lamaku ditinggal di rumah, jadi aku gak bisa check CCTV dari sini.” Arumi menyimpan ponsel dan mengambil laptop mil
Arumi berdiri di ruang keluarga yang ada di lantai dua. Ruang itu tak besar, tetapi tertata cukup apik dan terlihat artistik dengan guci-guci mahal, lukisan di dinding dan juga lampu hias yang besar. Di samping ruang tersebut terpasang dinding kaca yang luas sehingga ketika gorden dibuka, bisa langsung melihat taman yang ada di Balkon. Di sanalah kini lelaki berambut sebahu itu duduk santai pada sofa dan membelakanginya. Petikan gitarnya terdengar merdu mendayu. Entah kenapa, nuansa musik akustik itu mengingatkan kenangannya di kota Paris. Tanpa sadar, Arumi memejamkan mata, terbayang lagi deretan bangunan dengan desain unik, sudut-sudut kafe yang nyaman, angin musim semi yang membelai, monumen-monumen indah, megah dan ikonik, lalu seraut wajah yang ingin ia lupakan. “Hey, elo sedang apa?” Suara itu membuat Arumi membuka mata. Jordhy sudah berdiri di belakangnya. “Tidak.” Arumi menjawab singkat. Lalu mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Jordhy.“Dia sepertinya memperhat
“Bi, Arumi masih makan?” “Iya, Tuan, sama Tuan Kevan.” “Hah, sama Kevan?” Jordhy menautkan alis. Tiba-tiba saja dia meletakkan daging panggang dan lekas berjalan menuju ruang makan. Ketika tiba, tampak Kevandra tengah asik bercerita dan sesekali Arumi tertawa. “Dia kenapa tampak bahagia sekali bersama Kevandra, ya?” batin Jordhy sambil menatap sepasang netra dengan bulu mata lentik itu yang menyipit. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman di hatinya melihat sang istri tertawa lepas bersama lelaki lain di depannya. “Makanan gue mana, Rum?” Jordhy berdehem lalu duduk di samping Arumi. “Eh gue makan, Mas! Tadinya dari pada mubazir, kata Mbak Rumi, elo makan bareng Shelma, Mas?” Bukan Arumi yang menjawab, tetapi Kevandra yang langsung mendongak ke arahnya.“Iya tadinya, tapi males nunggu! Lama matengnya! Ambilin lagi, Rum!” titah Jordhy sambil menoleh pada Arumi yang baru saja menghabiskan suapan terakhir di piringnya.“Iya, Mas! Bentar aku siapin!” tutur Arumi seraya mengambil minum dan men
Jordhy masuk ke dalam kamar dan sedikit terkejut ketika melihat Arumi hanya mengenakan piyama tidur. Istrinya tampak meringkuk di sofa dengan rambut hitam legamnya diikat asal. “Ck, apa dia berusaha menggodaku? Kenapa berpakaian seperti itu di dalam kamar?” batin Jordhy sambil bergerak mendekat. Jantungnya berdegup ketika melihat kaki mulus Arumi yang kuning langsat. Juga bagian-bagian tertentu yang cukup menantang dalam posisi terlentang seperti itu.Seperti terhipnotis, Jordhy mematung dan menatap sang istri yang sedang terlelap dalam temaram itu. Sepasang bulu mata lentik itu mengatup, hidung mancung Arumi tertutup oleh masker. Lekas Jordhy menepis fantasi yang mulai berkeliaran. Sebagai seorang lelaki normal, Jordhy mengakui jika Arumi memiliki tubuh yang proporsional, tinggi dan semampai juga terlihat padat pada beberapa bagian. Hanya saja, semua kekaguman itu rusak ketika bayangan pertemuan pertama mereka melintas. *** “Perkenalkan, ini Arumi, Putri kami.” Wajah dengan pipi
Jordhy menyuap dengan cepat. Dia malas sekali melihat Kevandra yang anteng duduk di depannya menikmati menu yang sama. Menu yang dimasakkan Arumi untuknya. Bukan hanya itu, Kevandra juga begitu asyik menyesap kopi pahitnya. Tak berapa lama, Atmaja, Reska dan Shelma ikut bergabung juga. Arumi duduk di samping Jordhy dan sesekali mengambilkan lauk atau kebutuhan lain untuknya.“Walau aku merasa, kamu tak menginginkan pernikahan ini! Namun, biarkan aku berbakti selayaknya seorang istri hingga jodoh ini akan memilih … berhenti atau lanjutkan,” batin Arumi sambil mulai menyuap dalam diam. Jordhy berangkat kerja dengan mood yang kurang baik. Atmaja berangkat lebih siang. Sementara itu, Arumi meminta izin berangkat belakangan. “Tempat kerja elo jauh? Sorry, gue gak bisa nganter! Bisa pake mobil online saja pake duit yang gue kasih.” Jordhy bicara ketika Arumi baru selesai mencium punggung tangannya. “Iya, Mas!” Arumi tersenyum lembut. Jordhy pun berangkat menuju kantornya yang ada di sal
“Kalau begitu, jadwalkan saja! Desain yang kemarin kita diskus tolong siapkan!” tuturnya. Arumi lupa, jika Lisa yang disebutkan oleh sang assisten adalah perempuan yang kemarin datang ke butik bersama Jordhy. “Oke.” Arumi lekas berkemas. Dia mengambil beberapa potong pakaian dan dimasukkan ke dalam tasnya. Tak banyak yang bisa dia bawa. Karena meskipun dulu sudah mengenakan jilbab, tetapi dia lebih suka mengenakan jilbab modern seperti pashmina dan scrapt. Pakaiannya pun jarang dia memiliki gamis. Kebanyakan sejenis pakaian semi casual untuk ke butik atau jalan ke luar. Jamsuit, blazer, rok, kemeja dan cardigan. Pakaian yang dia kemas, lekas disimpannya ke bagasi mobil. “Um, Rumi berangkat dulu, ya!” “Ke?” “Ke butik sebentar, tadi Vera nelpon, ada customer baru yang mau ketemu langsung dan dapatkan advise!” “Oh ya sudah, hati-hati!” Arumi mencium punggung tangan Maziah, lalu beralih pada Khaidir. Keduanya tengah menikmati camilan pagi. Setelahnya, Arumi lekas berjalan menin
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d
Satu sore, setelah minggu-minggu berlalu dan uang yang terkumpul sudah lumayan, Jordhy memutuskan untuk kembali mendatangi butik Arumi. Hanya saja, dia tampak tak suka melihat Kevandra baru keluar dari sana dan melambaikan tangan. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, sorot mata Kevandra mampu membuat batin Jordhy meletup-letup tak karuan. Apalagi sepasang netra Arumi yang menyipit tanda sedang tersenyum di balik cadar. Jordhy berdiri dan berpura-pura saja melihat-lihat koleksi yang ada. Juga bersembunyi, khawatir Kevandra mengenalinya.Tiba giliran dia untuk bertemu Arumi. Diserahkannya dengan sumringah hasil dari dia menjadi musisi jalanan beberapa waktu yang lalu untuk mencicil gaun yang dipesannya untuk sang istri. Dia melirik ke atas meja, tampak dua botol berisi kapsul yang sepertinya vitamin terletak di atas meja Arumi. Apakah Arumi sakit sampai harus meminum vitamin sebanyak itu? “Cicilan untuk gaun istimewa untuk istri saya tercinta!” tutur Jordhy. “Biar Rosa yang tangan
“Ahmmm … Masnya bukan orang Paris, ya? Dari nada bicaranya, hmmm … apa Masnya ini orang Indonesia?” tebak Arumi setelah menyadari jika logat berbicara Jordhy sedkit berbeda dengan dialek orang-orang Paris lainnya, juga wajah yang terasa familiar itu. Jordhy tersenyum dan mengangguk. “Betul, Madame! Saya orang Indonesia! Senang bertemu dengan perempuan hebat yang berkarir cemerlang seperti Anda di sini! Saya Durov!” Jordhy memperkenalkan diri sambil menyelipkan pujian untuk sang mantan istri. Tentunya Arumi memang perempuan hebat. “Betul rupanya kecurigaan saya, wajah-wajahnya seperti familiar, rupanya orang Indonesia!” tutur Arumi sambil tersenyum ramah, lalu percakapan berlanjut dengan Bahasa Indonesia. Beruntung, Arumi pun tampak tak bertanya terkait rasa pernah mengenalinya itu lagi. Pembahasanpun berlanjut tentang sebuah gaun istimewa yang akan Jordhy pesankan untuk sang istri. Sementara Arumi sibuk mencatat setiap permintaan Jordhy terkait kriteria gaunnya. Arumi tak tahu jika