“Apa se-enggak ada kerjaan itu, sampe elo harus ngajak ngobrol kakak ipar sendiri di jalanan?” Suara ketus itu membuat Arumi dan Kevandra menoleh. Jordhy sudah berdiri di ambang pintu sambil menyampirkan handuk ke bahu.
“Sorry, gue lupa, Mas! Elo penganten baru! Gi-l4, baru semalam akad, sudah bucin akut!” kekeh Kevandra sambil tertawa. Senyumnya terlihat manis dengan netra yang menyipit. Dia membetulkan ikatan rambut sebahunya dan lekas berjalan meninggalkan Arumi yang masih mematung. “Elo, ngapain bengong disitu! Ayo masuk!” ketus Kevandra sambil kembali masuk ke dalam kamar. Arumi membuang napas kasar. Lalu, dia pun melangkah dan masuk. Aroma maskulin menguar. Warna kamar dominan formal dan tak ada sentuhan artistik sama sekali. Barang-barang yang diletakkan tampak rapi dan terkesan kaku. Tak ada hiasan apapun pada dinding, hanya satu jam digital yang terpajang pada tembok kamar. Arumi menjatuhkan bokongnya pada sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Sofa tersebut berada di dekat kaca besar yang menjadi pembatas kamar dengan balkon. Tirai warna silver menjadi penghalang agar kaca itu tak tembus pandang. Dia duduk tepekur sambil menyangga dagunya, ditatapnya ponsel seharaga dua jutaan yang mendadak dibelinya sebelum dilaksanakannya pernikahan. Sekilas terlintas rasa keberatan dari sang mama ketika dia menyatakan ingin berpura-pura jelek untuk mencari lelaki yang benar-benar tulus padanya. ***** “Tak kesahlah macam ini, Rum?” “Aku hanya ingin mencari calon suami yang benar-benar tulus, Mi!” “Memangnya harus macam ni?” “Umi lihat sendiri ‘kan? Dari sekian banyak calon yang umi kenalin? Rata-rata mundur?” “Umi juga jangan lupa, karena kecantikkanku ini, lelaki itu hampir saja merusak masa depanku, Mi! Di dunia ini, mungkin tak ada yang benar-benar tulus, entahlah!” ***** “Ini kartu debit sama kartu kredit buat elo. Tiap bulan nanti gue kirim nafkah ke kartu debit elo. Bisa ‘kan elo pakenya?” Suara Jordhy membuat pikiran Arumi yang tengah berkelana, kembali pada raganya. Diliriknya kartu debit dan kartu kredit yang diletakkan oleh Jordhy. Jordhy terlihat gagah dan seksi dengan kaos slim fit yang membungkus badannya yang ateltis dan proporsional. “Ck, dia pikir aku katrok banget apa, ya?” gerutu Arumi dalam batinnya. Namun, tak urung dia ambil dua kartu yang diletakkan Jordhy di depannya itu. “Bisa kok, Mas. Makasih, Mas.” Arumi bicara dengan nada lembut. “Oh, ya! Gue mau pergi dulu! Ada urusan! Elo boleh tidur di Kasur gue! Ingat, selama jadi istri gue, elo harus terus pakai cadar selama 24 jam, paham?” tanyanya sambil berjalan menjauh kembali. Dia meraih kunci mobil dan tampak merapikan rambutnya sekilas pada cermin besar. Lalu disemprotkannya parfum mahal dan aromanya langsung menguar. “Mas mau pergi ke mana? Bukankah kita baru saja sampe?” Wajah Jordhy tampak ditekuk. Dia melirik sekilas ke arah Arumi. Jordhy tak suka kalau perempuan itu mulai merepotkannya. “Oh iya, satu lagi! Elo memang istri gue, tetapi elo juga gak mesti tahu segala aktivitas gue! Gue juga gak bakal batasin aktivitas elo! Jadi, kita impas!” tutur Jordhy. Sepasang netra Arumi menyipit. Baru hari kedua, sudah semakin terasa tembok pembatas yang Jordhy ciptakan di antara mereka. Rasanya seperti omong kosong kalau katanya meminta waktu untuk bisa jatuh cinta dan berkenalan dulu selama enam bulan. Arumi berjalan dan mendekat ke arah Jordhy. “Oh, jadi aku pun bebas melakukan aktivitasku, Mas? Jadi, aku sudah boleh mulai kerja, Mas?” tanya Arumi pada Jordhy yang bersiap hendak keluar kamar. Seketika langkah kaki lelaki itu terhenti. Dia menoleh dan menatap Arumi dengan tatapan entah. “Kalo elo mau kerja? Terserah elo. Mau kerja, mau kumpul sama teman-teman elo, mau arisan, mau belanja! Gue gak akan ngatur elo. Cuma, gue minta sebaliknya … elo pun jangan ikut campur urusan gue! Selama masa penjajakkan ini, kita masih saling membebaskan! Paham?” Arumi menelan saliva. “Ya Tuhaaan … lelaki macam apa sebetulnya yang jadi suamiku ini?” “Paham?” Suara Jordhy kembali terdengar karena melihat Arumi cuma diam. “Ya, paham, Mas.” Arumi mengangguk saja sambil membuang napas kasar. Jordhy pun tersenyum menang dan lekas melangkah keluar kamar. “Sepertinya gak terlalu sulit ngatur dia, anaknya penurut! Masalahku sekarang cuma satu, Papa.” Seperginya Jordhy, Arumi memutuskan untuk membersihkan diri. Dia berjalan melewati lemari besar dan hendak menata pakaiannya yang ada dalam paper bag ke dalam lemari. Baju-baju lainnya nanti dia akan ambil saja sepulang kerja. Arumi baru hendak melepas cadar yang membuatnya merasa terhambat bergerak itu. Hanya saja, sudut netranya menangkap sosoknya pada cermin besar yang terlihat menawan. Sepasang netra bening itu menatap lekat pantulan dirinya di depan cermin dengan tampilan yang terasa asing. Gamis, kerudung dan cadar lebar menutup wajahnya. “Kenapa aku malah terlihat ekslusif dengan pakaian seperti ini, ya? Ah, sayangnya aku belum siap,” batin Arumi sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin. Tiba-tiba dia merasa malu sekali dengan penampilannya beberapa tahun lalu, jangankan menutup aurat menyeluruh seperti sekarang, jilbab yang hanya menutup kepala saja dia tak pakai. Bahkan, dulu pakaiannya cenderung seksi. Apalagi tubuh proporsional, kaki jenjang dan kulit putih mulusnya, rasanya rugi kalau tak dia pamerkan. Rasanya ketinggalan zaman ketika memakai pakaian yang serba tertutup seperti sekarang. Namun, melihat penampilannya sekarang, tiba-tiba satu titik dalam hatinya merasa tersentuh walau belum seutuhnya. “Semoga aku bisa belajar agar benar-benar mencintai penampilan ini.” Arumi tersenyum sambil menatap sepasang netra Indah dengan bulu mata lentik yang tengah menatapnya pada cermin. Lalu, dia pun lekas membersihkan diri dan mengguyur tubuhnya dengan air yang menyejukkan. Usai mandi, dia lekas berganti pakaian. Arumi baru hendak merebahkan diri pada tempat tidur untuk beristirahat siang ketika suara dering ponsel membuat fokusnya teralihkan. Dia menoleh benda pipih itu dan meraihnya segera. “Siang Bu, maaf mengganggu. Ini ada klien baru yang memaksa bertemu langsung dengan Ibu. Mereka katanya mau mendesain pakaian pengantin untuk enam bulan ke depan!” “Kamu handel saja, Ver! Aku sedang ada urusan!” “Hmmm, tetapi mereka memaksa, Bu! Jika tak bertemu langsung, apa boleh bicara by phone saja katanya, Bu?” Arumi terdiam sejenak. Namun, akhirnya dia mengizinkan juga sang asisten untuk memberikan ponsel itu pada klien barunya. “Selamat Siang Bu Sabia! Saya Jordhy, apa bisa saya bertemu langsung dengan Ibu untuk konsultasi gaun pengantin?” Deg! “Suara itu? Kenapa mirip sekali dengan suara Mas Jordhy suamiku? Namanya juga sama. Lalu, apa itu tadi? Desain gaun pengantin? Untuk siapa? Bukankah kami baru saja menikah?” batin Arumi sambil menahan napas karena rasa terkejutnya.“Suara itu? Kenapa mirip sekali dengan suara Mas Jordhy suamiku? Namanya juga sama. Lalu, apa itu tadi? Desain gaun pengantin? Untuk siapa? Bukankah kami baru saja menikah?” batin Arumi sambil menahan napas karena rasa terkejutnya.Arumi membuang napas kasar sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan lelaki yang namanya sama dengan sang suami.“Saya sedang cuti, Pak Jordhy! Anda bisa jelaskan saja pada assisten saya dan biarkan dia merekamkan untuk saya! Asissten saya sudah menghandel jutaan klien, tolong jangan ragukan dia!” Lelaki dari seberang sana, beberapa detik tak mengeluarkan suara. Hingga akhirnya Arumi memutuskan sendiri panggilan teleponnya.“Semoga Anda mengerti! Selamat siang!” ujar Arumi sebelum panggilan berakhir. Ditatapnya ponsel yang ada di tangannya dengan kepala diisi beragam pertanyaan. “Apakah dia Mas Jordhy suamiku atau bukan? Ck, sayangnya ponsel lamaku ditinggal di rumah, jadi aku gak bisa check CCTV dari sini.” Arumi menyimpan ponsel dan mengambil laptop mil
Arumi berdiri di ruang keluarga yang ada di lantai dua. Ruang itu tak besar, tetapi tertata cukup apik dan terlihat artistik dengan guci-guci mahal, lukisan di dinding dan juga lampu hias yang besar. Di samping ruang tersebut terpasang dinding kaca yang luas sehingga ketika gorden dibuka, bisa langsung melihat taman yang ada di Balkon. Di sanalah kini lelaki berambut sebahu itu duduk santai pada sofa dan membelakanginya. Petikan gitarnya terdengar merdu mendayu. Entah kenapa, nuansa musik akustik itu mengingatkan kenangannya di kota Paris. Tanpa sadar, Arumi memejamkan mata, terbayang lagi deretan bangunan dengan desain unik, sudut-sudut kafe yang nyaman, angin musim semi yang membelai, monumen-monumen indah, megah dan ikonik, lalu seraut wajah yang ingin ia lupakan. “Hey, elo sedang apa?” Suara itu membuat Arumi membuka mata. Jordhy sudah berdiri di belakangnya. “Tidak.” Arumi menjawab singkat. Lalu mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Jordhy.“Dia sepertinya memperhat
“Bi, Arumi masih makan?” “Iya, Tuan, sama Tuan Kevan.” “Hah, sama Kevan?” Jordhy menautkan alis. Tiba-tiba saja dia meletakkan daging panggang dan lekas berjalan menuju ruang makan. Ketika tiba, tampak Kevandra tengah asik bercerita dan sesekali Arumi tertawa. “Dia kenapa tampak bahagia sekali bersama Kevandra, ya?” batin Jordhy sambil menatap sepasang netra dengan bulu mata lentik itu yang menyipit. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman di hatinya melihat sang istri tertawa lepas bersama lelaki lain di depannya. “Makanan gue mana, Rum?” Jordhy berdehem lalu duduk di samping Arumi. “Eh gue makan, Mas! Tadinya dari pada mubazir, kata Mbak Rumi, elo makan bareng Shelma, Mas?” Bukan Arumi yang menjawab, tetapi Kevandra yang langsung mendongak ke arahnya.“Iya tadinya, tapi males nunggu! Lama matengnya! Ambilin lagi, Rum!” titah Jordhy sambil menoleh pada Arumi yang baru saja menghabiskan suapan terakhir di piringnya.“Iya, Mas! Bentar aku siapin!” tutur Arumi seraya mengambil minum dan men
Jordhy masuk ke dalam kamar dan sedikit terkejut ketika melihat Arumi hanya mengenakan piyama tidur. Istrinya tampak meringkuk di sofa dengan rambut hitam legamnya diikat asal. “Ck, apa dia berusaha menggodaku? Kenapa berpakaian seperti itu di dalam kamar?” batin Jordhy sambil bergerak mendekat. Jantungnya berdegup ketika melihat kaki mulus Arumi yang kuning langsat. Juga bagian-bagian tertentu yang cukup menantang dalam posisi terlentang seperti itu.Seperti terhipnotis, Jordhy mematung dan menatap sang istri yang sedang terlelap dalam temaram itu. Sepasang bulu mata lentik itu mengatup, hidung mancung Arumi tertutup oleh masker. Lekas Jordhy menepis fantasi yang mulai berkeliaran. Sebagai seorang lelaki normal, Jordhy mengakui jika Arumi memiliki tubuh yang proporsional, tinggi dan semampai juga terlihat padat pada beberapa bagian. Hanya saja, semua kekaguman itu rusak ketika bayangan pertemuan pertama mereka melintas. *** “Perkenalkan, ini Arumi, Putri kami.” Wajah dengan pipi
Jordhy menyuap dengan cepat. Dia malas sekali melihat Kevandra yang anteng duduk di depannya menikmati menu yang sama. Menu yang dimasakkan Arumi untuknya. Bukan hanya itu, Kevandra juga begitu asyik menyesap kopi pahitnya. Tak berapa lama, Atmaja, Reska dan Shelma ikut bergabung juga. Arumi duduk di samping Jordhy dan sesekali mengambilkan lauk atau kebutuhan lain untuknya.“Walau aku merasa, kamu tak menginginkan pernikahan ini! Namun, biarkan aku berbakti selayaknya seorang istri hingga jodoh ini akan memilih … berhenti atau lanjutkan,” batin Arumi sambil mulai menyuap dalam diam. Jordhy berangkat kerja dengan mood yang kurang baik. Atmaja berangkat lebih siang. Sementara itu, Arumi meminta izin berangkat belakangan. “Tempat kerja elo jauh? Sorry, gue gak bisa nganter! Bisa pake mobil online saja pake duit yang gue kasih.” Jordhy bicara ketika Arumi baru selesai mencium punggung tangannya. “Iya, Mas!” Arumi tersenyum lembut. Jordhy pun berangkat menuju kantornya yang ada di sal
“Kalau begitu, jadwalkan saja! Desain yang kemarin kita diskus tolong siapkan!” tuturnya. Arumi lupa, jika Lisa yang disebutkan oleh sang assisten adalah perempuan yang kemarin datang ke butik bersama Jordhy. “Oke.” Arumi lekas berkemas. Dia mengambil beberapa potong pakaian dan dimasukkan ke dalam tasnya. Tak banyak yang bisa dia bawa. Karena meskipun dulu sudah mengenakan jilbab, tetapi dia lebih suka mengenakan jilbab modern seperti pashmina dan scrapt. Pakaiannya pun jarang dia memiliki gamis. Kebanyakan sejenis pakaian semi casual untuk ke butik atau jalan ke luar. Jamsuit, blazer, rok, kemeja dan cardigan. Pakaian yang dia kemas, lekas disimpannya ke bagasi mobil. “Um, Rumi berangkat dulu, ya!” “Ke?” “Ke butik sebentar, tadi Vera nelpon, ada customer baru yang mau ketemu langsung dan dapatkan advise!” “Oh ya sudah, hati-hati!” Arumi mencium punggung tangan Maziah, lalu beralih pada Khaidir. Keduanya tengah menikmati camilan pagi. Setelahnya, Arumi lekas berjalan menin
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Jordhy benar-benar tak fokus. Beruntung, Lisa bisa diandalkan untuk menyetir. Pagi tadi ketika mereka berangkat, Jordhy memang menolak memakai sopir. Tentunya, khawatir kalau perbuatannya akan bocor kepada Atmaja. Bisa-bisa habis digantung oleh papanya itu. “Mas, Mbak Sabia itu ternyata cerdas banget, ya! Terus semua advisenya itu logis dan detail yang tadi dia bubuhkan juga, sesuai banget sama keinginanku.” “Cuma yang tuxedo kamu, yakin gak mau dibuatkan di Sabia Collection juga? Padahal kata Mbak Vera, asistennya, kalau beli couple, dapat diskon!” Jordhy masih menatap kosong. Penggalan-penggalan kejadian tadi masih melekat dalam ingatan. Gamis limited edition, sepatu dan cincin yang tersemat di jemari owner Sabia collection, kenapa semua persis milik Arumi. Bukan hal itu, suara, gesture dan postur tubuhnya pun begitu serupa.“Mas!!!” Suara Lisa yang agak meninggi membuat Jordhy terkejut. “Ya, Lis!” Jordhy menoleh pada perempuan yang terlihat c
Malam harinya, mereka makan bersama. Arumi melayani Jordhy seperti biasa. Dia menyendokkan lauk dan mengambilkan beberapa helai daun bawang yang ada pada sop iga di mangkuknya. Juga jeruk panas yang dibuat Arumi sendiri dan diletakkannya di dekat Jordhy. Arumi banyak mempelajari hal yang Jordhy sukai dan tak Jordhy sukai dari dua ART yang sudah lama bekerja di sana. Awalnya, sebelum dia tahu ada perempuan lain di hati Jordhy, Arumi ingin membuat lelaki itu jatuh cinta perlahan. Namun, sekarang tidak. Arumi hanya ingin menorehkan sebanyak-banyaknya kesan di hati lelaki itu, agar setelah enam bulan nanti, dia merasa kehilangan. Atmaja yang sebelum makan sudah menegur Jordhy karena kelalaiannya melihat Arumi berangkat diantar Kevandra, mengulas senyum. Sepertinya kekhawatirannya salah. Arumi dan Jordhy terlihat baik-baik saja. Usai makan malam, Arumi pun membuatkan cappuccino panas kesukaan Jordhy. Lelaki itu menoleh pada sang istri yang baru saja meletakkan minuman yang masih mengepul
“Mana ada, itu lukisan pesanan teman.” Kevandra menjawab untuk menghindarkan spekulasi. Bisa-bisa kisruh kalau Shelma sudah bersuara. Dia pun lekas mengeluarkan uang pecahan lima ribuan.“Ini duitnya! Sana pergi jajan!” tutur Kevandra sambil menyodorkan uang itu pada Shelma. “Dih, goceng! Kayak zaman penjajahan, ish! Maratus, Mas! COD besok pagiiiii!” Shelma nyengir kuda sambil menengadahkan tangan.Kevandra menggeleng pelan. Tak banyak pecahan ratusan ribu di dalam dompetnya. Dia lebih banyak menyimpan uang-uang kecil. Karena memang cash yang dia pegang, biasanya untuk berbagi pada pedagang-pedagang kecil yang kebetulan ia temui, tukang sapu jalanan, pengamen, pemulung atau entah siapa saja. “Nih, besok balikin!” tutur Kevandra sambil menyodorkan uang sejumlah yang Shelma minta.“Thanks a lot! Aku doain biar Mas Kev cepet dapet jodoh!” kekehnya sambil mencium lembaran uang serratus ribuan itu, lekas dia beranjak begitu saja meninggalkan Kevandra yang mematung menatap sepasang mata
Usai makan malam, Kevandra mengecek beberapa pesan pada emailnya sebentar. Dia memeriksa laporan dari manager property. Semua investasi yang dibangun almarhum Suryadinata---sang ayah sebelum meninggal, mau tak mau harus dia teruskan. Beruntung, Kevandra dikelilingi orang-orang baik. Juga Atmaja---sang ayah sambung yang cukup amanah dan totalitas mendukungnya.Selama dia belum bisa mengelola bisnis property peninggalan sang ayah sendiri, Atmaja dengan telaten mengurus dan menjaganya, sehingga ketika Kevandra dewasa dia bisa menyerahkan semua asset itu tanpa berkurang satu apapun. Meskipun bisnisnya tak sebanyak perusahaan yang dikelola Atmaja, tetapi dua unit apartemen dan satu buah hotel yang sudah berdiri lama itu, cukup untuk membiayai kehidupan Kevandra sendiri. Hanya saja, sayang sekali, Kevandra tak terlalu menyukai bidang itu. Saat ini, dia hanya mengelola yang sudah ada dan mempercayakan pada orang-orang di bawahnya. Sementara itu, dia sendiri malah mengambil kuliah jurusan s
“Dah pulang elo, Mas? Yok, makan!” tutur Kevandra yang sudah melepas tangannya yang tadi menyangga tubuh Arumi. “Gak selera! Masakan amatiran kek gitu, paling gak enak!” oceh Jordhy sambil melirik sebal ke arah piring Kevandra yang sudah hampir kosong. Terbayang dalam benaknya, apa saja yang sudah dua orang itu lakukan.“Ya elah, gitu amat, Mas!” decih Kevandra sambil kembali duduk dan bersila. Sementara itu, Arumi menoleh pada Jordhy sekilas. Awalnya hendak menawari makan. Namun, kalimat barusan membuat Arumi mengurungkan niat. Jordhy bilang masakannya amatiran, tidak enak. Akhirnya Arumi mengambil piring bekas makan dan berjalan meninggalkan Jordhy dan Kevandra berduaan. Lalu dia ke dapur dan meletakkan piring bekas itu ke wastafel. “Eh, sudah pada selesai makannya, Non? Biar bibi bereskan!” Bi Armah yang baru selesai menyetrika menoleh pada Arumi.“Masih ada Kevan sama Shelma, Bi! Cuma Shelmanya masih di kamar mandi.” “Oh, baik, Non!” Arumi lekas mengambil buah potong dari lem
“Wah masakan kamu enak banget, Rum! Gagal diet nih, Mama!” Reska meletakkan sendok dan garpu pada piring kosongnya. Ide Kevandra untuk makan bersama di gazebo belakang, rupanya tak buruk juga.Dia bahkan sibuk membantu dua ART menyiapkan alat panggang untuk steak ikan tuna yang sudah Arumi siapkan bumbunya. Kevandra, selalu rindu kebersamaan dengan keluarga. Terlalu lama di negeri orang, membuatnya memaksimalkan waktu yang ada untuk bersama dengan Reska, sang mama. “Iya loh, Mbak! Masakan kamu enak. Kamu gak seburuk yang dulu aku pikirkan. Pas awal-awal, aku underestimate banget sama kamu, Mbak! Sorry ya, Mbak! Habisnya kata Mas Jordhy kamu itu kampungan, mukanya jelek ada tompel dan kayaknya manja sampai-sampai nyari suami saja dicariin sama keluarga.” Shelma masih bicara sambil menyuap. Wajah judesnya masih sama, hanya saja dia sudah mulai menyukai Arumi karena masakan-masakan enaknya. Cuma tetap saja, kalimatnya yang blak-blakkan membuat Arumi mengelus dada.“Ini, nih! Kalau ngomo
“Ah, persetan! Ngapain mikirin mereka! Bukannya justru malah bagus kalau mereka makin akrab! Jadi, setelah enam bulan ini! Aku bisa menceraikan Arumi tanpa takut disalahkan papa! Nanti tinggal kubilang saja, aku terganggu dengan kedekatan Rumi dan Kevandra.” Jordhy tersenyum sendiri. Meski dia pun tak sadar, ketika hatinya mulai tak sejalan dengan rencana yang dia susun berdasarkan logika. Hanya saja, dia masih bertahan. ****** Sore harinya, usai meeting dengan klien. Jordhy bersiap-siap pulang. Hatinya mengajaknya untuk pergi. Apalagi teringat percakapan Arumi dan Kevandra tadi pagi. Sore ini, Arumi akan memasakkan tuna grilled steak untuk makan malam. “Mas, kita jadi ‘kan?” Suara Lisa membuat Jordhy yang tengah mematikan laptop mendongak. Tampak Lisa dengan wajah yang sudah di touch up dengan make up dan terlihat segar berdiri di depannya. Pakaiannya, tentunya memang style Lisa selalu membuat betah orang yang memandang. “Ke mana, Lis?” Jordhy menautkan alis. Seharian ini begitu
“Kalau kita tak pergi, apa papa akan marah? Kebetulan aku baru mau minta izin pulang ke Surabaya. Abi mau operasi.”Jordhy bergeming. Dia kira, akan mendapat respon kegirangan. Bukankah Arumi hanya anak seorang pengusaha kecil saja? Bukankah pernikahan mereka pun atas perjanjian kedua pihak, orang tua mereka? Jordhy mengira, Arumi akan jingkrak-jingkrak senang karena akan diajak ke kota yang cukup terkenal. Eh, ternyata responnya diluar dugaan.“Kalau elo yang nolak, kayaknya gak marah dia. Asal jangan nyuruh gue bilang ke papanya.” “Oke, Mas! Nanti aku bilang papa.” Arumi mengangguk dan meletakkan lagi voucher liburan itu ke tempat semula. Lalu dia beranjak ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Setelahnya, dia melaksanakan shalat isya dan terlihat berdoa dengan khusuk. Usai shalat, dia kembali berbaring pada sofa setelah berganti dengan piyama. “Perempuan aneh, diajak ke luar negeri, malah nolak!” batin Jordhy sambil merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Hatinya mulai mendefinisikan
“Enggak kok, Bi! Abi tenang saja! Mas Jordhy baik dan pengertian, kok, Bi! Cuma dia memang workaholic, ya maklum, abi tahu sendiri sebesar apa tanggung jawab Mas Jordhy di perusahaan!” Arumi berbicara panjang lebar. Dia berusaha meyakinkan sang ayah jika rumah tangganya dengan Jordhy baik-baik saja. Meskipun, kenyataannya tak seindah yang Arumi katakan. Bahkan, seminggu saja belum usia pernikahan mereka, Arumi sudah mengetahui fakta ada wanita lain di hati suaminya. Sementara itu, Arumi tak sadar jika sejak tadi Jordhy sudah berdiri tak jauh dari dirinya yang membelakangi kamar. “Apa katanya tadi, aku orang baik dan pengertian? Apa seperti itu ya, aku di matanya? Jangan-jangan dia sudah jatuh cinta dan mulai kagum padaku? Ck, memang pesonaku gak ada yang bisa menolaknya,” Jordhy tersenyum sambil mengusap bulu halus yang tumbuh sekitar pelipis dan dagu. Entah kenapa hatinya menghangat ketika mendengar Arumi memujinya. Jordhy berjalan dan kembali masuk ke dalam kamar. Dia pu
Perlahan Jordhy berusaha melupakan kecurigaannya terkait Arumi. Sisi logisnya sibuk menepis. Tak mungkin jika owner Sabia collection yang butiknya sampai di manca negara itu, seorang perempuan dengan muka buruk. Dia berusaha mencari beragam informasi dari internet, tetapi tak satupun yang menampilkan wajah owner Sabia collection tersebut. Di beberapa kesempatan ada potret ketika perempuan itu menerima penghargaan, tetapi memang wajahnya selalu menggunakan masker. [Owner Sabia Collection merupakan seorang fashion desainer lulusan universitas Ecole superieure des arts et techniques de la mode atau yang lebih dikenal dengan kependekkan ESMOD yang berada di Paris, Prancis. Dia berhasil menyelesaikan S1 nya di sekolah mode tertua dan bergengsi di dunia tersebut dan sukses mengembangkan bisnisnya di tanah air. Owner Sabia Collection memiliki kurang lebih dua puluh cabang butik yang berada di kota-kota besar di nusantara. Pusat butiknya berada di Surabaya, sedangkan cabangnya berada di ber
“Mas, please! Aku harus menyiapkan data meeting dengan Pak Arshaka hari ini ‘kan?”“Dengan mobil online saja atau taxi, bisa?” “Dari tadi gak dapet-dapet, Mas! Jam sibuk!” Jordhy berpikir sejenak. Benar, dia ada meeting dengan Arshaka. Lalu, rengekkan Lisa membuatnya dilemma. Namun, bukannya dia sudah berjanji mengantarkan Arumi. “Mas, please! Meetingnya pagi masalahnya! Langsung ke sini, ya! Sarapan bareng nanti!” “Baiklah!” Jordhy kalah. Hatinya yang memang masih gamang memutuskan dengan cepat. Dia pun turun dan membawa tas kerja menyusul Arumi ke meja makan. Tampak sang istri tengah menyiapkan sarapan untuknya. “Hari ini aku siapkan grilled tuna mozzarella! Makanan kesukaan abi! Kata Bi Armah, kamu suka juga,” tutur Arumi seraya meletakkan cappuccino panas kesukaan Jordhy.“Enak tahu, Mas! Aku baru tahu Mbak Rumi pintar masak!” Shelma yang sudah menduduki kursi di samping kursi Arumi berkomentar. Shelma bukan orang berhati busuk, tetapi memang karakternya saja yang blak-blak