[Sen, aku jadi ya pesen obat itu. Mau yang dosis tinggi. Yang bisa bikin hot, pokoknya.] [Siap, Cinta! Obatnya aku kirim ke apartemen kamu atau nanti saja pas ketemu di villa?] Percakapan pun terputus. Lekas Lisa kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Segudang rencana sudah tersusun apik dalam kepalanya. Keberadaan Arumi, sikap Jordhy yang seperti tunduk dengan keadaan membuat Lisa khawatir. Jordhy akan membuangnya kemudian hari. Itu tak boleh terjadi.Sementara itu, Jordhy ke ruangan Atmaja. Ada beberapa project baru yang dibicarakan oleh keduanya. Sesekali Jordhy memberikan pendapat dan mengeluarkan idenya. Dalam hal ini, Jordhy memang terbilang cerdas. Usai diskusi, Jordhy hendak kembali ke ruangan. Hanya saja, pertanyaan Atmaja membuat Jordhy menghentikan langkah. “Arumi bilang, jadwal operasi ayahnya bergeser dua minggu ke depan. Papa harap, kamu bisa mengantar dia pulang.” Tak mau berdebat panjang, Jordhy hanya menganggukkan kepala saja. Lalu dia keluar
Arumi menyapa Kevandra dan Shelma yang tengah bercengkrama di ruang tengah. Lalu dia begitu saja hendak menaiki anak tangga. Hanya saja langkah Arumi melambat ketika mendengar obrolan Kevandra dengan Shelma. “Dih, aku ikut dong ke Paris! Please!”Arumi menautkan alis. Kevandra mau ke Paris? Ah, dia ‘kan memang pernah bercerita kuliah di sana. Jadi, kenapa Arumi heran kalau dia mau pergi ke sana lagi? Meskipun Kevandra bukan seorang penggemar fashion, bisa jadi dia hanya dating untuk melihat orang-orang, menikmati perayaan yang sebagian orang menganggapnya sebagai sebuah budaya.Arumi pun melanjutkan langkah menuju kamarnya. Lelah hari ini terasa luar biasa. Arumi lekas mandi, berganti pakaian, lalu mengirim pesan pada Jordhy apakah makan di rumah atau tidak. Namun, ternyata katanya masih ada meeting. Semoga saja benar, memang meeting terkait pekerjaan. Arumi pun lekas makan lebih dulu. Di rumah itu tak selalu makan bersama menjadi agenda harian. Kesibukkan yang beragam membuatnya ha
“Nah, selesai.” Arumi melepaskan tangan Jordhy setelah dia obati. Lekas dia beranjak menyimpan kotak P3K nya kembali. Tanpa sadar, Jordhy tengah memandangnya dengan tatapan entah. Kenapa ada yang berdesir ketika tangan mereka bersentuhan?“Sekeras ini usaha dia untuk membuatku jatuh cinta, ya? Berbeda sekali dia dengan Lisa,” batin Jordhy sibuk berbicara. Jordhy memegang jemarinya yang tadi digenggam Arumi untuk diobati sambil tersenyum. Ada perasaan hangat di hatinya ketika mendapat perhatian dan diperlakukan sebaik itu oleh seorang perempuan.“Cewek kamu posesif banget kayaknya, Mas,” batin Arumi sambil melirik sekilas pada gawai Jordhy yang tak henti berpendar dan menampilkan kontak Lisa yang memanggil berulang-ulang. Hanya saja, meskipun sudah tahu, Arumi memilih abai. Tak berapa lama, Bi Armah pun datang. Dia sigap membantu membersihkan pecahan gelas yang berserakan. Arumi sendiri lekas kembali ke tempat duduknya. Terdengar Jordhy meminta Bi Armah ke apotek untuk membeli obat.
Jordhy berulang menyugar rambut ke belakang dengan kasar. Satu tangannya masih di atas stir mobil. Sementara itu, Lisa duduk di sampingnya, sejak tadi bersenandung riang. Senyumnya tak henti mengembang. Wajahnya yang selalu full make up dikala bersama Jordhy, tampak semringah. Bagaimana tidak, membayangkan dia akan menjadi Nyonya Jordhy sebentar lagi, membuatnya bergembira. Jordhy sendiri, akhirnya memutuskan untuk pergi ke Bandung bersama Lisa. Dia sudah cukup lelah dengan pertengkaran yang terjadi belakangan ini. Akhirnya, pagi itu dia memutuskan untuk pergi menemani Lisa dalam acara reunian. Alasan pada Atmaja tentunya terkait pekerjaan. Mudah bukan? Karena Lisa adalah sekretarisnya, jadi tak terlalu sulit mencari alasan. “Yuhuuu, seru banget pasti nanti. Temen-temenku bakal shock pas tahu sekarang aku sudah punya pacar seorang bos. Ah, semoga saja aku bukan hanya menjadi calon lagi, melainkan sebentar lagi bisa jadi istri sahnya. Duh gak sabar pengen cepet sampe, nunggu malem, l
“Barusan papa menelpon, ada dari notaris yang akan datang untuk urus akta.” Jordhy yang sudah menyiapkan sederet alasan kebohongan menjelaskan. Ya, memang dia tak mungkin bilang yang sesungguhnya bukan? Atau pertengkaran nantinya akan semakin panjang? “Duh, kok ngedadak sih, Mas. Gimana, ya? Gamesnya masih beberapa lagi, loh! Please tahan sebentar lagi, ya!” Lisa menggigit bibir bawahnya. Dia menatap wajah Jordhy penuh harap. “Maaf, Sayang. Kalau nanti aku terlambat, papa bisa marah. Sudah tahu ‘kan sekeras apa dia sekarang? Gimana kalau nanti pengalihan perushaan jadi batal dan malah dialihkan buat Kevandra?” Jordhy menatap sepasang pupil hitam yang menatapnya cemas. Ya, Lisa, cemas. Namun, bukan karena games bersama teman-temannya belum usai. Namun, karena games yang sedang dia siapkan untuk menjebak Jordhy, belum dimulai. Obat itu masih berada di dalam tasnya. Rencana, baru nanti malam dia bubuhkan pada minuman Jordhy ketika acara barbeque dan tembang santai. Namun, kalau Jordhy
Jordhy mengendarai mobil dengan tak fokus dan penuh emosi. Melaju zigzag, menyalip kanan kiri. Jalanan yang cukup padat membuat kekesalannya meluap. Berulang kali memijit klakson. Kenapa seolah-olah semesta tak mendukungnya. Dia tak boleh membiarkan Kevandra hanya berduaan saja dengan Arumi di Surabaya. Kekacauan pikiran membuat fokusnya hilang. Di sebuah pertigaan, hampir saja dia menabrak penyebrang jalan. Namun, reflek dia membanting stir ke sebelah kiri, hanya saja mobil menjadi menabrak pembatas pagar. Teriakkan panik orang-orang terdengar. Para pejalan kaki dan penjual angkringan yang ada di sekitar lokasi berlarian menghampiri. Jordhy merasa kepalanya berat, tetapi dia masih sadar ketika orang-orang membantunya keluar. Kakinya terasa nyeri dan satu tangannya seperti berat untuk digerakkan. Hanya saja, setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Ketika Jordhy sadar, dia sudah berada di sebuah ruangan. Ini kamarnya? Tidak, bukan, ada bau obat-obatan yang tercium lekat, juga selan
Pulang ke rumah, Jordhy memang sudah bisa berjalan meski masih terpincang. Hanya saja dia belum berangkat ke kantor. Selain tangan kirinya yang belum bisa digerakkan, moodnya juga benar-benar masih berantakan. Berulang kali, dia melirik ponsel, tetapi semua chatnya dipenuhi dari Lisa, Lisa dan Lisa. Juga beberapa kepala divisi yang melaporkan terkait pekerjaan. Ada juga dari mereka yang mengucap agar lekas sehat. Namun, tampaknya semua hanya basa-basi saja. “Kenapa dia gak kirim kabar? Apa dia gak tahu suaminya ini kecelakaan, ck? Apa dia sibuk pacaran sama Kevandra di sana, sampe lupa pada suami sendiri?” Jordhy menggerutu sambil menatap sofa yang kini kosong. Entah kenapa, sudut hatinya mulai merasa kehilangan. Jordhy menatap ponsel. Nomor Arumi tertera di sana dengan kontak bernama tompel. Rasa tak suka dengan penampilannya membuat dia bahkan enggan menuliskan nama Arumi dengan benar di ponselnya. Ditekannya tombol kontak itu, lalu ditatapnya lama-lama. Tak ada foto profil di sa
Lisa menatap Jordhy tak percaya. Lelaki yang dulu selalu memanjakkannya, tiba-tiba saja membentaknya dengan begitu marah, padahal dia hanya ingin menemaninya ke Surabaya. “Mas, kamu kenapa? Aku cuma mau nemenin kamu ke Surabaya.” “Lis, gak semua urusanku bisa melibatkan kamu!” “Aku gak perlu terlibat. Aku cuma mau nemenin kamu.” “Aku gak butuh ditemani!” “Tapi aku mau.” “Lis, tolong, jangan keras kepala! Keluar dari mobilku sekarang!” “Enggak!” Jordhy mengusap wajah kasar. Dia memejamkan mata sejenak. Kenapa semakin ke sini, Lisa semakin ingin ikut campur urusannya. “Mau kamu apa, hmmm? Tolong ngertiin aku, Lis! Ayo keluar!” Jordhy yang kelewat kesal. Dia pun membuka pintu mobil dengan kasar, berjalan cepat memutar, lalu menarik Lisa dari pintu sebelahnya."Ayo!""Lepasss!""Lisa! Keluar!" Jordhy pun menarik paksa Lisa, lalu setengah menyeretnya menuju ke apartemen. “Mas, aku mau ikut kamu!” Lisa meronta, tetapi dia kalah tenaga. Jordhy menarik koper dan tangan Lisa dengan k
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d
Satu sore, setelah minggu-minggu berlalu dan uang yang terkumpul sudah lumayan, Jordhy memutuskan untuk kembali mendatangi butik Arumi. Hanya saja, dia tampak tak suka melihat Kevandra baru keluar dari sana dan melambaikan tangan. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, sorot mata Kevandra mampu membuat batin Jordhy meletup-letup tak karuan. Apalagi sepasang netra Arumi yang menyipit tanda sedang tersenyum di balik cadar. Jordhy berdiri dan berpura-pura saja melihat-lihat koleksi yang ada. Juga bersembunyi, khawatir Kevandra mengenalinya.Tiba giliran dia untuk bertemu Arumi. Diserahkannya dengan sumringah hasil dari dia menjadi musisi jalanan beberapa waktu yang lalu untuk mencicil gaun yang dipesannya untuk sang istri. Dia melirik ke atas meja, tampak dua botol berisi kapsul yang sepertinya vitamin terletak di atas meja Arumi. Apakah Arumi sakit sampai harus meminum vitamin sebanyak itu? “Cicilan untuk gaun istimewa untuk istri saya tercinta!” tutur Jordhy. “Biar Rosa yang tangan
“Ahmmm … Masnya bukan orang Paris, ya? Dari nada bicaranya, hmmm … apa Masnya ini orang Indonesia?” tebak Arumi setelah menyadari jika logat berbicara Jordhy sedkit berbeda dengan dialek orang-orang Paris lainnya, juga wajah yang terasa familiar itu. Jordhy tersenyum dan mengangguk. “Betul, Madame! Saya orang Indonesia! Senang bertemu dengan perempuan hebat yang berkarir cemerlang seperti Anda di sini! Saya Durov!” Jordhy memperkenalkan diri sambil menyelipkan pujian untuk sang mantan istri. Tentunya Arumi memang perempuan hebat. “Betul rupanya kecurigaan saya, wajah-wajahnya seperti familiar, rupanya orang Indonesia!” tutur Arumi sambil tersenyum ramah, lalu percakapan berlanjut dengan Bahasa Indonesia. Beruntung, Arumi pun tampak tak bertanya terkait rasa pernah mengenalinya itu lagi. Pembahasanpun berlanjut tentang sebuah gaun istimewa yang akan Jordhy pesankan untuk sang istri. Sementara Arumi sibuk mencatat setiap permintaan Jordhy terkait kriteria gaunnya. Arumi tak tahu jika