Pulang ke rumah, Jordhy memang sudah bisa berjalan meski masih terpincang. Hanya saja dia belum berangkat ke kantor. Selain tangan kirinya yang belum bisa digerakkan, moodnya juga benar-benar masih berantakan. Berulang kali, dia melirik ponsel, tetapi semua chatnya dipenuhi dari Lisa, Lisa dan Lisa. Juga beberapa kepala divisi yang melaporkan terkait pekerjaan. Ada juga dari mereka yang mengucap agar lekas sehat. Namun, tampaknya semua hanya basa-basi saja. “Kenapa dia gak kirim kabar? Apa dia gak tahu suaminya ini kecelakaan, ck? Apa dia sibuk pacaran sama Kevandra di sana, sampe lupa pada suami sendiri?” Jordhy menggerutu sambil menatap sofa yang kini kosong. Entah kenapa, sudut hatinya mulai merasa kehilangan. Jordhy menatap ponsel. Nomor Arumi tertera di sana dengan kontak bernama tompel. Rasa tak suka dengan penampilannya membuat dia bahkan enggan menuliskan nama Arumi dengan benar di ponselnya. Ditekannya tombol kontak itu, lalu ditatapnya lama-lama. Tak ada foto profil di sa
Lisa menatap Jordhy tak percaya. Lelaki yang dulu selalu memanjakkannya, tiba-tiba saja membentaknya dengan begitu marah, padahal dia hanya ingin menemaninya ke Surabaya. “Mas, kamu kenapa? Aku cuma mau nemenin kamu ke Surabaya.” “Lis, gak semua urusanku bisa melibatkan kamu!” “Aku gak perlu terlibat. Aku cuma mau nemenin kamu.” “Aku gak butuh ditemani!” “Tapi aku mau.” “Lis, tolong, jangan keras kepala! Keluar dari mobilku sekarang!” “Enggak!” Jordhy mengusap wajah kasar. Dia memejamkan mata sejenak. Kenapa semakin ke sini, Lisa semakin ingin ikut campur urusannya. “Mau kamu apa, hmmm? Tolong ngertiin aku, Lis! Ayo keluar!” Jordhy yang kelewat kesal. Dia pun membuka pintu mobil dengan kasar, berjalan cepat memutar, lalu menarik Lisa dari pintu sebelahnya."Ayo!""Lepasss!""Lisa! Keluar!" Jordhy pun menarik paksa Lisa, lalu setengah menyeretnya menuju ke apartemen. “Mas, aku mau ikut kamu!” Lisa meronta, tetapi dia kalah tenaga. Jordhy menarik koper dan tangan Lisa dengan k
“Sabia...” Netra Arumi seketika membeliak. Jantungnya berdegub cepat. Berulang kali dia mengerjap memperhatikan sosok lelaki berkulit putih yang berjalan mendekat. Arumi berharap, lelaki itu tak mengenalinya. Sudah lama, lama sekali ia ingin mengubur semua kenangan pahit dengannya.Arumi lekas memutar tubuh dan hendak melangkah masuk, tetapi Pedrio dengan cepat menangkap lengannya.“Sabia, tunggu! Kamu Sabia 'kan?"“Lepas, kita bukan mahram!” Arumi menepis kasar lengan kekar yang mencengkeram pergelangan tangannya.“Maaf, aku cuma kangen.”“Kita sudah selesai. Aku sudah menikah. Jadi, tolong menjauhlah!” Pedrio terkekeh pelan. Selama ini, tak pernah sekalipun dia mendengar kabar kalau Arumi menikah. “Jangan bercanda, Bia! Tak satu orang pun yang mengabarkan kalau kamu sudah menikah.” Arumi memejamkan mata. Sabia, bahkan dulu panggilan itu teramat istimewa. Satu kata panggilan yang berbeda dan akhirnya dia abadikan untuk launcing butik perdananya. Dulu, Arumi mengira, Pedrio adala
“Gak penting juga kenal saya. Saya cuma mau memastikan, apakah kamu pernah tinggal di Paris?” “Hmmm, ya.” “Apa pernah terlibat baku hantam selama di Paris gara-gara seorang perempuan.” “Ya, sering. Kamu wartawan gossip, ya?” Kevandra terkekeh. Rupanya Pedrio orang yang terbuka. Hal itu terbukti dengan kelugasan dia menjawab pertanyaan yang Kevandra berikan.“Oke, thank you! Satu lagi pertanyaan. Saya melihat kamu keluar dari rumah Arumi. Apa kamu kenal dia? Pedrio menatap wajah Kevandra seolah tengah menilai. Namun, tak urung juga dia menjawab pertanyaan yang Kevandra berikan.******* Jordhy membuka mata. kepalanya terasa berat. Butuh beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, memandang sekeliling ruangan yang familiar. Di mana dia? Jordhy mengusap wajah ketika netranya menatap foto yang terpajang. Dia baru sadar jika saa tini masih berada di apartemen Lisa. Jordhy menyibak selimut yang menutup tubuhnya. Namun, alangkah terkejutn
“Apa pernah terlibat baku hantam selama di Paris gara-gara seorang perempuan.” “Ya, sering. Kamu wartawan gossip, ya?” Kevandra terkekeh. Rupanya Pedrio orang yang terbuka. Hal itu terbukti dengan kelugasan dia menjawab pertanyaan yang Kevandra berikan.“Oke, thank you! Satu lagi pertanyaan. Saya melihat kamu keluar dari rumah Arumi. Apa kamu kenal dia? Pedrio menatap wajah Kevandra seolah tengah menilai. Namun, tak urung juga dia menjawab pertanyaan yang Kevandra berikan.“Oh, Sabia maksud kamu. Ya, kami dulu pernah menjalin hubungan. Namun, sayang. Dia mutusin saya.” Lalu, Kevandra masih mengajak mengobrol ringan. Dia bertanya tanpa menunjukkan wajah aslinya. Hingga sesi akhir obrolan, Kevandra masih mengenakan masker dan kaca mata. Khawatir Pedrio mengenalinya dan membalas dendam. Beruntung lelaki itu mengira, dirinya wartawan dari tabloid gossip. Mengingat, karir Arumi di dunia fashion, namanya sedang mewangi. “Oh, ya! Boleh minta berfoto sebentar? Buat kebutuhan publikasi.”
Arumi melirik sekitar. Di sudut ruangan, kursi hang berjejer sudah dipenuhi sepasang keluarga. Mereka tampak duduk bersisian dan berbagi cerita. Sang anak yang usianya Arumi taksir sekitar tujuh tahun, tampak memekik senang sesekali, tawanya pecah ketika sang ayah membisikkan sesuatu. Lalu, perempuan yang mungkin ibunya, memukul pelan bahu lelaki yang duduk di sampingnya itu. Arumi tersenyum getir. Berharap suatu hari nanti, bisa mendapatkan keharmonisan keluarga seperti itu. Berbeda sekali dengannya, kini duduk memelum tas sendirian. Tak berapa lama menunggu, terdengar suara dari pengeras suara yang memanggil penerbangannya. Arumi memejamkan mata dan mengucap basmallah. Lalu ia pun melangkah mengikuti penumpang lainnya dan menuju pesawat yang sudah siap.“Selamat datang di eir esia. Semoga Anda menikmati perjalanan Anda!”*Jordhy sudah kembali ke rumah. Habis dia diinterogasi Atmaja. Lelaki itu memicing tak percaya. Bukankah pagi tadi dia berangkat untuk penerbangan ke Surabaya, ke
“Pergi!! Jangan sentuh aku!” pekik Arumi reflek dengan suara bergetar ketakutan. Dia langsung bangun dan menendang tubuh Jordhy yang duduk pada sofa bed miliknya. Trauma itu, kembali terbayang. Yang terlihat di depannya seperti wajah Pedrio yang menyeringai. Rupanya pertemuannya dengan Pedrio siang tadi, menyebabkan trauma lama itu muncul kembali.“Hey, tenang! Ini gue, Jordhy!” Jordhy menangkap tangan Arumi yang reflek memukulinya. Entah kenapa, getar aneh menjalar seperti sengatan-sengatan kecil menjalari lengan hingga dadanya ketika kulitnya dan kulit Arumi bersentuhan. Apakah dua minggu ditinggal pulang, serindu ini Jordhy padanya?Sepasang netra cantik itu mengerjap. Beberapa detik, tampaknya kesadarannya baru terkumpul. Arumi menarik jemarinya yang digenggam Jordhy dengan cepat. “Jangan suka bikin kaget orang dong, Mas!” Jordhy tersenyum, melihat ekspresi Arumi yang polos setelah bangun tidur, entah kenapa membuat membuat senyumnya terkembang begitu saja. “Tampaknya elo, eh k
“Lisa, mulai hari ini, jika di kantor, hubungan kita harus terlihat professional. Ingat, papa masih memantau aku. Jadi, lupakan semua rencanamu itu.” Jordhy bicara pelan seolah takut ada orang yang mendengar. “Kamu lagi gak nolak aku ‘kan, Mas?” Entah kenapa, Lisa menjadi begitu sensitif. “Aku yakin kamu paham, Lis. Kecuali kamu, ingin kita berdua ditendang dari perusahaan ini dan jadi gelandangan.” Jordhy bicara tegas dan jelas. Lisa membuang napas kasar. Bibirnya mengerucut, tanda lagi sebal. “Awas ya, Mas! Jangan sampai kalau ini cuma akal-akalan kamu saja! Ingat, kamu sudah mengambil hal paling berharga dalam hidupku!” bisik Lisa sambil melipat tangan di dada. Jordhy bergeming. Rasa sesal, kesal dan benci berlarian. Dia benci jika mengingat kemarin seperti menjadi lelaki bodoh. Bangun tak berpakaian dan berada di atas tempat tidur, di kamar seorang perempuan. “Pokoknya kamu harus janji. Kalau pengurusan akta notaris sudah selesai, kita akan menikah.” “Lis, bisa gak beralih
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d
Satu sore, setelah minggu-minggu berlalu dan uang yang terkumpul sudah lumayan, Jordhy memutuskan untuk kembali mendatangi butik Arumi. Hanya saja, dia tampak tak suka melihat Kevandra baru keluar dari sana dan melambaikan tangan. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, sorot mata Kevandra mampu membuat batin Jordhy meletup-letup tak karuan. Apalagi sepasang netra Arumi yang menyipit tanda sedang tersenyum di balik cadar. Jordhy berdiri dan berpura-pura saja melihat-lihat koleksi yang ada. Juga bersembunyi, khawatir Kevandra mengenalinya.Tiba giliran dia untuk bertemu Arumi. Diserahkannya dengan sumringah hasil dari dia menjadi musisi jalanan beberapa waktu yang lalu untuk mencicil gaun yang dipesannya untuk sang istri. Dia melirik ke atas meja, tampak dua botol berisi kapsul yang sepertinya vitamin terletak di atas meja Arumi. Apakah Arumi sakit sampai harus meminum vitamin sebanyak itu? “Cicilan untuk gaun istimewa untuk istri saya tercinta!” tutur Jordhy. “Biar Rosa yang tangan
“Ahmmm … Masnya bukan orang Paris, ya? Dari nada bicaranya, hmmm … apa Masnya ini orang Indonesia?” tebak Arumi setelah menyadari jika logat berbicara Jordhy sedkit berbeda dengan dialek orang-orang Paris lainnya, juga wajah yang terasa familiar itu. Jordhy tersenyum dan mengangguk. “Betul, Madame! Saya orang Indonesia! Senang bertemu dengan perempuan hebat yang berkarir cemerlang seperti Anda di sini! Saya Durov!” Jordhy memperkenalkan diri sambil menyelipkan pujian untuk sang mantan istri. Tentunya Arumi memang perempuan hebat. “Betul rupanya kecurigaan saya, wajah-wajahnya seperti familiar, rupanya orang Indonesia!” tutur Arumi sambil tersenyum ramah, lalu percakapan berlanjut dengan Bahasa Indonesia. Beruntung, Arumi pun tampak tak bertanya terkait rasa pernah mengenalinya itu lagi. Pembahasanpun berlanjut tentang sebuah gaun istimewa yang akan Jordhy pesankan untuk sang istri. Sementara Arumi sibuk mencatat setiap permintaan Jordhy terkait kriteria gaunnya. Arumi tak tahu jika