Arumi menyapa Kevandra dan Shelma yang tengah bercengkrama di ruang tengah. Lalu dia begitu saja hendak menaiki anak tangga. Hanya saja langkah Arumi melambat ketika mendengar obrolan Kevandra dengan Shelma. “Dih, aku ikut dong ke Paris! Please!”Arumi menautkan alis. Kevandra mau ke Paris? Ah, dia ‘kan memang pernah bercerita kuliah di sana. Jadi, kenapa Arumi heran kalau dia mau pergi ke sana lagi? Meskipun Kevandra bukan seorang penggemar fashion, bisa jadi dia hanya dating untuk melihat orang-orang, menikmati perayaan yang sebagian orang menganggapnya sebagai sebuah budaya.Arumi pun melanjutkan langkah menuju kamarnya. Lelah hari ini terasa luar biasa. Arumi lekas mandi, berganti pakaian, lalu mengirim pesan pada Jordhy apakah makan di rumah atau tidak. Namun, ternyata katanya masih ada meeting. Semoga saja benar, memang meeting terkait pekerjaan. Arumi pun lekas makan lebih dulu. Di rumah itu tak selalu makan bersama menjadi agenda harian. Kesibukkan yang beragam membuatnya ha
“Nah, selesai.” Arumi melepaskan tangan Jordhy setelah dia obati. Lekas dia beranjak menyimpan kotak P3K nya kembali. Tanpa sadar, Jordhy tengah memandangnya dengan tatapan entah. Kenapa ada yang berdesir ketika tangan mereka bersentuhan?“Sekeras ini usaha dia untuk membuatku jatuh cinta, ya? Berbeda sekali dia dengan Lisa,” batin Jordhy sibuk berbicara. Jordhy memegang jemarinya yang tadi digenggam Arumi untuk diobati sambil tersenyum. Ada perasaan hangat di hatinya ketika mendapat perhatian dan diperlakukan sebaik itu oleh seorang perempuan.“Cewek kamu posesif banget kayaknya, Mas,” batin Arumi sambil melirik sekilas pada gawai Jordhy yang tak henti berpendar dan menampilkan kontak Lisa yang memanggil berulang-ulang. Hanya saja, meskipun sudah tahu, Arumi memilih abai. Tak berapa lama, Bi Armah pun datang. Dia sigap membantu membersihkan pecahan gelas yang berserakan. Arumi sendiri lekas kembali ke tempat duduknya. Terdengar Jordhy meminta Bi Armah ke apotek untuk membeli obat.
Jordhy berulang menyugar rambut ke belakang dengan kasar. Satu tangannya masih di atas stir mobil. Sementara itu, Lisa duduk di sampingnya, sejak tadi bersenandung riang. Senyumnya tak henti mengembang. Wajahnya yang selalu full make up dikala bersama Jordhy, tampak semringah. Bagaimana tidak, membayangkan dia akan menjadi Nyonya Jordhy sebentar lagi, membuatnya bergembira. Jordhy sendiri, akhirnya memutuskan untuk pergi ke Bandung bersama Lisa. Dia sudah cukup lelah dengan pertengkaran yang terjadi belakangan ini. Akhirnya, pagi itu dia memutuskan untuk pergi menemani Lisa dalam acara reunian. Alasan pada Atmaja tentunya terkait pekerjaan. Mudah bukan? Karena Lisa adalah sekretarisnya, jadi tak terlalu sulit mencari alasan. “Yuhuuu, seru banget pasti nanti. Temen-temenku bakal shock pas tahu sekarang aku sudah punya pacar seorang bos. Ah, semoga saja aku bukan hanya menjadi calon lagi, melainkan sebentar lagi bisa jadi istri sahnya. Duh gak sabar pengen cepet sampe, nunggu malem, l
“Barusan papa menelpon, ada dari notaris yang akan datang untuk urus akta.” Jordhy yang sudah menyiapkan sederet alasan kebohongan menjelaskan. Ya, memang dia tak mungkin bilang yang sesungguhnya bukan? Atau pertengkaran nantinya akan semakin panjang? “Duh, kok ngedadak sih, Mas. Gimana, ya? Gamesnya masih beberapa lagi, loh! Please tahan sebentar lagi, ya!” Lisa menggigit bibir bawahnya. Dia menatap wajah Jordhy penuh harap. “Maaf, Sayang. Kalau nanti aku terlambat, papa bisa marah. Sudah tahu ‘kan sekeras apa dia sekarang? Gimana kalau nanti pengalihan perushaan jadi batal dan malah dialihkan buat Kevandra?” Jordhy menatap sepasang pupil hitam yang menatapnya cemas. Ya, Lisa, cemas. Namun, bukan karena games bersama teman-temannya belum usai. Namun, karena games yang sedang dia siapkan untuk menjebak Jordhy, belum dimulai. Obat itu masih berada di dalam tasnya. Rencana, baru nanti malam dia bubuhkan pada minuman Jordhy ketika acara barbeque dan tembang santai. Namun, kalau Jordhy
Jordhy mengendarai mobil dengan tak fokus dan penuh emosi. Melaju zigzag, menyalip kanan kiri. Jalanan yang cukup padat membuat kekesalannya meluap. Berulang kali memijit klakson. Kenapa seolah-olah semesta tak mendukungnya. Dia tak boleh membiarkan Kevandra hanya berduaan saja dengan Arumi di Surabaya. Kekacauan pikiran membuat fokusnya hilang. Di sebuah pertigaan, hampir saja dia menabrak penyebrang jalan. Namun, reflek dia membanting stir ke sebelah kiri, hanya saja mobil menjadi menabrak pembatas pagar. Teriakkan panik orang-orang terdengar. Para pejalan kaki dan penjual angkringan yang ada di sekitar lokasi berlarian menghampiri. Jordhy merasa kepalanya berat, tetapi dia masih sadar ketika orang-orang membantunya keluar. Kakinya terasa nyeri dan satu tangannya seperti berat untuk digerakkan. Hanya saja, setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Ketika Jordhy sadar, dia sudah berada di sebuah ruangan. Ini kamarnya? Tidak, bukan, ada bau obat-obatan yang tercium lekat, juga selan
Pulang ke rumah, Jordhy memang sudah bisa berjalan meski masih terpincang. Hanya saja dia belum berangkat ke kantor. Selain tangan kirinya yang belum bisa digerakkan, moodnya juga benar-benar masih berantakan. Berulang kali, dia melirik ponsel, tetapi semua chatnya dipenuhi dari Lisa, Lisa dan Lisa. Juga beberapa kepala divisi yang melaporkan terkait pekerjaan. Ada juga dari mereka yang mengucap agar lekas sehat. Namun, tampaknya semua hanya basa-basi saja. “Kenapa dia gak kirim kabar? Apa dia gak tahu suaminya ini kecelakaan, ck? Apa dia sibuk pacaran sama Kevandra di sana, sampe lupa pada suami sendiri?” Jordhy menggerutu sambil menatap sofa yang kini kosong. Entah kenapa, sudut hatinya mulai merasa kehilangan. Jordhy menatap ponsel. Nomor Arumi tertera di sana dengan kontak bernama tompel. Rasa tak suka dengan penampilannya membuat dia bahkan enggan menuliskan nama Arumi dengan benar di ponselnya. Ditekannya tombol kontak itu, lalu ditatapnya lama-lama. Tak ada foto profil di sa
Lisa menatap Jordhy tak percaya. Lelaki yang dulu selalu memanjakkannya, tiba-tiba saja membentaknya dengan begitu marah, padahal dia hanya ingin menemaninya ke Surabaya. “Mas, kamu kenapa? Aku cuma mau nemenin kamu ke Surabaya.” “Lis, gak semua urusanku bisa melibatkan kamu!” “Aku gak perlu terlibat. Aku cuma mau nemenin kamu.” “Aku gak butuh ditemani!” “Tapi aku mau.” “Lis, tolong, jangan keras kepala! Keluar dari mobilku sekarang!” “Enggak!” Jordhy mengusap wajah kasar. Dia memejamkan mata sejenak. Kenapa semakin ke sini, Lisa semakin ingin ikut campur urusannya. “Mau kamu apa, hmmm? Tolong ngertiin aku, Lis! Ayo keluar!” Jordhy yang kelewat kesal. Dia pun membuka pintu mobil dengan kasar, berjalan cepat memutar, lalu menarik Lisa dari pintu sebelahnya."Ayo!""Lepasss!""Lisa! Keluar!" Jordhy pun menarik paksa Lisa, lalu setengah menyeretnya menuju ke apartemen. “Mas, aku mau ikut kamu!” Lisa meronta, tetapi dia kalah tenaga. Jordhy menarik koper dan tangan Lisa dengan k
“Sabia...” Netra Arumi seketika membeliak. Jantungnya berdegub cepat. Berulang kali dia mengerjap memperhatikan sosok lelaki berkulit putih yang berjalan mendekat. Arumi berharap, lelaki itu tak mengenalinya. Sudah lama, lama sekali ia ingin mengubur semua kenangan pahit dengannya.Arumi lekas memutar tubuh dan hendak melangkah masuk, tetapi Pedrio dengan cepat menangkap lengannya.“Sabia, tunggu! Kamu Sabia 'kan?"“Lepas, kita bukan mahram!” Arumi menepis kasar lengan kekar yang mencengkeram pergelangan tangannya.“Maaf, aku cuma kangen.”“Kita sudah selesai. Aku sudah menikah. Jadi, tolong menjauhlah!” Pedrio terkekeh pelan. Selama ini, tak pernah sekalipun dia mendengar kabar kalau Arumi menikah. “Jangan bercanda, Bia! Tak satu orang pun yang mengabarkan kalau kamu sudah menikah.” Arumi memejamkan mata. Sabia, bahkan dulu panggilan itu teramat istimewa. Satu kata panggilan yang berbeda dan akhirnya dia abadikan untuk launcing butik perdananya. Dulu, Arumi mengira, Pedrio adala
“Ya Allah, Mas! Kenapa jadi kamu yang ribet kayak gini, sih? Lahirannya juga masih lama!” kekeh Arumi.Jordhy menoleh dan mendekat ke arah sang istri. Sebelum berbicara, satu kecupan dia daratkan pada kening Arumi. Tak peduli Bi Muti memalingkan muka karena malu.“Apapun akan kulakukan demi kebaikan anak kita. Anggap saja ini adalah penebusan kesalahan!” kekehnya sambil membelai rambut Arumi. Jika di dalam rumah, Arumi kerap mengenakan pakaian santai. Toh, Pak Kamin memang di larang berkeliaran di dalam.“Baiklah, terserah kamu, Mas! Ini buat kamu!” tutur Arumi sambil menyerahkan segelas cappuccino hangat untuk sang suami. “Ayo! Temani Mas minum!” bisik Jordhy sambil menarik lengan Arumi dan mengajaknya meninggalkan kamar bayi mereka.Sebelum menginjak bulan ke Sembilan, mereka berdua melaksanakan agenda baby moon yang sudah dirancang. Puncak Bogor yang Jordhy pilih dari sekian banyak destinasi wisata yang Rasya sodorkan. Udara sejuk dan pemandangan pegunungan yang indah menjadi daya
“Lisa,” jawab Jordhy singkat.Wajah Arumi menunjukkan sedikit keterkejutan, tetapi ia segera tersenyum tenang. “Bagaimana keadaannya sekarang?”Jordhy menceritakan secara singkat keadaan Lisa yang kini telah jatuh dalam keterpurukan. Arumi mendengarkan dengan seksama, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa cemburu atau marah. Sebaliknya, ia justru menepuk bahu suaminya dengan lembut.“Mas, kalau kamu merasa perlu membantunya, lakukan saja. Kadang, Tuhan memberi kita kesempatan untuk membantu orang lain agar kita bisa belajar dari masa lalu,” kata Arumi bijaksana.Jordhy menoleh dan menatap tak percaya pada apa yang Arumi katakana padanya, “Kamu serius berpikiran demikian, Dek?” Arumi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy. “Semua orang pernah berbuat kesalahan, jika kesempatan kedua itu tak pernah ada, maka hari ini kita pun tak akan pernah bersama, Mas.”Jordhy termenung. Benar yang dikatakan Arumi. Namun, sisi logikanya masih bertahan. Tak semudah itu juga memberikan penga
Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah pasar kecil. Di sana, matanya langsung tertuju pada gerobak kecil dengan tulisan “Rujak Serut Spesial” yang ditempatkan di samping sebuah pohon besar. Tanpa ragu, Jordhy berjalan cepat menuju gerobak tersebut dan menanyakan pesanan rujak serutnya. Saat menunggu penjual menyelesaikan pesanan, pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sosok perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu pun tampak memandangi Jordhy dengan mata yang tampak kosong dan lelah, namun di balik itu, ada sorot yang berkaca-kaca, seolah menyimpan begitu banyak perasaan yang tak terucapkan.Jordhy memandang perempuan itu dengan kening berkerut. Butuh beberapa detik untuk mengenali siapa sosok tersebut. Wajah yang dulu selalu ia lihat dalam kesibukan kantor dan momen-momen pribadi mereka kini tampak berbeda—lelah, penuh bekas luka kehidupan. Lisa, mantan sekretaris sekaligus mantan kekasihnya, berdiri di sana dengan tubuh yang tampak kurus dan kusut dan perut yang te
Arumi tersipu, tapi dengan lembut ia menerima uluran tangan suaminya. “Baiklah karena dipaksa.”Mereka berdansa pelan diiringi musik lembut yang mengalun dari speaker di sudut ruangan. Jordhy memeluk Arumi dengan lembut, mendekapnya penuh cinta sambil berbisik, “Terima kasih sudah ada di hidupku. Kamu tahu, aku mungkin bukan suami yang sempurna, tapi aku berjanji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik buat kamu dan anak kita nanti.”Arumi menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy, merasakan kedamaian dan cinta yang tak terbendung. “Aku nggak butuh yang sempurna, Mas. Kamu, dengan segala kekurangan dan kelebihan, sudah lebih dari cukup.”Mereka terus berdansa dalam keheningan penuh makna, saling menguatkan tanpa banyak kata.Setelah makan malam, mereka memutuskan mampir ke sebuah mal yang masih buka untuk membeli beberapa keperluan bayi. Meski sudah larut, Jordhy masih tampak bersemangat memeriksa satu per satu barang yang ada di toko bayi. Arumi, yang sesekali duduk di kursi yang terse
“Malam ini bersiap, ya! Mas mau ajak kamu pergi! Cuma siang ini, Mas harus udah kerja, Rasya takut keburu botak kepalanya!” tutur Jordhy sambil meneguk susu hangat miliknya. Tentunya bukan susu untuk ibu hamil seperti yang Arumi sangka. “Mau ajak ke mana? Aku masih capek, tau!” keluh Arumi. “Ada, deh … rahasia!” balas Jordhy sambil mengambil potongan roti bakar miliknya lalu disuap dengan lahap. Pagi itu mereka berpisah dengan senyum yang tersemat pada bibir masing-masing. Ada rasa hangat yang menjalar dari dekapan singkat dan kecupan Jordhy pada kening Arumi sebelum pergi ke kantor. “Jangan lupa, malam nanti dandan yang cantik!” bisik Jordhy sambil melepaskan rangkulan dari pinggang Arumi. “Kan aku pake cadar, cantik juga gak kelihatan!” elak Arumi.Jordhy terkekeh sambil menggaruk tengkuk, “Hmmm … kalau mau dibuka, boleh, sih!” “Dih, enggak, ah! Dulu ‘kan kamu yang minta,” tutur Arumi menyangkal. “Iya deh, iya, Nyonya! Pamit, ya!” Jordhy mengecup sekali lagi kening Arumi, lal
Sepasang netra Arumi membeliak ketika melihat hiasan kamar bak kamar pengantin baru. Semerbak dengan taburan mawar dan ronce melati segar.“Mas?” Arumi menoleh ke arah Jordhy dan menatapnya. Namun bukan jawaban, melainkan tiba-tiba saja Jordhy membopong tubuhnya dan membaringkannya di atas king size bed bertabur mawar.“Malam ini, milik kita,” bisiknya sekali lagi. Lalu pinti dikuncinya dan lampu yang terang berubah temaram. Arumi hanya bisa pasrah ketika Jordhy mengajaknya berpetualang. ***Pagi menyambut dengan sapuan sinar surya yang lembut. Arumi baru saja bangun dan mengerjap ketika sinar matahari pagi menyelinap lewat tirai. Setelah shalat shubuh tadi, Arumi merasakan lelah yang luar biasa dan memilih untuk tidur lagi. Ditatapnya tempat tidur yang kosong di sampingnya, Jordhy sudah tak ada di tempat.Arumi mengerjap, mencoba mengingat-ingat. Baru saja kemarin dia landing di bandara dan menginjakkan kembali kakinya di Indonesia. Lalu bayangan manis malam tadi dan kalimat cinta y
Begitu roda pesawat menyentuh landasan di Bandara Soekarno-Hatta, Arumi menarik napas panjang. Dia memandang lekat ke luar jendela, memperhatikan deretan pesawat lain berjejer di apron, juga petugas bandara yang tampak sibuk. Di sebelahnya, Jordhy tersenyum lalu menggenggam tangan Arumi. "Kita pulang," ucapnya lembut, membuat Arumi tersenyum kecil dan mengangguk. Mereka berdua melangkah keluar, diiringi hiruk pikuk suara bandara yang ramai. Begitu keluar dari pintu kedatangan, nuansa tropis yang lembap segera menyambut mereka. Jordhy dan Arumi berjalan bersisian mengikuti arus orang-orang yang berlalu lalang menuju pintu keluar. Mereka terhenti sejenak menunggu koper mereka di garasi, lalu berjalan lagi dan menuju pintu kedatangan.Di pintu kedatangan, dua keluarga besar sudah menanti dengan wajah berseri-seri. Reska melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, sementara Khaidir, ayah Arumi, tampak berdiri sedikit lebih jauh dan tengah mengobrol akrab dengan sang besan, Atmaja. Maziah,
“Ya, Mas, benar,” jawabnya, matanya melirik ke arah cakrawala Paris yang membentang di depan mereka. Dari puncak Montmartre, seluruh kota terlihat seperti kanvas besar dengan atap-atap rumah yang khas, Menara Eiffel menjulang di kejauhan, dan sungai Seine yang mengalir tenang di bawah sinar matahari.Mereka duduk berdua di tangga Sacré-Cœur, menikmati pemandangan indah itu. Jordhy menggenggam tangan Arumi lebih erat, dan tanpa kata-kata, mereka berbagi momen keheningan yang damai. Di antara keramaian turis yang berfoto dan bersantai, rasanya seolah dunia hanya milik mereka berdua. Di depan mereka, Paris terbentang luas, menyajikan panorama kota yang menakjubkan. Cahaya matahari senja mulai memudar, menciptakan gradasi warna langit yang perlahan berubah dari biru terang menjadi jingga dan keemasan. Gemerlap kota mulai bermunculan satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi permukaan bumi. Atap-atap rumah bergaya Haussmann berbaris rapi, menambah kesan klasik dan elega
Titah Jordhy adalah hal yang harus Rasya kerjakan. Permintaan Jordhy yang banyak dan mendesak membuat Rasya cukup kelimpungan. Dia sibuk menghubungi kuasa hukum Jordhy dan juga Arumi. Hal ini mengingat permintaan Arumi untuk membuat surat pengajuan rujuk lagi ke pengadilan setempat di mana akta cerai kemarin sudah dikeluarkan. Meskipun dalam syariat islam tak disebutkan demikian, tetapi mengingat tata tertib dan administrasi yang memang Arumi syaratkan, Jordhy meminta Rasya segera menyelesaikannya. Rasya pun mengaturkan pertemuan virtual yang dihadiri tokoh agama setempat di kediaman Khaidir, selaku orang tua dari Arumi, di kediaman Atmaja selaku orang tua Jordhy dan juga di Paris sendiri dihadiri Arumi dan Jordhy. Dalam hal ini, Jordhy ingin benar-benar menyingkirkan keraguan dalam benak Arumi yang meragukan kata-kata rujuknya kemarin. “Jika ini masih membuatmu ragu, Mas bisa minta Rasya buatkan siaran langsung dan menyewa satu chanel televisi untuk kita agar disaksikan semua orang