Dua gadis tak jauh usianya memasuki halaman rumah yang bercat kuning muda, mendekati pintu sambil berbincang. Di tangan mereka menenteng kotak makanan warna warni.
"Apa kamu yakin, kakak ipar akan suka?" tanya Si Adik, Ratna Astuningtyas."Dia harus suka dong, jangan banyak gaya!" ketus Si Kakak, Nindi Mahiswara.Ratna hanya memainkan bibirnya manyun. Sebagai yang berstatus adik, dia tidak bisa banyak bicara. Segala keputusan atas dirinya adalah tergantung kakak. Itu sudah menjadi hukum tak tertulis dalam keluarga.Tok ... tok ... tok!Seorang wanita bercadar membuka pintu. Matanya sedikit membulat, agak kaget."Selamat siang, Kak Ipar," sapa Ratna.Luna mencoba menguasai situasi. Dia tersenyum dan mempersilahkan kedua gadis itu masuk. Nindi menggeret tangan Ratna. Tampak, gadis berambut kuncir kuda itu tak nyaman dengan kehadiran kakak iparnya."Kak, kami diminta Mama bawakan ini. Ini masakan khas keluarga kami. Semoga suka ya," ujar Ratna mencoba mencairkan suasana."Terimakasih banyak. Lain kali aku akan mengirim makanan untuk kalian," jawab Luna kaku. Ini kali pertama dia berbasa-basi dengan wanita yang baru ia kenal."Apa di dalam rumah pun, kamu harus menggunakan cadar?!" tanya Nindi dengan alis yang mengangkat."Kadang-kadang," jawab Luna."Buka cadarmu sekarang! Risih tau!" perintah Nindi."Baik. Tapi aku harus memastikan di sini tak ada ponsel dan pintu dikunci," jawab Luna tegas."Apaan sih?! Kamu itu aneh! Pastilah kakek sudah pikun, menjodohkan abangku dengan wanita aneh sepertimu. Kamu lebih mirip seperti teroris di mataku!"Luna terdiam. Ini ternyata yang dimaksud tulisan di buku yang sedang dibacanya. Ipar adalah maut. Bahkan ia harus membaca banyak buku untuk mempersiapkan diri hidup di luar dengan status sebagai istri."Aku tak boleh sembarangan menampakkan wajahku. Jika kalian ingin melihat wajahku, aku bisa memperlihatkannya sekarang tapi kalian harus menjaga rahasia!"Luna berusaha setenang mungkin."Apa kamu ngerasa, kamu itu spesial?! Sejak kapan perkara wajah menjadi sangat penting?!" Nindi melototkan matanya seolah menantang."Baiklah. Aku akan buka cadarku sekarang," ujar Luna dengan suara berat. Ia tak ingin wajahnya menjadi masalah dengan adik iparnya."Malaslah! Gak penting! Mana abangku?!"Ratna mencubit lengan Nindi, memberi isyarat agar dia menjaga sikap. Nindi menepis tangan adiknya."Mas Yudha sedang di kamar. Kalian bisa menunggu. Aku akan panggilkan," tawar Luna."Kami bisa ke sana sendiri kok! Ini kan rumah abang kami. Bahkan kami punya kamar di sini!"Kali ini, Nindi menyeret tangan Ratna."Tunggu!" suara Luna agak meninggi."Apaan!?!!" hentak Nindi."Jika kamar yang kalian maksud adalah kamar sebelah kamar Mas Yudha, jangan. Itu kamarku. Tak boleh siapapun masuk ke sana bahkan Mas Yudha sekalipun!""Sinting kali ya!" Nindi memiringkan jari telunjuknya di pelipis matanya. Gadis itu kesal sekali. Ia merasa, kakak iparnya sangat aneh."Kakak jangan ketus-ketus lah sama kak ipar. Dia kan orang baru," ujar Ratna sembari mengikuti langkah kakaknya."Kamu jangan bela dia! Aku mau bicara sama bang Yudha. Istrinya perlu diajar!""Bang!! Bang!! Buka pintu!" teriak Nindi.Masih sempoyangan, Yudha membuka pintu."Apa? Masih pagi sudah ribut. Abang masih ngantuk ini. Hidung mampet," ujar Yudha membiarkan kedua adiknya masuk kamar."Capek malam pertama kamu, Bang?!" cerocos Nindi.Yudha hanya manyun. Ia kembali merebahkan dirinya. Badannya terasa pegal."Kami mau nginep. Di rumah ada party. Males harus ketemu tante, paman juga. Kami juga takut ketemu kakek, bisa-bisa dijodohkan sama teroris kek istrinya abang!" cerocos Nindi ikut merebahkan badannya di dekat kakaknya."Ya sudah, nanti abang tidur di sofa," ucap Yudha malas."Ya gaklah. Aku sama Ratna tidur di kamar sebelah! Itu kan memang kamar kami," ujar Nindi."Itu kamarnya Luna, kalau dia kasih, bisa. Tapi kayaknya aku tak yakin dia mau berbagi kamar sama kalian. Kakak ipar kalian itu sedikit....hmmmm...imut," jelasYudha menunjukkan jari telunjuk dan jempolnya. Ratna dan Nindi mengkerut."Jadi seriusan omongannya tadi, kak? " tanya Ratna pada Nindi dengan wajah heran."Kalian suami istri kenapa pisah kamar?!! Ayo!! " Ratna menindih punggung Yudha dan mengacungkan telunjuknya."Ya semua orang butuh privasi. Kalian jangan terlalu kepo! ""Atau jangan-jangan, istrimu itu teroris, Bang!! Kau harus waspada. Pergerakan mereka memang penuh dengan rahasia gini," ujar Nindi penuh keyakinan."Ngawur aja. Jangan lupa, dia itu rekomendasi kakek. Kalau sampai ucapanmu ini di dengar kakek, habis!" ancam Yudha membuat Nindi kembali berpikir."Pastilah ada yang spesial, Bang," kata Ratna.Yudha kembali memejam matanya. Mencoba mengabaikan kehadiran dua adiknya itu."Sudahlah. Aku mau pindah kamar!" seru Nindi.Gadis itu bangkit. Di bukanya pintu dengan keras namun seperti sudah terkunci."Apaan nich?!! Kok kekunci?!" teriaknya."Kalian bisa tidur di kamar belakang. Aku sudah membersihkannya dan menyiapkan beberapa cemilan." Luna tiba-tiba muncul membawa teh dan 3 cangkir cantik."Tidak! Aku ingin kamar ini. Sebelum kamu hadir di sini, kamar ini sudah jadi milik kami! Lagian aneh banget, suami istri kok pisah tidur?!" timpal Nindi."Kamar ini privasi buatku," jawab Luna dingin."Persetan! Buka kamar ini! Apa jangan-jangan kau benar-benar teroris?!" Nindi melotot.Luna berusaha tenang. Ingin rasanya ia menyumpal mulut gadis berambut merah di depannya ini."Buka!" teriak Nindi beriringan dengan suara ketiga cangkir yang jatuh. Gadis itu menepis nampan itu untuk meluapkan kekesalannya.Braaaakkk!!!Nampan di tangan Luna jatuh berserakan.Yudha terkejut bukan main sampai-sampai dia berlari menghampiri sumber suara."Oh My God, apa ini?!" pekik Yuda melihat banyak beling tercecer. Kakinya refleks menghindar.Ia melihat Nindi membuang wajah. Istri bercadarnya itu menatap Nindi dengan tajam. Nafasnya memburu. Ratna mencoba mencairkan suasana."Aku yang bersihin ya, kak," ucapnya membungkuk mencoba memungut beling-beling yang berserakan.Yudha menghampiri Luna. Wanita itu mengangkat telapak tangannya memberi isyarat pada suaminya agar berhenti. Ia mendekati suaminya, tepat di telinga laki-laki itu. Luna berbisik."Ajari adikmu, jika tidak ingin kubuat sama seperti cangkir itu ...."Hancur!POV 1 (YUDHA) Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Kakek akan marah jika tahu Nindi membuat Luna marah. Aku bisa merasakan kemarahan Luna. Sampai sekarang jika kuingat aku bisa merinding.Hari pertamaku masuk kantor terasa sangat horor. Bayangan mata Luna yang menatap adikku masih segar sekali. Begitu dingin dan menakutkan. Aku sempat berpikir, apa jangan-jangan istriku itu seorang kriminal berdarah dingin?! Tidak mungkin.Karena kekacauan yang mereka timbulkan, Nindi dan Ratna aku usir saat itu juga. Mereka sama sekali tak menolak. Sepertinya ada juga rasa takut menyelinap di hati kedua adikku itu, khususnya Nindi. Sejak kami masih kanak-kanak, Nindi memang yang paling sering memberontak. Pikirannya logis dan ia tak suka berbasa-basi. Mungkin penampilan Luna menggelitik jiwa bar-barnya.Andai Nindi melihat bagaimana istriku itu melompat dari tingginya pohon mangga di halaman belakang. Dia mungkin tak akan percaya bahkan makin yakin dengan tuduhannya. Aku diam-diam memperhatikan L
POV 1 (YUDHA) Ketika aku sudah tersudutkan ke pojok tembok, badanku meringkuk bersiap-siap menerima pukulan kakek. Namun, lelaki tua itu hanya mengangkat tongkatnya dan terengah-engah kelelahan. "Kakek ini kenapa sih?! Habis-habiskan tenaga saja! Lagipula itu hanya masalah kecil!" "Masalah kecil katamu? Bocah gila!!" umpatnya dengan leher memerah. "Iya, iya ... Aku yang salah. Sekarang Kakek minum dulu ya," rayuku perlahan menjauhkan tongkatnya dari kepalaku. Aku menuntunnya duduk di sofa dan menyuguhkannya air putih. Kakek minum sudah seperti unta di padang pasir. Tak ingat umur, masih saja berlarian. Aku terkekeh sendiri melihatnya seperti kehabisan nafas. "Ngomong-ngomong, Kakek sudah lihat wajah Luna?" tanyaku iseng menunggu nafasnya kembali stabil. "Tentu saja. Dia adalah wanita tercantik yang pernahku lihat sepanjang hidup. Makanya Kakek jodohkan dengan kau, cucu laki-lakiku yang bodoh dan payah! " ujarnya gamblang tanpa menghiraukan perasaanku. "Aku akui memang dia c
Di dalam ruangan mewah bernuasa emas, Ratih mendengarkan cerita anak keduanya, Nindi. Banyak lukisan mahal terpajang rapi di setiap sisi dinding putih. Lampu hias berwarna gold, meskipun tak menyala tetap seperti memancarkan sinar."Serius istrinya Yudha kek gitu, Nin?" tanya Ratih tampak seperti ragu."Mama kalau gak percaya, samperin aja. Dia itu, sumpah dah ...," ucap Nindi menahan kemarahannya."Mama tahunya kalau wanita bercadar itu wanita baik-baik dan menjaga bangetlah dari semua tutur kata, perilaku, takkan berutal seperti yang kamu ceritain. Kok mama kurang yakin ya.""Mama kurang yakin karena mama gak tahu, menantu mama itu busuk! Ya gak, Rat?!"Ratna hanya mengangguk walau tampak di wajahnya ada keraguan."Aah masak sih sampai dia ngancam-ngancam gitu? Kakek kalian tidak mungkin salah jodohkan cucunya. Kalian jangan lupa, dia adalah rekomendasi kakek!" ujar Ratih memperingati anak-anaknya."Mama gak percaya sama kami? Ya gak apa-apa. Kapan-kapan ke sana aja jengukin menantu
Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul 09.00 pagi. Aku akan mengajak Luna ke tempat biasa aku olahraga menembak. Dia pasti akan terkesima dengan kemampuanku dalam menembak sasaran."Aku tak keberatan lo kamu buka cadarmu. Pastilah orang-orang akan mengagumi kecantikanmu!" seruku bersemangat.Aku ingin teman-temanku tahu, aku memiliki istri yang cantik seperti bidadari. Walau aku belum menyentuhnya, itu hanya karena kami butuh waktu. Begitu pikirku."Jika ingin memamerkan wajah pasanganmu, ajak saja pacarmu, jangan aku," ketus Luna memasang cadarnya."Kenapa sih kamu takut orang lain melihat wajahmu, Dek? Padahal perempuan pada umumnya malah berlomba-lomba tampil cantik.""Karena mereka dilahirkan dari keluarga biasa bukan seperti keluargaku," jawab Luna dingin."Memangnya keluargamu itu kenapa, Dek?!" tanyaku membungkuk sambil memasang sepatu."Keluarga mafia," jawab Luna santai.Aku langsung terjungkal ke bawah, tanganku menahan tubuhku agar tak ambruk menyentuh lantai.Apa katanya tad
POV 1 (YUDHA)"Sial! Dia berhasil lolos, Mas. Aku bisa mengejarnya tapi aku takut terjadi apa-apa sama kamu!" ujar Luna. Wanita bercadarku sedikit terengah-engah. Tangannya mengepal dan dia masih memasang kuda-kuda.Aku masih lemas. Otot-otot terasa melonggar. Engselnya seperti terlepas."Kau baik-baik saja?"Luna mendekatiku."Siapa kau sebenarnya!?" tanyaku bergetar.Mustahil jika dia wanita biasa tapi memiliki kemampuan seperti seorang tentara wanita."Apa kau mata-mata negara?" tanyaku lagi. Aku mencoba sedikit menjauh darinya. Kali ini aku benar-benar takut."Tenanglah, Mas. Aku istrimu kan? Aku akan menjagamu," ujarnya perlahan mendekatiku."Tapi siapa kamu?""Aku istrimu, kau lupa ingatan sekarang?" tanyanya seperti meledekku."Jangan bercanda
POV 3 (AUTHOR)Braaak!!!Suara pintu tertutup dengan kencangnya. Luna menggigit giginya, membiarkannya menggeletuk. Kesal dengan sikap suaminya yang seolah menganggap semuanya mudah."Bukannya berterimakasih! Dasar laki-laki buaya! Aku pasti sedang dikutuk hidup dengan orang seperti itu!" umpat Luna mengepal tangannya.Sekilas ia melirik foto pernikahannya, tampak Yudha tersenyum lebar berpose di sampingnya yang hanya terlihat matanya saja."Pasti jika aku seperti wanita lain, aku pasti terlihat cantik dengan gaun pengantin pada umumnya," lirihnya sendu.Luna menghempaskan dirinya di kasur yang tak cukup empuk. Yah, gara-gara perkara kamar dengan iparnya, dia rela berpindah ke kamar belakang."Apa berumah tangga itu serumit ini?" keluhnya sambil membuka hijab.Seperti ada tetesan yang akan jatuh dari mata bening
"Kenapa kau datang sekarang, Aderald? Aku takut cucumu mencurigai kita," ucap Luna setelah mundur, menjaga jarak."Maafkan aku, My Angel. Aku sangat was-was. Banyak hal tentangmu yang aku pikirkan," jawab Aderald lembut.Luna terdiam."Atas nama Nindi, cucuku. Maafkan dia. Dia hanya gadis dungu yang tak mengerti ajaranku," lanjut Aderald.Terlihat mata Luna menyipit pertanda ia sedang tersenyum."Lain kali, kau harus menjaga ucapan dan perilaku denganku. Aku tak ingin, Yudha mengira yang tidak-tidak. Aaah aku juga yang salah, harusnya aku menghubungimu besok! Aku lupa, walaupun kau tua, kau penuh dengan stamina," ujar Luna yang membuat Aderald tersipu malu."Sebuah kehormatan bila kau membutuhkanku, My Angel."Luna mengangguk takzim pada laki-laki berumur di depannya itu. Tak ada sedikit pun rasa khawat
"Jangan mancing-mancing kamu, Dek! Kalau tak niat! " timpal Yudha membuang wajah."Aku tak suka memancing. Membosankan," ucap Luna membuka cadarnya lalu membuka hijabnya. Tangannya juga membuka pakaian hitamnya. Tampak sekarang ia menggunakan kaos lengan panjang tanpa motif dan leging. Masih tetap warna hitam."Sebentar lagi subuh, Mas! Aku mau olahraga dulu, badanku terasa pegal. Setelah itu baru mandi, sholat lalu tidur kembali. Tolong jangan brisik!" ucap Luna mengikat rambut indahnya.Wanita itu berdiri lalu melenggang masuk kamar. Sedari tadi, Yudha menatap istrinya itu tanpa kedip bahkan ketika pintu kamar itu ditutup, laki-laki itu masih menganga.Kliiiik!!Suara pintu terkunci mengembalikan kesadarannya lagi. Yudha mengusap wajahnya kasar."Apa aku sekarang sedang dihukum? Dia istriku! Iya, dia istriku! Tapi kenapa jadi begini?"
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege