"Jangan mancing-mancing kamu, Dek! Kalau tak niat! " timpal Yudha membuang wajah.
"Aku tak suka memancing. Membosankan," ucap Luna membuka cadarnya lalu membuka hijabnya. Tangannya juga membuka pakaian hitamnya. Tampak sekarang ia menggunakan kaos lengan panjang tanpa motif dan leging. Masih tetap warna hitam.
"Sebentar lagi subuh, Mas! Aku mau olahraga dulu, badanku terasa pegal. Setelah itu baru mandi, sholat lalu tidur kembali. Tolong jangan brisik!" ucap Luna mengikat rambut indahnya.
Wanita itu berdiri lalu melenggang masuk kamar. Sedari tadi, Yudha menatap istrinya itu tanpa kedip bahkan ketika pintu kamar itu ditutup, laki-laki itu masih menganga.
Kliiiik!!
Suara pintu terkunci mengembalikan kesadarannya lagi. Yudha mengusap wajahnya kasar.
"Apa aku sekarang sedang dihukum? Dia istriku! Iya, dia istriku! Tapi kenapa jadi begini?"
Aku duduk terengah-engah sembari menghirup udara yang rasanya begitu langka. Jantungku hampir copot tiba-tiba mendengar suara teriakan lalu harus melerai istriku yang sedang mengamuk. Kepala terasa pening sebab aku masih bermimpi yang indah. Mimpi yang malu aku sebutkan tapi begitu menyenangkan jika kuingat. Aku bermimpi melewati kegiatan "itu" bersama Luna. Rupanya efek melihat lekuk tubuhnya aku bisa memimpikan selebihnya. Aku suami yang memprihatinkan memang. Saat ini wanita bercadarku itu masih menatap laki-laki sekarat di depan kami. Temannya yang satu lagi mencoba memangkunya. Tampak dia tak berani banyak bicara, sepertinya dia tahu, rekannya sudah melampaui batasan. "Sudah! Nanti aku yang selesaikan. Kau masuk saja. Ke kamar utama, jangan di sini!" perintahku pada Luna setelah sedikit tenang. Luna masih diam tak berkutik. Sorot matanya seperti ingin melumatkan sosok lemah di depannya. "Dek! Masuk! Jangan bikin aku makin pusing!" suaraku semakin meninggi. Luna sekarang mela
Aleksei mengernyitkan dahi heran."Aku sekarang menjadi wanita muslim. Dalam ajarannya, tak boleh ada sentuhan antar lawan jenis yang bukan mahrom," jelas Luna.Aleksei mengangkat matanya seolah tak percaya dengan yang sedang ia dengar."Aku serius. Bukan main-main," jawab Luna."Okey. Tapi bagaimana ini terjadi begitu cepat? Tahun lalu aku masih melihat rambut indahmu dan kulit putih leher jenjang itu," ucap Aleksei mendekat.Luna mundur. Pemuda itu berhenti. Ia tahu, wanita di depannya ini tak pernah bercanda."Tak usah bahas tentang aku. Pertemuan ini untuk menanyakan padamu, kenapa kau membunuh dua anak buahku saat mengantarkan senjata untukmu?!"Luna menatap sahabat kecilnya itu lekat-lekat."Ooh iya. Sebab mereka adalah pengkhianat!" jawab Aleksei.
Pagi aku bersemangat sekali. Rencananya, hari ini aku akan mengajak Luna honeymoon. Mungkin aku bisa hoki, walau tak sampai ke situ, setidaknya dapat colek sedikit, syukurlah. Di sini aku merasa menjadi suami yang paling menggenaskan. Tapi aku takkan menyerah untuk mendapatkan hati Luna, istriku yang secantik bidadari.Asik kumengunyah roti panggang, tiba-tiba yang sedang kupikirkan muncul lewat di depanku. Roti selai coklat kacang itu tiba-tiba terasa hambar sebab seluruh rasa manisnya terkumpul pada istriku.Rambut panjangnya yang curly di ujung terlihat begitu alami. Hitam pekat, tebal, dan tampak lembut. Dan yang membuatku semakin tak karuan, rambutnya basah! Dengan santainya, dia mengusap-usapkan handuk di rambutnya.Semakin hari, penampilannya semakin terbuka. Luna sudah tak memakai cadar dan baju hitam tertutupnya lagi di rumah ini. Aku makin senang dan betah di rumah. Cukup memandang istri canti
"Hay! Kamu Luna? Aku Ayu. Kekasih Yudha. Dia sudah cerita kalau kau menerima kami tetap bersama. Jadi, kuharap kita bisa bekerja sama ya," ujar Ayu menjulurkan tangan kanannya sedang tangan kirinya masih menggandeng lenganku.Lututku lemas. Pucat wajahku ketika melihat sorot mata Luna menatap Ayu. Mata indah itu melebar, tajam seperti akan menerkam Ayu. Meski wajah Luna tertutup, aku melihat ada keringat menetes di keningnya. Luna ternyata sangat kaget sekali. Mengapa kehadiran Ayu begitu sangat membuatnya terkejut sampai-sampai dia mematung begitu?Ayu hanya tersenyum menatap Luna, lalu menatapku. Pandanganku pada istriku tak berkedip. Sesuatu sedang terjadi dalam dirinya. Aku merasakan, Luna sedang shock. Separah itukah? Bukankah dia sudah tahu tentangku dan Ayu. Aku juga tidak membiarkan pacarku itu masuk. Aku masih menjaga janjiku. Tapi mengapa Luna masih tetap bergeming?Aku melepaskan tangan Ayu.
Matahari sudah naik sepenggalan dan aku masih duduk di kamarku seperti hilang akal. Empuknya kasur tidak memberikan tidur yang nyenyak. Aku menatap sekelilingku. Kamar tidur yang sempurna dengan hiasan dinding dari makrame. Teknik kerajinan tangan yang menggunakan simpul tali itu, amat ciamik menghiasi sudut kamarku. Merumbai jatuh dengan perpaduan tali coklat muda dan putih, berbentuk dasar segitiga."Luna, kau di mana?" tanyaku sendirian. Pertanyaan yang aku ucapkan hampir ratusan kali sejak kepergiannya.Sudah 3 hari, istri bercadarku tak di rumah. Aku tahu, dia pergi membawa amarah sebab aku melanggar janjiku. Tapi tidak! Aku di sini tak punya andil. Ayu Ruminang yang datang padaku tanpa sepengetahuanku. Wanita itupun menghilang dan kali ini aku tak akan merayunya!Ddddrrrrrt ...Ponselku bergetar. Malas rasanya bangkit sekedar melihat, siapa yang menghubungiku.'Kokom office calling'Ternyata dari kantor. Aku benar-benar frustasi. Dengan bergelayut rasa enggan, aku menerima pangg
"Tak ada barangmu yang hilang, lagian tak ada barangmu yang berselera untuk dicuri orang," sungutku.Luna sibuk mematikan laptopnya. Mengabaikanku."Jangan buruk sangka ya! Itu laptop belum aku apa-apain. Aku tak tahu isinya apa saja," jelasku dengan serius!"Ya ... aku tahu. Kecuali kau hacker sekelas Vladimir Levin," timpal Luna masih sibuk melepaskan cadar dan hijabnya.Aku mengerucut. Siapa pula yang dia sebutkan."Kenapa? Keluar sana! Jaga batasanmu!" ketus Luna mengusirku.Aku sangat kaget diperlakukan begitu. Tega. Batasan apa? Aku ini suaminya!Tapi aku harus sabar. Syukur-syukur dia pulang, setidaknya aku aman dari amukan kakekku."Hmm siapa emir living yang tadi kamu sebut itu, Dek?" tanyaku pelan. Aku cukup penasaran."Vladimir Levin," ketus Luna.
Aku tiba di rumah kakekku, Tuan Aderald Ibrahim, laki-laki kaya raya dengan kepemilikan properti yang tak terhitung. Sampai-sampai aku pernah mendapati surat dari pemerintah bahwa negara memblok nama kakekku untuk membeli tanah dan bangunan, tapi itu hanya angin lalu, kakekku selalu berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.Kadang aku meracau sendiri, harta sebanyak itu mau dia apakan? Aroma tubuhnya sudah bau tanah tapi masih menumpukkan harta. Harusnya dia bagi-bagikan secara cuma-cuma pada cucu-cucunya. Lebih-lebih padaku sebagai cucu tertua, laki-laki pula. Ehhhem.“Sekarang kita sedang di rumah keluargaku, jadi kita harus menunjukkan keromantisan sebagai pengantin baru,” bisikku pada Luna.Istri bercadarku ini sedari tadi hanya diam saja, menyapu seluruh sisi tempat ini dengan pandangannya. Sepertinya dia tak pernah melihat rumah semewah ini. Aku yakin, ini adalah kali pertama dia menginjakkan ka
Sejenak waktu perputar sangat lama. Ini adalah ciuman bertama kali setelah hampir dua bulan menikah dan tinggal bersama. Luna tak memberotak lagi, justru seperti memberiku peluang. Aku semakin tak terkendali.Tok! Tok! Tok!“Tuan muda, Nona … semua sudah menunggu di bawah,” suara lembut salah satu pelayan di sini.Luna melepaskan pelukanku dengan cepat. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung memasang cadarnya dan meninggalkanku yang masih seperti cacing kepanasan. Aku melempar batal di sampingku ke arah pintu, meluapkan emosi yang belum tuntas.Andai kutahu, pelayan mana yang mengganggu ritualku barusan, aku akan membuangnya ke segitiga bermuda, biar hilang!Menyebalkan, lagi-lagi aku melempar satu bantal lagi lalu menghempaskan diri, menelungkup di atas kasur.“Aaaaarrrghhh!!!”Teriakku menggigit bantal. Gagal
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege