Aleksei mengernyitkan dahi heran."Aku sekarang menjadi wanita muslim. Dalam ajarannya, tak boleh ada sentuhan antar lawan jenis yang bukan mahrom," jelas Luna.Aleksei mengangkat matanya seolah tak percaya dengan yang sedang ia dengar."Aku serius. Bukan main-main," jawab Luna."Okey. Tapi bagaimana ini terjadi begitu cepat? Tahun lalu aku masih melihat rambut indahmu dan kulit putih leher jenjang itu," ucap Aleksei mendekat.Luna mundur. Pemuda itu berhenti. Ia tahu, wanita di depannya ini tak pernah bercanda."Tak usah bahas tentang aku. Pertemuan ini untuk menanyakan padamu, kenapa kau membunuh dua anak buahku saat mengantarkan senjata untukmu?!"Luna menatap sahabat kecilnya itu lekat-lekat."Ooh iya. Sebab mereka adalah pengkhianat!" jawab Aleksei.
Pagi aku bersemangat sekali. Rencananya, hari ini aku akan mengajak Luna honeymoon. Mungkin aku bisa hoki, walau tak sampai ke situ, setidaknya dapat colek sedikit, syukurlah. Di sini aku merasa menjadi suami yang paling menggenaskan. Tapi aku takkan menyerah untuk mendapatkan hati Luna, istriku yang secantik bidadari.Asik kumengunyah roti panggang, tiba-tiba yang sedang kupikirkan muncul lewat di depanku. Roti selai coklat kacang itu tiba-tiba terasa hambar sebab seluruh rasa manisnya terkumpul pada istriku.Rambut panjangnya yang curly di ujung terlihat begitu alami. Hitam pekat, tebal, dan tampak lembut. Dan yang membuatku semakin tak karuan, rambutnya basah! Dengan santainya, dia mengusap-usapkan handuk di rambutnya.Semakin hari, penampilannya semakin terbuka. Luna sudah tak memakai cadar dan baju hitam tertutupnya lagi di rumah ini. Aku makin senang dan betah di rumah. Cukup memandang istri canti
"Hay! Kamu Luna? Aku Ayu. Kekasih Yudha. Dia sudah cerita kalau kau menerima kami tetap bersama. Jadi, kuharap kita bisa bekerja sama ya," ujar Ayu menjulurkan tangan kanannya sedang tangan kirinya masih menggandeng lenganku.Lututku lemas. Pucat wajahku ketika melihat sorot mata Luna menatap Ayu. Mata indah itu melebar, tajam seperti akan menerkam Ayu. Meski wajah Luna tertutup, aku melihat ada keringat menetes di keningnya. Luna ternyata sangat kaget sekali. Mengapa kehadiran Ayu begitu sangat membuatnya terkejut sampai-sampai dia mematung begitu?Ayu hanya tersenyum menatap Luna, lalu menatapku. Pandanganku pada istriku tak berkedip. Sesuatu sedang terjadi dalam dirinya. Aku merasakan, Luna sedang shock. Separah itukah? Bukankah dia sudah tahu tentangku dan Ayu. Aku juga tidak membiarkan pacarku itu masuk. Aku masih menjaga janjiku. Tapi mengapa Luna masih tetap bergeming?Aku melepaskan tangan Ayu.
Matahari sudah naik sepenggalan dan aku masih duduk di kamarku seperti hilang akal. Empuknya kasur tidak memberikan tidur yang nyenyak. Aku menatap sekelilingku. Kamar tidur yang sempurna dengan hiasan dinding dari makrame. Teknik kerajinan tangan yang menggunakan simpul tali itu, amat ciamik menghiasi sudut kamarku. Merumbai jatuh dengan perpaduan tali coklat muda dan putih, berbentuk dasar segitiga."Luna, kau di mana?" tanyaku sendirian. Pertanyaan yang aku ucapkan hampir ratusan kali sejak kepergiannya.Sudah 3 hari, istri bercadarku tak di rumah. Aku tahu, dia pergi membawa amarah sebab aku melanggar janjiku. Tapi tidak! Aku di sini tak punya andil. Ayu Ruminang yang datang padaku tanpa sepengetahuanku. Wanita itupun menghilang dan kali ini aku tak akan merayunya!Ddddrrrrrt ...Ponselku bergetar. Malas rasanya bangkit sekedar melihat, siapa yang menghubungiku.'Kokom office calling'Ternyata dari kantor. Aku benar-benar frustasi. Dengan bergelayut rasa enggan, aku menerima pangg
"Tak ada barangmu yang hilang, lagian tak ada barangmu yang berselera untuk dicuri orang," sungutku.Luna sibuk mematikan laptopnya. Mengabaikanku."Jangan buruk sangka ya! Itu laptop belum aku apa-apain. Aku tak tahu isinya apa saja," jelasku dengan serius!"Ya ... aku tahu. Kecuali kau hacker sekelas Vladimir Levin," timpal Luna masih sibuk melepaskan cadar dan hijabnya.Aku mengerucut. Siapa pula yang dia sebutkan."Kenapa? Keluar sana! Jaga batasanmu!" ketus Luna mengusirku.Aku sangat kaget diperlakukan begitu. Tega. Batasan apa? Aku ini suaminya!Tapi aku harus sabar. Syukur-syukur dia pulang, setidaknya aku aman dari amukan kakekku."Hmm siapa emir living yang tadi kamu sebut itu, Dek?" tanyaku pelan. Aku cukup penasaran."Vladimir Levin," ketus Luna.
Aku tiba di rumah kakekku, Tuan Aderald Ibrahim, laki-laki kaya raya dengan kepemilikan properti yang tak terhitung. Sampai-sampai aku pernah mendapati surat dari pemerintah bahwa negara memblok nama kakekku untuk membeli tanah dan bangunan, tapi itu hanya angin lalu, kakekku selalu berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.Kadang aku meracau sendiri, harta sebanyak itu mau dia apakan? Aroma tubuhnya sudah bau tanah tapi masih menumpukkan harta. Harusnya dia bagi-bagikan secara cuma-cuma pada cucu-cucunya. Lebih-lebih padaku sebagai cucu tertua, laki-laki pula. Ehhhem.“Sekarang kita sedang di rumah keluargaku, jadi kita harus menunjukkan keromantisan sebagai pengantin baru,” bisikku pada Luna.Istri bercadarku ini sedari tadi hanya diam saja, menyapu seluruh sisi tempat ini dengan pandangannya. Sepertinya dia tak pernah melihat rumah semewah ini. Aku yakin, ini adalah kali pertama dia menginjakkan ka
Sejenak waktu perputar sangat lama. Ini adalah ciuman bertama kali setelah hampir dua bulan menikah dan tinggal bersama. Luna tak memberotak lagi, justru seperti memberiku peluang. Aku semakin tak terkendali.Tok! Tok! Tok!“Tuan muda, Nona … semua sudah menunggu di bawah,” suara lembut salah satu pelayan di sini.Luna melepaskan pelukanku dengan cepat. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung memasang cadarnya dan meninggalkanku yang masih seperti cacing kepanasan. Aku melempar batal di sampingku ke arah pintu, meluapkan emosi yang belum tuntas.Andai kutahu, pelayan mana yang mengganggu ritualku barusan, aku akan membuangnya ke segitiga bermuda, biar hilang!Menyebalkan, lagi-lagi aku melempar satu bantal lagi lalu menghempaskan diri, menelungkup di atas kasur.“Aaaaarrrghhh!!!”Teriakku menggigit bantal. Gagal
19.30Kami semua sudah berkumpul, dengan formasi lengkap. Kakek duduk di kursi utama sisi kanan, paling ujung, sendirian. Sedangkan di sisi kiri, ayahku. Mereka berhadapan. Hubungan kakek dan ayahku tak terlalu dekat, renggang juga tidak, biasa saja.Ayahku, Bramasta Surya, menantunya. Ibuku, Ratih Anggraini adalah anak pertama lalu bibi Carla dan terakhir paman Demian. Mereka ke sini jika hanya ada pesta saja. Sedangkan keluarga ayahku hampir tak pernah kutemui. Mungkin sungkan sebab ayahku di sini ikut istri. Perusahaan yang dipimpinnya saja milik ibuku. Dan tentu saja itu pemberian kakekku pada anak perempuannya.Pada sisi yang memanjang, aku dan Luna, duduk berdampingan lalu ibuku di sampingku. Sedang di depanku, Nindi dan Ratna dan satu lagi ada kursi yang kosong.Kenapa tidak disingkirkan? Oh aku ingat, seseorang akan datang, aku jadi penasaran, siapakah dia?“Bagaima