ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (59)"Pesan makan siang suruh Yuri atau yang lain. Tak usah keluar kantor sampai aku jemput."Aku mengangguk."Bilang Rico jangan terima tamu sembarangan. Semua tamu suruh menunggu di security dan minta identitas lebih dulu.""Siap Bos." Aku meletakkan sebelah tangan di atas telinga kanan. Adrian menghela nafas, dirangkumnya wajahku dengan kedua tangan. Dia suka sekali melakukan hal ini."Aku tidak akan bisa hidup tanpa wajah ini. Kau dengan Vi?" Aku mengerjapkan mata, merasakan keseriusan dalam nada suaranya. Dia, sama sepertiku telah terperangkap cinta yang dalam. Kami terikat satu sama lain oleh rasa cinta yang tulus."Aku juga. Bukan hanya aku yang harus waspada. Dia mungkin akan menganggapmu saingannya." Ujarku jijik.Adrian tersenyum."Aku selalu bersama Rey. Siang nanti, dua orang teman Rey akan datang. Kau tak perlu khawatir lagi."Adrian mencium puncak kepalaku sebelum naik lagi ke mobil yang dikemudikan Reyhano. Dia dan seisi kantor sudah terbiasa
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (50)"Vivian, akhirnya kita bisa bertemu lagi."Jantungku langsung berdetak dua kali lebih cepat. Wajah cantik itu tersenyum, senyum segaris yang tampak misterius. Bagi laki-laki, dia akan tampak sangat menawan, tapi di mataku, hanya rasa ngeri dan jijik yang tersisa."Apa maksudmu menjemput anakku? Kau bukan siapa-siapa."Andrea tertawa kecil. "Aku hanya ingin mengajaknya bermain. Kulihat dia sering memasuki sanggar Papa Jo. Sepertinya dia suka menggambar dan mewarnai sepertiku."Aku terkejut, ternyata Andrea memata-matai keluargaku selama ini."Kau tidak bisa melakukannya Andrea. Kami tidak mengenalmu.""Oh ayolah. Aku ini sepupunya Meisya. Dan Meisya itu ibu tirinya kan. Kita masih ada hubungan keluarga."Aku tersenyum masam."Bukankah kalian sudah membuang Meisya?"Andrea menekap mulutnya dengan wajah penuh pura-pura."Aku turut bersedih tentang itu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Om Sofyan memutuskan semuanya sendiri."Mas Nabil ikut turun dari mobil
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (61)PoV MEISYA"Meisya, kau sungguh anak tak tahu diuntung. Apa yang kau lakukan hingga istriku datang kesini menemuimu?"Begitu pintu dibuka, lelaki di depanku ini langsung menyemburku dengan kata-kata makian. Aku tertegun, hatiku bagai diremas dengan keras. "Papa, bukan aku…""Jangan memanggilku Papa. Kita sudah tak punya hubungan apa-apa lagi."Aku menggigit bibir, dari dalam Mas Nabil yang mendengar suara keributan kami bergegas keluar, dia langsung berdiri di depanku, bersiap menjadi tameng."Bilang istrimu yang tak tahu diri itu. Berhenti mengacau di keluargaku. Kuharamkan uangku seperakpun untuknya.""Meisya tidak pernah lagi makan uangmu Tuan." Ujar Mas Nabil tiba-tiba."Istri anda datang kemari, memberinya uang yang bahkan sampai saat ini belum kami buka amplopnya. Kau boleh mengambilnya lagi jika mau. Aku dan istriku masih sanggup hidup tanpa uang darimu."Aku terdiam mendengar kata-kata Mas Nabil yang tegas. Baru kali ini aku melihat dia berkata
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 62PoV VIVIAN"Mas, aku tidak ke kantor hari ini. Tubuhku rasanya lemas sekali." Ujarku masih meringkuk dalam pelukan Adrian. Subuh baru saja lewat. Biasanya aku akan keluar dan langsung menemui anak-anak. Tapi rasa pusing dan lemas membuatku tak sanggup untuk bangkit. Kupesankan pada Mbak Anik dan Bik Rum untuk memberikan ASIP pada si kembar. Semoga saja mereka tidak menolak.Adrian meraba dahiku, lalu mengusap rambutku."Tidak panas. Kurasa kau hanya masih tegang akibat bertemu Andrea kemarin."Aku mengangguk dalam pelukannya. "Ya. Kurasa begitu. Dan sepertinya hari ini aku tidak mau jauh dari anak-anak.""Tentu saja Sayang. Kau boleh ambil cuti dan libur semaumu. Kau bosnya. Yuri sudah cukup terlatih untuk menghandle urusan kantor."Mendengar Nama Yuri, aku teringat sesuatu. Aku melepaskan diri dari pelukan Adrian, menopangkan dagu dengan kedua tangan sambil menatapnya."Yuri mungkin akan segera mengakhiri masa lajang."Mata hitam itu melebar. "Oh ya?""Da
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (63)"Mas Nabil? Naura?"Aku sangat terkejut mendapati Mas Nabil berdiri di muka gerbang rumah sambil menggendong Naura. Bayi mungil itu dia gendong menggunakan kain jarik, yang entah bagaimana sangat terampil digunakan oleh mantan suamiku itu. Mobil mereka tak terlihat di manapun. Gegas kusuruh mereka masuk. Di luar panas terik, wajah Naura terlihat kemerahan meski telah ditutupi oleh ujung kain."Vi, maaf lagi-lagi aku minta bantuanmu.""Masuklah dulu Mas. Kasihan Naura."Mas Nabil mengangguk. Dia melangkahkan kaki melintasi halaman berumput, matanya terpaku sesaat pada puluhan pot mawar putih, dia tahu itu bunga favorit ku. Wajahnya tampak sendu, entah apa yang dipikirkannya melihat pot pot itu. "Duduk dulu ya Mas. Sini Naura biar dipegang Mbak Anik." Ujarku. Aku mengambil alih Naura dan untuk pertama kalinya menggendong anak susu-ku ini. Mata bulat jernih miliknya berbinar menatapku, seakan tengah merekam wajahku dalam ingatannya. Aku tersenyum padanya,
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (64)"Sayang, kamu bisa bertahan sampai ke rumah sakit kan? Aku baru telepon dokter Helen, beliau sedang di luar kota. Tidak bisa datang ke rumah."Ujar Adrian usai melipat sajadah. Aku menatapnya. Dia sholat apa? Kuketuk kepalaku perlahan. Kenapa kepalaku rasanya melayang?"Aku mau sholat dulu. Sholat apa?""Ini sudah Maghrib sayang. Kau bisa sholat sambil berdiri? Atau duduk saja?Aku mengangguk. Rasa lemas sekarang bertambah dengan pusing dan mual. Sebetulnya aku lebih suka dokter Helen datang ke rumah seperti biasa, tapi di saat seperti ini, aku tak suka ada orang asing lain masuk ke rumah. Ada banyak anak anak yang harus kulindungi di sini. Adrian mengajakku ke kamar mandi, membantuku mengambil wudhu dan menyiapkan sajadah di atas karpet tebal. Aku sholat Maghrib sambil duduk. Meski sulit untuk khusyuk karena pikiranku berkelana kemana mana, aku tetap melanjutkan sholat.Usai sholat, aku bangkit, mengganti home dress dengan celana panjang berwarna khaki
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (65)Itu bukan mobil Rey. Aku tahu pasti karena tak ada jenis mobil itu di garasi kami. Adrian menyukai mobil yang penampakannya gagah, sama sepertiku. Adrian melompat dari dalam mobil, dia pulih dengan cepat. Tepat ketika dari belakang dua lampu sorot bersinar. Rey dan teman-temannya, serta beberapa warga berlarian menghampiri kami. Suara benturan mobil tadi cukup dahsyat. Beruntung jalanan ini sepi oleh rumah penduduk. Rasa takutku hilang seketika. Aku berlari menghampiri mobil Toyota Rush itu, hendak melihat siapakah yang begitu nekad menabrakkan dirinya demi menyelamatkan kami. Kutepis Adrian yang berusaha menahan tanganku.Mobil itu remuk di bagian depan, kaca-kacanya berhamburan. Sebelah pintu sisi pengemudi terbuka, dan seketika aku menjerit histeris melihat siapa yang duduk tertunduk dengan kepala membentur setir. Darah bercucuran dimana mana. Kerudung berwarna putih yang dia pakai telah basah oleh darah. Beberapa helai rambut kemerahan yang menyemb
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 66"Dan apa yang akan kau katakan padanya nanti jika dia sudah besar dan tahu bahwa kaulah penyebab kematian ibunya?"Kata kata itu terus terngiang di telingaku, bahkan semalam hadir dalam mimpi yang gelisah. Aku termangu, membayangkan sejarah hidup Naura yang menyedihkan."Sayang, apakah kau sudah siap?"Aku menoleh, mendapati Adrian datang menghampiri. Diletakkannya dagunya di atas kepalaku. Harum aroma parfum maskulin yang telah menjadi candu itu menelusup. Aku berbalik, menatap tubuh tegapnya yang sudah dibalut pakaian serba hitam. Kemeja dan celana panjang yang membungkus tubuhnya dengan sempurna."Aku… aku takut Mas. Tapi aku harus pergi."Aku menoleh keluar melalui celah pintu yang sedikit terbuka, mendapati Tiara yang termangu memandangi ketiga adiknya yang sedang belajar tengkurap di atas karpet tebal di ruang keluarga lantai atas. Tatapan matanya kosong. Gaun hitam yang dipakainya menonjolkan kulitnya yang cerah. Tapi mata itu bengkak, dan wajahnya
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,