ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (34B)Dua minggu yang laluAku berlari ke kamar mandi dengan rasa mual dan perih di perutku yang menyiksa. Semua makanan yang baru saja masuk terpaksa keluar lagi. Sementara tubuh bagian bawahku ikut bereaksi. Entah sudah berapa kali aku ke kamar mandi karena diare."Mei?!"Mas Nabil yang baru pulang kerja langsung melempar tasnya begitu melihatku keluar dari kamar mandi dengan langkah terhuyung dan gemetar hebat. Keringat dingin mengucur dari dahi semetara kurasakan tubuhku panas membara."Kamu sakit?" Mas Nabil terkejut begitu merasakan sengatan panas dari kulit tubuhku."Kau kira apa? Cepat angkat aku ke tempat tidur!" Seruku kesal. Lelaki ini terlalu banyak bertanya dan basa basi. Mas Nabil langsung membopongku ke tempat tidur, menyeka dahiku dengan tisu. Tapi tiba-tiba saja, aroma parfum yang menguar dari tubuhnya membuat perutku kembali terasa diaduk-aduk. Aku hendak melomp
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (35A)PoV MEISYA"Kalau begitu berhenti bersikap seperti seorang ustadzah. Suruh anakmu memanggil dokter untuk menggugurkan kandunganku. SEKARANG!"Kulihat Mama terkejut bukan kepalang. Dia menatap Mas Nabil, lalu menoleh lagi padaku. "Nabil, ada apa ini?" Tanyanya dengan suara pelan.Mas Nabil mendesah, dipegangnya bahu Mama lembut."Tidak apa-apa Ma. Meisya hanya kaget karena dia hamil terlalu cepat."Wajah Mama justru terlihat berbinar."Hamil? Alhamdulillah. Ini kabar yang sangat bagus Mei. Kalian akan segera punya anak."Astaga. Muak sekali aku mendengarnya."Apa yang kau rasakan Nak? Kau ingin makan apa? Biar Mama buatkan."Aku membelalakkan mata. Perempuan tua ini, apakah dia tuli? Bukankah sudah kukatakan padanya untuk menyuruh Mas Nabil memanggil dokter?"Mama dengar ya. Aku tidak mau hamil sekarang. Tidak mau. Pokoknya anak ini harus d
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 35BAku menatap jam analog di layar ponsel. Sudah jam empat sore, kenapa Mas Nabil belum juga datang? Aku harus mengakui kalau kini aku merasa bergantung padanya. Dia merawatku dengan sangat baik. Dia juga nyaris tak tidur untuk menjagaku. Mungkin kelak, aku bisa benar-benar mencintainya. Aku akan menyuruhnya berhenti bekerja. Lebih baik dia membantu menjalankan perusahaan daripada jadi karyawan biasa dengan gaji yang hanya cukup untuk perawatankui di salon.Tubuhku masih lemah, tapi untunglah perutku sudah tidak sakit lagi. Diareku sudah berhenti. Aku tersenyum sedikit membayangkan apa yang terjadi pada Vivian hari ini. Bagaimana reaksinya? Aku menyetel televisi, berharap ada beritanya. Tapi ternyata tak ada. Hah, bodoh. Tentu saja tak ada. Toserba kecil seperti itu, apa pentingnya hingga harus masuk berita nasional?Kriett…Suara pintu dibuka mengalihkan pandanganku. Mas Nabil masuk dan men
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (36)PoV MEISYA"Meisya, dear. Coba kesini dulu. Let's me show you the best thing from stay here."Aku menoleh, menatap dua kakak sepupu lelakiku yang sudah siap dengan mobil sport mereka. Aku telah tinggal di Texas selama dua tahun dan hari-hariku hanya disibukkan untuk belajar. Tapi malam ini, mereka mengajakku keluar menikmati malam. Sesuatu yang sejak tiba disini selalu membuatku penasaran karena malam hari di sini begitu gemerlap. Bahkan rasanya lebih hidup daripada siang."Kenapa Bang?"Morgan dan Valley tak menjawab, melainkan langsung menarikku masuk ke dalam mobil. Aku tak kuasa menolak, karena rasa penasaran menguasai hatiku, seperti apa Texas di malam hari? Rupanya mereka membawaku ke kelab malam. Tubuhku yang tinggi dan besar, warisan Papa, membuat penjaga tak menyangka usiaku baru empat belas tahun. Aku diizinkan masuk begitu saja, apalagi setelah Abangku menyelipkan beberapa dollar ke dalam gen
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (36B)Aku merinding sendiri membayangkan kemungkinan yang kuutarakan barusan. Hal itu memang benar. Papa adalah lelaki paling kejam dan perfeksionis. Dia tidak menerima ada cacat dalam keluarganya. Tak masalah jika aku penuh noda. Tapi akan jadi masalah besar jika aku memberinya keturunan yang cacat."Aku tidak akan menyerah karena virus sialan ini Mas. Bayi kita juga tidak. Aku akan minum obat seumur hidup dan memastikan anak kita tidak tertular. Aku akan mencari dokter terbaik. Untuk itu, aku butuh dirimu."Mas Nabil masih tertegun, kemungkinan besar kaget dengan semua yang aku katakan. Aku tahu dia lelaki yang cerdas, hanya saja kenyataan dia bagai hidup di dunia dongeng membuatnya tampak bodoh. Aku harus mengubah mindsetnya. Dia bukan lagi budakku, melainkan partner hidup dan partner bisnisku."Satu lagi. Simpan semua ini rapat-rapat. Tak ada yang boleh tahu kondisiku selain kau dan aku. Kau dengar?"
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (37A)PoV VIVIANPapa!"Aku tersentak bangun mendengar suara Tiara berteriak dari kamar sebelah. Aku segera bangkit dan berlari mendapatinya, melupakan Adrian yang mungkin terganggu oleh gerakanku.Di atas tempat tidurnya, anakku masih memejamkan mata. Peluh membanjir di dahinya sementara dia terlihat menggigil. Aku tersentak mendapati kulitnya panas membara."Sayang, ada apa? Tiara mimpi buruk? Badanmu panas sekali."Tiara lalu terduduk dengan wajah linglung. "Apakah kepalanya pusing?" Tiara hanya mengangguk."Mama ambilkan obat dulu sebentar.""Mama…" Tiara menahan tanganku."Aku tadi mimpiin Papa."Aku tercekat. Sudah beberapa waktu lamanya Tiara tak bertemu dengan Mas Nabil. Sejak menikah dengan Meisya, Mas Nabil belum pernah minta bertemu dengan anaknya. Entahlah, aku pun tak mau bertanya. Aku hanya mengira dia masih menikmati masa masa me
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (37B)Aku jatuh terduduk kembali di atas kursi dengan tulang bagai dilolosi dari tempatnya. Tiga huruf itu kemudian terasa melayang layang di depan mataku, mengejek dan menertawaiku. HIV, membayangkannya saja membuatku merinding. Tentu, bukan kondisi Meisya yang aku khawatirkan, tapi Mas Nabil. Karena posisinya sebagai suami Meisya, kemungkinan dia mengidap penyakit yang sama itu sangat besar."Lalu… lalu… Mas sendiri?"Mas Nabil tersenyum getir."Saat ini aku masih negatif. Aku berinteraksi dengan Meisya baru tiga bulan. Tapi entah lima, atau sepuluh tahun lagi. Mungkin virus itu sedang ber-inkubasi."Ada nada putus asa dalam suaranya. Aku sedikit merasa lega. Setidaknya masih ada harapan untuk Mas Nabil."Kalau begitu, menjauhlah dari Meisya. Selamatkan dirimu."Aku mungkin jahat dan egois meminta hal ini darinya. Aku tak lagi memikirkan Meisya. Yang terus terbayang di benakku adalah
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (38)Tiba di rumah, aku langsung ke kamar Tiara. Panasnya sudah turun tapi dia tampak gelisah. Mendengar aku masuk ke kamarnya, Tiara langsung menoleh. Mbak Anik yang menemaninya sejak tadi mengangguk ke arahku."Non, Mbak Ara terus nanyain Papanya. Gimana?"Aku menarik nafas. Mbak Anik sudah menganggap Tiara anaknya sendiri. Anak yang mungkin selamanya tidak pernah dia miliki karena keputusannya untuk tidak menikah. Beruntung, dia bukan perempuan kebanyakan yang lebih mengandalkan rasa. Mbak Anik tetap menjalani hidup dengan mengasihi anak lain meski tak terlahir dari rahimnya. Dan aku selalu merasa aman meninggalkannya berdua Tiara di rumah ketika harus ke kantor."Biar nunggu Adrian pulang dulu Mbak. Katanya dia yang mau antar Tiara."Padahal Mas Nabil menolak bertemu. Tapi aku masih terus berdoa semoga dia berubah pikiran. Memangnya dia tidak tahu kalau penularan HIV itu tidak semudah yang dia kira?
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,