Share

INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)
INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)
Penulis: Azeela Danastri

Chapter 1 Terabaikan

Penulis: Azeela Danastri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-04 20:39:42

"Dalam keluarga Sukoco tidak ada istilah perceraian, itu aib besar bagi kami dan apa yang sudah kamu perbuat jelas-jelas sudah mencoreng nama baik keluarga ini. Kamu tahu konsekuensinya bukan?"

"Tapi saya nggak bersalah. Saya diceraikan tanpa tahu kesalahan saya di mana?" balas Intan mencoba membela diri karena saat ini ia dikepung setidaknya oleh 20 anggota keluarga besar Sukoco.

"Kamu belum mengerti juga ternyata, ya?!" tanya Amanda dengan sinis.

"Apa?"

"Itu karena kamu mandul! Indung telurmu saja hanya satu yang sehat! Laki-laki mana yang mau mempertahankan wanita seperti kamu?! Hah … mikir dong!"

Intan tertunduk lesu, malu sekaligus terhina. Bukan keinginannya untuk memiliki masalah seperti itu. Tidak ada satupun wanita normal yang tidak mendambakan buah hati. Ia jelas ingin, tapi kenyataannya mau bagaimana lagi.

"Pergi dari rumah ini, tidak ada tempat bagimu di sini!"

Kembali terabaikan dan tidak dianggap, bukan masalah besar. Namun, hidup sebatang kara hanya dengan duduk di kursi roda seperti saat ini apa yang harus ia lakukan? Meratapi nasib pun, tak berguna.

*

‘Slamat … slamat … slamat’

Dalam hati Intan, wanita berusia 27 tahun itu bergumam seraya mengelus dada setelah susah payah mengayunkan kursi roda manual meniti jalan dari rumah keluarga besar Sukoco menuju jalan raya depan komplek perumahan elit itu sendirian dan kemudian bersembunyi dengan merapatkan kerudung dan masker wajahnya, tepat di samping pos jaga saat mobil yang sangat ia kenali melintas. 

Untung saja mobil itu melaju kencang dan Intan berharap si Empunya tidak menyadari keberadaan dirinya. Intan tak ingin mengambil pusing mengapa pemilik mobil itu masih menyambangi komplek ini, penasaran tetapi rasanya sudah bukan menjadi urusannya lagi. Intan harus bisa melupakan semuanya, mengingat bagi mereka ia merupakan aib.

‘Kamu bisa, kamu kuat. Jangan biarkan mereka melemahkan kamu. Ayo semangat!’

"Mbak Intan, mau ke mana?" tanya Ghali, satpam komplek perumahan elit Pesona Berlian menyadarkan Intan yang terlalu fokus menyemangati diri.

“Kenapa di situ Mbak, remang-remang?”

"Mau ke Garut, Pak. Ini saya mau cari travel,” jawab Intan mengindahkan pertanyaan kedua Ghali.

"Sudah selesai isya ini, Mbak. Kantor travel sudah tutup, susah kalau cari dadakan. Kecuali free carter," ujar Ghali seraya melihat Intan yang tampak mengenaskan dengan wajah pucat, duduk di kursi roda dan memangku sebuah tas jinjing dan ransel.

"Bapak tahu atau ada kenalan mungkin yang bisa saya carter?" tanya Intan seraya meraih ponsel dan seketika ia teringat belum mengisi kuota internet. 

Rencana untuk melihat tiket secara daring pun pupus sudah. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya saat seketika dering ponsel tak berhenti dari nomor yang tidak ia kenali. Rupanya nomor tersebut sudah menghubunginya sebanyak 12 kali. sebelum ia mengeluarkan dari saku depan ranselnya. Nomor asing dan Intan mengabaikan. Toh, tak ada gunanya sekarang ia sudah sebatang kara.

“Ada Mbak, saudara saya Pak Yudi.”

“Kenapa nggak di hotel saja,” usul satpam yang lain.

Intan tampak berpikir dan menimbang usul tersebut.  Resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika dirinya masih berada di Bandung ini.

“Gimana Mbak, jadi?”

Akhirnya Intan memutuskan untuk segera pergi karena walaupun istirahat di hotel dirinya juga tidak akan bisa nyenyak. “Pak Yudi? Ya, saya mau. Saya kenal kok.”

“Syukurlah. Tunggu sebentar ya, Mbak. Biasanya dia standby nggak jauh dari sini saya hubungi dia dulu.”

Ghali bergegas kembali ke pos jaga dan menghubungi saudaranya sementara Intan beberapa kali menengok ke arah rumah yang tadi ia tinggalkan. Rasa was-was meningkat jika mobil yang tadi melintas kembali lagi. Dua tahun ia tidak menginjakkan kaki di komplek ini dan ia diminta datang hanya untuk diusir dengan tidak terhormat. Begitulah nasib orang yang sedang berada dititik nol, kamu akan tahu siapa yang menjadi teman sejati saat itu.

Sepuluh menit yang terasa seperti selamanya. Namun begitu yang ditunggu datang sedikit ketegangan yang sedari tadi menggelayut di bahu Intan seolah menguap.

Yudi membuka pintu belakang dan tengah begitu merapatkan mobil sedekat mungkin dari Intan berada. 

“Saya bantu Mbak? Mbak Intan, apa kabar? Sudah lama sekali nggak kelihatan?” 

Yudi pria berusia empat puluhan itu sesungguhnya terkejut dengan keadaan Intan saat ini sudah sangat lama ia tidak melihat wanita itu dan keadaannya sekarang membuatnya sangat iba. Untung saja penerangan tidak terlalu terang hingga bisa menutupi raut wajahnya. Masih cantik walau lebih kurus dari yang ia kenal.

“Baik Mas. Mas dan keluarga bagaimana kabarnya?”

“Baik juga. Mau ke Garut?”

“Iya. Langsung saja. Biar tidak terlalu malam.”

“Iya. Mungkin sekitar 2 jam perjalanan. Mbak, mau beli makan malam dulu mungkin?”

“Nanti saja di jalan.”

“Baik kalau begitu.”

Intan sangat bersyukur, Yudi tidak hanya baik bahkan ia membantu Intan untuk duduk senyaman mungkin bahkan Intan juga terkejut mendapati beberapa bantal sofa dan selimut di dalam sana. Seolah memang sudah dipersiapkan untuk dirinya. Intan bukannya tidak bisa berjalan, ia sudah bisa berjalan seperti sedia kala walaupun pincang hanya saja belum bisa terlalu jauh melangkah tanpa alat bantu.

“Saya bantu, Mbak?” 

Yudi dengan sigap sudah berdiri di sebelah Intan yang menggapai pintu bersiap untuk berdiri sementara pria itu memasukkan tas bawaannya.

“Saya bisa kok, Mas.”

Yudi pun memberi jeda jarak begitu mendapat penolakan ia pun tak ingin memaksa, memang beberapa orang difabel tentu ingin mendapatkan privasinya untuk mandiri demi menaikkan kepercayaan diri dan membuktikan bahwa mereka masih mampu melakukan semua kegiatan sendirian.

“Makasih ya Pak Ghali dan bapak-bapak yang lain. saya permisi,” ujar Intan begitu menutup pintu.

“Mbak, santai saja. Selimut dan bantalnya bisa dipakai untuk istirahat. Saya kan sudah tahu alamat rumahnya.”

Benar dugaan Intan semula. “Mas, nggak perlu repot menyiapkan semua ini. Jangan-jangan ini bantal sofa ruang tamunya ya?” canda Intan.

“Bukan lah, Mbak. Itu memang saya selalu siapkan yang sengaja sebagai ekstra itu selimut rajutnya. Siapa tahu Mbak kedinginan, seingat saya Mbak Intan nggak tahan cuaca dingin.”

“Ingat saja sih, Mas. Padahal orang yang merupakan keluarganya tidak ada yang jangankan ingat peduli saja tidak.” Untuk kalimat terakhir tentu saja tidak ia ucapkan.

*

Abraham mengebut dari kantor begitu mendapatkan informasi bahwa Intan berada di kediaman Sukoco. Dua tahun ia sama sekali tidak mendengarkan kabar dari mantan istrinya itu. Wanita itu seolah menghilang ditelan bumi. Sekarang kembali muncul, apakah karena mendengar jika ia akan menikah kembali atau ada maksud lain mengingat Abraham sama sekali tidak memberikan tunjangan sedikitpun? Bisa jadi ia menuntut warisan dari keluarganya karena kakeknya sudah meninggal?

“Di mana dia?” tanya Abraham begitu Amanda membuka pintu depan.

“Dia siapa?” tanya Amanda balik dengan raut wajah masam, karena sejatinya ia tahu siapa yang dimaksud mantan kakak iparnya ini.

“Intan, siapa lagi? Apa dia menuntut warisan?”

Amanda mengangguk mantab. “Iya dan Papi tadi mengusirnya. Aib bagi kami dia menceraikan kamu dan Papi baru tahu sekitar seminggu yang lalu.”

“Kamu rupanya. Tidak mau masuk dulu? Begitu sopan ya, bicara di depan pintu mantan mertua?!” tegur Prama Sukoco.

Abraham menunduk dan kemudian melangkah masuk dan berkata, “Maaf Pi.”

“Jangan memanggilku, Papi. Hebat kamu ya merasa memiliki segalanya dan bisa dua kali duda dengan dua anakku?”

“Kamu tahu tidak. Itulah teguran buatmu, menikah diam-diam dengan adik istrimu tanpa restu orang tua dan kini kamu ditinggalkan. Bahkan saat kamu menceraikan Intan, tidak ada satu suku kata pun kamu ucapkan pada saya. Ngomong kek, ‘Saya kembalikan putrinya’ lupa kamu ya?”

Mulut Abraham terasa terkunci saat ini, otaknya tumpul tak lagi bisa berpikir atau mungkin sudah sangat lelah karena seharian ini ia habiskan untuk meeting demi membangun hotel baru. Sekaligus melupakan pengkhianatan Melia. Intan pun tak pernah hilang dari ingatannya walau wanita yang merupakan mantan istri pertamanya itu juga berkhianat. Kakak-beradik sama saja!

“Mereka selingkuh, Om,” jawab Abraham memberanikan diri sekaligus merubah panggilan.

“Ya itu karmamu, karena kamu kurang ajar! Ya kalau mau menikah lagi carilah wanita lain, jangan yang berasal dari atap yang sama. Masa iya seorang Abraham Shelter kekurangan wanita?!”

Pria berusia 30 tahun itu hanya menggeleng. Sekonyong-konyong ia menyesal tanpa berpikir panjang tadi langsung datang ke sini. Seharusnya ia bisa menghubungi Amanda dulu. Ia tahu wanita muda itu tidak akan pernah menolak telepon darinya.

“Pergilah. Dia tidak ada di sini. Saya sudah mengusirnya.”

“Dia ke mana, Om?”

“Nggak tahu. Sudah pulang saja. Cari wanita lain dan jangan lagi dekati putriku.”

Abraham yang merasa tersinggung karena sikap Prama segera bangkit dan berkata, “Saya akan pergi sekarang tapi nanti pasti kalian akan mencari saya.”

“Oh, kamu mau mengancam saya?”

“Itu bukan ancaman tetapi adalah janji.”

tbc

Bab terkait

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 2 Berhenti Meratapi Nasib

    Hampir tiga jam perjalanan dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih saat ia hujan deras mulai turun dan mobil Yudi meninggalkan pekarangan rumah. Mungkin karena sudah mengenal lama pria itu sedikit peduli kepada Intan dengan banyak pertanyaan yang rasanya tak patut orang asing menanyakan hal itu, seperti keadaannya sekarang apakah tinggal sendiri atau ada yang menemani. Intan pun rasanya tidak perlu menjelaskan karena memang bukan urusan pria itu juga ia tinggal sendiri atau ada yang menemani karena pada kenyataannya ia masih bisa melakukan semuanya sendirian.Intan mengganti kursi rodanya dengan menggunakan tongkat kayu bekas milik mendiang kakeknya untuk alat bantu berjalannya setelah mengunci pintu depan dan menghidupkan semua lampu serta membuat teh jahe hangat untuk menyibukkan diri. Intan masih kepikiran dengan mobil Abraham yang tadi melintas. Apakah pria itu datang sendiri atau dengan Melia adiknya. Kabar terakhir yang ia dengar adalah abraham telah menikah d

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-05
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 3 Single Rasa Janda

    "Untuk apa kamu ke sana lagi?" tegur Novita begitu melihat anak kesayangannya muncul dari balik pintu garasi."Ke sana ke mana?" tanya Abraham balik tak acuh, tanpa menghentikan langkah menuju kamarnya. Setelah bercerai untuk yang kedua kalinya, kedua orang tuanya memang memintanya kembali ke rumah mereka. Mengingat saudara perempuan Abraham sudah menikah semua."Berhenti dulu, Bram! Mami sedang bicara." Novita meringsek ke depan menghalau jalan Abraham."Besok saja dibahas, Mam. Bram capek seharian meeting.""Lah itu tahu capek. Kamu ngapain ke rumah Sukoco?""Mami tahu dari mana?""Tahu lah, mata-mata Mami banyak."Abraham tidak akan meragukan hal itu sedikit pun. Uang bisa melakukan segalanya, nyatanya kedua mantan istrinya menghilang setelah ia ceraikan. Contohnya Intan, walau awalnya ia menceraikan karena alasan keturunan pada akhirnya Abraham menerima kenyataan jika Intan juga telah berkhianat dariny

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-06
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 4 Tidak Pada Tempatnya

    Usapan di puncak kepala berubah menjadi belaian disusul dengan ciuman di kening, lalu di pipi sebelum kemudian menuju rahang singgah sebentar di sudut bibir. Sumpah, rasanya sungguh nikmat nafkah batin di pagi hari dari orang terkasih. Belaian dan kecupan Intan yang selalu dirindukan oleh Abraham. Hembusan hangat menerpa sisi leher disusul kembali dengan kecupan dari bibir ranum. Tunggu dulu ... rasanya bibir Intan tidak seranum ini. Rasanya berbeda dengan biasanya. Namun untuk membuka matanya Abraham merasa takut jika semua ini hanya mimpi. Rasanya begitu nyata hingga terasa menyakitkan. Bibir itu mencium di tulang selangka menuju dadanya yang telanjang, lalu lidah hangat membelai salah satu puncak dadanya.Dadanya terasa sesak diiringi dengan sesak yang berasal dari pangkal pahanya. Abraham tidur hanya dengan mengenakan celana dalam, kemudian ada tangan lain yang mengusap sisi pahanya menuju ke tengah dan seketika mencoba menggenggam miliknya yang paling in

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-07
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 5 Posesif Sekali

    Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir. Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri ya

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 6 Pagi yang Kelabu

    Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu. Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar. "Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku." Intan sengaja tidak mengatakan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-09
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 7 Larangan Ibu

    Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi. CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 8 Fitnah lagi

    "Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-16
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 9 Trio Ghibah

    “Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-20

Bab terbaru

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   ABRAHAM BINGUNG

    “Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Pulang Ke Rumahku

    “Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 27 Hati yang terkoyak

    Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

    Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status