Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi.
CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty menghela napas panjang tanpa mengalihkan tatapan dari paras tampan putranya yang kini duduk berhadapan dengan meja bundar menjadi penghalang antara mereka."Sejak pagi?" Dharma mengangguk sebagai jawaban."Kamu seharusnya tahu, tidak baik berlama-lama di rumah seorang janda. Dengar itu Dharma, seorang janda. Apalagi dia janda sepupumu.""Ibu sudah tahu dari dulu bagaimana perasaan Dharma ke Intan.""Apalagi dia cacat begitu dan nggak bisa punya anak. Sudahlah Dharma cari saja anak gadis. Kalaupun bukan dari desa ini carilah di kota sana.""Apapun keadaan Intan, Dharma tidak akan mundur, Bu. Dharma sudah cukup mengalah karena Bram dulu. Lihat apa yang sudah dilakukan dia terhadap Intan."Sorot mata Hesty semakin tajam menatap sang putra sulung. "Ingat Dharma kamu putra Ibu satu-satunya, jaga kelakuanmu. Ingat di mana kamu tinggal dan yang pasti Ibu tidak ingin memiliki menantu mandul. Ibu ingin mengasuh anak dari keturunanmu.Ibu tidak akan pernah merestui jika kamu masih bersikukuh dengan Intan. Jangan sampai Ibu dengar orang membicarakan tentang kalian. Ibu akan usir dia dari desa ini.""Ibu, maaf sebelumnya. Ibu tidak bisa melakukan hal itu. Kakek dan neneknya adalah salah satu sesepuh desa ini."Hesty mendengkus jengah mendengar jawaban sang putra. "Intan bukan cucu kandung mereka. Kamu tahu siapa itu Intan sebenarnya?""Tidak." Jawaban singkat Dharma layangkan. Ia ingin tahu sejauh mana ibunya tahu tentang masa lalu Intan."Dia adalah anak dari seorang pembantu murahan yang berani mengganggu majikannya. Sama persis kelakuannya dulu kepada Abraham yang bahkan sudah bertunangan dengan Melia."Hesty menarik napas panjang, mengurai ketegangan emosi yang dirasakannya. "Sekali lagi Ibu tegaskan. Ibu tidak mau memiliki menantu dia."Dharma memilih tidak lagi menanggapi, tak ingin memicu penyebab darah tinggi ibunya akan kambuh kembali."Oh ya, Dharma. Ibu nggak mau lihat kamu sering ke sana lagi. Kamu bisa suruh Bowo atau yang lain untuk berurusan dengan wanita itu."Dharma yang sudah berdiri hendak ke dalam terpaku di tempat menatap sang ibu dalam diam."Kenapa, kamu nggak setuju sama larangan Ibu? Ingat, kamu masih tinggal di rumah ini. Jadi segala sesuatunya kamu harus tunduk pada peraturan di sini. Jangan bikin malu seperti Abraham dulu."Dharma menelan saliva-nya kasar, dan dengan mulut terbungkam ia pun pergi meninggalkan sang ibu.Pikirannya kacau, ingin sekali membantah tetapi jelas tak ingin dicap sebagai anak durhaka. Namun jika menuruti sang ibu, jelas ia tidak bisa membiarkan orang-orang memperdaya Intan. Ia sayang pada wanita itu jelas itu tidak bisa dipungkiri sejak sebelum wanita itu pergi menemui orang tuanya di kota. Dharma sudah menaruh rasa pada Intan.*"Bagaimana Mbak, apa sudah ada bukti siapa yang curang?" tanya Risa dengan menaruh pisang goreng di meja kerja Intan.Intan menutup laptopnya dan segera mencomot kudapan tersebut. "Belum. Mas Dharma katanya akan membantu.""Benarkah?" tanya Risa dengan nada ragu yang kentara."Iya. Tadi dia sudah hubungi siapa gitu untuk memeriksa CCTV besok.""Bukannya besok Mbak mau kontrol?""Oh iya ya. Kalau begitu besok kamu saja yang awasi.""Lalu Mbak, siapa yang akan menemani? Apa sama Ibu aja ya?""Jangan. Kasihan Ibu, karena nanti terapi pasti akan lama.""Sekalian besok kamu tanya Mas Dharma soal suplayer rotan sintetis.""Rasanya Mas Dharma nggak mungkin ke sini.""Kok, begitu? Dia sudah janji akan membantuku.""Tadi Ibu dengar di warung. Bu Lurah ngobrol sama ibu-ibu kalau melarang Mas Dharma untuk berurusan dengan Mbak.""Memangnya apa salahku?""Katanya karena Mbak janda keponakannya," jawab Risa seraya meringis canggung."Bukan mauku menjanda, mereka yang mencari alasan untuk menceraikan aku. Lalu aku bisa apa? Kamu tahu sendiri orang tuaku saja menjauh dariku. Mereka lebih asing dari orang asing."Risa bangkit dan memeluk Intan dengan erat bahkan mata gadis manis itu sudah berkaca-kaca. "Apapun yang terjadi Mbak masih punya Risa, Ibu dan Bapak. Jangan pernah sungkan meminta tolong kepada kami.""Neng …?"Sapaan dari pintu depan dan disusul suara ketukan pada jendela membuat acara berpelukan mereka berakhir. Risa kemudian bangkit dan segera menuju ruang tamu."Bapak sama Ibu ngapain malam-malam ke sini?"Sayup terdengar dari arah depan suara Risa, membuat Intan pun memutuskan untuk menyusul. Ia pun penasaran untuk apa orang tua gadis manis itu datang ke sini."Bapak sama Ibu ada apa?" tanya Intan begitu melihat keduanya membawa dua rantang makanan dan satu tas jinjing."Bapak sama Ibu mau pergi? Ada acara di mana?" tanya Intan lagi seraya duduk bergabung bersama dengan mereka."Menjagamu," ujar Hamdani."Ada apa Pak."Hamdani menghela napas panjang. "Bapak resah dengan ucapan Bu Lurah tadi sore yang sepertinya sengaja membuat keruh suasana dengan mengabarkan pada orang-orang untuk melarang anaknya berurusan denganmu.""Padahal urusan kami sebatas bisnis saya.""Mungkin karena mereka itu masih bersaudara dengan mantan suamimu.""Kalau saran bapak ini ya. Jika memang kamu belum setujui, jangan mau menerima donatur dari Dharma. Masih ada Nak Rizky yang mau membantu."Intan yang memang sangat segan pada Hamdani dan Aminah serta sudah menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri akhirnya mengangguk."Untung Intan belum menyetujui. Kemarin masih Intan obrolkan dengan Risa. Lalu untuk apa tas itu?""Bapak sama Ibu mau tidur di sini. Bapak kepikiran karena ada yang curang di gudang. Bapak takutnya orang itu berpikir pendek dan akan melukaimu.""Benar kata Bapakmu, kalian hanya berdua di sini. Bapak ajak Samsudin sama Mail untuk ikut berjaga. Nanti mereka menyusul masih beli rokok dulu di depan," tambah Aminah yang tidak mendapatkan jawaban dari Intan."Jujur, Intan belum berpikir sejauh itu malahan. Terima kasih ya, Pak, Bu. Intan banyak merepotkan.""Tidak apa-apa," ujar Aminah seraya mengusap punggung atas Intan."Lebih baik kita mencegah daripada ada apa-apa. Kalau sampai terjadi apapun sama kamu, Bapak bisa didatangi abahmu. Ya sudah Bapak bantu siapkan tempat untuk dua orang itu tidur."*Samsudin dan Mail jalan berjejer menuju rumah Intan seraya menikmati hisapan rokok di tangan dan mengobrol ringan. Kemudian ada suara motor berhenti di dekat mereka dan Mail menoleh ke arah asal suara."Rizky, ngapain di sini?""Kalian mau ke mana?""Mau ke rumah Intan.""Ada acara apa?""Tidak ada apa-apa. Pak Hamdan yang meminta kami ke sana.""Tidak mungkin tidak ada apa-apa sampai kalian harus ke sana malam-malam begini. Aku ikut kalau begitu.""Jangan," cegah Samsudin."Kenapa?" tanya Rizky dengan dahi berkerut terkejut dengan penolakan Samsudin yang tiba-tiba.Kedua pria di depannya saling berpandangan dan akhirnya Mail yang membuka suara. "Kami nggak bisa bilang, pokoknya kami disuruh menjaga rumah Intan."Rizky kemudian meraih dompet dan mengeluarkan 5 lembar uang kertas berwarna merah. "Ini untuk kalian dan tolong segera hubungi aku jika ada sesuatu yang membahayakan Intan.""Beres Bos," ujar Mail yang menerima lebih dulu tanpa bertanya pada Samsudin."Jangan lupa beritahu aku ya." Setelahnya Rizky meninggalkan kedua pria itu yang dengan langkah cepat segera menuju kediaman Intan.tbc"Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput
“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb
Melihat mereka berdua duduk di satu meja adalah hal terakhir yang Intan inginkan. Rasa cinta dan benci itu jelas masih ada, dirinya tak bisa memungkiri itu. Benci karena kekecewaan yang mendalam, susah dijelaskan. Sampai detik ini pun ia masih sulit untuk mengungkapkan, menangis pun rasanya sia-sia. Intan sudah capek menangis. Luka lama itu masih berdarah-darah pastinya. Masih berdiri terpaku di tempat sementara Risa sudah menghilang untuk mencari tempat duduk, tak menyadari dengan apa yang dilihat oleh Intan.Tepukan keras mendarat di punggung atasnya. Saat Intan menoleh, dirinya mendapati mantan ibu mertua sudah berdiri di belakang dengan tatapan tidak suka, bersama dengan mamanya. Namun wanita itu hanya diam, menatap tak kalah tajam ke arahnya.“Ngapain kamu bengong, malah seperti orang bego?” tegur Novita dengan ketus.“Kaget saja, masa nggak boleh.”“Nggak boleh, kalau kamu nggak boleh. Kamu sudah bikin rumah tangga anakku hancur!” Novita menjawab dengan nada mulai histeris.Int
“Aku tidak mengizinkan kamu mengantarku. Ngapain kamu di sini?” tegur Intan.Abraham menatapnya tajam dan hal itu sedikit membuat jantung Intan berdetak lebih keras. Debaran itu masih sama tapi ia tak ingin menunjukkannya. Intan tak ingin jika keberadaan mantan suaminya itu masih mempengaruhinya.“Setahuku tempat ini adalah tempat umum.”“Nggak seharusnya kamu di sini.” Intan masih berusaha agar Abraham segera pergi dari sana. Keberadaan Abraham dan sikap Rizky yang tampak menegang dan menantang membuatnya tidak nyaman. Jangan sampai ada keributan lagi di sini.“Kenapa aku tidak boleh di sini? Aku bebas makan di sini, sudah kubilang ini tempat umum.”“Maksudku di depan mejaku. Ada Amel yang bersamamu,” ujar Intan seraya melirik ke arah belakang tubuh Abraham tempat Amelia menatap benci dengan terang-terangan ke arahnya.“Memangnya kenapa aku tidak boleh ke sini. Kita saling kenal dan seperti yang aku bilang tadi, aku akan antar kamu ke mana pun.”“Aku tidak memintamu.”“Dan aku tidak
Cengkraman mengerat ditambah dorongan sekuat tenaga yang dilayangkan oleh Intan pada rambut Abraham yang kepalanya masih dengan setia berada di pangkal paha Intan. Tenaga semakin menipis dengan pandangan yang kini berkunang-kunang. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dulu, situasi yang menyebabkan ia harus menjadi istri pria yang suka memaksakan kehendak dan pada akhirnya mencampakkannya dengan dalih tuduhan tak setia yang disematkan kepadanya. Bahkan pria yang dituduhkan menjalin hubungan gelap dengannya saja ia tidak kenal baik.Intan juga bukan wanita yang mudah akrab dengan orang asing atau baru dikenal apalagi mereka menuduhnya sering menghabiskan waktu di klub malam. Jangankan untuk minum, jika saja dulu ia tidak terpaksa mencari keberadaan mantan suaminya itu di sana situasi yang dihadapinya saat ini tidak mungkin terjadi.“Mas!”“Ya Sayang.”Jawaban penuh kasih itu membuat hati Intan tercubit, benaknya kembali ke masa lalu. Dahulu Abraham saat melampiaskan syahwatnya
Abraham menempelkan dahinya di pintu yang tertutup rapat. Bukan rasa bersalah yang kini datang tetapi kepuasan. Jika ia tidak nekat sudah sangat mungkin Intan tak akan terjangkau. Apalagi tidak hanya bajingan tengik yang tadi ia temui di restoran itu saja yang berusaha mendekati Intan tetapi juga sepupunya sendiri Dharma dan sudah sangat yakin jika ada pria-pria lain yang pasti akan mendekati istrinya itu. Ya istrinya, Intan harus tahu jika mereka tidak pernah bercerai.Abraham cepat membersihkan diri, sedikit rasa cemas jika Intan akan kabur dari kamar ini. Walaupun ada keraguan jika wanita itu melakukannya karena Risa belum juga datang. Ia pun tersenyum tipis mendapati Intan duduk di sofa menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Seolah mengetahui keberadaannya Intan menoleh ke arahnya. Abraham menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut dengan handuk kecil.“Cepat hubungi anak buahmu. Risa harus segera ke sini.”“Iya, iya. Aku akan hubungi mereka.”Abraham tersenyum simpul me
Intan tidak pernah menyangka Abraham bisa sekepala batu ini, keras kepala sekali. Pria itu masih bersikukuh dengan halusinasinya bahwa mereka masih terikat dalam pernikahan."Kembalilah istriku. Pintu rumah kita selalu terbuka untukmu.""Mungkin kamu lupa. Perkataanmu saat ini sama dengan menjilat ludah sendiri. Tetapi aku pun nggak heran karena hanya itu yang bisa kamu lakukan saat ini dan jika menurutmu aku akan baper lalu luluh dengan permintaanmu. Kamu salah besar. Tidak ada jalan untuk kita kembali."Intan mendengkus jengah, ia sangat ingat saat dulu diusir dari rumah suaminya. Ya memang begitu, karena pada kenyataannya ia tidak pernah merasa memiliki rumah itu karena faktanya Amel lebih menjadi nyonya rumah daripada dirinya.“Kamu sadar tidak dengan semua perbuatanmu dulu kepadaku?”“Ingat.” Abraham membalas tanpa ada rasa bersalah, bahkan tatapannya sangat lekat kepada Intan yang duduk meringkuk di sofa.“Lalu kamu pikir aku akan kembali dengan mudahnya?”“Tentu aku berharap be
“Mbak,” tanya Risa dengan nada meragu kepada Intan yang menatap keluar jendela. Saat ini cuaca diluar tidak mendukung. Mobil berjalan lambat karena macet dan hujan deras yang menghantam bumi kembali setelah tadi sempat terhenti. Mendung gelap seperti hatinya.“Ya,” balasnya lirih. Risa tak layak mendapatkan sikap setengah hati, karena bukan gadis itu yang memiliki masalah dengannya.“Mbak sedih?” tanya gadis itu yang rasanya sudah tak sabar menanyakan hal ini walau sangat sadar ada telinga asing yang mungkin saja mendengarkan percakapan mereka.“Kita bicarakan nanti saja. Mungkin sebaiknya kita pulang saja.”“Kita kembali ke hotel kalau begitu?” Intan hanya mengangguk menanggapi. Rasanya sudah begitu tepat keputusan saat ini.Hal tak terduga kembali terjadi, Intan kembali ke hotel tetapi memutuskan untuk menelepon Yudi yang kebetulan sedang bebas hari ini dan bisa mengantarkan kembali ke Garut.“Senang saya bisa mengantar Mbak Intan lagi. Makasih sudah ingat dengan saya.”“Saya akan
“Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud
Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S
Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su
“Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t
Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha
“Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak
“Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.
Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r
Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad