Home / Romansa / INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak) / Chapter 2 Berhenti Meratapi Nasib

Share

Chapter 2 Berhenti Meratapi Nasib

Author: Azeela Danastri
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hampir tiga jam perjalanan dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih saat ia hujan deras mulai turun dan mobil Yudi meninggalkan pekarangan rumah. Mungkin karena sudah mengenal lama pria itu sedikit peduli kepada Intan dengan banyak pertanyaan yang rasanya tak patut orang asing menanyakan hal itu, seperti keadaannya sekarang apakah tinggal sendiri atau ada yang menemani. Intan pun rasanya tidak perlu menjelaskan karena memang bukan urusan pria itu juga ia tinggal sendiri atau ada yang menemani karena pada kenyataannya ia masih bisa melakukan semuanya sendirian.

Intan mengganti kursi rodanya dengan menggunakan tongkat kayu bekas milik mendiang kakeknya untuk alat bantu berjalannya setelah mengunci pintu depan dan menghidupkan semua lampu serta membuat teh jahe hangat untuk menyibukkan diri. Intan masih kepikiran dengan mobil Abraham yang tadi melintas. Apakah pria itu datang sendiri atau dengan Melia adiknya. Kabar terakhir yang ia dengar adalah abraham telah menikah dengan adiknya itu setelah mendapatkan surat cerai darinya.

Intan kembali membuka aplikasi pesan di ponsel untuk mengecek jadwal pembukaan tempat bimbingan belajarnya. Semua ia lakukan demi mengisi waktu luang selama proses pemulihannya dua tahun ini dari kecelakaan yang terjadi tepat setelah ketuk palu hakim memberikan pernyataan bahwa ia telah sah bercerai dengan Abraham. Bahkan sampai detik ini ia belum mengambil akta perceraiannya di pengadilan karena keadaan diri yang tidak memungkinkan.

Namun sebagai manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging pada akhirnya ia tak kuasa memendam semua kesedihan di sidang layaknya seorang tersangka, bersalah dan hina padahal dirinya lah yang menjadi korban. Korban keegoisan mereka, ia tak tahu salahnya di mana saat diceraikan. Tersudutkan tertuduh berzina, sekalipun membagi cinta tak pernah ia lakukan. Tak pernah diberi kesempatan untuk membela diri saat harkat dan martabatnya diinjak.

Kini di meja dapur yang mungil ini ia tumbah. Luluh lantak semua emosi yang ia tahan sedari tadi. Aib … mereka menyebutnya demikian walau jika ditarik mundur, ia tidak pernah meminta dilahirkan dan di keluarga seperti apa ia akan tumbuh dan berkembang. Bukannya ia menyesal tinggal dengan kakek serta neneknya. Tidak, tak sekalipun terlintas walau hampir seumur hidupnya ia tidak pernah mengenal kedua orang tuanya hingga ia berusia 20 tahun. Mereka membawanya kembali ke rumah besar itu karena kedua orang yang sudah mengasuhnya sejak ia berusia 3 tahun meninggal bersama dalam kecelakaan bus pariwisata. Hanya itu yang jadi sesalnya, andai ia ikut pasti dirinya bisa pergi bersama dengan mereka.

Berjuang sendiri saat ini sangat melelahkan. Intan lelah, walau nasehat sang nenek selalu teringat olehnya.

"Seperti bongkahan intan mentah belum terjamah kamu sekuat itu yang hanya bisa terbelah oleh lapisan intan lainnya. Jangan biarkan batu kerikil menghancurkanmu."

Hujan semakin deras di luar sana seperti ikut merasakan kemalangan dirinya saat ini. Intan menatap sekeliling rumah. Sepi, sunyi tanpa ada teman yang menemani. Janda tanpa anak, itulah predikat yang ia sandang. Betapa memalukan hanya dua tahun menikah dan diceraikan dengan banyak dalih fitnah disematkan kepadanya.

Beginilah nasib orang yang tak memiliki harta banyak. Ia pun harus pintar mengatur keuangan karena selama dua tahun menikah Intan tidak diperkenankan bekerja. Dirinya hanya mengurus suami dan rumah mereka saja. Bersolek saja ia tak lagi bisa leluasa. Padahal dulu saat ia bekerja di pabrik, dirinya bebas mempercantik diri. Memang jika di rumah ia akan berdandan ala kadarnya karena kedua saudarinya tak suka jika melihatnya berdandan.

Namun malang tak dapat ditolak. Walau ia menikah dengan salah satu kandidat terbaik pilihan keluarga dulu, dirinya juga dikhianati oleh anggota keluarganya. Intan merasa menjadi samsak hidup dan hanya menjadi pelampiasan mereka. Sejak berusia 3 tahun ia tinggal bersama dengan kakek dan neneknya. Hampir tidak mengenali kedua orang tuanya jika tidak melalui sambungan telepon karena alasan mereka yang bekerja di luar kota.

Pada akhirnya ia pun tak habis pikir kenapa orang tuanya meninggalkan dirinya untuk diasuh oleh kakek dan nenek jika ternyata mereka kaya raya. Bahkan pendidikan pun mereka hanya membiayai sampai SMA, untung saja ia bisa mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan guru. Untung saja tempat bimbingan belajar yang ia dirikan sudah memiliki izin operasi dari pemerintah desa dan daerah. Memanfaatkan bangunan yang dulunya dijadikan sebagai gudang oleh kakeknya pada akhirnya ia bisa mewujudkan cita-citanya.

Paling tidak sisa tabungannya cukup untuk hal yang baik daripada untuk menghabiskan waktu mengurus fitnahan mereka yang merasa lebih berkuasa.

"Mbak Intan …."

Seruan dari depan rumah disertai ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Intan menghapus air mata yang masih berderai dan mencuci muka di wastafel dapur sebelum menjawab.

"Ya, sebentar."

Intan tahu siapa yang datang malam begini. "Ada apa Risa?" tanyanya seraya membuka pintu, "sudah malam sekali loh."

"Aku nggak bisa tidur kalau belum sampaikan kabar ini."

"Kan bisa lewat pesan," jawab Intan seraya membuka pintu lebih lebar.

Intan baru menyadari jika Risa membawa sebuah tas plastik berisi banyak makanan ringan dan sembako.

Risa yang menyadari arah tatapan Intan lalu berinisiatif meletakkan barang bawaannya sebelum ditolak wanita yang lebih tua darinya itu.

"Jangan ditolak ya, Mbak," ujarnya begitu melihat Intan hendak berbicara.

"Dari siapa itu?"

"Dari Pak Rizky."

"Bukannya besok beliau ke sini?"

"Iya. Mau ambil mebel antiknya. Tadi sudah ke sini tapi Mbak kan ada di Bandung."

"Kok, kamu tahu aku sudah pulang?"

"Tapi pas beli mie rebus di warung depan sana ketemu sama orang yang antar Mbak pulang. Dia singgah beli rokok."

"Kebiasaan kamu ini menguping," ujar Intan seraya menggeleng tak habis pikir menatap gadis berusia 23 tahun dihadapannya.

Risa, gadis manis berlesung pipi itu adalah gadis yang membantunya membersihkan rumah dan tempat bimbingan belajar nantinya.

"Enak ya Mbak sekarang. Mbak nggak perlu pergi jauh-jauh untuk bekerja. Apalagi antusias warga sini juga bagus."

"Iya." Intan mengangguk puas.

"Mas Dharma tadi juga mencari Mbak."

"Ada perlu apa?" Intan heran, kenapa anak Lurah mereka mencari dirinya.

"Katanya mau menjadi donatur."

"Donatur? Kita kan nggak buka yayasan. Untuk apa?"

"Mungkin untuk membantu anak-anak kurang mampu."

"Oh soal itu."

Memang Intan tidak menentukan tarif anak-anak yang ingin belajar di tempatnya. Para tenaga pengajar juga merupakan volunteer, sebagai pengisi waktu luang mereka walaupun tetap mendapatkan gaji dari iuran wajib dan usaha Intan berjualan furniture antik. Kegiatan menyenangkan yang tidak banyak orang tahu. Ia pun bekerjasama dengan beberapa tukang kayu yang membuat perabotan jadul dari kayu baru.

"Jadi bagaimana Mbak? Sebaiknya terima saja," bujuk Risa.

"Kita lihat nanti ya. Tanggungjawab menerima donatur itu besar loh. Aku rasanya belum sanggup untuk mengurus sendiri."

"Risa bantu ya Mbak, kalau boleh? Risa bisa kalau cuma pakai komputer. Dulu kan Risa pernah kursus komputer."

"Kita pikirkan besok lagi saja ya. Kamu tidur di sini?"

"Iya dong. Ibu yang suruh, biar Mbak jangan terus meratapi nasib," jawab gadis manis itu seraya berjalan ke pintu depan dan menguncinya.

Intan tersenyum simpul. "Motormu sudah kamu masukkan?"

Risa berdiri di tempatnya dan berkata, "Aku nggak bawa motor tadi diantar Pak Rizky."

"Pak Rizky, malam-malam begini?"

"Iya, tadi Pak Rizky ketemu Bapak. Makanya tadi Risa disuruh beli mie rebus."

Intan tidak tahu untuk apa kedua pria itu mencarinya. Dua pria yang dulu ia kenal baik sebagai teman bermain. Bagaimana bisa mereka berada di desa ini disaat yang bersamaan dengan dirinya?

"Kamu tahu nggak kenapa mereka bisa di desa? Bukannya keduanya di Bandung dan Jakarta?"

"Siapa Mbak?"

"Rizky dan Dharma, siapa lagi."

"Paling Bapak, Mbak. Mereka ketemu waktu kemarin ada tanggapan wayang itu."

"Wayang apa, kok aku nggak tahu?"

"Itu loh Wayang Ajen di alun-alun Karangpawitan. Mbak kemarin masih di Bandung untuk terapi makanya Bapak nggak ngabarin. Sepertinya mereka bertemu di sana."

"Wah sayang sekali padahal pasti seru."

Tbc

Related chapters

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 3 Single Rasa Janda

    "Untuk apa kamu ke sana lagi?" tegur Novita begitu melihat anak kesayangannya muncul dari balik pintu garasi."Ke sana ke mana?" tanya Abraham balik tak acuh, tanpa menghentikan langkah menuju kamarnya. Setelah bercerai untuk yang kedua kalinya, kedua orang tuanya memang memintanya kembali ke rumah mereka. Mengingat saudara perempuan Abraham sudah menikah semua."Berhenti dulu, Bram! Mami sedang bicara." Novita meringsek ke depan menghalau jalan Abraham."Besok saja dibahas, Mam. Bram capek seharian meeting.""Lah itu tahu capek. Kamu ngapain ke rumah Sukoco?""Mami tahu dari mana?""Tahu lah, mata-mata Mami banyak."Abraham tidak akan meragukan hal itu sedikit pun. Uang bisa melakukan segalanya, nyatanya kedua mantan istrinya menghilang setelah ia ceraikan. Contohnya Intan, walau awalnya ia menceraikan karena alasan keturunan pada akhirnya Abraham menerima kenyataan jika Intan juga telah berkhianat dariny

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 4 Tidak Pada Tempatnya

    Usapan di puncak kepala berubah menjadi belaian disusul dengan ciuman di kening, lalu di pipi sebelum kemudian menuju rahang singgah sebentar di sudut bibir. Sumpah, rasanya sungguh nikmat nafkah batin di pagi hari dari orang terkasih. Belaian dan kecupan Intan yang selalu dirindukan oleh Abraham. Hembusan hangat menerpa sisi leher disusul kembali dengan kecupan dari bibir ranum. Tunggu dulu ... rasanya bibir Intan tidak seranum ini. Rasanya berbeda dengan biasanya. Namun untuk membuka matanya Abraham merasa takut jika semua ini hanya mimpi. Rasanya begitu nyata hingga terasa menyakitkan. Bibir itu mencium di tulang selangka menuju dadanya yang telanjang, lalu lidah hangat membelai salah satu puncak dadanya.Dadanya terasa sesak diiringi dengan sesak yang berasal dari pangkal pahanya. Abraham tidur hanya dengan mengenakan celana dalam, kemudian ada tangan lain yang mengusap sisi pahanya menuju ke tengah dan seketika mencoba menggenggam miliknya yang paling in

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 5 Posesif Sekali

    Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir. Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri ya

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 6 Pagi yang Kelabu

    Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu. Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar. "Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku." Intan sengaja tidak mengatakan

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 7 Larangan Ibu

    Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi. CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty men

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 8 Fitnah lagi

    "Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 9 Trio Ghibah

    “Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 10 Gunjingan

    Melihat mereka berdua duduk di satu meja adalah hal terakhir yang Intan inginkan. Rasa cinta dan benci itu jelas masih ada, dirinya tak bisa memungkiri itu. Benci karena kekecewaan yang mendalam, susah dijelaskan. Sampai detik ini pun ia masih sulit untuk mengungkapkan, menangis pun rasanya sia-sia. Intan sudah capek menangis. Luka lama itu masih berdarah-darah pastinya. Masih berdiri terpaku di tempat sementara Risa sudah menghilang untuk mencari tempat duduk, tak menyadari dengan apa yang dilihat oleh Intan.Tepukan keras mendarat di punggung atasnya. Saat Intan menoleh, dirinya mendapati mantan ibu mertua sudah berdiri di belakang dengan tatapan tidak suka, bersama dengan mamanya. Namun wanita itu hanya diam, menatap tak kalah tajam ke arahnya.“Ngapain kamu bengong, malah seperti orang bego?” tegur Novita dengan ketus.“Kaget saja, masa nggak boleh.”“Nggak boleh, kalau kamu nggak boleh. Kamu sudah bikin rumah tangga anakku hancur!” Novita menjawab dengan nada mulai histeris.Int

Latest chapter

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   ABRAHAM BINGUNG

    “Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Pulang Ke Rumahku

    “Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 27 Hati yang terkoyak

    Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

    Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad

DMCA.com Protection Status