Beranda / Romansa / INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak) / Chapter 4 Tidak Pada Tempatnya

Share

Chapter 4 Tidak Pada Tempatnya

Penulis: Azeela Danastri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-07 12:50:17

Usapan di puncak kepala berubah menjadi belaian disusul dengan ciuman di kening, lalu di pipi sebelum kemudian menuju rahang singgah sebentar di sudut bibir. Sumpah, rasanya sungguh nikmat nafkah batin di pagi hari dari orang terkasih. Belaian dan kecupan Intan yang selalu dirindukan oleh Abraham.

Hembusan hangat menerpa sisi leher disusul kembali dengan kecupan dari bibir ranum. Tunggu dulu ... rasanya bibir Intan tidak seranum ini. Rasanya berbeda dengan biasanya. Namun untuk membuka matanya Abraham merasa takut jika semua ini hanya mimpi. Rasanya begitu nyata hingga terasa menyakitkan. Bibir itu mencium di tulang selangka menuju dadanya yang telanjang, lalu lidah hangat membelai salah satu puncak dadanya.

Dadanya terasa sesak diiringi dengan sesak yang berasal dari pangkal pahanya. Abraham tidur hanya dengan mengenakan celana dalam, kemudian ada tangan lain yang mengusap sisi pahanya menuju ke tengah dan seketika mencoba menggenggam miliknya yang paling intim menyusup dari tepi lapisan terakhir, membelai menggoda. Tidak, ini tidak benar. Intan tidak pernah seberani ini, segala aktivitas ranjang selalu Abraham yang memulai dan membimbingnya. Intan tidak pernah memiliki inisiatif dan keberanian untuk menyentuh tubuhnya tanpa disuruh.

Kesadaran langsung menghantam dengan telak dan seketika Abraham membuka matanya dan terlonjak kaget. Ia melotot tajam pada sosok molek seperti gitar spanyol yang duduk di sisi tubuhnya dengan tidak tahu malu menyunggingkan senyum menggoda.

"Ola?! Apa yang kamu lakukan di kamarku?!" tanya Abraham nyaris berteriak namun ia yakin suaranya sampai terdengar keluar kamar ini.

Kepala Abraham berdenyut sakit karena kesiap terkejutnya tadi hingga membuat ia terduduk bersandar pada kepala ranjang dan sedikit terantuk.

"Tante memberikan izin aku masuk." Jawabnya santai walaupun kini jantungnya berdentam keras seolah menggedor tulang rusuknya karena wajah Abraham yang menggelap marah bukan birahi seperti yang tadi ia lihat saat terpejam.

Sakit hatinya saat ia yang mencumbu tetapi nama wanita lain yang meluncur dari bibir pria yang ia cintai sejak SMA ini. Wanita itu seharusnya sudah pergi jauh, tetapi kenapa masih berada di hati Abraham? Sial!

"Bukan berarti kamu menggerayangiku?! Kamu tahu sopan santun tidak? Dasar lancang! Pelecehan itu namanya!" Kali ini kemarahan tidak bisa dibendung dicampur rasa kesal karena bukan wanita dalam mimpinya yang menjadi nyata.

Ola terlonjak saat telunjuk Abraham nyaris mengenai pelipisnya. Wanita itu berdiri di sisi ranjang saat Novita membuka pintu dan kini berada di tengah kamar.

Menatap bingung pada keduanya dan bertanya, "Ada apa ini ribut-ribut?!"

"Mami yang mengizinkan dia masuk?"

"Iya. Untuk membangunkanmu. Sudah hampir pukul tujuh sekarang, nanti kamu terlambat."

"Dia melecehkanku," ujar Abraham seraya menunjuk ke arah Ola.

Wajah Ola memerah karena merasa dipermalukan dan tertangkap basah seperti itu. Sekaligus sakit hati, tentu saja.

"Melecehkan apa?" tanya Novita masih dengan raut kebingungan.

"Dia ...."

"Maaf Tante sebaiknya saya pergi. Bram sepertinya tidak suka saya di sini," potong Ola yang kemudian bergegas keluar kamar terlebih dahulu.

Novita tersenyum miring dengan sorot menuduh ke arah Abraham. "Terlalu kamu, Bram. Kamu tidak boleh begitu dengan calon istrimu!" ujar Novita lantas berbalik dan melangkah menyusul Ola, kemudian langkahnya membeku saat mendengar jawaban dari Bram.

"Persetan dengan dia dan semua wanita yang Mami sodorkan. Bram tidak mau menikah dengan mereka," balas Bram.

Novita menoleh menatap nanar pada punggung tegap sang putra yang berjalan santai menuju kamar mandi. Ia pun kemudian melangkah gontai dan menutup pintu. Novita lantas menyusul Ola yang berada di ruang tamu.

"Tunggu Ola, kita sarapan bersama dulu. Lontong sayur dari mamamu itu banyak sekali buat kami pun tak akan habis."

Ola melirik ke arah kamar Abraham yang tertutup rapat dan kembali teringat akan perbuatan nekatnya tadi dan kembali merasa malu luar biasa kini. Menyesal iya, tapi hanya sedikit yang banyak adalah sakit hati yang semakin mengendap dalam dan tersimpan seolah seperti bom waktu yang hendak meledak.

"Nggak usah aja Tante. Nanti Ola makan di kantor saja. Sepertinya juga Bram tidak mau saya di sini."

Novita tahu tidak bisa memaksa. Gadis cantik favoritnya ini sudah terlihat akan menangis saat ini. Ibanya ia, semua pasti karena ulah Abraham hingga Ola ketakutan dan sekarang gadis itu akan pulang. Novita jengkel, alasan apalagi yang akan ia buat agar anaknya dan Ola bisa dekat.

Novita geram karena selama ini mantan menantu pertamanya itu selalu menghantui putranya. Ia tidak tuli hingga tidak tahu jika sang putra masih sering menyebut mantan istrinya itu dalam tidur hingga berurai air mata. Namun perpisahan sudah terjadi, gadis itu sudah pergi jauh.

Apalagi perbuatan Abraham kemarin yang datang menemui mantan mertuanya. Jelas saja anaknya kena usir, mana mungkin Intan datang ke sana. Bukankah wanita itu sudah mati?

"Mam," sapa Abraham yang kini sudah memakai pakaian kerja.

"Ayo sarapan. Kamu perlu banyak asupan. Itu ada lontong sayur dari Bu Amarita."

"Tidak Bram mau outmeal saja seperti biasa," ujarnya seraya mendudukkan diri.

"Kamu perlu lebih dari itu. Nanti kamu sakit."

"Mami tidak perlu khawatir. Bram masih bisa menjaga diri. Kalau lapar Bram tinggal pesan dan nanti akan diantarkan oleh catering langganan."

"Kamu ini kalau Kami bilang selalu saja menjawab."

"Sudah, sudah jangan paksa dia." Yakub menengahi.

Ketiganya makan dalam diam sampai Dharma muncul dan bergabung dengan mereka. Terasa sekali aura dingin di sekitarnya, ia tahu pasti terjadi perang lagi selama ia tinggal lari pagi.

"Wah ... ada lontong sayur. Kelihatannya enak nih. Apalagi ada sambel gorengnya. Tumben Tante masak, kayaknya tadi nggak ada aktifitas di dapur?"

"Ck ... bukan Tante yang masak. Ini dari Bu Amarita."

"Bu Amarita? Siapa yang antarkan sepagi ini?"

"Anaknya lah. Itu yang cantik," jawab Novita seraya melirik sekilas pada Abraham yang acuh dan terlihat terlalu fokus pada sarapannya.

"Ola atau Maya?"

"Ola. Cantik kan dia Dhar?"

Dharma mengangguk. "Cantik sih. Seksi bodynya. Bohai seperti gitar Spanyol."

"Kalau begitu kamu saja yang menikah dengan dia. Sepertinya dia calon ideal pilihan Mami tuh, Dhar," ujar Abraham.

Dharma mengangkat kedua tangannya. "Wow ... tunggu dulu! Apa maksudnya ini? Nggak deh kalau pakai acara jodoh-jodohan. Aku masih memilih pilihan yang kemarin aku katakan itu."

Entah mengapa Abraham merasa semakin buruk suasana hatinya mendengar penuturan Dharma. Wanita misterius yang dikatakan oleh Dharma itu sedikit mengusik rasa ingin tahu Abraham tapi demi ego jelas ia tidak akan bertanya apa lagi sekarang ada kedua orang tuanya.

"Baiklah aku pergi kerja sekarang. Hati-hati nanti di jalan ya, Dhar. Salam untuk janda pilihanmu," kata Abraham yang seraya mencium punggung tangan kedua orangtuanya.

"Apa! Tunggu dulu. Siapa yang janda?" tanya Novita.

"Itu calonnya Dharma," balas Abraham seraya memasuki kamar mengambil tas kerjanya.

Sementara Dharma meringis melihat raut terkejut dari paman dan bibinya, tanpa membalas satu suku kata pun.

"Ayahmu tahu jika kamu dekat dengannya?" tanya Yakub pada Dharma.

Abraham mendengar juga pertanyaan itu dan sengaja memperlama kegiatan memasang tali sepatunya, mencuri dengar apa yang akan menjadi jawaban dari Dharma.

"Ayah tahu dan tidak masalah dengan itu. Apalagi wanita itu belum punya anak," jawab Dharma santai sambil meraih toples kerupuk.

Novita mendengus jengah.

"Mana ada janda yang baik. Jika dia baik, nggak akan menjadi janda. Jangan mudah terbuai bujuk rayu seorang janda ya, Dhar. Mereka pasti sangat berpengalaman menaklukkan pria."

"Tante, tidak semua kesalahan terjadi pada satu pihak, bisa jadi karena si mantan suami atau mertua yang terlalu ikut campur rumah tangga anak mereka. Lebih parah lagi ada campur tangan dari pihak lain yang bukan merupakan anggota keluarga," balas Dharma seraya mencondongkan badan seperti perkataannya terlalu rahasia jika didengar selain mereka bertiga di meja makan itu.

Hati Abraham berdenyut nyeri mendengar semua itu. Benar tetap terasa sangat salah, ada sesuatu yang sepertinya tidak pada tempatnya.

TBC

Bab terkait

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 5 Posesif Sekali

    Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir. Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri ya

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 6 Pagi yang Kelabu

    Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu. Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar. "Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku." Intan sengaja tidak mengatakan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-09
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 7 Larangan Ibu

    Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi. CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 8 Fitnah lagi

    "Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-16
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 9 Trio Ghibah

    “Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-20
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 10 Gunjingan

    Melihat mereka berdua duduk di satu meja adalah hal terakhir yang Intan inginkan. Rasa cinta dan benci itu jelas masih ada, dirinya tak bisa memungkiri itu. Benci karena kekecewaan yang mendalam, susah dijelaskan. Sampai detik ini pun ia masih sulit untuk mengungkapkan, menangis pun rasanya sia-sia. Intan sudah capek menangis. Luka lama itu masih berdarah-darah pastinya. Masih berdiri terpaku di tempat sementara Risa sudah menghilang untuk mencari tempat duduk, tak menyadari dengan apa yang dilihat oleh Intan.Tepukan keras mendarat di punggung atasnya. Saat Intan menoleh, dirinya mendapati mantan ibu mertua sudah berdiri di belakang dengan tatapan tidak suka, bersama dengan mamanya. Namun wanita itu hanya diam, menatap tak kalah tajam ke arahnya.“Ngapain kamu bengong, malah seperti orang bego?” tegur Novita dengan ketus.“Kaget saja, masa nggak boleh.”“Nggak boleh, kalau kamu nggak boleh. Kamu sudah bikin rumah tangga anakku hancur!” Novita menjawab dengan nada mulai histeris.Int

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-06
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 11 Aku Tak Peduli

    “Aku tidak mengizinkan kamu mengantarku. Ngapain kamu di sini?” tegur Intan.Abraham menatapnya tajam dan hal itu sedikit membuat jantung Intan berdetak lebih keras. Debaran itu masih sama tapi ia tak ingin menunjukkannya. Intan tak ingin jika keberadaan mantan suaminya itu masih mempengaruhinya.“Setahuku tempat ini adalah tempat umum.”“Nggak seharusnya kamu di sini.” Intan masih berusaha agar Abraham segera pergi dari sana. Keberadaan Abraham dan sikap Rizky yang tampak menegang dan menantang membuatnya tidak nyaman. Jangan sampai ada keributan lagi di sini.“Kenapa aku tidak boleh di sini? Aku bebas makan di sini, sudah kubilang ini tempat umum.”“Maksudku di depan mejaku. Ada Amel yang bersamamu,” ujar Intan seraya melirik ke arah belakang tubuh Abraham tempat Amelia menatap benci dengan terang-terangan ke arahnya.“Memangnya kenapa aku tidak boleh ke sini. Kita saling kenal dan seperti yang aku bilang tadi, aku akan antar kamu ke mana pun.”“Aku tidak memintamu.”“Dan aku tidak

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Panggilan Sayang

    Cengkraman mengerat ditambah dorongan sekuat tenaga yang dilayangkan oleh Intan pada rambut Abraham yang kepalanya masih dengan setia berada di pangkal paha Intan. Tenaga semakin menipis dengan pandangan yang kini berkunang-kunang. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dulu, situasi yang menyebabkan ia harus menjadi istri pria yang suka memaksakan kehendak dan pada akhirnya mencampakkannya dengan dalih tuduhan tak setia yang disematkan kepadanya. Bahkan pria yang dituduhkan menjalin hubungan gelap dengannya saja ia tidak kenal baik.Intan juga bukan wanita yang mudah akrab dengan orang asing atau baru dikenal apalagi mereka menuduhnya sering menghabiskan waktu di klub malam. Jangankan untuk minum, jika saja dulu ia tidak terpaksa mencari keberadaan mantan suaminya itu di sana situasi yang dihadapinya saat ini tidak mungkin terjadi.“Mas!”“Ya Sayang.”Jawaban penuh kasih itu membuat hati Intan tercubit, benaknya kembali ke masa lalu. Dahulu Abraham saat melampiaskan syahwatnya

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-03

Bab terbaru

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   ABRAHAM BINGUNG

    “Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Pulang Ke Rumahku

    “Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 27 Hati yang terkoyak

    Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

    Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status