Doni berlari dan langsung berlutut di samping Sandra yang tergeletak tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati, Doni meraih tangan Sandra dan membuka genggaman Sandra perlahan, menyingkirkan pecahan kaca sebelum akhirnya mengangkat tubuh adiknya ke dalam gendongannya.Napas Doni memburu. Tubuh Sandra yang basah kuyup terasa dingin di dekapannya."Mama, ayo!" serunya.Riana bergegas mengikuti Doni dari belakang, air mata terus mengalir di pipi Riana saat melihat kondisi putrinya.Begitu keluar rumah, Doni buru-buru membuka pintu mobil dan membaringkan Sandra di kursi belakang."Ma, pegangin dia," kata Doni sambil masuk ke kursi kemudi.Riana segera masuk dan memangku kepala Sandra di pangkuannya.Doni menyalakan mesin mobil dan segera melaju ke rumah sakit. Jalanan yang mulai lengang membuatnya bisa memacu mobil lebih cepat.Tangan Doni mencengkeram kemudi erat. Napasnya tersengal, matanya terus melirik ke kaca spion
Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Hans. Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mereka sendiri. Naomi dan Candra tampak enggan melepas mereka, tetapi Ashley dengan lembut meyakinkan bahwa Hans harus kembali bekerja. Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu. Sementara Naomi dan Candra duduk di sofa, terlihat enggan melepas mereka. "Kalian yakin sudah harus pulang? Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Kami masih ingin bersama Baby Neul." Naomi membuka pembicaraan lebih dulu. Hans dan Ashley bergeming, mencoba memahami keadaan sang ibu. Baby Neul tertidur nyenyak dalam dekapan Naomi, yang masih enggan melepas cucu kesayangannya. Sang Oma mengelus lembut pipi Baby Neul. "Kenapa harus pulang secepat ini? Kalian kan bisa tinggal beberapa hari lagi. Oma masih belum puas bermain dengan Baby Neul," pintanya mengulang. Candra mengangguk setuju "Iya, rumah ini jadi lebih ramai sejak kalian datang. Kalau ka
Mendengar terjadi sesuatu pada Sandra, meskipun wanita itu sering menyakitinya dulu. Tapi bagaimanapun, Ashley seorang wanita yang memiliki perasaan dan empati.Ia sangat ingin mengetahui keadaan Sandra dan bertanya pada sang suami, "Apa aku boleh ikut melihat keadaan Sandra, Ko?"Hans belum menjawab, namun ia menoleh sekilas kemudian kembali fokus menatap jalanan di depan. Pria itu bukannya menjawab, tapi justru melayangkan pertanyaan. "Sayang, kamu tau kan, ini bukannya hal penting untuk kita. Sandra itu sekretarisku, jadi biarkan Liam yang mengurusnya. Kamu gak perlu ikut kepikiran masalah dia. Mendingan kamu tunggu kabar dariku. Okay?"Meski benar yang dikatakan sang suami. Namun, Ashley bersikeras ingin tau. Ashley menatap Hans dengan sorot mata penuh protes. Ia ingin menjenguk Sandra, namun Hans menghalangi niatnya."Tapi dia mantan adik iparku, Ko," protes Ashley dengan sedikit ngotot. "Aku gak bisa tutup telinga, ya walaupun ...
Genggaman jemari Hans pada tengkuk Ashley makin kuat. Begitupula ciuman pria itu semakin dalam. Bahkan, hampir setiap inci bagian dada sang istri sudah berubah menjadi merah.Hans yang tak bisa lagi menahan keinginan naluri batiniah pun langsung mengangkat tubuh sang istri ke atas peraduan."... Sekarang waktu yang tepat kan?" ucap sang suami tersenyum tipis dengan tatapan seolah menginginkan sesuatu.Ashley membuang wajahnya yang merona, melihat ke arah jendela yang memang sudah mulai gelap. Hujan pun masih turun dengan rintiknya."... Boleh kan?" tanya Hans sekali lagi dan mendapat anggukan Ashley seketika. Sontak rasa girang mengelilingi hatinya.Malam itu, Ashley melakukan kewajibannya sebagai istri, dan Hans melakukannya sangat hati-hati.Tidak ada yang bisa menolak pesona sang suami dengan semua sisi ketampanan.Ketika Hans berhasil melucuti celana, kaos serta bra milik sang istri, menjilati dua buah gundukan kenya
Belum selesai Ashley berucap, Hans sudah membenamkan wajahnya menyapu dengan lidah, lapisan bibir inti sang wanita. Membuat wanita itu menggelinjang, meliukkan tubuh dengan pinggul yang bergerak ke atas dan ke bawah, membuat Hans menekan perut bawah pusar sang istri, agar ia bisa semakin dalam menjejaki rongga inti."Aduhhh ... Kooo ...!"Ashley merasakan sesuatu aliran listrik dalam tubuhnya saat Hans menekan gspot miliknya, membuat wanita itu meleguh nikmat."Aahh ... Ko, a-ku ..." racau Ashley dengan tubuh menegang dan napas terengah.Hans melumat, menghisap habis sesuatu yang basah milik sang istri. Hingga wanita itu harus mengatur napas kembali serta tubuhnya menjadi lemas.Pria itu kembali menindih sang istri, menciumi ceruk leher hingga menyusuri dada, membuat Ashley kembali mendesah nikmat.Dalam diri Hans pun ada yang mendesak ingin keluar. Tidak menunggu lagi, ia mulai menepatkan sesuatu miliknya pada bibir Mi
Setelah hujan turun semalam dengan suasana kamar yang begitu panas. Pagi ini, Hans menerima panggilan Liam, bertanya mengenai keadaan Sandra yang mengejutkan mereka. Panggilan keduanya kini tersambung. "Hallo, Pak. Maaf, mengganggu hari libur Anda," ucap Liam menyapa. "Hm. Ada apa kamu menelpon pagi sekali?" Mendengar protes sang CEO, Liam menggaruk tengkuknya meski tak terlihat, "Maaf, Pak, saya sudah melihat keadaan Sandra di rumah sakit. Dokter mengatakan dia sangat trauma dengan kondisinya. Namun, saya tidak bertemu kakaknya, hanya ada ibunya saja di sana." "Lalu, apa dia bisa diajak berbicara? Siapa pelakunya?" "Tidak, Sandra belum mengatakan kejadian pastinya." Hans manggut-manggut, "Ya sudah, atur jam ketemu Kakak laki-lakinya saja. Cari tau dimana tempat kerjanya." Belum selesai percakapan Hans dengan Liam, Ashley yang tidak sengaja mendengarkannya pun mendekati sang suami dengan membawa teh. "Aku tau tempat kerjanya, Ko," sahut sang wanita. Seketika Hans men
Wajah Doni tampak serius, seakan ada yang mengganggu pikirannya. Ketika matanya tertuju pada Liam dan Hans, dua orang yang tampaknya tak diinginkan di sini, ekspresinya berubah menjadi marah. Seolah tak ingin mereka berada di tempat itu, ia langsung menghampiri mereka.Situasi outlet ponsel sedikit ramai pengunjung hingga membuat Liam maju beberapa langkah saat melihat tatapan tidak suka Doni pada sang CEO."Ehmm ... Begini Pak Doni, kami dari perusahaan adik Anda. Bisa kami bicara sebentar?" kata Liam sambil sekilas melihat sekeliling.Dengan napas memburu, terlihat dari dada pria itu yang naik turun, Doni mengikuti langkah Liam yang mengarahkan pada bangku kosong.Hans mengikuti sang asisten yang berjalan mengarahkan Doni dengan sesekali menoleh ke arah sang istri yang juga melihatnya dari sisi berbeda. "Tenanglah," angguk Hans seolah memberi isyarat pada sang istri."Silahkan Pak Doni," kata Liam menyilahkan sambil membuka ba
Suasana di dalam mall tampak sibuk dengan banyaknya pengunjung yang berlalu-lalang. Ashley mempercepat langkah menghampiri sang suami, berharap bisa meredakan pertikaian Anatar Doni dengan suaminya.Doni terlihat menatap Ashley dengan senyuman jahat, seketika ada ketegangan yang mulai terasa di antara mereka.Namun, yang dilakukan Ashley justru semakin membuat Doni senang. Ia langsung mendorong kursi hingga terlempar ke belakang.Brak!Hans yang sejak tadi mengikuti pandangan Doni pada sang istri sontak menahan tangan pria itu. Namun, Doni justru menghempaskan kasar hingga Hans sedikit terhuyung."Pak?" Liam sempat memegangi Hans dari balik punggungnya.Namun, belum juga Liam menolongnya, Hans lebih dulu menyeimbangkan diri. "Kamu ternyata lebih menantang aku ya!" geramnya dalam hati langsung mendorong Doni.Langkah Doni semakin dekat dengan sang istri, membuat Hans semakin protektif terhadap Ashley. Ia su
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Lampu kamar menyala temaram. Dari balik tirai jendela besar, langit malam tampak gelap tanpa bintang. Ruangan sunyi, hanya suara hembusan pelan AC yang terdengar.Hans kembali duduk di kursi, sementara Ashley masih bersandar lemah di ranjang. Mereka terus mengobrol, seolah tidak ingin malam cepat berlalu.“Tadi kamu bilang darahku banyak sekali?” tanya Ashley sambil memutar tubuhnya sedikit ke arah Hans.Hans mengangguk. “Iya, aku bener-bener panik. Rasanya mau teriak minta tolong ke seluruh dunia.”Ashley tertawa kecil, tapi langsung meringis karena kepalanya masih nyut-nyutan. “Jangan lebay, Ko.”“Aku serius,” ucap Hans cepat. “Saat kamu nggak sadarkan diri, aku sangat khawatir. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu sampai ....”Ashley menyentuh tangan Hans, menggenggamnya erat. “Aku masih di sini.”Hans mengangguk, menatap mata istrinya lama.Beberapa menit mereka terdiam. Lalu Ashley menguap
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan kamar rumah sakit. Hans melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Di ranjang, Ashley terbaring dengan wajah pucat. Matanya tertutup, nafasnya pelan tapi teratur. Perban membalut dahinya, dan selang infus menancap di tangannya.Perlahan, Hans mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. Ia menggenggam tangan Ashley, menatap wajah pucat itu dalam diam sejenak, lalu menunduk, mengecup jemari istrinya.“Ash …,” bisiknya pelan. “Bangun, ya. Aku di sini.”Beberapa detik berlalu. Lalu, pelan-pelan, mata Ashley terbuka. Pandangannya masih kabur, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya menangkap sosok Hans yang duduk di sisinya.“… Ko?” suara Ashley serak, nyaris tidak terdengar.Hans mengangkat kepala, bibirnya membentuk senyum lega. “Ya, aku di sini, Sayang.”Ashley memutar pandangannya, mencoba mengenali tempat itu. “Aku … di mana?”
Naomi datang dengan napas sedikit terengah, wajahnya penuh kecemasan saat melihat Winda membuka pintu.“Gimana? Sudah ada kabar?” tanya Naomi cepat begitu masuk, matanya langsung menatap ke arah Haneul yang ada dalam pelukan Winda.Winda menggeleng pelan. “Belum, Bu. Pak Hans belum hubungi saya lagi. Saya juga udah coba nelpon, tapi belum diangkat.”Naomi mengangguk sambil menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangannya. “Sini, saya gendong Haneul.”Winda menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. “Dia masih sesekali menangis, Bu. Tapi sudah nggak sekencang tadi. Namun masih gelisah.”Naomi langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Ia duduk di sofa, mengayun perlahan sambil mengelus punggung Haneul. “Haneul …” ucapnya lembut. “Kamu kenapa, Nak? Kamu tahu ya Mama kamu lagi sakit?”Haneul masih sesenggukan kecil di pelukan Naomi. Kepalanya menyandar di bahu sang nenek, matanya setengah terpejam.“Mama kamu orang
Hans membuka pintu mobil dengan cepat dan dengan hati-hati meletakkan tubuh Ashley di jok penumpang. Tangannya masih gemetar, ia lalu masuk ke kursi pengemudi, menekan tombol start engine, dan mobil langsung menyala. Tanpa buang waktu, Hans melajukan mobil keluar dari halaman rumah.“Sayang, kamu dengar aku?” Hans melirik ke arah Ashley yang masih tak sadarkan diri. “Kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau kehilangan kamu."Mobil melaju kencang, melibas jalanan pagi yang masih lengang. Hans tidak peduli pada rambu-rambu. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, sementara sesekali ia menepuk pipi Ashley pelan.“Ashley, coba buka mata kamu. Sedikit saja,” ucap Hans pelan, suaranya parau. “Aku tahu kamu dengar. Kamu kuat, kan? Kamu selalu kuat.”Tidak ada respons. Napas Ashley lemah, wajahnya pucat, darah masih tampak mengalir meski tidak sederas sebelumnya.“Jangan buat aku takut begini, Sayang,” lanju