Genggaman jemari Hans pada tengkuk Ashley makin kuat. Begitupula ciuman pria itu semakin dalam. Bahkan, hampir setiap inci bagian dada sang istri sudah berubah menjadi merah.
Hans yang tak bisa lagi menahan keinginan naluri batiniah pun langsung mengangkat tubuh sang istri ke atas peraduan."... Sekarang waktu yang tepat kan?" ucap sang suami tersenyum tipis dengan tatapan seolah menginginkan sesuatu.Ashley membuang wajahnya yang merona, melihat ke arah jendela yang memang sudah mulai gelap. Hujan pun masih turun dengan rintiknya."... Boleh kan?" tanya Hans sekali lagi dan mendapat anggukan Ashley seketika. Sontak rasa girang mengelilingi hatinya.Malam itu, Ashley melakukan kewajibannya sebagai istri, dan Hans melakukannya sangat hati-hati.Tidak ada yang bisa menolak pesona sang suami dengan semua sisi ketampanan.Ketika Hans berhasil melucuti celana, kaos serta bra milik sang istri, menjilati dua buah gundukan kenyaBelum selesai Ashley berucap, Hans sudah membenamkan wajahnya menyapu dengan lidah, lapisan bibir inti sang wanita. Membuat wanita itu menggelinjang, meliukkan tubuh dengan pinggul yang bergerak ke atas dan ke bawah, membuat Hans menekan perut bawah pusar sang istri, agar ia bisa semakin dalam menjejaki rongga inti."Aduhhh ... Kooo ...!"Ashley merasakan sesuatu aliran listrik dalam tubuhnya saat Hans menekan gspot miliknya, membuat wanita itu meleguh nikmat."Aahh ... Ko, a-ku ..." racau Ashley dengan tubuh menegang dan napas terengah.Hans melumat, menghisap habis sesuatu yang basah milik sang istri. Hingga wanita itu harus mengatur napas kembali serta tubuhnya menjadi lemas.Pria itu kembali menindih sang istri, menciumi ceruk leher hingga menyusuri dada, membuat Ashley kembali mendesah nikmat.Dalam diri Hans pun ada yang mendesak ingin keluar. Tidak menunggu lagi, ia mulai menepatkan sesuatu miliknya pada bibir Mi
Setelah hujan turun semalam dengan suasana kamar yang begitu panas. Pagi ini, Hans menerima panggilan Liam, bertanya mengenai keadaan Sandra yang mengejutkan mereka. Panggilan keduanya kini tersambung. "Hallo, Pak. Maaf, mengganggu hari libur Anda," ucap Liam menyapa. "Hm. Ada apa kamu menelpon pagi sekali?" Mendengar protes sang CEO, Liam menggaruk tengkuknya meski tak terlihat, "Maaf, Pak, saya sudah melihat keadaan Sandra di rumah sakit. Dokter mengatakan dia sangat trauma dengan kondisinya. Namun, saya tidak bertemu kakaknya, hanya ada ibunya saja di sana." "Lalu, apa dia bisa diajak berbicara? Siapa pelakunya?" "Tidak, Sandra belum mengatakan kejadian pastinya." Hans manggut-manggut, "Ya sudah, atur jam ketemu Kakak laki-lakinya saja. Cari tau dimana tempat kerjanya." Belum selesai percakapan Hans dengan Liam, Ashley yang tidak sengaja mendengarkannya pun mendekati sang suami dengan membawa teh. "Aku tau tempat kerjanya, Ko," sahut sang wanita. Seketika Hans men
Wajah Doni tampak serius, seakan ada yang mengganggu pikirannya. Ketika matanya tertuju pada Liam dan Hans, dua orang yang tampaknya tak diinginkan di sini, ekspresinya berubah menjadi marah. Seolah tak ingin mereka berada di tempat itu, ia langsung menghampiri mereka.Situasi outlet ponsel sedikit ramai pengunjung hingga membuat Liam maju beberapa langkah saat melihat tatapan tidak suka Doni pada sang CEO."Ehmm ... Begini Pak Doni, kami dari perusahaan adik Anda. Bisa kami bicara sebentar?" kata Liam sambil sekilas melihat sekeliling.Dengan napas memburu, terlihat dari dada pria itu yang naik turun, Doni mengikuti langkah Liam yang mengarahkan pada bangku kosong.Hans mengikuti sang asisten yang berjalan mengarahkan Doni dengan sesekali menoleh ke arah sang istri yang juga melihatnya dari sisi berbeda. "Tenanglah," angguk Hans seolah memberi isyarat pada sang istri."Silahkan Pak Doni," kata Liam menyilahkan sambil membuka ba
Suasana di dalam mall tampak sibuk dengan banyaknya pengunjung yang berlalu-lalang. Ashley mempercepat langkah menghampiri sang suami, berharap bisa meredakan pertikaian Anatar Doni dengan suaminya.Doni terlihat menatap Ashley dengan senyuman jahat, seketika ada ketegangan yang mulai terasa di antara mereka.Namun, yang dilakukan Ashley justru semakin membuat Doni senang. Ia langsung mendorong kursi hingga terlempar ke belakang.Brak!Hans yang sejak tadi mengikuti pandangan Doni pada sang istri sontak menahan tangan pria itu. Namun, Doni justru menghempaskan kasar hingga Hans sedikit terhuyung."Pak?" Liam sempat memegangi Hans dari balik punggungnya.Namun, belum juga Liam menolongnya, Hans lebih dulu menyeimbangkan diri. "Kamu ternyata lebih menantang aku ya!" geramnya dalam hati langsung mendorong Doni.Langkah Doni semakin dekat dengan sang istri, membuat Hans semakin protektif terhadap Ashley. Ia su
Jeritan Ashley menggema di tengah kerumunan yang mulai bubar. Petugas keamanan kini menahan Doni yang terus melawan, sementara beberapa staf mall sibuk merapikan kursi dan meja yang berserakan.Ashley masih duduk di lantai, memangku kepala Hans yang napasnya berat. Mata Ashley basah, tangannya gemetar saat membelai wajah suaminya."Ko, bangun, jangan diam saja seperti ini. Aku takut." Suara Ashley gemetar.Sirine ambulance terdengar mendekat.Beberapa detik kemudian, tim medis berlari masuk membawa tandu.“Cepat! Pasien pingsan,” teriak Liam sambil menunjuk ke arah Hans yang sudah terkulai lemas di pangkuan Ashley.Ashley masih memangku kepala Hans. "Tolong ... tolong dia, cepat."Ashley menyingkir perlahan saat petugas mengangkat Hans ke atas tandu. Tanpa perlu diminta, ia ikut naik ke dalam ambulans dan duduk di samping tubuh suaminya yang kini sudah dipasangi selang oksigen.Liam hanya bisa menatap saat
Ashley menatap Bram tanpa berkedip. Kata-kata dokter itu masih bergema di telinganya—transplantasi jantung?Namun sebelum Ashley sempat bertanya lebih lanjut, Liam tiba-tiba melangkah cepat mendekat.“Dok, kalau boleh tahu, kapan Pak Hans bisa dipindahkan ke ruang perawatan?” tanya Liam cepat, seolah berusaha mengalihkan.Bram menoleh ke Liam dan mengangguk kecil. “Sebentar lagi. Kami pastikan dulu tekanan darahnya stabil. Tapi beliau masih belum sadar.”Ashley ikut mendekat. “Kalau sudah di ruang intensif, saya boleh masuk, kan?”“Boleh. Nanti perawat akan panggil Ibu kalau sudah dipindahkan,” jawab Bram.Ashley menunduk, mencoba menahan perasaan yang campur aduk di dalam dadanya. Tapi pertanyaan tadi masih terus mengganggu pikirannya. Perlahan, ia mendongak lagi."Dok …." Suara Ashley pelan, tampak ragu. “Tadi Dokter bilang soal transplantasi jantung. Maksudnya, Ko Hans pernah—”“Kita bahas nanti, Bu. Sek
Naomi dan Candra saling pandang. Ekspresi mereka berubah tegang, seperti sedang menimbang apakah ini saat yang tepat untuk bicara.Ashley memperhatikan dengan cemas. “Jadi … kalian memang tahu?” tanyanya pelan. “Kalian tahu soal transplantasi jantung itu?”Naomi menatap Ashley lekat-lekat, lalu mengangguk perlahan. “Kami tahu, Ashley. Karena kami orang tuanya.”Ashley terdiam. Ia menunggu, sementara Naomi mulai menjelaskan.“Sejak kecil, Hans memang memiliki kelainan pada jantungnya. Kami baru tahu saat usianya menginjak tiga tahun. Sejak itu, kami harus rutin membawanya kontrol. Ia tumbuh seperti anak normal, tapi tetap ada batasan.”Candra melanjutkan, “Sekitar setahun yang lalu, kondisinya mulai memburuk. Sebelumnya sempat stabil, tapi waktu itu, keluhannya makin sering muncul. Dokter bilang transplantasi adalah satu-satunya jalan.”Naomi mengangguk. “Iya. Kami sangat bersyukur, delapan bulan lalu Hans mendapat donor
Suasana di ruang perawatan Hans terasa sunyi. Hanya suara alat bantu pernapasan dan detak monitor yang terus berdetak pelan, seperti mengiringi denyut jantung Ashley yang belum juga tenang.Setelah Naomi dan Candra pamit pulang, Ashley kini sendirian di dalam ruangan itu. Ia duduk di kursi di sisi ranjang Hans, menggenggam tangan suaminya yang masih belum sadar. Cahaya lampu di sudut langit-langit ruangan membuat wajah Hans tampak pucat, jauh berbeda dari biasanya.Ashley menyandarkan dagunya di tangan Hans, memejamkan mata sejenak. Hatinya masih dihantui rasa bersalah. Berkali-kali ia berbisik dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri.Ashley mengusap punggung tangan Hans dengan lembut. “Ko, bangunlah. Aku di sini. Kamu nggak sendiri.”Ponsel Ashley yang sejak tadi diam di atas meja kecil tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan video masuk.Ashley cepat-cepat mengangkat panggilan itu. Di layar, tampak wajah mungil Haneul, dengan pipi tem
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Lampu kamar menyala temaram. Dari balik tirai jendela besar, langit malam tampak gelap tanpa bintang. Ruangan sunyi, hanya suara hembusan pelan AC yang terdengar.Hans kembali duduk di kursi, sementara Ashley masih bersandar lemah di ranjang. Mereka terus mengobrol, seolah tidak ingin malam cepat berlalu.“Tadi kamu bilang darahku banyak sekali?” tanya Ashley sambil memutar tubuhnya sedikit ke arah Hans.Hans mengangguk. “Iya, aku bener-bener panik. Rasanya mau teriak minta tolong ke seluruh dunia.”Ashley tertawa kecil, tapi langsung meringis karena kepalanya masih nyut-nyutan. “Jangan lebay, Ko.”“Aku serius,” ucap Hans cepat. “Saat kamu nggak sadarkan diri, aku sangat khawatir. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu sampai ....”Ashley menyentuh tangan Hans, menggenggamnya erat. “Aku masih di sini.”Hans mengangguk, menatap mata istrinya lama.Beberapa menit mereka terdiam. Lalu Ashley menguap
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan kamar rumah sakit. Hans melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Di ranjang, Ashley terbaring dengan wajah pucat. Matanya tertutup, nafasnya pelan tapi teratur. Perban membalut dahinya, dan selang infus menancap di tangannya.Perlahan, Hans mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. Ia menggenggam tangan Ashley, menatap wajah pucat itu dalam diam sejenak, lalu menunduk, mengecup jemari istrinya.“Ash …,” bisiknya pelan. “Bangun, ya. Aku di sini.”Beberapa detik berlalu. Lalu, pelan-pelan, mata Ashley terbuka. Pandangannya masih kabur, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya menangkap sosok Hans yang duduk di sisinya.“… Ko?” suara Ashley serak, nyaris tidak terdengar.Hans mengangkat kepala, bibirnya membentuk senyum lega. “Ya, aku di sini, Sayang.”Ashley memutar pandangannya, mencoba mengenali tempat itu. “Aku … di mana?”
Naomi datang dengan napas sedikit terengah, wajahnya penuh kecemasan saat melihat Winda membuka pintu.“Gimana? Sudah ada kabar?” tanya Naomi cepat begitu masuk, matanya langsung menatap ke arah Haneul yang ada dalam pelukan Winda.Winda menggeleng pelan. “Belum, Bu. Pak Hans belum hubungi saya lagi. Saya juga udah coba nelpon, tapi belum diangkat.”Naomi mengangguk sambil menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangannya. “Sini, saya gendong Haneul.”Winda menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. “Dia masih sesekali menangis, Bu. Tapi sudah nggak sekencang tadi. Namun masih gelisah.”Naomi langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Ia duduk di sofa, mengayun perlahan sambil mengelus punggung Haneul. “Haneul …” ucapnya lembut. “Kamu kenapa, Nak? Kamu tahu ya Mama kamu lagi sakit?”Haneul masih sesenggukan kecil di pelukan Naomi. Kepalanya menyandar di bahu sang nenek, matanya setengah terpejam.“Mama kamu orang
Hans membuka pintu mobil dengan cepat dan dengan hati-hati meletakkan tubuh Ashley di jok penumpang. Tangannya masih gemetar, ia lalu masuk ke kursi pengemudi, menekan tombol start engine, dan mobil langsung menyala. Tanpa buang waktu, Hans melajukan mobil keluar dari halaman rumah.“Sayang, kamu dengar aku?” Hans melirik ke arah Ashley yang masih tak sadarkan diri. “Kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau kehilangan kamu."Mobil melaju kencang, melibas jalanan pagi yang masih lengang. Hans tidak peduli pada rambu-rambu. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, sementara sesekali ia menepuk pipi Ashley pelan.“Ashley, coba buka mata kamu. Sedikit saja,” ucap Hans pelan, suaranya parau. “Aku tahu kamu dengar. Kamu kuat, kan? Kamu selalu kuat.”Tidak ada respons. Napas Ashley lemah, wajahnya pucat, darah masih tampak mengalir meski tidak sederas sebelumnya.“Jangan buat aku takut begini, Sayang,” lanju