Duduk terpaku merasakan setiap sentuhan lembut sang pria, Ashley tidak bisa menolak permintaan Hans yang ingin mengobati iritasi pada areola miliknya. Hans kini melihat sepenuhnya gundukan kenyal berwarna putih, yang biasanya dimainkan sang anak setiap kali Ashley menyusui Baby Neul. "Sudah Ash," suara Hans mengembalikan kesadaran Ashley yang hanyut bersama sentuhan hangat sang lelaki. Wanita itu terkesiap, lalu dengan cepat menutup kedua payudaranya dengan merapikan pakaian yang sedikit berantakan. "Lekaslah kamu makan, nanti keburu dingin," pinta Hans sambil menutup tirai tebal pada jendela. Kemudian, tubuh tegap itu melangkah menuju pintu yang terhubung dengan balkon. Hans mendudukan dirinya di sana. Ashley terus menatap wajah tampan itu. Perasaannya menghangat karena perlakuan lembut pria itu. "Kenapa jantungku berdebar setiap kali berdekatan dengannya?" batinnya sambil memegang dada. Wanita itu cepat menyadarkan diri, mengambil piring yang ada di atas nakas, kemudian m
Hari-hari Hans dan Ashley disibukkan dengan acara pernikahan mereka. Begitu pula dengan Liam pun juga turut mengawasi segala kegiatan dan kebutuhan yang dibutuhkan Winda untuk acara itu. Pagi ini, Ashley menolak atas perayaan besar-besaran yang sudah direncanakan sebelumnya. "Aku gak mau kalau ada acara ini dilakukan di gedung-gedung mewah, Pak!" tolaknya, "Cukup diadakan di rumah saja, dengan teman dan keluarga." Mendengar penolakan Ashley, Hans mengernyit heran, "Kenapa? Gak masalah untukku mengadakan di gedung mewah, Ash?" Wanita itu semakin menampakkan wajah gemas, "Aku tau bapak mampu mengadakan di tempat itu. Tapi bukan itu alasannya. Aku ... aku hanya gak suka dengan kemewahan. Toh, ini juga bukan pernikahan pertama kita." Hans hanya bisa mengulum senyum mendengar penolakan Ashley. Namun, bukan itu yang membuat pria berwajah tampan itu tersenyum, melainkan wajah Ashley yang menggemaskan itulah yang membuatnya bahagia. "Oke, oke. Kalau begitu aku serahkan saja semua pad
Para karyawan LuminaTech menatap heran pada Sandra yang begitu terkejut melihat nama calon mempelai wanita. Salah satu pekerja di sana menepuk lengan sekretaris itu, menyadarkannya."Eh, kamu kenapa, Sand?" tanya pekerja wanita."Loh iya, kamu kenapa? Kok jadi kaget gitu? Emangnya kamu kenal sama calon istrinya Pak Hans?" sahut yang lain."Huum, reaksimu kok jadi aneh gitu sih, kamu pasti kenal nih?""Atau kamu pasti udah kenalan dong, secara dekat kan kamu sangat dekat sama Pak Bos kita."Begitulah para pekerja di sana menggoda Sandra, saat wanita itu terbeliak melihat undangan tersebut.Melihat nama Ashley, seketika otak kecil Sandra mencerna, memadankan dengan sosok Ashley yang ia kenal."Ah, gak mungkin Ashley yang aku kenal, 'kan?"Ia langsung menghempaskan undangan itu dengan kasar. Wanita itu melangkah dengan rasa jengkel. Terlebih, kabar pernikahan Hans sangat mengguncang perasaan Sandra, hatin
Di dalam rumah keluarga Lee, wanita berdarah Jepang itu menatap tidak yakin dengan undangan yang baru saja di letakkan oleh pelayan. Wanita paruh baya yang kini sedang duduk di ruang tengah itu membeliak, menggenggam sebuah undangan pernikahan yang tergeletak di meja, kedua mata masih menatap undangan itu dengan penuh kekecewaan.Naomi berbicara pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh amarah dan kebingungan. "Kenapa Hans harus seperti ini? Kenapa gak kasih tau kami secara langsung? Kenapa cuma ngasih undangan begitu saja?"Ia semakin kesal setelah membaca siapa pengirim kertas bermotif indah tersebut."Pi! Papi!" teriak Naomi memanggil sang suami.Pria berkaca mata yang tengah duduk santai menikmati kopi itu, hampir saja tersedak karena mendengar seruan sang istri yang sangat brutal. "Uhuk!" Candra langsung meletakkan kopinya dan mengelap bibir yang clemotan dengan tisu. Pria itu menegakkan badan, "Mami kenapa sih teria
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyinari kota, dan suasana terasa tenang. Hans dan Ashley, calon pasangan suami istri, memulai hari pernikahan mereka dengan langkah penuh kebahagiaan.Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatunya, hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Keduanya memilih untuk mencatatkan pernikahan mereka di kantor catatan sipil. Sebuah keputusan yang lebih sederhana, namun penuh makna. "Kami pergi dulu, Bu," pamit Ashley sebelum masuk ke dalam mobil."Haneul biar sama ibu saja di rumah. Nanti kalian repot di sana," kata Bu Winda menyarankan agar Baby Neul tidak diajak.Namun, hal itu mendapat gelengan dari Ashley. "Jangan Bu, biarkan Neul tetap ikut kami," balasnya sambil tersenyum.Wajah Ashley tampak jelas kecantikannya, meski tanpa riasan tebal. Sang perias pun memoles wajah itu dengan gaya cantik natural.Bagi Ashley, pesta mewah di gedung besar bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ia
Di lorong yang panjang dan hanya terdapat segelintir orang, keduanya berjalan berdampingan keluar dari ruang pendaftaran pernikahan. Suasana hati kedua mempelai penuh dengan harapan dan kegembiraan, namun ada satu yang membuat Hans merasa ada yang kurang. Hans mendengarkan ucapan Ashley yang sedikit terdengar aneh, meski biasanya sebutan itu sering ia dengarkan. Meski sudah di kode demikian pun Ashley belum juga mengerti. Pria itu menoleh ke arah Ashley, menatapnya dengan penuh perhatian, lalu mengerutkan kening, "Ash, apa kamu gak mau merubah panggilanmu padaku?" tanyanya lembut. Mencoba untuk tidak terkesan mendesak, namun jelas ada keresahan dalam nada suara sang suami. Ashley terkejut, sejenak terhenti di tempat, matanya sedikit terbelalak. Namun, ia tersenyum canggung, mencoba menutupi perasaan tidak nyaman yang sempat ia rasakan. "Uhm?" Ashley menyipit, "memangnya Pak Hans mau dipanggil apa? Bukannya aku biasa panggilnya begitu, ya?" jawabnya terdengar ragu. Hans menat
Pernyataan Bu Winda sungguh menarik perhatian Ashley. Wanita cantik itu tentu saja sangat penasaran siapa tamu yang sudah datang lebih dulu dari jam acara tersebut di mulai. "Ya sudah, ayo kita masuk, Bu," ajak Ashley yang diikuti kepala pelayan. Langkah kedua wanita itu langsung masuk ke dalam rumah menuju kamar sang bayi. Siang itu, suasana di ruang tamu cukup ramai, namun di kamar Haneul, suasana terasa lebih tenang. Naura datang lebih awal dari yang lain untuk membantu mempersiapkan kedatangan pengantin yang akan segera datang dari kantor catatan sipil. Dengan senyum lebar, Naura menyambut Ashley, yang baru saja membuka pintu kamar bersama Haneul dan memeluknya erat. "Ashley, akhirnya kamu sampai juga!" kata Naura. Ashley terkesiap, sekaligus tidak menyangka dengan kehadiran Naura yang tidak terduga. Ia tau, jika Naura pasti akan sibuk bekerja, dan datang tepat nanti malam. Namun ternyata, dugaan sang mempelai salah besar. "Astaga, Nauraaa ...! Aku kirain siapa yang datan
Jam berlalu begitu cepat. Tepat saat pintu kamar Baby Neul terbuka, Hans tampak berada di ambang pintu sambil memandang teduh ke arah sang istri. "Ash, perias sedang menunggumu. Sudah waktunya kamu siap-siap," kata Hans menyampaikan. Ashley mengangguk, "Tunggu sebentar lagi aku ke sana," kemudian ia beralih pada Naura, "Ra, aku ganti baju dulu ya, sepertinya waktunya sebentar lagi." "Huum, Ash, lebih bagus kamu persiapan dari sekarang. Kamu pasti sangat cantik," balas Naura tersenyum sambil menggenggam tangan sang sahabat. "Titip Neul ya, Ra." Ashley langsung bangkit meninggalkan Naura dan Haneul di dalam kamar itu. Sementara ia dan Hans menuju kamar lain yang sudah terdapat beberapa orang untuk meriasnya dalam acara malam ini. Ashley sangat bersyukur Hans memang sangat perhatian dan menyayanginya. Namun, memang benar apa yang dikatakan Naura tadi, ia belum mengenal sejauh apa karakter suaminya itu. Beberapa saat proses perhiasan itu, wajah Ashley tampak berbeda. "Wah, Bu
Mendengar terjadi sesuatu pada Sandra, meskipun wanita itu sering menyakitinya dulu. Tapi bagaimanapun, Ashley seorang wanita yang memiliki perasaan dan empati.Ia sangat ingin mengetahui keadaan Sandra dan bertanya pada sang suami, "Apa aku boleh ikut melihat keadaan Sandra, Ko?"Hans belum menjawab, namun ia menoleh sekilas kemudian kembali fokus menatap jalanan di depan. Pria itu bukannya menjawab, tapi justru melayangkan pertanyaan. "Sayang, kamu tau kan, ini bukannya hal penting untuk kita. Sandra itu sekretarisku, jadi biarkan Liam yang mengurusnya. Kamu gak perlu ikut kepikiran masalah dia. Mendingan kamu tunggu kabar dariku. Okay?"Meski benar yang dikatakan sang suami. Namun, Ashley bersikeras ingin tau. Ashley menatap Hans dengan sorot mata penuh protes. Ia ingin menjenguk Sandra, namun Hans menghalangi niatnya."Tapi dia mantan adik iparku, Ko," protes Ashley dengan sedikit ngotot. "Aku gak bisa tutup telinga, ya walaupun ...
Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Hans. Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mereka sendiri. Naomi dan Candra tampak enggan melepas mereka, tetapi Ashley dengan lembut meyakinkan bahwa Hans harus kembali bekerja.Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu. Sementara Naomi dan Candra duduk di sofa, terlihat enggan melepas mereka."Kalian yakin sudah harus pulang? Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Kami masih ingin bersama Baby Neul." Naomi membuka pembicaraan lebih dulu.Hans dan Ashley bergeming, mencoba memahami keadBaby Neul tertidur nyenyak dalam dekapan Naomi, yang masih enggan melepas cucu kesayangannya. Sang Oma mengelus lembut pipi Baby Neul. "Kenapa harus pulang secepat ini? Kalian kan bisa tinggal beberapa hari lagi. Oma masih belum puas bermain dengan Baby Neul."Candra mengangguk setuju "Iya, rumah ini jadi lebih ramai sejak kalian
Doni berlari dan langsung berlutut di samping Sandra yang tergeletak tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati, Doni meraih tangan Sandra dan membuka genggaman Sandra perlahan, menyingkirkan pecahan kaca sebelum akhirnya mengangkat tubuh adiknya ke dalam gendongannya.Napas Doni memburu. Tubuh Sandra yang basah kuyup terasa dingin di dekapannya."Mama, ayo!" serunya.Riana bergegas mengikuti Doni dari belakang, air mata terus mengalir di pipi Riana saat melihat kondisi putrinya.Begitu keluar rumah, Doni buru-buru membuka pintu mobil dan membaringkan Sandra di kursi belakang."Ma, pegangin dia," kata Doni sambil masuk ke kursi kemudi.Riana segera masuk dan memangku kepala Sandra di pangkuannya.Doni menyalakan mesin mobil dan segera melaju ke rumah sakit. Jalanan yang mulai lengang membuatnya bisa memacu mobil lebih cepat.Tangan Doni mencengkeram kemudi erat. Napasnya tersengal, matanya terus melirik ke kaca spion
Sandra terbangun dengan kepala yang Mata Sandra membelalak. Napasnya tercekat.Pikiran Sandra langsung melayang ke kejadian semalam. Tangan-tangan kasar itu memperlakukannya dengan brutal—menarik, mencengkeram, dan merenggut harga dirinya tanpa ampun, seolah ia bukan manusia. Semua itu terjadi diiringi desahan dan tawa menjijikkan.Suara mereka masih terngiang di telinga Sandra. Mereka mengolok-olok, menyebutnya murahan, lalu tertawa puas sambil mengatakan betapa mereka menikmati saat Sandra memohon, menangis, meronta sekuat tenaga, dan berteriak ketakutan."Tidaaaak!"Sandra menjerit histeris, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Ia ingin menyangkal apa yang terjadi, tapi rasa sakit di tubuhnya berkata lain. Ia merasa jijik. Marah dan hancur.Emosi yang membuncah membuatnya meraih gelas kaca di atas meja dan melemparkannya ke dinding. "Bajingan!!!""Bangsat! Hendrik brengsek!!"Sandra bangkit dengan tubuh geme
Hans memang memberi waktu bagi Ashley untuk menyesuaikan diri sebagai istrinya. Ia tidak memaksanya untuk segera menjalankan peran sebagai istri sepenuhnya. Baginya, sudah cukup jika Ashley tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Pria itu menatap Ashley dengan lembut, membiarkan keheningan di antara mereka sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang kamu inginkan dariku sebagai suamimu, Ash?" Terdiam sejenak, Ashley menatap Hans dengan sorot mata ragu. Mereka kini berbaring saling berhadapan. Kedua bola mata saling menyelami perasaan masing-masing. Begitu pula Hans, menatap teduh sang istri. Ashley tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengangkat wajah, menatap suaminya dengan ragu. "Aku ... aku bersyukur," katanya pelan. "Aku gak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua mertuaku sebelumnya, tapi di sini, aku merasakannya. Aku gak butuh apa-apa lagi." Hans menggeleng kecil, tersenyum hangat. "Bukan itu maksudku, sayang." Ia mendekat, menggenggam tangan Ashley dengan
Setelah acara pesta barbeque usai pada malam itu, Naomi langsung membawa Haneul ke kamarnya. Sementara Hans dan Candra masih berbincang di ruang keluarga. Perbincangan yang santai diselingi tawa dan canda dari anak mantu keluarga Lee.Baru kali pertama Ashley merasakan kehangatan di dalam lingkungan keluarga mertuanya, dan sambutan mereka yang begitu hangat."Ash, kamu jangan sungkan-sungkan kalau di rumah ini ya. Ini rumah masa kecil Hans, jadi kamu pun juga harus merasa nyaman di sini," kata Candra membuat suasana semakin hangat."Mmm, iya, Pi. Aku akan membiasakan diri," balas Ashley terdengar kaku.Pasangan muda itu duduk berdampingan di sofa, sementara Candra duduk tak jauh dari mereka. Setelah mendengar lagi ucapan sang menantu, Candra tersenyum tipis, "Ya ya ya, itu akan jadi lebih baik. Jadi, kapan kalian bulan madu?"Hans dan Ashley saling berpandangan. Ashley menundukkan wajah, tersipu malu, sementara Hans menggar
Entah mimpi apa Sandra hingga terjebak ke dalam permainan Hendrik yang sangat panas. Pria yang memiliki studio itu biasanya menghasilkan gambar-gambar para model untuk cover atau iklan tertentu.Namun, di balik semua itu, ternyata Hendrik memiliki bisnis kotor. Ia memproduksi film porno dengan korban yang ia ancam akan disebar video yang ia rekam.Plak!"Diam dan patuh, Sandra. Atau kamu tiba-tiba jadi artis viral!" bentak HendrikPipi Sandra seketika menjadi panas. Wajahnya langsung memerah marah. Detik itu juga sesuatu terasa keras masuk ke dalam intinya. Dirinya merasa terbelah. Sandra sontak mendongak. "Argh ...!"Hendrik mendorong kuat miliknya yang sudah mengeras dengan sekali hentakan. Sedikit sulit, dan sesuatu yang basah ia rasakan."Hmmm ... Ternyata kamu masih perawan juga ya?" desis Hendrik sambil menarik miliknya sedikit.Sekali lagi, ia hentakkan kuat hingga terdengar jeritan dari wanita yang ada di b
Hendrik mulai melumat bibir Sandra. Perlahan, bibirnya menjelajah leher jenjang Sandra. Sementara kedua tangannya bergerilya menjelajahi tubuh halus Sandra tanpa menghentikan aksinya menciumi leher Sandra. Bahkan pria itu meninggalkan tanda merah yang dalam di kulit putih Sandra.Tiba-tiba Hendrik menghentikan aksinya dan berdiri. Ia memperhatikan tubuh Sandra yang masih terkulai tak sadarkan diri. Sesaat, ia terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya."Gini gak seru," gumam Hendrik. "Kalau dia sadar, reaksinya pasti lebih menarik."Dua teman Hendrik, Riki dan Anton, saling pandang."Maksudnya gimana?" tanya Anton, pria bertubuh besar dengan perut buncit."Bangunin dulu," Hendrik melirik ke wastafel di sudut ruangan. "Ambilin air, Rik."Riki, pria berkepala plontos, mengangkat bahu sebelum akhirnya berjalan ke wastafel. Sementara itu, Anton melipat tangan di dada, wajahnya masih penuh keraguan."Terus kalau
Sandra yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri pun tengah digerayangi dua pria di sekelilingnya. Sementara Hendrik sedang menyiapkan kamera yang tepat dengan tempat yang akan dijadikan membuat video mereka. "Gimana bro, kita mulai sekarang aja, ntar keburu dia sadar?" tanya satu rekan Hendrik. Sementara satu pria lain pun menyahut, "Benar katanya. Kalau kita gak segera, mungkin kita akan gagal semuanya." "Oke, oke, tenang. Sebentar aku siapin lampu sorotnya." Setelah memastikan semuanya sempurna, Sandra yang sudah tak memakai sehelai pakaian pun tersorot kamera dengan sangat jelas. Bentuk tubuh setiap inci wanita itu terekspos melalui lensa kamera Hendrik. "Yuk, kita mulai," kata Hendrik yang mulai menyalakan lampu serta tombol power. Kamera menyala, merekam setiap detiknya tubuh wanita itu. Bagaimana pula Hendrik mendekatkan kamera itu merekam pada bagian tubuh Sandra yang paling inti. "Wow," gumam Hendrik sangat bergairah meskipun hanya melihat melalui lensa kame