Perjalanan keduanya pun kini tiba di basement mall terbesar di kota itu. Hans membantu menurunkan kereta dorong Baby Neul."Ayo Sayang, sudah siap." Hans mendekatkan kereta dorong itu untuk sang bayi.Di dalam mall, suasana memang begitu sangat ramai. Keduanya berjalan masuk ke dalam dan mulai menyusuri tiap lantai. Beberapa deretan toko menjajakan barang dagangan dalam ruangan yang tampak mewah dan gemerlap."Kita lihat-lihat dulu, Ash?" tanya Hans menoleh sekilas wanita yang jalan di sampingnya. Sementara dirinya mendorong kereta sang bayi dengan hati-hati.Ashley menggeleng lemah, "Pak Hans mau beli apa?""Nggak ada?" jawab Hans kemudian menaikkan dagu, "mungkin kamu mau beli baju?""Enggak, aku gak perlu, Pak.""Ya mungkin saja," pria itu menggendikkan bahu.Langkah kaki Hans seolah terasa berat dan lambat. Ia sengaja melakukan itu hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang wanita. Namu
Jawaban Ashley membuat Hans mengerutkan kening. Pria itu seolah menyadari ada yang tidak beres pada ibu susu Haneul. "Kamu mau omong apa sih? Sudah, ayo masuk!" ajak Hans lengannya berada di balik punggung Ashley, menggiringnya lembut. Namun, Ashley masih berusaha mencari sosok Doni yang ia lihat sekilas tadi. Ia benar-benar ingin meyakinkan bila yang ia lihat adalah bukan Doni. Kedua matanya bergerak mencari sekelilingnya, namun ia tidak juga melihatnya lagi. "Ah, mungkin tadi hanya bayang-bayang saja." Ashley meyakinkan diri sendiri, kemudian membuang napas lega, "Mungkin aku memang capek." Begitu mereka duduk, pelayan dengan ramah menyambut dan memberikan menu. "Selamat datang. Silahkan mau pesan apa?" Beberapa saat Ashley dan Hans melihat daftar menu restoran tersebut, hingga keduanya menentukan pilihan. "Kita pesan ini dua, dan minumnya dua, Mbak," kata Hans setelah meyakinkan menu yang disukai Ashley. "Baik, mohon ditunggu sebentar," kata pelayan sambil menulis pesanan.
Langkah cepat Doni menghampiri Ashley dan Hans membuat wanita itu mawas diri. Wajah Ashley terlihat pucat dengan tangan sedikit gemetar.Hans yang melihatnya pun langsung menggenggam erat tangan Ashley yang kemudian menoleh padanya. Ia mengangguk kecil, mengisyaratkan seolah 'tidak apa-apa, aku ada di sini'.Doni mengikis jarak dengan wajah yang tegang, "Jadi, ini alasan kenapa kamu pergi dari rumah, Ash? Jalan-jalan dengan pria lain?" cibirnya dengan suara yang terdengar agak datar, namun tajam.Wanita itu mencoba tersenyum, meski sedikit canggung, "Oh, Mas Doni. Sedang apa kamu di sini, Mas?" sapa Ashley mencoba bersikap wajar, lalu beralih pada pria di sampingnya, "Kenalin, ini Pak Hans. Kami sedang berbelanja dan hanya berjalan-jalan sebentar."Ashley tentu saja bingung akan mengenalkan Hans sebagai apa kepada mantan kakak iparnya itu.Doni mengerutkan kening, menelisik, "Memangnya siapa dia?""Oh ahm ... dia ..." Ashley
Selama perjalanan menuju rumah, Hans tampak mengamati melalui kaca spion, pengendara yang selalu mengikuti laju mobilnya. Meski Doni tampak menjaga jarak pandang agar tidak diketahui, tetap saja Hans tidak mudah dikelabui.Pria itu tahu siapa sosok di balik helm itu, namun ia membuat suasana tetap tenang agar tidak membuat Ashley khawatir."Terus saja mengikutiku, dan rasakan akibatnya nanti," batin Hans sambil fokus pada kemudi.Hingga beberapa saat mobil itu masuk ke kawasan perumahan elite di pusat kota. Doni melajukan motornya dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian Hans. Ia terpaksa menghentikan motornya saat mobil Hans mulai masuk ke dalam area rumah mewah tempat tinggalnya."Jadi benar kamu tinggal di sini?" gumam Doni mengingat kembali alamat yang pernah diberikan Risma.Setelah tiba di rumah, Winda membantu membantu menurunkan barang belanjaan dari bagasi. Begitupula dengan Hans membantu Ashley yang sedang menggendong
Duduk terpaku merasakan setiap sentuhan lembut sang pria, Ashley tidak bisa menolak permintaan Hans yang ingin mengobati iritasi pada areola miliknya. Hans kini melihat sepenuhnya gundukan kenyal berwarna putih, yang biasanya dimainkan sang anak setiap kali Ashley menyusui Baby Neul. "Sudah Ash," suara Hans mengembalikan kesadaran Ashley yang hanyut bersama sentuhan hangat sang lelaki. Wanita itu terkesiap, lalu dengan cepat menutup kedua payudaranya dengan merapikan pakaian yang sedikit berantakan. "Lekaslah kamu makan, nanti keburu dingin," pinta Hans sambil menutup tirai tebal pada jendela. Kemudian, tubuh tegap itu melangkah menuju pintu yang terhubung dengan balkon. Hans mendudukan dirinya di sana. Ashley terus menatap wajah tampan itu. Perasaannya menghangat karena perlakuan lembut pria itu. "Kenapa jantungku berdebar setiap kali berdekatan dengannya?" batinnya sambil memegang dada. Wanita itu cepat menyadarkan diri, mengambil piring yang ada di atas nakas, kemudian m
Hari-hari Hans dan Ashley disibukkan dengan acara pernikahan mereka. Begitu pula dengan Liam pun juga turut mengawasi segala kegiatan dan kebutuhan yang dibutuhkan Winda untuk acara itu. Pagi ini, Ashley menolak atas perayaan besar-besaran yang sudah direncanakan sebelumnya. "Aku gak mau kalau ada acara ini dilakukan di gedung-gedung mewah, Pak!" tolaknya, "Cukup diadakan di rumah saja, dengan teman dan keluarga." Mendengar penolakan Ashley, Hans mengernyit heran, "Kenapa? Gak masalah untukku mengadakan di gedung mewah, Ash?" Wanita itu semakin menampakkan wajah gemas, "Aku tau bapak mampu mengadakan di tempat itu. Tapi bukan itu alasannya. Aku ... aku hanya gak suka dengan kemewahan. Toh, ini juga bukan pernikahan pertama kita." Hans hanya bisa mengulum senyum mendengar penolakan Ashley. Namun, bukan itu yang membuat pria berwajah tampan itu tersenyum, melainkan wajah Ashley yang menggemaskan itulah yang membuatnya bahagia. "Oke, oke. Kalau begitu aku serahkan saja semua pad
Para karyawan LuminaTech menatap heran pada Sandra yang begitu terkejut melihat nama calon mempelai wanita. Salah satu pekerja di sana menepuk lengan sekretaris itu, menyadarkannya."Eh, kamu kenapa, Sand?" tanya pekerja wanita."Loh iya, kamu kenapa? Kok jadi kaget gitu? Emangnya kamu kenal sama calon istrinya Pak Hans?" sahut yang lain."Huum, reaksimu kok jadi aneh gitu sih, kamu pasti kenal nih?""Atau kamu pasti udah kenalan dong, secara dekat kan kamu sangat dekat sama Pak Bos kita."Begitulah para pekerja di sana menggoda Sandra, saat wanita itu terbeliak melihat undangan tersebut.Melihat nama Ashley, seketika otak kecil Sandra mencerna, memadankan dengan sosok Ashley yang ia kenal."Ah, gak mungkin Ashley yang aku kenal, 'kan?"Ia langsung menghempaskan undangan itu dengan kasar. Wanita itu melangkah dengan rasa jengkel. Terlebih, kabar pernikahan Hans sangat mengguncang perasaan Sandra, hatin
Di dalam rumah keluarga Lee, wanita berdarah Jepang itu menatap tidak yakin dengan undangan yang baru saja di letakkan oleh pelayan. Wanita paruh baya yang kini sedang duduk di ruang tengah itu membeliak, menggenggam sebuah undangan pernikahan yang tergeletak di meja, kedua mata masih menatap undangan itu dengan penuh kekecewaan.Naomi berbicara pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh amarah dan kebingungan. "Kenapa Hans harus seperti ini? Kenapa gak kasih tau kami secara langsung? Kenapa cuma ngasih undangan begitu saja?"Ia semakin kesal setelah membaca siapa pengirim kertas bermotif indah tersebut."Pi! Papi!" teriak Naomi memanggil sang suami.Pria berkaca mata yang tengah duduk santai menikmati kopi itu, hampir saja tersedak karena mendengar seruan sang istri yang sangat brutal. "Uhuk!" Candra langsung meletakkan kopinya dan mengelap bibir yang clemotan dengan tisu. Pria itu menegakkan badan, "Mami kenapa sih teria
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Lampu kamar menyala temaram. Dari balik tirai jendela besar, langit malam tampak gelap tanpa bintang. Ruangan sunyi, hanya suara hembusan pelan AC yang terdengar.Hans kembali duduk di kursi, sementara Ashley masih bersandar lemah di ranjang. Mereka terus mengobrol, seolah tidak ingin malam cepat berlalu.“Tadi kamu bilang darahku banyak sekali?” tanya Ashley sambil memutar tubuhnya sedikit ke arah Hans.Hans mengangguk. “Iya, aku bener-bener panik. Rasanya mau teriak minta tolong ke seluruh dunia.”Ashley tertawa kecil, tapi langsung meringis karena kepalanya masih nyut-nyutan. “Jangan lebay, Ko.”“Aku serius,” ucap Hans cepat. “Saat kamu nggak sadarkan diri, aku sangat khawatir. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu sampai ....”Ashley menyentuh tangan Hans, menggenggamnya erat. “Aku masih di sini.”Hans mengangguk, menatap mata istrinya lama.Beberapa menit mereka terdiam. Lalu Ashley menguap
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan kamar rumah sakit. Hans melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Di ranjang, Ashley terbaring dengan wajah pucat. Matanya tertutup, nafasnya pelan tapi teratur. Perban membalut dahinya, dan selang infus menancap di tangannya.Perlahan, Hans mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. Ia menggenggam tangan Ashley, menatap wajah pucat itu dalam diam sejenak, lalu menunduk, mengecup jemari istrinya.“Ash …,” bisiknya pelan. “Bangun, ya. Aku di sini.”Beberapa detik berlalu. Lalu, pelan-pelan, mata Ashley terbuka. Pandangannya masih kabur, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya menangkap sosok Hans yang duduk di sisinya.“… Ko?” suara Ashley serak, nyaris tidak terdengar.Hans mengangkat kepala, bibirnya membentuk senyum lega. “Ya, aku di sini, Sayang.”Ashley memutar pandangannya, mencoba mengenali tempat itu. “Aku … di mana?”
Naomi datang dengan napas sedikit terengah, wajahnya penuh kecemasan saat melihat Winda membuka pintu.“Gimana? Sudah ada kabar?” tanya Naomi cepat begitu masuk, matanya langsung menatap ke arah Haneul yang ada dalam pelukan Winda.Winda menggeleng pelan. “Belum, Bu. Pak Hans belum hubungi saya lagi. Saya juga udah coba nelpon, tapi belum diangkat.”Naomi mengangguk sambil menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangannya. “Sini, saya gendong Haneul.”Winda menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. “Dia masih sesekali menangis, Bu. Tapi sudah nggak sekencang tadi. Namun masih gelisah.”Naomi langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Ia duduk di sofa, mengayun perlahan sambil mengelus punggung Haneul. “Haneul …” ucapnya lembut. “Kamu kenapa, Nak? Kamu tahu ya Mama kamu lagi sakit?”Haneul masih sesenggukan kecil di pelukan Naomi. Kepalanya menyandar di bahu sang nenek, matanya setengah terpejam.“Mama kamu orang
Hans membuka pintu mobil dengan cepat dan dengan hati-hati meletakkan tubuh Ashley di jok penumpang. Tangannya masih gemetar, ia lalu masuk ke kursi pengemudi, menekan tombol start engine, dan mobil langsung menyala. Tanpa buang waktu, Hans melajukan mobil keluar dari halaman rumah.“Sayang, kamu dengar aku?” Hans melirik ke arah Ashley yang masih tak sadarkan diri. “Kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau kehilangan kamu."Mobil melaju kencang, melibas jalanan pagi yang masih lengang. Hans tidak peduli pada rambu-rambu. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, sementara sesekali ia menepuk pipi Ashley pelan.“Ashley, coba buka mata kamu. Sedikit saja,” ucap Hans pelan, suaranya parau. “Aku tahu kamu dengar. Kamu kuat, kan? Kamu selalu kuat.”Tidak ada respons. Napas Ashley lemah, wajahnya pucat, darah masih tampak mengalir meski tidak sederas sebelumnya.“Jangan buat aku takut begini, Sayang,” lanju
Hans baru saja selesai mengenakan baju dan melangkah keluar dari kamar mandi. Begitu sampai di tangga, ia mendengar suara kegaduhan yang datang dari arah depan rumah. Alisnya mengernyit. Suara itu terdengar semakin jelas, seperti ada orang yang sedang berteriak-teriak.Tanpa pikir panjang, Hans turun dengan cepat. Hatinya mulai tidak tenang. Ketika sampai di ruang tamu dan membuka pintu depan, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir.“Ashley!” serunya panik.Tubuh sang istri tergeletak di lantai, dengan darah segar mengalir dari pelipisnya. membasahi lantai keramik.Hans segera berlutut, tangannya gemetar saat menyentuh wajah Ashley yang pucat. “Sayang … astaga …,” gumamnya cemas.Hans menekan pelipis Ashley dengan telapak tangannya, mencoba menghentikan darah yang terus keluar.Hans meraih ponsel dari saku celananya, nyaris menjatuhkannya karena panik. Namun sebelum sempat menekan tombol d