Keduanya membeku sepersekian detik. Menit berikutnya Ashley memutus pandangan lebih dulu, wanita itu memalingkan wajah canggung. Ashley menghindari pandangan Hans karena ia malu, berharap pipinya yang terdapat rona kemerah-merahan tidak terlihat. Ia juga khawatir, sang majikan bisa mendengar degub jantung yang ingin melompat. "Pak Hans, bisa gak kalau masuk jangan ngagetin," protes Ashley bangkit menghindari pandangan. Bukannya marah, Hans justru mengulum senyum, "Memangnya kamu keget ya? Maaf." Lagi, pria itu menertawakan tingkah Ashley yang kebingungan sendiri, tampak menggemaskan. Kemudian, ia menarik tangan sang wanita lembut, "Ash, aku omong sesuatu sama kamu." Ashley berdiri di depan Hans, tubuhnya sedikit gemetar. Pandangan sang lelaki yang tajam menembus ke dalam bola matanya, seolah-olah mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penampilan luar. Ucapan Hans terdengar serius, hingg
Pagi ini, udara terasa lebih cerah dari biasanya. Di kamar atas, Ashley sudah tampak segar setelah memandikan baby Neul dengan penuh perhatian. Bayi kecil itu terlihat ceria, meski tersenyum dengan mata yang setengah menyipit. Ashley tersenyum puas, merasa bangga bisa merawatnya dengan baik. "Hmmm ... Sayangnya ibu sudah harus, tampan, sekarang kita turun ke bawah ya sayang. Kita datengin papa, yuk!" ajak Ashley yang dibalas tawa sang bayi dengan senyum gemas. Setelah memastikan baby Neul nyaman dalam gendongannya, Ashley turun ke bawah menuju ruang makan dengan hati-hati. Hans yang melihatnya turun pun menatap intens sang wanita hingga sampai di lantai dasar. "Neul sudah bangun, ya?" tanya Hans saat Ashley semakin mendekat. Sesampainya di sana, Ashley melihat Hans sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangan. Senyum ringan muncul di wajah sang pria saat melihatnya. "Hm, tentu saja, Pa," balas Ashley menirukan suara bayi, "Nyul pasti sudah ganteng." Hans
Hans memberi perhatian kecil pada sang wanita, dengan mengoles roti serta memotong hingga bagian termudah untuk Ashley langsung menyantapnya.Hati Ashley berkecamuk seketika. Antara rasa senang, malu, sekaligus canggung dan takut. Ia berusaha sekuat tenaga membuatnya tampak wajar.Acara di ruang makan itu begitu sangat tenang, tidak ada pembicaraan serius di antara keduanya hingga membuat Hans menatap ibu susu sang anak."Kamu ada rencana apa hari ini, Ash?" tanya Hans di sela-sela makan, yang memang hari ini sengaja tidak ke kantor.Ashley mendongak, "Pak Hans gak ke kantor hari ini?" Mendengar pertanyaan Ashley, Hans justru terkekeh, memiringkan kepala sedikit, "Percakapan macam apa ini? Pertanyaan dibalas pertanyaan?"Wanita itu menunduk malu, melihat senyum sang pria yang selalu menatapnya. "Saya hari ini mau belanja kebutuhan Haneul, Pak. Saya lihat stok pampers, dan yang lain hampir habis.""Hm, jadi kamu mau
Perjalanan keduanya pun kini tiba di basement mall terbesar di kota itu. Hans membantu menurunkan kereta dorong Baby Neul."Ayo Sayang, sudah siap." Hans mendekatkan kereta dorong itu untuk sang bayi.Di dalam mall, suasana memang begitu sangat ramai. Keduanya berjalan masuk ke dalam dan mulai menyusuri tiap lantai. Beberapa deretan toko menjajakan barang dagangan dalam ruangan yang tampak mewah dan gemerlap."Kita lihat-lihat dulu, Ash?" tanya Hans menoleh sekilas wanita yang jalan di sampingnya. Sementara dirinya mendorong kereta sang bayi dengan hati-hati.Ashley menggeleng lemah, "Pak Hans mau beli apa?""Nggak ada?" jawab Hans kemudian menaikkan dagu, "mungkin kamu mau beli baju?""Enggak, aku gak perlu, Pak.""Ya mungkin saja," pria itu menggendikkan bahu.Langkah kaki Hans seolah terasa berat dan lambat. Ia sengaja melakukan itu hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang wanita. Namu
Jawaban Ashley membuat Hans mengerutkan kening. Pria itu seolah menyadari ada yang tidak beres pada ibu susu Haneul. "Kamu mau omong apa sih? Sudah, ayo masuk!" ajak Hans lengannya berada di balik punggung Ashley, menggiringnya lembut. Namun, Ashley masih berusaha mencari sosok Doni yang ia lihat sekilas tadi. Ia benar-benar ingin meyakinkan bila yang ia lihat adalah bukan Doni. Kedua matanya bergerak mencari sekelilingnya, namun ia tidak juga melihatnya lagi. "Ah, mungkin tadi hanya bayang-bayang saja." Ashley meyakinkan diri sendiri, kemudian membuang napas lega, "Mungkin aku memang capek." Begitu mereka duduk, pelayan dengan ramah menyambut dan memberikan menu. "Selamat datang. Silahkan mau pesan apa?" Beberapa saat Ashley dan Hans melihat daftar menu restoran tersebut, hingga keduanya menentukan pilihan. "Kita pesan ini dua, dan minumnya dua, Mbak," kata Hans setelah meyakinkan menu yang disukai Ashley. "Baik, mohon ditunggu sebentar," kata pelayan sambil menulis pesanan.
Langkah cepat Doni menghampiri Ashley dan Hans membuat wanita itu mawas diri. Wajah Ashley terlihat pucat dengan tangan sedikit gemetar.Hans yang melihatnya pun langsung menggenggam erat tangan Ashley yang kemudian menoleh padanya. Ia mengangguk kecil, mengisyaratkan seolah 'tidak apa-apa, aku ada di sini'.Doni mengikis jarak dengan wajah yang tegang, "Jadi, ini alasan kenapa kamu pergi dari rumah, Ash? Jalan-jalan dengan pria lain?" cibirnya dengan suara yang terdengar agak datar, namun tajam.Wanita itu mencoba tersenyum, meski sedikit canggung, "Oh, Mas Doni. Sedang apa kamu di sini, Mas?" sapa Ashley mencoba bersikap wajar, lalu beralih pada pria di sampingnya, "Kenalin, ini Pak Hans. Kami sedang berbelanja dan hanya berjalan-jalan sebentar."Ashley tentu saja bingung akan mengenalkan Hans sebagai apa kepada mantan kakak iparnya itu.Doni mengerutkan kening, menelisik, "Memangnya siapa dia?""Oh ahm ... dia ..." Ashley
Selama perjalanan menuju rumah, Hans tampak mengamati melalui kaca spion, pengendara yang selalu mengikuti laju mobilnya. Meski Doni tampak menjaga jarak pandang agar tidak diketahui, tetap saja Hans tidak mudah dikelabui.Pria itu tahu siapa sosok di balik helm itu, namun ia membuat suasana tetap tenang agar tidak membuat Ashley khawatir."Terus saja mengikutiku, dan rasakan akibatnya nanti," batin Hans sambil fokus pada kemudi.Hingga beberapa saat mobil itu masuk ke kawasan perumahan elite di pusat kota. Doni melajukan motornya dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian Hans. Ia terpaksa menghentikan motornya saat mobil Hans mulai masuk ke dalam area rumah mewah tempat tinggalnya."Jadi benar kamu tinggal di sini?" gumam Doni mengingat kembali alamat yang pernah diberikan Risma.Setelah tiba di rumah, Winda membantu membantu menurunkan barang belanjaan dari bagasi. Begitupula dengan Hans membantu Ashley yang sedang menggendong
Duduk terpaku merasakan setiap sentuhan lembut sang pria, Ashley tidak bisa menolak permintaan Hans yang ingin mengobati iritasi pada areola miliknya. Hans kini melihat sepenuhnya gundukan kenyal berwarna putih, yang biasanya dimainkan sang anak setiap kali Ashley menyusui Baby Neul. "Sudah Ash," suara Hans mengembalikan kesadaran Ashley yang hanyut bersama sentuhan hangat sang lelaki. Wanita itu terkesiap, lalu dengan cepat menutup kedua payudaranya dengan merapikan pakaian yang sedikit berantakan. "Lekaslah kamu makan, nanti keburu dingin," pinta Hans sambil menutup tirai tebal pada jendela. Kemudian, tubuh tegap itu melangkah menuju pintu yang terhubung dengan balkon. Hans mendudukan dirinya di sana. Ashley terus menatap wajah tampan itu. Perasaannya menghangat karena perlakuan lembut pria itu. "Kenapa jantungku berdebar setiap kali berdekatan dengannya?" batinnya sambil memegang dada. Wanita itu cepat menyadarkan diri, mengambil piring yang ada di atas nakas, kemudian m
Mendengar terjadi sesuatu pada Sandra, meskipun wanita itu sering menyakitinya dulu. Tapi bagaimanapun, Ashley seorang wanita yang memiliki perasaan dan empati.Ia sangat ingin mengetahui keadaan Sandra dan bertanya pada sang suami, "Apa aku boleh ikut melihat keadaan Sandra, Ko?"Hans belum menjawab, namun ia menoleh sekilas kemudian kembali fokus menatap jalanan di depan. Pria itu bukannya menjawab, tapi justru melayangkan pertanyaan. "Sayang, kamu tau kan, ini bukannya hal penting untuk kita. Sandra itu sekretarisku, jadi biarkan Liam yang mengurusnya. Kamu gak perlu ikut kepikiran masalah dia. Mendingan kamu tunggu kabar dariku. Okay?"Meski benar yang dikatakan sang suami. Namun, Ashley bersikeras ingin tau. Ashley menatap Hans dengan sorot mata penuh protes. Ia ingin menjenguk Sandra, namun Hans menghalangi niatnya."Tapi dia mantan adik iparku, Ko," protes Ashley dengan sedikit ngotot. "Aku gak bisa tutup telinga, ya walaupun ...
Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Hans. Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mereka sendiri. Naomi dan Candra tampak enggan melepas mereka, tetapi Ashley dengan lembut meyakinkan bahwa Hans harus kembali bekerja.Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu. Sementara Naomi dan Candra duduk di sofa, terlihat enggan melepas mereka."Kalian yakin sudah harus pulang? Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Kami masih ingin bersama Baby Neul." Naomi membuka pembicaraan lebih dulu.Hans dan Ashley bergeming, mencoba memahami keadBaby Neul tertidur nyenyak dalam dekapan Naomi, yang masih enggan melepas cucu kesayangannya. Sang Oma mengelus lembut pipi Baby Neul. "Kenapa harus pulang secepat ini? Kalian kan bisa tinggal beberapa hari lagi. Oma masih belum puas bermain dengan Baby Neul."Candra mengangguk setuju "Iya, rumah ini jadi lebih ramai sejak kalian
Doni berlari dan langsung berlutut di samping Sandra yang tergeletak tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati, Doni meraih tangan Sandra dan membuka genggaman Sandra perlahan, menyingkirkan pecahan kaca sebelum akhirnya mengangkat tubuh adiknya ke dalam gendongannya.Napas Doni memburu. Tubuh Sandra yang basah kuyup terasa dingin di dekapannya."Mama, ayo!" serunya.Riana bergegas mengikuti Doni dari belakang, air mata terus mengalir di pipi Riana saat melihat kondisi putrinya.Begitu keluar rumah, Doni buru-buru membuka pintu mobil dan membaringkan Sandra di kursi belakang."Ma, pegangin dia," kata Doni sambil masuk ke kursi kemudi.Riana segera masuk dan memangku kepala Sandra di pangkuannya.Doni menyalakan mesin mobil dan segera melaju ke rumah sakit. Jalanan yang mulai lengang membuatnya bisa memacu mobil lebih cepat.Tangan Doni mencengkeram kemudi erat. Napasnya tersengal, matanya terus melirik ke kaca spion
Sandra terbangun dengan kepala yang Mata Sandra membelalak. Napasnya tercekat.Pikiran Sandra langsung melayang ke kejadian semalam. Tangan-tangan kasar itu memperlakukannya dengan brutal—menarik, mencengkeram, dan merenggut harga dirinya tanpa ampun, seolah ia bukan manusia. Semua itu terjadi diiringi desahan dan tawa menjijikkan.Suara mereka masih terngiang di telinga Sandra. Mereka mengolok-olok, menyebutnya murahan, lalu tertawa puas sambil mengatakan betapa mereka menikmati saat Sandra memohon, menangis, meronta sekuat tenaga, dan berteriak ketakutan."Tidaaaak!"Sandra menjerit histeris, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Ia ingin menyangkal apa yang terjadi, tapi rasa sakit di tubuhnya berkata lain. Ia merasa jijik. Marah dan hancur.Emosi yang membuncah membuatnya meraih gelas kaca di atas meja dan melemparkannya ke dinding. "Bajingan!!!""Bangsat! Hendrik brengsek!!"Sandra bangkit dengan tubuh geme
Hans memang memberi waktu bagi Ashley untuk menyesuaikan diri sebagai istrinya. Ia tidak memaksanya untuk segera menjalankan peran sebagai istri sepenuhnya. Baginya, sudah cukup jika Ashley tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Pria itu menatap Ashley dengan lembut, membiarkan keheningan di antara mereka sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang kamu inginkan dariku sebagai suamimu, Ash?" Terdiam sejenak, Ashley menatap Hans dengan sorot mata ragu. Mereka kini berbaring saling berhadapan. Kedua bola mata saling menyelami perasaan masing-masing. Begitu pula Hans, menatap teduh sang istri. Ashley tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengangkat wajah, menatap suaminya dengan ragu. "Aku ... aku bersyukur," katanya pelan. "Aku gak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua mertuaku sebelumnya, tapi di sini, aku merasakannya. Aku gak butuh apa-apa lagi." Hans menggeleng kecil, tersenyum hangat. "Bukan itu maksudku, sayang." Ia mendekat, menggenggam tangan Ashley dengan
Setelah acara pesta barbeque usai pada malam itu, Naomi langsung membawa Haneul ke kamarnya. Sementara Hans dan Candra masih berbincang di ruang keluarga. Perbincangan yang santai diselingi tawa dan canda dari anak mantu keluarga Lee.Baru kali pertama Ashley merasakan kehangatan di dalam lingkungan keluarga mertuanya, dan sambutan mereka yang begitu hangat."Ash, kamu jangan sungkan-sungkan kalau di rumah ini ya. Ini rumah masa kecil Hans, jadi kamu pun juga harus merasa nyaman di sini," kata Candra membuat suasana semakin hangat."Mmm, iya, Pi. Aku akan membiasakan diri," balas Ashley terdengar kaku.Pasangan muda itu duduk berdampingan di sofa, sementara Candra duduk tak jauh dari mereka. Setelah mendengar lagi ucapan sang menantu, Candra tersenyum tipis, "Ya ya ya, itu akan jadi lebih baik. Jadi, kapan kalian bulan madu?"Hans dan Ashley saling berpandangan. Ashley menundukkan wajah, tersipu malu, sementara Hans menggar
Entah mimpi apa Sandra hingga terjebak ke dalam permainan Hendrik yang sangat panas. Pria yang memiliki studio itu biasanya menghasilkan gambar-gambar para model untuk cover atau iklan tertentu.Namun, di balik semua itu, ternyata Hendrik memiliki bisnis kotor. Ia memproduksi film porno dengan korban yang ia ancam akan disebar video yang ia rekam.Plak!"Diam dan patuh, Sandra. Atau kamu tiba-tiba jadi artis viral!" bentak HendrikPipi Sandra seketika menjadi panas. Wajahnya langsung memerah marah. Detik itu juga sesuatu terasa keras masuk ke dalam intinya. Dirinya merasa terbelah. Sandra sontak mendongak. "Argh ...!"Hendrik mendorong kuat miliknya yang sudah mengeras dengan sekali hentakan. Sedikit sulit, dan sesuatu yang basah ia rasakan."Hmmm ... Ternyata kamu masih perawan juga ya?" desis Hendrik sambil menarik miliknya sedikit.Sekali lagi, ia hentakkan kuat hingga terdengar jeritan dari wanita yang ada di b
Hendrik mulai melumat bibir Sandra. Perlahan, bibirnya menjelajah leher jenjang Sandra. Sementara kedua tangannya bergerilya menjelajahi tubuh halus Sandra tanpa menghentikan aksinya menciumi leher Sandra. Bahkan pria itu meninggalkan tanda merah yang dalam di kulit putih Sandra.Tiba-tiba Hendrik menghentikan aksinya dan berdiri. Ia memperhatikan tubuh Sandra yang masih terkulai tak sadarkan diri. Sesaat, ia terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya."Gini gak seru," gumam Hendrik. "Kalau dia sadar, reaksinya pasti lebih menarik."Dua teman Hendrik, Riki dan Anton, saling pandang."Maksudnya gimana?" tanya Anton, pria bertubuh besar dengan perut buncit."Bangunin dulu," Hendrik melirik ke wastafel di sudut ruangan. "Ambilin air, Rik."Riki, pria berkepala plontos, mengangkat bahu sebelum akhirnya berjalan ke wastafel. Sementara itu, Anton melipat tangan di dada, wajahnya masih penuh keraguan."Terus kalau
Sandra yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri pun tengah digerayangi dua pria di sekelilingnya. Sementara Hendrik sedang menyiapkan kamera yang tepat dengan tempat yang akan dijadikan membuat video mereka. "Gimana bro, kita mulai sekarang aja, ntar keburu dia sadar?" tanya satu rekan Hendrik. Sementara satu pria lain pun menyahut, "Benar katanya. Kalau kita gak segera, mungkin kita akan gagal semuanya." "Oke, oke, tenang. Sebentar aku siapin lampu sorotnya." Setelah memastikan semuanya sempurna, Sandra yang sudah tak memakai sehelai pakaian pun tersorot kamera dengan sangat jelas. Bentuk tubuh setiap inci wanita itu terekspos melalui lensa kamera Hendrik. "Yuk, kita mulai," kata Hendrik yang mulai menyalakan lampu serta tombol power. Kamera menyala, merekam setiap detiknya tubuh wanita itu. Bagaimana pula Hendrik mendekatkan kamera itu merekam pada bagian tubuh Sandra yang paling inti. "Wow," gumam Hendrik sangat bergairah meskipun hanya melihat melalui lensa kame