Di rumah mewah milik Hans. Setiap hari, Ashley semakin terikat dengan bayi itu, merawatnya dengan penuh kasih sayang. Sejak tadi, Ashley tampak sibuk karena hari ini adalah jadwal imunisasi Baby Neul. Ia kini bersiap untuk pergi ke rumah sakit dengan sang bayi yang sudah terlihat tampan dengan wajah menggemaskan. "Neul sudah siap ya pergi sama Ibu. Kita jalan-jalan ya, Sayang." Ashley mengajak berbicara sang bayi. Tiba-tiba, ... pintu kamar terbuka. "Apa semua sudah siap, Ash?" tanya kepala pelayan membuka pintu kamar bayi. "Mobilnya sudah menunggu." "Ah, ya, Bu Winda, sebentar lagi kami turun," seru Ashley tanpa menoleh. Setelah menyampaikannya, Winda kemudian menutup pintu kamar dan turun ke bawah. Kepala pelayan tersebut lebih mengurus pekerjaan dapur. Risma juga sudah menyiapkan beberapa keperluan Baby Neul dalam tas kecil bayi. Seperti buku kesehatan anak, pampers dan satu setel baju untuk mengatasi ketika sang anak muntah atau kotor. "Ash, aku tunggu di bawah ya?
Mendengar candaan Bram membuat Hans mendelik kesal. Pernyataan Bram memanglah tidak salah, tapi Hans tidak suka mendengarnya.Entah, mengapa Hans merasa tidak suka saat Bram menatap Ashley secara detail. "Diam! Jangan coba-coba mendekatinya Bram, atau kucongkel kedua matamu!" desisnya.Bram yang mendengar ancaman Hans bukannya takut, tapi justru tersenyum simpul. Reaksi yang diberikan sahabatnya itu sungguh di luar kebiasaannya."Kenapa? Memang dia lebih cantik kan?" Bram mengatakan penuh penekanan, kemudian memicing heran, "Atau jangan-jangan ..."Hans melirik sebal, kemudian membuang pandangan. "Sudah, kami jalan dulu!"Pria itu langsung menarik tangan Ashley meninggalkan Bram yang masih terpaku.Ashley pun mengerutkan kening, merasa aneh dengan tingkah sang majikan yang seperti anak kecil tidak mendapatkan mainannya. Bram melihat keduanya pergi hingga menghilang tepat di tikungan. Sang dokter tersenyum geli mel
Sudah lumayan lama waktu Hans dan Ashley berbincang di taman bermain bersama Haneul karena matahari pun juga semakin kembali ke peraduan. Keduanya bangkit dan berjalan menuju mobil yang tak jauh dari mereka duduk. Namun, sosok wanita yang berada di seberang sana berusaha mengejar langkah Ashley dan Hans yang mulai masuk ke dalam mobil. "Eit, benar itu Ashley!" Riana senang bukan main seolah mendapat jackpot. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah, "tapi sama siapa ya, kok gendong anak dan sama laki-laki?" Rasa ingin tau Riana semakin besar dan ingin menghampiri mereka. Namun sayang, langkah kaki Riana harus terhenti karena lampu penyebrangan untuk pejalan masih berwarna merah. "Waduh, sialan banget sih lampunya pake merah segala!" umpat Riana saat berdiri ditepi trotoar dengan wajah frustasi. Dia melirik ke arah Ashley, mengingat pemandangan tadi. Sang mantan menantunya terlihat berjalan bersama seorang pria, sambil menggendong bayi. Sejenak, Riana merasa hatinya dipenuhi r
Tiba di rumah, Ashley kini tampak menidurkan sang bayi di atas kasur. Ia pun juga siap mengganti bajunya dengan dress rumahan yang mudah untuknya bergerak.Di atas ranjang itu, Ashley bersandar pada sandaran ranjang. Namun, pikirannya kembali pada moment saat dirinya dan Hans bersentuhan tanpa sengaja. Meski tanpa disadari Hans, namun Ashley seperti mendapat getaran lain dan itu membuatnya tersipu malu. "Haish, kenapa aku malah mikirin macam-macam sih!" Ashley memukul ringan kepalanya untuk menghilangkan pikiran kotornya saat ini. "Sadar Ash, kamu ini cuma ibu susu Haneul, mana mungkin Pak Hans itu suka sama kamu! Apalagi kamu sudah pernah punya suami dan anak! Jelas kamu bukan seleranya!" Sisi lain Ashley berbicara, seolah mengingatkannya agar tidak terlalu mendongak bintang di atas.Wanita itu bahkan menepuk-nepuk pipinya, untuk menghilangkan rona kemerahan wajahnya yang seolah terasa panas.Di sudut lain. Langkah pelan soso
Ashley berdiri tegak di hadapan sang majikan. Dengan ekspresi tegas, namun tersirat kesedihan yang terlihat samar di matanya. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus berat, setelah mengucap pengunduran dirinya. "Ash ... kenapa?" Hans bertanya, terkejut dan tidak percaya. "Nggak, Ash! Kamu gak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan ini. Kamu sangat penting bagi Haneul." Meski Hans sudah menolak pengunduran diri sang ibu susu, memintanya untuk tetap tinggal, Ashley tetap saja berpendirian teguh. Wanita itu menatapnya, dengan raut wajah yang sulit dipahami. "Maafkan saya Pak, keputusan saya sudah bulat. Saya gak bisa terus menerus seperti ini. Fitnah ini sangat melukai saya." Suara Ashley sedikit gemetar, tetapi ia berusaha keras untuk tetap tegas. Sejujurnya Hans sangat takut bila Ashley sampai nekat pergi dari rumahnya. Ia sangat berharap Ashley bisa merubah keputusannya. Hans men
Malam itu, Hans terjaga sepanjang malam. Matanya terpejam, tapi pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan Ashley yang sudah pergi sejak kemarin. Kepergian Ashley, menyisakan kekosongan yang sulit diungkapkan pada dirinya. "Apa harus dengan cara seperti ini, Ash?" batinnya tampak gelisah di atas tempat tidur. Sementara Haneul, yang biasanya tertawa ceria, sejak sore pun juga seolah merasakan kekosongan ibu susunya. Terlebih, setelah imunisasi kemarin bayi itu tampak gelisah dan sering menangis. Kini, suara tangisan Baby Neul yang keras itu terdengar sangat nyaring. Bahkan, mampu menyeruak ke setiap sudut rumah tersebut. "Sepertinya Haneul juga merasakannya," gumam Hans samar-samar mendengarkan. Ia bergegas bangkit dari kasur, lalu menyusul ke kamar sang bayi. Bayi itu terus menerus rewel sepanjang malam, seakan merasakan hilangnya sosok ibu susu yang sudah lama menemani. "Kenapa, Ris?" tanya Hans tiba di ambang kamar sang bayi. Risma menoleh terkejut saat menenangkan Baby
Liam mengikuti perintah Hans dengan cepat, mempersiapkan diri untuk mengantar Risma kembali ke agency. Namun, saat dia mendekati Risma, yang sedang berdiri dengan wajah penuh kemarahan di dekat pintu, suasana langsung terasa tegang di antara mereka. "Risma, Pak Hans memerintahkan saya untuk mengantarmu kembali ke Agency," ujar Liam dengan nada profesional. Ia mencoba berbicara sebaik mungkin. Risma menatap Liam dengan mata menyala penuh amarah. "Kamu senang ya, aku pergi dari rumah ini?" tanyanya sinis dan terdengar tajam. "Saya gak akan pergi denganmu! Saya bisa pergi sendiri!" Dengan gerakan cepat, Risma berbalik dan melangkah keluar tanpa memberi kesempatan bagi Liam untuk berkata lebih banyak. Ia merasa terhina, atas ucapan Hans yang membandingkannya dengan Ashley. "Tunggu saja pembalasanku, Pak!" batinnya penuh dendam. Liam hanya bisa berdiri terpaku beberapa detik, terkejut ole
Sementara di rumah Hans, sang penjaga langsung memberikan paket yang berisi Asi dalam kantong steril itu kepada Winda. Kepala pelayan sangat terkejut saat mendengar pernyataan itu. "Benarkah? Kapan ini diantar?" "Barusan, Bu," balas sang penjaga. "Apa Ashley ada di depan?" Winda ingin melangkah maju, berharap bisa bertemu dengannya, namun gerakan kakinya terhenti saat sang penjaga menahan. "Bu Ashley gak ada di depan, Bu. Bukan dia yang mengantar, melainkan Gadi muda." "Gadis muda?" Kata-kata sang penjaga membuat Winda mengerutkan kening. "Siapa dia?" "Entahlah, Bu. Kayaknya dia langsung buru-buru pergi." Setelah mendapat jawaban, Winda langsung mengatakan hal itu pada sang majikan. Hans yang mendengarnya pun juga terkejut, ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Ashley dengan situasi seperti itu. "Maafkan aku, Ash. Kembalilah bekerja menjadi ibu susu Haneul ..." batinnya penuh gejolak. Seolah ada ruang kosong yang begitu mengganggunya saat ini. "Aku janji, aku akan s
Mendengar terjadi sesuatu pada Sandra, meskipun wanita itu sering menyakitinya dulu. Tapi bagaimanapun, Ashley seorang wanita yang memiliki perasaan dan empati.Ia sangat ingin mengetahui keadaan Sandra dan bertanya pada sang suami, "Apa aku boleh ikut melihat keadaan Sandra, Ko?"Hans belum menjawab, namun ia menoleh sekilas kemudian kembali fokus menatap jalanan di depan. Pria itu bukannya menjawab, tapi justru melayangkan pertanyaan. "Sayang, kamu tau kan, ini bukannya hal penting untuk kita. Sandra itu sekretarisku, jadi biarkan Liam yang mengurusnya. Kamu gak perlu ikut kepikiran masalah dia. Mendingan kamu tunggu kabar dariku. Okay?"Meski benar yang dikatakan sang suami. Namun, Ashley bersikeras ingin tau. Ashley menatap Hans dengan sorot mata penuh protes. Ia ingin menjenguk Sandra, namun Hans menghalangi niatnya."Tapi dia mantan adik iparku, Ko," protes Ashley dengan sedikit ngotot. "Aku gak bisa tutup telinga, ya walaupun ...
Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Hans. Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mereka sendiri. Naomi dan Candra tampak enggan melepas mereka, tetapi Ashley dengan lembut meyakinkan bahwa Hans harus kembali bekerja.Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu. Sementara Naomi dan Candra duduk di sofa, terlihat enggan melepas mereka."Kalian yakin sudah harus pulang? Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Kami masih ingin bersama Baby Neul." Naomi membuka pembicaraan lebih dulu.Hans dan Ashley bergeming, mencoba memahami keadBaby Neul tertidur nyenyak dalam dekapan Naomi, yang masih enggan melepas cucu kesayangannya. Sang Oma mengelus lembut pipi Baby Neul. "Kenapa harus pulang secepat ini? Kalian kan bisa tinggal beberapa hari lagi. Oma masih belum puas bermain dengan Baby Neul."Candra mengangguk setuju "Iya, rumah ini jadi lebih ramai sejak kalian
Doni berlari dan langsung berlutut di samping Sandra yang tergeletak tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati, Doni meraih tangan Sandra dan membuka genggaman Sandra perlahan, menyingkirkan pecahan kaca sebelum akhirnya mengangkat tubuh adiknya ke dalam gendongannya.Napas Doni memburu. Tubuh Sandra yang basah kuyup terasa dingin di dekapannya."Mama, ayo!" serunya.Riana bergegas mengikuti Doni dari belakang, air mata terus mengalir di pipi Riana saat melihat kondisi putrinya.Begitu keluar rumah, Doni buru-buru membuka pintu mobil dan membaringkan Sandra di kursi belakang."Ma, pegangin dia," kata Doni sambil masuk ke kursi kemudi.Riana segera masuk dan memangku kepala Sandra di pangkuannya.Doni menyalakan mesin mobil dan segera melaju ke rumah sakit. Jalanan yang mulai lengang membuatnya bisa memacu mobil lebih cepat.Tangan Doni mencengkeram kemudi erat. Napasnya tersengal, matanya terus melirik ke kaca spion
Sandra terbangun dengan kepala yang Mata Sandra membelalak. Napasnya tercekat.Pikiran Sandra langsung melayang ke kejadian semalam. Tangan-tangan kasar itu memperlakukannya dengan brutal—menarik, mencengkeram, dan merenggut harga dirinya tanpa ampun, seolah ia bukan manusia. Semua itu terjadi diiringi desahan dan tawa menjijikkan.Suara mereka masih terngiang di telinga Sandra. Mereka mengolok-olok, menyebutnya murahan, lalu tertawa puas sambil mengatakan betapa mereka menikmati saat Sandra memohon, menangis, meronta sekuat tenaga, dan berteriak ketakutan."Tidaaaak!"Sandra menjerit histeris, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Ia ingin menyangkal apa yang terjadi, tapi rasa sakit di tubuhnya berkata lain. Ia merasa jijik. Marah dan hancur.Emosi yang membuncah membuatnya meraih gelas kaca di atas meja dan melemparkannya ke dinding. "Bajingan!!!""Bangsat! Hendrik brengsek!!"Sandra bangkit dengan tubuh geme
Hans memang memberi waktu bagi Ashley untuk menyesuaikan diri sebagai istrinya. Ia tidak memaksanya untuk segera menjalankan peran sebagai istri sepenuhnya. Baginya, sudah cukup jika Ashley tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Pria itu menatap Ashley dengan lembut, membiarkan keheningan di antara mereka sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang kamu inginkan dariku sebagai suamimu, Ash?" Terdiam sejenak, Ashley menatap Hans dengan sorot mata ragu. Mereka kini berbaring saling berhadapan. Kedua bola mata saling menyelami perasaan masing-masing. Begitu pula Hans, menatap teduh sang istri. Ashley tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengangkat wajah, menatap suaminya dengan ragu. "Aku ... aku bersyukur," katanya pelan. "Aku gak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua mertuaku sebelumnya, tapi di sini, aku merasakannya. Aku gak butuh apa-apa lagi." Hans menggeleng kecil, tersenyum hangat. "Bukan itu maksudku, sayang." Ia mendekat, menggenggam tangan Ashley dengan
Setelah acara pesta barbeque usai pada malam itu, Naomi langsung membawa Haneul ke kamarnya. Sementara Hans dan Candra masih berbincang di ruang keluarga. Perbincangan yang santai diselingi tawa dan canda dari anak mantu keluarga Lee.Baru kali pertama Ashley merasakan kehangatan di dalam lingkungan keluarga mertuanya, dan sambutan mereka yang begitu hangat."Ash, kamu jangan sungkan-sungkan kalau di rumah ini ya. Ini rumah masa kecil Hans, jadi kamu pun juga harus merasa nyaman di sini," kata Candra membuat suasana semakin hangat."Mmm, iya, Pi. Aku akan membiasakan diri," balas Ashley terdengar kaku.Pasangan muda itu duduk berdampingan di sofa, sementara Candra duduk tak jauh dari mereka. Setelah mendengar lagi ucapan sang menantu, Candra tersenyum tipis, "Ya ya ya, itu akan jadi lebih baik. Jadi, kapan kalian bulan madu?"Hans dan Ashley saling berpandangan. Ashley menundukkan wajah, tersipu malu, sementara Hans menggar
Entah mimpi apa Sandra hingga terjebak ke dalam permainan Hendrik yang sangat panas. Pria yang memiliki studio itu biasanya menghasilkan gambar-gambar para model untuk cover atau iklan tertentu.Namun, di balik semua itu, ternyata Hendrik memiliki bisnis kotor. Ia memproduksi film porno dengan korban yang ia ancam akan disebar video yang ia rekam.Plak!"Diam dan patuh, Sandra. Atau kamu tiba-tiba jadi artis viral!" bentak HendrikPipi Sandra seketika menjadi panas. Wajahnya langsung memerah marah. Detik itu juga sesuatu terasa keras masuk ke dalam intinya. Dirinya merasa terbelah. Sandra sontak mendongak. "Argh ...!"Hendrik mendorong kuat miliknya yang sudah mengeras dengan sekali hentakan. Sedikit sulit, dan sesuatu yang basah ia rasakan."Hmmm ... Ternyata kamu masih perawan juga ya?" desis Hendrik sambil menarik miliknya sedikit.Sekali lagi, ia hentakkan kuat hingga terdengar jeritan dari wanita yang ada di b
Hendrik mulai melumat bibir Sandra. Perlahan, bibirnya menjelajah leher jenjang Sandra. Sementara kedua tangannya bergerilya menjelajahi tubuh halus Sandra tanpa menghentikan aksinya menciumi leher Sandra. Bahkan pria itu meninggalkan tanda merah yang dalam di kulit putih Sandra.Tiba-tiba Hendrik menghentikan aksinya dan berdiri. Ia memperhatikan tubuh Sandra yang masih terkulai tak sadarkan diri. Sesaat, ia terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya."Gini gak seru," gumam Hendrik. "Kalau dia sadar, reaksinya pasti lebih menarik."Dua teman Hendrik, Riki dan Anton, saling pandang."Maksudnya gimana?" tanya Anton, pria bertubuh besar dengan perut buncit."Bangunin dulu," Hendrik melirik ke wastafel di sudut ruangan. "Ambilin air, Rik."Riki, pria berkepala plontos, mengangkat bahu sebelum akhirnya berjalan ke wastafel. Sementara itu, Anton melipat tangan di dada, wajahnya masih penuh keraguan."Terus kalau
Sandra yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri pun tengah digerayangi dua pria di sekelilingnya. Sementara Hendrik sedang menyiapkan kamera yang tepat dengan tempat yang akan dijadikan membuat video mereka. "Gimana bro, kita mulai sekarang aja, ntar keburu dia sadar?" tanya satu rekan Hendrik. Sementara satu pria lain pun menyahut, "Benar katanya. Kalau kita gak segera, mungkin kita akan gagal semuanya." "Oke, oke, tenang. Sebentar aku siapin lampu sorotnya." Setelah memastikan semuanya sempurna, Sandra yang sudah tak memakai sehelai pakaian pun tersorot kamera dengan sangat jelas. Bentuk tubuh setiap inci wanita itu terekspos melalui lensa kamera Hendrik. "Yuk, kita mulai," kata Hendrik yang mulai menyalakan lampu serta tombol power. Kamera menyala, merekam setiap detiknya tubuh wanita itu. Bagaimana pula Hendrik mendekatkan kamera itu merekam pada bagian tubuh Sandra yang paling inti. "Wow," gumam Hendrik sangat bergairah meskipun hanya melihat melalui lensa kame