Ketegangan antara Ashley dan Riana semakin meningkat. Ashley, yang sudah berada dalam cengkeraman Riana, merasa dirinya terperangkap dalam situasi yang semakin buruk. Sekalipun ia memberontak dan ingin melepaskan diri, kekuatannya sangat kalah jauh dari sang mantan ibu mertua yang terkenal arogan. "Lepasin, Bu! Ibu gak berhak mengatur hidupku sekarang!" Riana menatap bengis, "Siapa yang gak berhak, hah?!" Tatapannya begitu tajam, kemudian beralih pada tas slempang yang berada di pundak ibu susu Haneul. Ashley merasakan sesuatu yang aneh, seolah Riana sedang mengulitinya. Ia memiringkan badan, berusaha menutupi apa yang diincar wanita paruh baya itu. Dengan tatapan dingin dan manipulatif, Riana menarik paksa tas itu hingga terjadi aksi tarik menarik. "Berikan tas itu! Sepertinya aku mencium bau uang di sana!" Ashley dengan segala kekuatannya, mencoba mempertahankan tas itu. Apa jadinya bila Riana tau bila dirinya memiliki banyak uang. "Jangan, Bu! Ini gak ada apa-apanya
Hari itu, Hans semakin frustasi. Sejak pagi, Liam telah mencari Ashley ke segala penjuru kota. Namun, hasilnya tetap nihil. Terlebih, saat Winda mengatakan bila Ashley masih sempat memompa ASI-nya untuk Haneul, Hans semakin cemas bila sampai Liam tidak menemukannya. "Saya sudah mencarinya kemana-mana Pak, tapi belum juga ketemu. Bu Ashley seperti menghindari keramaian," kata Liam memberitahukan hasil pencarian. Hans menghela napas, "Kamu yakin sudah mencari ke sudut kota. Entah di taman, pusat belanjaan, pasar atau keramaian event." Dengan yakin Liam mengangguk, "Sudah, Pak. Semua tetap tidak ada. Bahkan, Hans juga sempat menghubungi nomor teleponnya, namun tidak terhubung. Seolah Ashley mengalihkan semua akses untuk dihubungi. Wanita itu seakan menghilang tanpa jejak, hingga membuat Hans semakin putus asa. "Ada dimana kamu sekarang, Ash? Please ..." lirihnya dalam kebimbangan. Setelah mendapat pernyataan Liam yang tidak bisa menemukan Ashley, Hans memutuskan untuk iku
Riana menuju mall yang tidak jauh dari tempat ia menjual Ashley. Wajahnya tampak berbinar senang setelah mendapatkan keuntungan berkali lipat.Tangannya menggenggam ponsel penuh kegirangan setelah melihat transaksi dari Mami yang baru saja masuk ke dalam rekeningnya."Ternyata kamu membawa keberuntungan bagiku, Ash. Kamu sumber uang untukku!" tawanya girang, "Nggak rugi aku capek-capek mencarimu, hahaha ...!"Riana seperti orang gila yang berjalan sambil tertawa sendirian masuk ke dalam mall.Setibanya di sana, ia memasuki toko-toko mewah, memborong barang-barang mahal tanpa ragu. "Ini semua milikku sekarang, Ash," gumamnya sambil memilih gaun-gaun mewah dan tas-tas brand terkenal. "Kamu ternyata penghasil emas yang sangat menguntungkan, hahaha ....!"Riana melanjutkan perbelanjaannya, berbelanja tanpa rasa bersalah, membelanjakan uang yang seharusnya bukan miliknya. Semua ini adalah hasil dari kekejamannya, dan ia men
Malam itu, di dalam diskotik yang riuh dengan musik dan lampu berkelip, suasana berubah tegang. Mami, yang sebelumnya tampak tenang, kini marah besar. Dua anak buahnya yang seharusnya mengawasi Ashley, tampak panik dan cemas. Kesalahan mereka tak bisa diterima begitu saja. Dengan langkah ragu, Mami menghampiri mereka, wajahnya penuh amarahMendengar pernyataan dua anak buahnya, Mami menjadi sangat murka. Kedua matanya memerah seketika, rahangnya terlihat mengeras."Mengapa dia bisa lolos?!" teriak Mami dengan suara menggelegar menatap kedua pria itu. "Cuma menjaga satu wanita saja tidak becus!""Maafkan, kami, Bos! Dia sangat cerdik," jawab satu anak buahnya tampak takut."Bodoh! Bisa-bisanya kalian terkecoh karenanya!" Pria berkepala pelontos wajahnya pucat, mencoba berbicara. "Kami sudah mencarinya di setiap sudut, Bos! Tapi—""Sudah cukup!" Mami memotongnya, "Tidak ada alasan! Cepat temukan dia, apapun yang terjadi!
Setelah hampir beberapa jam, Hans dan Liam cukup lama menghabiskan waktu untuk mencari ibu susu Haneul. "Pak, mau kemana lagi kita cari Bu Ash?" tanya Liam yang masih fokus dengan kemudi sambil sesekali melihat sekitar tepi jalanan. "Tidak mungkin kan, Bu Ashley bersembunyi di dalam?" imbuhnya. "Benar, mana mungkin dia masuk ke sana," sambung Hans saat tatapannya tertuju pada gedung diskotik. Beberapa waktu kemudian, mereka tiba di sebuah area yang tampak seperti tempat yang tidak biasa. Sebuah bangunan yang terlihat ramai, seolah tempat hiburan. Di depan gedung itu, terlihat seorang wanita berdandan menor beserta dua anak buahnya, tampaknya sedang berusaha menarik paksa seseorang ke dalam gedung tersebut. "Nggak, aku gak mau kembali ke sini!" teriak Ashley sambil terus berontak, "Tolong, lepaskan aku!" Meskipun Ashley memohon dengan derai air mata, mucikari itu juga tidak sedikitpun memperlihatkan rasa iba. Namun, ia justru membentak lebih keras. "Cepat bawa dia masuk! T
Di dalam mobil, Hans menghela napas lega. Begitu sosok Ashley kini berada di sampingnya masih dalam keadaan hidup dan selamat.Meskipun sedikit terlambat, rasanya tak ada yang lebih menyenangkan baginya selain mengetahui bahwa Ashley tidak apa-apa. "Aku merasa bersyukur bisa menemukanmu lebih cepat. Andai aku terlambat sedetik saja. Ah ... Aku tidak bisa membayangkan betapa menyesalnya diriku nanti," kata Hans sambil menyandarkan kepalanya.Ashley terdiam, perlahan matanya berkaca-kaca. "Terima kasih Pak, bapak sudah menolong saya. Kenapa justru orang yang baru saya kenal lebih baik dibanding mereka yang sudah lama ..."Hans masih mendengarkan Ashley meski matanya terpejam. Ia tidak ingin melihat kesedihan wanita yang sedang mencurahkan isi hatinya. Baru kali ini Hans mendengarkan keluh kesah wanita itu secara langsung."Mengapa mereka tega melakukan pada saya ...?" Rasanya hati Ashley begitu tercabik-cabik oleh fakta, "Tolong turun
Keduanya membeku sepersekian detik. Menit berikutnya Ashley memutus pandangan lebih dulu, wanita itu memalingkan wajah canggung. Ashley menghindari pandangan Hans karena ia malu, berharap pipinya yang terdapat rona kemerah-merahan tidak terlihat. Ia juga khawatir, sang majikan bisa mendengar degub jantung yang ingin melompat. "Pak Hans, bisa gak kalau masuk jangan ngagetin," protes Ashley bangkit menghindari pandangan. Bukannya marah, Hans justru mengulum senyum, "Memangnya kamu keget ya? Maaf." Lagi, pria itu menertawakan tingkah Ashley yang kebingungan sendiri, tampak menggemaskan. Kemudian, ia menarik tangan sang wanita lembut, "Ash, aku omong sesuatu sama kamu." Ashley berdiri di depan Hans, tubuhnya sedikit gemetar. Pandangan sang lelaki yang tajam menembus ke dalam bola matanya, seolah-olah mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penampilan luar. Ucapan Hans terdengar serius, hingg
Pagi ini, udara terasa lebih cerah dari biasanya. Di kamar atas, Ashley sudah tampak segar setelah memandikan baby Neul dengan penuh perhatian. Bayi kecil itu terlihat ceria, meski tersenyum dengan mata yang setengah menyipit. Ashley tersenyum puas, merasa bangga bisa merawatnya dengan baik. "Hmmm ... Sayangnya ibu sudah harus, tampan, sekarang kita turun ke bawah ya sayang. Kita datengin papa, yuk!" ajak Ashley yang dibalas tawa sang bayi dengan senyum gemas. Setelah memastikan baby Neul nyaman dalam gendongannya, Ashley turun ke bawah menuju ruang makan dengan hati-hati. Hans yang melihatnya turun pun menatap intens sang wanita hingga sampai di lantai dasar. "Neul sudah bangun, ya?" tanya Hans saat Ashley semakin mendekat. Sesampainya di sana, Ashley melihat Hans sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangan. Senyum ringan muncul di wajah sang pria saat melihatnya. "Hm, tentu saja, Pa," balas Ashley menirukan suara bayi, "Nyul pasti sudah ganteng." Hans
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Lampu kamar menyala temaram. Dari balik tirai jendela besar, langit malam tampak gelap tanpa bintang. Ruangan sunyi, hanya suara hembusan pelan AC yang terdengar.Hans kembali duduk di kursi, sementara Ashley masih bersandar lemah di ranjang. Mereka terus mengobrol, seolah tidak ingin malam cepat berlalu.“Tadi kamu bilang darahku banyak sekali?” tanya Ashley sambil memutar tubuhnya sedikit ke arah Hans.Hans mengangguk. “Iya, aku bener-bener panik. Rasanya mau teriak minta tolong ke seluruh dunia.”Ashley tertawa kecil, tapi langsung meringis karena kepalanya masih nyut-nyutan. “Jangan lebay, Ko.”“Aku serius,” ucap Hans cepat. “Saat kamu nggak sadarkan diri, aku sangat khawatir. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu sampai ....”Ashley menyentuh tangan Hans, menggenggamnya erat. “Aku masih di sini.”Hans mengangguk, menatap mata istrinya lama.Beberapa menit mereka terdiam. Lalu Ashley menguap
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan kamar rumah sakit. Hans melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Di ranjang, Ashley terbaring dengan wajah pucat. Matanya tertutup, nafasnya pelan tapi teratur. Perban membalut dahinya, dan selang infus menancap di tangannya.Perlahan, Hans mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. Ia menggenggam tangan Ashley, menatap wajah pucat itu dalam diam sejenak, lalu menunduk, mengecup jemari istrinya.“Ash …,” bisiknya pelan. “Bangun, ya. Aku di sini.”Beberapa detik berlalu. Lalu, pelan-pelan, mata Ashley terbuka. Pandangannya masih kabur, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya menangkap sosok Hans yang duduk di sisinya.“… Ko?” suara Ashley serak, nyaris tidak terdengar.Hans mengangkat kepala, bibirnya membentuk senyum lega. “Ya, aku di sini, Sayang.”Ashley memutar pandangannya, mencoba mengenali tempat itu. “Aku … di mana?”
Naomi datang dengan napas sedikit terengah, wajahnya penuh kecemasan saat melihat Winda membuka pintu.“Gimana? Sudah ada kabar?” tanya Naomi cepat begitu masuk, matanya langsung menatap ke arah Haneul yang ada dalam pelukan Winda.Winda menggeleng pelan. “Belum, Bu. Pak Hans belum hubungi saya lagi. Saya juga udah coba nelpon, tapi belum diangkat.”Naomi mengangguk sambil menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangannya. “Sini, saya gendong Haneul.”Winda menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. “Dia masih sesekali menangis, Bu. Tapi sudah nggak sekencang tadi. Namun masih gelisah.”Naomi langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Ia duduk di sofa, mengayun perlahan sambil mengelus punggung Haneul. “Haneul …” ucapnya lembut. “Kamu kenapa, Nak? Kamu tahu ya Mama kamu lagi sakit?”Haneul masih sesenggukan kecil di pelukan Naomi. Kepalanya menyandar di bahu sang nenek, matanya setengah terpejam.“Mama kamu orang
Hans membuka pintu mobil dengan cepat dan dengan hati-hati meletakkan tubuh Ashley di jok penumpang. Tangannya masih gemetar, ia lalu masuk ke kursi pengemudi, menekan tombol start engine, dan mobil langsung menyala. Tanpa buang waktu, Hans melajukan mobil keluar dari halaman rumah.“Sayang, kamu dengar aku?” Hans melirik ke arah Ashley yang masih tak sadarkan diri. “Kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau kehilangan kamu."Mobil melaju kencang, melibas jalanan pagi yang masih lengang. Hans tidak peduli pada rambu-rambu. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, sementara sesekali ia menepuk pipi Ashley pelan.“Ashley, coba buka mata kamu. Sedikit saja,” ucap Hans pelan, suaranya parau. “Aku tahu kamu dengar. Kamu kuat, kan? Kamu selalu kuat.”Tidak ada respons. Napas Ashley lemah, wajahnya pucat, darah masih tampak mengalir meski tidak sederas sebelumnya.“Jangan buat aku takut begini, Sayang,” lanju
Hans baru saja selesai mengenakan baju dan melangkah keluar dari kamar mandi. Begitu sampai di tangga, ia mendengar suara kegaduhan yang datang dari arah depan rumah. Alisnya mengernyit. Suara itu terdengar semakin jelas, seperti ada orang yang sedang berteriak-teriak.Tanpa pikir panjang, Hans turun dengan cepat. Hatinya mulai tidak tenang. Ketika sampai di ruang tamu dan membuka pintu depan, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir.“Ashley!” serunya panik.Tubuh sang istri tergeletak di lantai, dengan darah segar mengalir dari pelipisnya. membasahi lantai keramik.Hans segera berlutut, tangannya gemetar saat menyentuh wajah Ashley yang pucat. “Sayang … astaga …,” gumamnya cemas.Hans menekan pelipis Ashley dengan telapak tangannya, mencoba menghentikan darah yang terus keluar.Hans meraih ponsel dari saku celananya, nyaris menjatuhkannya karena panik. Namun sebelum sempat menekan tombol d