[Tuan, kamu baik-baik saja?] [Tuan, apa luka-lukamu sudah sembuh?] [Tuan, kamu marah ya? Apa aku sudah membuat kesalahan? Maafkan aku.] [Tuan, obat-obatan dan vitaminku sudah habis. Apa aku harus membelinya sendiri atau kamu yang akan membelikan untukku?] [Tuan, kamu beneran marah, ya? Kenapa pesanku tidak dibalas? Aku minta maaf kalo sudah membuatmu kesal. Tapi tolong jangan acuhkan aku seperti ini.] [Kenapa rasanya semakin hari semakin menyakitkan kalo Tuan nyuekin aku seperti ini? Tolong balas pesanku sekaliiii saja.] [Baiklah. Aku minta maaf kalo sudah bikin Tuan marah dan kesal. Aku janji nggak akan merepotkan Tuan lagi. Aku juga minta maaf kalo sikapku ini jadi membuat Tuan risih. Aku janji ini nggak akan terulang lagi.] Harsha mematut ponselnya yang tak sekalipun berdenting selama seminggu ini. Baik Ron maupun Devan seakan menghilang di telan bumi. Sudah hari ke-enam sejak Ron pergi meninggalkan rumahnya, dan tak ada kabar apapun lagi setelah itu. Siang ini, kiriman pes
"Anda sudah mau pulang, Pak?" Vick memperhatikan bosnya yang baru saja memintanya untuk menelepon supir untuk standby di lobi. "Ya. Aku harus ke rumah vila sebelum semuanya terbongkar." Vick mengerutkan keningnya dengan bingung. "Apa terjadi sesuatu, Pak?" "Harsha bertemu mamiku di swalayan. Dan mami membawanya menginap di rumah vila selama weekend!" jelas Ron dengan rahang mengeras. Melihat mood bosnya sedang buruk, Vick tak berani mengeluarkan sepatah kata apapun lagi. Ia hanya mengikuti langkah lebar Ron yang berakhir di teras lobi. Selama di perjalanan, Ron berusaha menghubungi nomor Bela yang tak aktif sejak beberapa jam yang lalu. Entah sudah berapa kali panggilan yang tersambung hingga kesabaran Ron mulai terkikis. Pada akhirnya, Ron hanya mengirim pesan dan meminta Bela untuk menyusul ke rumah orangtuanya untuk makan malam bersama di sana. Ron juga membahas tentang Harsha yang bertemu ibunya di swalayan dan berakhir menginap di rumah orang tuanya. Ia tak mau Bela sala
"M-maaf." Harsha mundur semakin jauh demi menutupi rasa gugupnya. "Aku cuma mau membangunkanmu, Tuan."Ron menghela napas berat. Bukan tanpa alasan Ron mengamuk, ia hanya tak mau orangtuanya curiga tentang status Harsha. Namun, sepertinya reaksinya terlalu berlebihan hingga membuat wajah Harsha pucat dengan tubuh gemetaran. "Nyonya Brigitta dan tuan Alex sudah menunggu Tuan di bawah. Tadi nyonya besar sudah mencoba membangunkan Tuan tapi--""Jangan diulangi lagi, Harsha. Jangan melakukan apapun yang akan membuat orang tuaku mencurigai hubungan kita!" Ron mendekat ke tempat Harsha dan mencekal lengan istri mudanya itu dengan erat. "Kamu mendengarku?!" "I-iya. Maafkan saya." Harsha menunduk untuk menyembunyikan matanya yang sudah memanas. Ketika akhirnya cengkeraman Ron mengendur, Harsha buru-buru pergi tanpa menoleh lagi. Langkahnya cepat dan lebar menuju kamar Ron yang ia tempati sementara, Harsha sudah kehilangan selera untuk melanjutkan makan malam. Ketika Brigitta dan Alex mel
"Siapa, Bebe?" Sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Bela dan mengagetkannya yang sedang mengecek ponsel. Perhatiannya lantas beralih pada pria kesayangannya yang melenggang ke kamar mandi tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. "Ron Kyle." Bela menyahut samar sembari menghembuskan napas singkat. 21 panggilan tak terjawab dari Ron telah memenuhi bilah notifikasi di layarnya. Dan oh, ada satu pesan yang masuk darinya. Jemari Bela menyentuh pesan itu hingga jendela aplikasi hijau itu terbuka. [Aku diundang makan malam di rumah papi dan mami. Kalo tidak sibuk, segeralah menyusul ke sana. Di sana juga ada Harsha, btw. Orangtuaku mengajaknya menginap dan berlibur di rumah vila sampai hari minggu.] Sorot netra Bela berubah nanar, napasnya mendadak sesak. Jadi, Harsha sudah meluncurkan jurus baru untuk merayu mertuanya? Licik sekali!"Dia bilang apa?" Victor tiba-tiba muncul dan merebut ponsel di genggaman Bela, ia membaca pesan itu dengan seksama lantas menyeringai samar bebera
Di atas ranjang dengan seprai putih itu, Harsha duduk termenung seraya menatap ke pemandangan malam di luar jendela. Suara dengungan humidifier berpadu dengan bunyi detik jam yang terus bergerak maju. Tatapan Harsha kosong, napasnya berhembus dengan teratur, rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang murung. Sesekali, Harsha merasakan tendangan di perutnya. Ya, sejak tadi sore rupanya janinnya mulai memberi tanda-tanda kehidupan. Ada yang bernyawa di dalam rahimnya, yang menggantungkan seluruh hidupnya pada Harsha. Harusnya, Harsha tak sendirian menikmati momen berkesan ini. Selayaknya pasangan normal, seharusnya Ron juga turut berbahagia bila tahu janinnya mulai bergerak. Apa daya, hubungan Ron dan Harsha tidaklah senormal itu. Rupanya Harsha hanya dianggap sebagai rahim sewaan. Tatapan Harsha lantas beralih pada lemari kayu berwarna putih yang berada tak jauh dari jendela. Seakan ada yang menuntunnya, Harsha turun dari ranjang dan mendekat pada lemari itu. Rak laci yang be
"Selamat pagi." Sapaan hangat di meja makan ketika Harsha tiba di sana, sontak membuatnya menahan napas dengan gugup. Ternyata Harsha tidak bermimpi, Ron juga menginap di rumah ini!"Pagi." Harsha menyahut kikuk seraya menghempaskan pantatnya ke kursi yang sudah disiapkan pelayan. "Tuan menginap?" "Tidak. Aku baru sampai tadi subuh." Ron menjawab dengan sangat santai dan tanpa beban. Tentu saja jawaban itu untuk menggoda Harsha. "Tuan dan Nyonya ke mana?" Harsha mengedarkan pandangan ketika tak dilihatnya Brigitta dan Alex di meja makan. "Mereka berenang. Tuh!" Ron menunjuk ke arah kolam renang di luar dengan menggunakan dagunya. "Makanlah dulu. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang.""Pulang? Aku masih mau di sini.""Mau ngapain lagi? Kan kamu sudah menginap!" sela Ron cepat. "Tapi kan nggak harus keburu pulang. Tuan aja sana pulang sendiri. Aku bisa minta pak Udin menjemputku nanti!" gerutu Harsha menolak. "Lagian siapa suruh Tuan juga ikut nginap di sini. Aku--""Kamu selal
"Ethan Zurishmo?" Kedua alis Brigitta menyatu dengan rapat. "Maksudmu, kita akan menjodohkan Ronney dengan putri tunggal Ethan Zurishmo?" Alex yang baru saja pulang dari perusahaannya, lantas mengangguk dengan senyuman lebar. "Benar. Bagaimana menurutmu, Darling?" "Kenapa harus dengan putrinya Ethan? Ada banyak putri pengusaha lain yang cantik dan pintar selain dia. Tidaklah keputusanmu ini terlalu terburu-buru?" protes Brigitta tak rela. "Tidak terburu-buru. Ron sudah berusia 25 tahun, usianya sudah cukup untuk menikah," terang Alex santai. "Dan putri Ethan baru saja lulus dari kuliah S2-nya di Amerika. Dia cerdas, cantik dan menurutku pantas bersanding dengan Ron." Melihat kesungguhan dari cara suaminya menjelaskan tentang putri tunggal keluarga Zurishmo, mau tak mau Brigitta akhirnya mengalah. "Baiklah. Tapi seandainya Ronney menolak, jangan pernah paksa dia, Alex.""Oke, Darling. Serahkan saja semua padaku." Ketika akhirnya Alex merancang pertemuan antara Ron dan Bela, mere
[Aku tidak bisa bergabung bersama kalian. Maaf. Besok pagi aku harus mengantar papa ke Singapore untuk berobat. Sampai jumpa besok lusa di mansion!] Pesan yang dikirim oleh Bela ketika Ron dan kedua orang tuanya sedang makan malam, membuat suasana hatinya kembali memburuk. Pasca membentak Harsha tadi, Ron merasa dirinya menjadi semakin aneh dan sukar dimengerti. Luapan amarah yang tanpa sengaja ia lampiaskan pada Harsha, pastilah sudah melukai hati istri mudanya itu. Selera makan Ron sudah musnah. Merasa bersalah pada Harsha sekaligus jengkel pada Bela yang selalu susah untuk dihubungi, pada akhirnya membuatnya memutuskan untuk menginap saja. Toh, Bela tak akan pulang malam ini. "Tidurlah di kamar tamu kalo begitu. Jangan macam-macam dan berani mengusir Harsha dari kamarmu!" ancam Brigitta ketika Ron menyampaikan keputusannya untuk menginap. "Awas saja kalo besok pagi Mami lihat kamu malah tidur di kamarmu sendiri!" "Iyaaa. Ck, cerewet sekali!" decak Ron kesal seraya melenggang m
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange