Chapter 7
An Idea
Beck berulang kali menghela napasnya dan mengembuskannya dengan kasar, pria itu menunggu pagi yang seolah tak kunjung tiba. Ia tidak mampu memejamkan matanya karena mencemaskan Vanilla yang ia duga sedang bersama Nick, mungkin saja sahabatnya itu sedang mencumbui Vanilla karena ia tahu bagaimana Nick. Kali ini ia benar-benar merasa menyesal mendorong Vanilla kepada Nick, jika ia memiliki satu gadis di dalam hidupnya, maka Nick memiliki segudang wanita yang bisa ia ganti sesuka hatinya kapan saja ia mau. Saat itu ia sedang emosi karena merasa cukup lelah dengan semua tekanan sejak Vanilla berada di Barcelona.
Ia memutuskan menyeduh kopi di dapur lalu membawa secangkir kopi ke dalam kamarnya, mengaktifkan smoker detector, menyalakan laptopnya lalu mulai bekerja sambil menghisap tembakaunya hingga tidak terasa malam telah berlalu berganti pagi.
Bergegas Beck membersihkan tubuhnya lalu ia mengenakan pakaiannya tanpa berniat pergi ke ruang makan terlebih dulu untuk menyentuh sarapan yang telah di persiapkan pelayanan, ia keluar dari rumahnya. Tidak perlu mengendarai mobilnya untuk menuju ke rumah Vanilla, ia hanya cukup berjalan kaki menuju gerbang rumahnya lalu melangkah beberapa puluh meter untuk tiba di tempat tinggal keluarga West.
Penjaga keamanan rumah keluarga West tampak jelas terkejut mendapati Beck yang berdiri di luar pagar rumah itu, pria berusia lima puluh tahun yang telah bekerja sejak keluarga West membeli rumah itu dengan cekatan membukakan pintu untuk Beck. Bukan hanya penjaga keamanan yang terkejut melihat kehadirannya, pelayan yang membukakan pintu untuknya juga terkejut karena bertahun-tahun Beck tidak pernah menampakkan batang hidungnya di rumah itu tiba-tiba datang di saat hari bahkan masih terlalu pagi.
Dengan langkah kaki panjang Beck langsung menuju kamar Vanilla, rahangnya terlihat mengeras sementara cahaya matanya tampak suram dibalut oleh cekungan dalam kelopak matanya. Ketika tiba di depan pintu kamar yang dituju, Beck berhenti. Pria itu mengatur napasnya sekaligus sedang menata emosinya yang mungkin saja tidak siap menerima kenyataan jika Vanilla tidak berada di dalam kamar.
Ketika pintu kamar terbuka, kelegaan menghampirinya. Vanilla, gadis malang yang tadi malam menjadi obyek fantasi seks dua pria itu meringkuk seperti seekor anak kucing yang jinak, bernapas dengan pelan menikmati tidurnya yang lelap. Tampaknya ia tidak terganggu sama sekali meski matahari telah masuk melalui celah-celah tirai jendelanya.
Beck melangkah mendekati tempat tidur, ia mengamati wajah Vanilla. Mengamati rambutnya yang tergerai di atas bantal, ia perlahan menyentuh menggunakan ujung jemarinya, merasakan halusnya rambut gadis itu. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum tipis. Perlahan fokusnya beralih ke wajah Vanilla, mengamati dengan serius wajah tunangannya. Rasanya telah sangat lama ia tidak melihat Vanilla sedekat itu. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir ia dan Vanilla tidak bersitegang karena masalah perjodohan yang tidak bisa ia terima.
Kesadaran menguasai dirinya, telapak tangannya yang telah terulur hendak menyentuh kulit wajah Vanilla, ia tarik kembali. Beck menghela napasnya kasar. Ia segera menjauhi tempat tidur dan bergegas keluar dari kamar Vanilla, diam-diam ia merutuki kebodohannya yang menyiksa dirinya memikirkan Vanilla hingga ia sama sekali tidak tidur. Seharusnya ia tidak perlu berbuat terlalu jauh apa lagi sampai datang ke kamar gadis itu yang jika Vanilla mengetahui kehadirannya, gadis itu pasti akan salah paham.
Baru saja Beck selesai menuruni anak tangga, Xaviera berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Wanita cantik itu menatap Beck dengan sorot mata dingin.
"Untuk apa kau pagi-pagi menemui putriku?" Nada suara Xaviera sama sekali tidak ramah.
"Aku hanya mengeceknya," jawab Beck datar.
Xaviera tersenyum sinis. "Aku berharap, putriku segera menyadari bahwa kau tidak layak untuknya," ucapnya tak kalah sinis dengan senyum di bibirnya.
Beck menelan ludahnya. "Aku berharap Vanilla bersedia membatalkan pertunangan ini."
"Aku harap. Secepatnya," ujar Xaviera. "Pergilah dari sini sebelum putriku bangun, aku jamin ia tidak akan tahu jika kau datang untuk melihatnya. Aku tidak ingin dia berharap apa pun darimu."
Xaviera, sejak awal ia memang tidak terlalu setuju dengan keinginan keluarga Peyton yang tiba-tiba merencanakan pertunangan putrinya dengan Beck. Tetapi, ia tidak bisa menentang karena ia dan Lucy, ibu Beck sangat dekat sejak mereka tinggal bersebelahan menjadi tetangga. Lucy juga sangat menyayangi Vanilla, memperlakukannya seolah putri mereka.
Sedangkan Vanilla, saat orang tua Beck melamarnya, putrinya itu tampak bahagia. Pendar di matanya berkilat-kilat seterang bintang-bintang. Ia tidak tega mematahkan kebahagiaan putrinya, ia tahu putrinya menyukai Beck karena faktanya hanya Beck, pemuda yang dekat dengannya. Dan semua yang Xaviera lakukan kepada Vanilla sekarang, ia mengubah penampilan Vanilla bukan untuk Beck. Wanita itu yakin, di luar sana ada pria baik yang bisa menghargai perasaan putrinya. Mencintai putrinya sebesar Vanilla mencintainya.
Seorang ibu selalu berharap yang terbaik untuk anaknya, apa lagi di dunia ini hanya Vanilla yang ia punya, satu-satunya peninggalan suaminya yang tidak ternilai harganya. Bagi Xaviera, kebahagiaan Vanilla adalah mutlak.
Xaviera diam-diam sering menangis menyaksikan Vanilla yang berusaha terlalu keras mendapatkan Beck yang sama sekali tidak peduli padanya. Xaviera juga tahu jika Beck memiliki kekasih yang sering ia bawa ke rumahnya satu tahun belakangan ini, tepatnya sejak kedua orang tua Beck lebih sering berada di Madrid.
ďżź
***
"Vanilla...."
Suara berat dan serak pria itu, Vanilla masih mengingatnya. Meskipun ia sedikit ragu-ragu. Ia menoleh ke arah sumber suara.
Nick, pria yang tadi malam mengobrol dengannya hingga nyaris pukul tiga pagi lalu mengantarkannya pulang itu berdiri di samping sebuah mobil sedan keluaran terbaru tidak jauh dari tempat Vanilla berdiri. Ia baru saja keluar dari toko rotinya, berniat untuk kembali ke rumahnya karena waktu telah menjelang sore.
"Nick?" Vanilla melangkah mendekati pria tampan itu. "Kau di sini?" tidak ada kecanggungan yang tampak dari sikap Vanilla meski di benaknya masih ada sedikit perasaan gugup.
Nick tersenyum. "Ibuku memintaku membelikan kue kesukaannya," ucapnya. Pria itu memegangi kantong belanja di tangan kirinya, senyum di bibirnya merekah sempurna.
Vanilla mengerjapkan kedua matanya. "Ibumu menyukai dari toko kami?" tanyanya.
Nick menyipitkan sebelah matanya kemudian ia mengamati kantong belanja di tangannya. "Gosh! Jadi, Vanilla Bakery ini milikmu?"
Vanilla menyeringai. "Ya Tuhan. Kukira kau tahu," katanya malu-malu.
"Aku menyukainya juga, keluarga kami semua menyukai," ucap Nick bersungguh-sungguh.
"Terima kasih," ucap Vanilla, gadis itu menggigit bibir bawahnya.
Sialan!
Nick merutuki cara Vanilla menggigit bibir bawahnya. Gadis itu sangat cantik, menggemaskan, dan sensual. Ia ingin menyeret Vanilla ke dalam pelukannya lalu menciuminya hingga lemas. Tadi malam karena terlalu lama bersama Vanilla ia menjadi sangat bergairah dan tidak bisa lagi berpikir jernih, ia memanggil salah satu teman kencannya untuk menuntaskan hasratnya sambil berfantasi membayangkan Vanilla di bawah kuasanya.
Nick berdehem. "Bagaimana jika kita pergi minum kopi?" Nick membuka pintu mobilnya. "Maksudku, sebentar saja sebelum kau kembali ke rumahmu."
"Bagaimana kuemu?"
Nick meletakkan kantong belanja yang belanja yang berisi kue pesanan ibunya di atas jok belakang mobilnya dengan hati-hati. "Tidak masalah, ibuku bisa menunggu, di mana cafe terdekat di sini?" tanya ya sambil kembali menutup pintu mobilnya.
Pendar di mata Vanilla tampak berkilat. "Aku punya ide."
Gadis itu memberikan kode kepada Nick untuk mengikutinya, ia melangkah menuju ke dalam toko kuenya. Tetapi, mereka melawati pintu belakang. Vanilla membawa Nick berjalan ke arah bangunan yang sedang dalam tahap persiapan pembukaan restoran miliknya. Mereka tiba di dapur yang nantinya akan menjadi dapur utama restoran.
"Kuharap, kau tidak keberatan karena kita berada di dapur," ujar Vanilla. "Duduklah, Nick."
"Tidak masalah di mana pun," ujar Nick.
Vanilla mengikat rambutnya, ia juga mengambil satu celemek bersih dan memasangnya ke tubuhnya. "Katakan padaku kopi apa yang kau suka?"
Nick duduk di kursi yang berada di depan meja pantri, matanya mengamati keseluruhan ruangan dan berakhir kepada gadis cantik yang sedang mengikat celemeknya. "Kau akan membuka restoran?"
Vanilla menarik sebuah laci, gadis itu mengeluarkan beberapa buah cangkir. "Awalnya hanya sebuah cafe untuk meminum kopi dan menikmati kue dan es krim."
Nick tampak serius mengamati seluruh gerak-gerik Vanilla, menatap gadis itu dengan penuh kekaguman. "Ide bagus."
"Tapi, aku merasa jika hanya cafe saja sepertinya kurang menguntungkan karena toko ini lumayan besar," ujar Vanilla sambil meraih sebuah stoples berisi kopi. Gadis itu membaca tulisan di stoples itu memastikan ia tidak salah mengambil kopi. "Aku telah menyusun konsep cafe sekaligus restoran."
"Kedengarannya sangat menjanjikan," ucap Nick, pria itu melepas jas yang membalut tubuhnya, meletakkannya dengan hati-hati di atas sandaran kursi kosong.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," protes Vanilla sambil sekilas ia menatap Nick yang sedang menggulung lengan kemejanya.
"Aku ingin menikmati kopi buatanmu, apa saja tidak masalah."
Vanilla tersenyum lebar, berusaha melupakan tubuh pria yang berada tidak jauh darinya. Vanilla yakin, tubuh Nick terpahat sempurna di balik kemeja itu. "Baiklah, kau adalah pelanggan pertama kami. Aku akan menyiapkan kopi terbaik dari restoran ini dan juga... tentunya gratis."
Bersambung....
Panjang banget chapternya... Wkwkwk
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate.
Salam manis dari Cherry yang manis.
đ
Chapter 8Your Name"Maaf, aku membuatmu menunggu terlalu lama." Nick menarik sebuah kursi pantri, melepaskan jasnya lalu meletakannya dengan benar di sandaran kursi."Tidak masalah," ujar Vanilla. Senyum tampak di bibir manisnya. "Satu-satunya yang harus kau khawatirkan adalah gula darahmu.""Mereka baik-baik saja." Nick berdiri di samping Vanilla, ia mengamati hidangan yang telah disiapkan oleh gadis itu. "Aku sepertinya mulai ketergantungan dengan masakanmu."Vanilla terkekeh mendengar pernyataan Nick, sudah dua Minggu setiap hari pria itu datang ke dapur restorannya sepulang bekerja untuk me
Chapter 9 Trick"Ma, kau tidak bisa berbuat sewenang-wenang seperti itu." Beck langsung melayangkan protesnya.Lucy tersenyum dengan cara yang sangat angkuh. "Apa yang tidak bisa kulakukan? Perusahaan ini milikku."Beck mendengus, ia kehabisan kata-kata karena fakta ya memang perusahaan itu milik ibunya."Sayang, tunggulah di luar," kata Beck kepada Sophie.Sophie mengangguk lemah dan dengan wajah tertunduk ia meninggalkan ruangan itu diiringi tatapan sinis dari Lucy."Mulai Senin, Vanilla yang akan menjadi sekretarismu," ujar Lucy, terde
Chapter 10Too CloseVanilla menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Nick, menumpahkan semua rasa sakit yang diciptakan oleh Beck. Beck baru saja menuduhnya ingin memisahkan dari Sophie, bahkan dengan sombongnya Beck mengatakan membatalkan pertunangan mereka."Kau pikir kau akan bisa merebutku dari Sophie dengan cara mengambil posisinya di perusahaan?" Beck dengan sinisnya melontarkan ejekannya kepada Vanilla. Vanilla yang saat itu masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Beck hanya mampu mendengarkan ucapan-ucapan Beck yang terus menyudutkannya. "Jangan
Chapter 11In My ArmsSuasana tampak lengang, hanya suara kertas yang di bolak balik sesekali terdengar memecah keheningan."Ma, ayolah... bantu aku berpikir." Sophie merengek kepada wanita di depannya yang sedang membolak-balik tabloid."Sejak dulu sudah kukatakan jika Beck itu tidak baik untukmu, aku berulang kali mengenalkan anak-anak klienku yang jauh lebih kaya. Tapi, kau dibutakan cinta.""Kau mengenalkan aku pada pria tua," sungut Sophie."Hanya lebih tua beberapa tahun, bukan masalah. Yang penting uang mereka banyak." N
Chapter 12Wild KissingDi dalam bangunan yang terbuat dari kaca, Vanilla memekik, tubuhnya bergetar hebat, ia nyaris tidak bisa bernapas dengan benar. Kedua pahanya melingkar di antara pinggang Nick, ia mengalungkan lengannya di leher Nick sementara wajahnya berada di antara ceruk leher pria itu. Seumur hidupnya yang ia ingat, ia hanya pernah melihat harimau di televisi. Mungkin pernah melihat di kebun binatang ketika ia masih kecil, yang jelas ia tidak mengingatnya.Kucing yang Nick maksud adalah lima ekor harimau besar, sangat besar seperti seekor sapi hanya saja tingginya tidak setinggi sapi. Harimau itu terdiri dari tiga e
Chapter 13ConfusedVanilla baru saja memasuki ruang makan dan tertegun mendapati siapa yang ada di sana. Nick, pria itu duduk di kursi makan sedang menikmati sarapan di rumahnya bersama Xaviera."Nick...." Vanilla justru seolah mengerang memanggil nama pria itu."Sayang, selamat pagi. Ayo, kemarilah," ucap Xaviera, wanita itu sedang menuangkan susu ke dalam gelas.Sementara Nick, pria itu hanya menyeringai. Tetapi, tatapan matanya menatap Vanilla lembut, penuh kerinduan seolah-olah telah bertahun-tahun tidak melihat gadis itu.
Chapter 14An Idol"Jangan katakan kau memerlukan pelepasan sepagi ini, Nick." Charlotte yang berdiri di belakang nick mengecup bibir Nick yang sedang duduk menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.Charlotte, ia adalah sahabat Nick sejak kecil. Sama seperti Beck dan Vanilla. Tetapi, hubungan mereka lebih santai, Nick mencari Charlotte saat ia memerlukan pelampiasan mendesak. Begitu juga Charlotte, ia tidak keberatan bagaimanapun cara Nick memperlakukannya. Mereka berdua bebas, Nick bebas berkencan dengan gadis lain begitu juga Charlotte yang bebas berkencan dengan pria lain."Tidak, aku hanya perlu kau mendengarkan masalahku," ujar Nick. "Sialan,
Chapter 15My Darl
Epilogue
Chapter 57
Chapter 56
Chapter 55
Chapter 54
Chapter 53
Chapter 52
Chapter 51
Chapter 50I ApologiesVanilla menikmati paginya dengan menatap wajah tampan Nick yang tersaji di depannya, pria itu tampaknya masih dibuai mimpi. Ia mengulurkan tangannya, jemarinya menyentuh alis tebal Nick, senyum bahagia mengembang di bibir indah Vanilla. Pemuda yang dulu ia kagumi di sekolah menengah atas kini menjadi miliknya, berada di atas ranjangnya, menjadi calon suaminya, dan mereka juga akan segera memiliki buah hati. Masih seperti mimpi. Terlepas dari segala konflik keluarga, kehadiran Nick bagi Vanilla memang seperti mimpi. Seperti seorang gadis biasa yang mendapatkan seorang pangeran berkuda putih di dalam dongeng anak-anak. Jemari Vanilla turun menyentuh sudut bibir Nick, matanya menatap bibir kenyal itu seolah ia sedang mendamba. Perlahan ia mendekatkan bibirnya dan men