Lengkap sudah penderitaan Eleana. Seperti ditusuk sebilah pedang lalu dihantam palu godam, hati Eleana begitu hancur. Mengingat bagaimana ia menata serpihan itu kembali menjadi utuh, lalu Mikael memberinya kejutan baru yang mampu membuat serpihan itu kembali berserakan.
Jika saja Mikael mengatakannya sendiri dan menjelaskan apa yang terjadi, mungkin Eleana tidak akan segila ini mencoba mencari tahu. Lebih baik tahu sendiri dari Mikael dari pada dari orang lain yang terasa lebih menyakitkan.
Eleana meringis, merasa bayi di dalam perutnya menendang tepat pada ulu hati. Sampai ia tidak sadar Mikael sedari tadi berdiri menatapnya dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana.
“Sampai kapan kau akan seperti ini?”
Eleana melirik Mikael sekilas.
“Perutmu keram bukan? Kau bisa menyakiti bayi kita jika terus seperti ini.” Mikael berjongkok, mengusap perut besar Eleana yang terbalut pakaian tidur.
“Biarkan saja.”
Semenjak Eleana keluar dari rumah sakit, Mikael menghilang. Lelaki itu benar-benar menepati janjinya untuk tidak muncul di hadapan Eleana lagi. Jujur. Hati Eleana sangat sakit, ia belum bisa menerima kepergian orang tuanya yang sangat mendadak itu. Apalagi Eleana baru mengetahui peristiwa naas itu setelah lama terjadi. Eleana juga tidak bisa bertemu kedua orang tuanya untuk yang terakhir kali. Rasanya tidak adil. Dia belum memberi mereka salam perpisahan, atau bahkan memperkenalkan buah hatinya sebagai cucu mereka. Eleana sangat menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain mendoakan mereka agar tenang di atas sana. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan Daddy dan Mom, Eleana hanya bisa mengenang mereka melalui album foto yang ia temukan di apartemen lamanya. Apartemen yang ternyata sudah dibeli oleh Mikael dan semua barang di dalamnya masih utuh, tidak berubah.
Meeting berjalan dengan lancar, Mikael yang memimpin langsung dan menandatangani kontrak baru yang sudah cocok dengan prosedur perusahaan miliknya. Mikael berjalan menuju ruang kerjanya bersama Lucas yang selalu menemani ke mana pun atasannya pergi. Sampai di ruangan, Lucas memberikan sebuah amplop coklat yang isinya adalah bukti-bukti penting yang kemarin diminta oleh Mikael. “Dia sudah menunggu sejak tadi, Tuan,” bisik Lucas. Mikael menutup berkas di tangannya dan memasukkan beberapa lembar foto ke amplop coklat kembali, lalu ia melepas jas dan mengisyaratkan Lucas untuk memanggil seseorang yang dimaksud. Tidak perlu menunggu lama, Mikael sendiri juga sudah tidak sabar. Wanita separuh baya, yang Mikael yakini usianya tidak terpaut jauh dari usia Mom Isabelle. Wanita itu berjalan masuk dan duduk di depan Mikael. Dari gerak-geriknya ia terlihat sangat gelisah. “Langsung saja Nyonya,” ucap Mikael, ia bukan lelaki yang suka basa-basi. Lebih cepa
Eleana mengikuti interupsi dokter, ia mengejan setiap kontraksi datang. Terkadang ia berteriak kesakitan sambil memeluk Mikael lebih erat. Kakinya gemetar menumpu berat tubuh dengan posisinya yang terduduk dengan kaki mengangkang lebar.Setengah jam lamanya, Eleana mengejan hingga kepala bayinya terlihat di bawah sana. Air mata terus mengalir membasahi pipi Eleana, ia sudah lemah dan tidak kuat dengan rasa sakit yang masih menghunjam perut bawah dan panggul.“Ayo, mengejan Nona,” ucap Dokter memberi semangat.Eleana melanjutkan mengejan dengan Mikael yang tidak pernah melepaskan tautan tangan mereka. Sesekali, lelaki itu menghujani wajah Eleana dengan kecupan, memberi semangat dengan kata-kata yang bisa ia lontarkan.Eleana istirahat sejenak lalu mulai melanjutkan mengejan lagi. Kali ini rasa sakitnya bertambah dua kali lipat.“Ayo Nona, sedikit lagi. Jangan berhenti mengejan!”Dorongan terakhir dan tangisan bay
“Jangan bergerak!” Pistol di tangan Izrael terjatuh begitu saja ke lantai, tangannya bergetar hebat setelah melihat tubuh Mikael meluruh di lantai dan tidak bergerak. Ia pasrah saja, saat dua orang polisi menangkapnya. Keadaan menjadi semakin kalut, setelah tubuh Mikael dibawa menuju mobil ambulans. Tuan Abraham muncul dengan tiba-tiba, melangkah perlahan menuju Izrael dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Izrael seperti orang linglung, ia tidak bisa berpikir atau menyikapi kejadian yang begitu cepat terjadi. Ia tidak sengaja menarik pelatuk itu, ia tidak sengaja menembak Mikael. Seharusnya, tidak seperti ini. Izrael hanya ingin memberi pelajaran Mikael, bukan menyakitinya sampai seperti ini. Abraham menampar keras Izrael sampai kepala lelaki itu terpelanting ke samping. “Anak tidak tahu diuntung!” bentak Abraham murka. “Dad tidak pernah mengajarkan kalian seperti ini. Jika kau tidak terima dengan keputusanku dulu, seharusnya kau katakan s
Hari ketiga, bayi mungil Eleana dan Mikael tiba-tiba saja demam tinggi dan harus ditempatkan dalam inkubator. Isabelle sampai tak kuasa melihat bayi mungil itu di sana, ia berharap semoga saja ada keajaiban dari kedua orang tuanya hari ini. Sampai pada akhirnya, seorang perawat menghampiri Isabelle dan mengatakan bahwa ada kabar baik dari ruangan Eleana. Ya, wanita itu akhirnya terbangun meski keadaannya masih begitu lemas. Eleana masih harus diperiksa lebih lanjut saat Isabelle sampai di ruangannya. “Bagaimana keadaannya Dokter?” “Keadaannya sudah membaik Nyonya Isabelle, tidak perlu khawatir. Cucu anda akan mendapatkan asi eksklusif pertamanya setelah ini.” Dokter tersenyum. Isabelle dapat bernapas lega sekarang. Ia dengan cepat melangkah masuk ke dalam ruangan Eleana. Bertemu menantu kesayangannya yang terdiam menatap langit-langit kamar. “Menantuku, kau baik-baik saja?” “Mom ....” Eleana memeluk Isabelle. Ia terseny
Sepanjang malam, Eleana mengurus bayi mungilnya dengan penuh kasih sayang. Biasanya, bayi mungil yang belum diberi nama itu akan terjaga sepanjang malam dan tidur di siang hari. Setelah kepulangannya dua hari yang lalu dari rumah sakit, Eleana berusaha untuk fokus pada putra kecilnya bersama Mikael. Ia juga berusaha untuk tetap menahan diri untuk tidak menanyakan kondisi Mikael. Suaminya itu, sekarang berada di Perancis untuk diberikan penanganan khusus karena kondisi terakhir Mikael yang menurun drastis. Dokter mengatakan jika masih ada satu peluru yang tersangkut di bahu lelaki itu. Kabar terakhir yang Eleana tangkap satu hari yang lalu, kondisi Mikael stabil saat ini. Eleana mencoba bersikap biasa saja, menganggap Mikael sedang melakukan perjalanan bisnis dan ia yang menjaga putra mereka sampai kepulangan Mikael. Meski dalam hati kecil Eleana ia sering memikirkan bagaimana keadaan Mikael dan apa dia baik-baik saja. “Kau lapar lagi, Baby?” B
Pagi hari, Eleana disibukkan dengan menggendong bayi mungilnya yang sejak semalam demam. Putranya terus menangis meski Eleana sudah membawanya mengelilingi rumah besar keluarga Mikael. “Mom harus bagaimana, sayang?” Eleana menepuk-nepuk paha putranya yang masih terus menangis. “Ana, panasnya sudah turun?” tanya Mom yang baru saja selesai mandi. “Belum, Mom.” “Mau ke dokter bersama Mom?” “Sebentar lagi, Mom. Aku belum mandi.” Isabelle mengusap rambut lebat cucu kecilnya. Memperhatikan bagaimana bibir mungil itu bergerak menghisap asi sang Ibu dengan lahap. Mungkin haus sedari tadi menangis. Usianya sudah seminggu, tidak terasa Eleana benar-benar menjadi Ibu. Bertaruh nyawa untuk melahirkan bayi tampan dan menggemaskan ini. Tapi, Eleana bahagia dia lahir dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. “Mom, dia sudah tidur,” ucap Eleana, mengecup puncak kepala putranya. “Biar kugendong, kau cepatlah mandi da
Ini adalah kali pertama, Eleana dan Mikael akan pergi berdua setelah berbagai masalah muncul dalam rumah tangga mereka. Hari ini, Mikael membawa Eleana untuk bertemu seseorang.“Sudah belum?”Mikael menunggu dengan bosan. Eleana sedang mengeluarkan asi dalam botol kecil untuk stok saat nanti Kevin rewel. Rencananya mereka tidak akan membawa Kevin pergi karena usianya masih terlalu kecil. Eleana takut ia akan pulang lama dan Kevin rewel bersama Mom Isabelle, makanya ia menyetok banyak asi untuk sang bayi.“Mau kubantu?” tawar Mikael.“Tidak.”Eleana tahu sekali, Mikael tidak akan hanya membantunya mengeluarkan asi. Dengan kesal, Eleana mencubit lengan Mikael lagi. Menyuruh lelaki itu keluar dari kamar agar ia juga cepat selesai. Jika ada Mikael, Eleana jadi agak malu.Lima belas menit kemudian, Eleana menuruni tangga dan menemukan Mikael justru tertidur di sofa ruang tamu. Ia duduk di sebelah suaminya yang
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae