Dengan langkah pelan, Amanda yang digandeng oleh Max pun berjalan menuju Gedung Konsulat Jendral Indonesia. Ia tak mau menoleh ke belakang, dimana mobil Kairo bersama dua orang bawahannya masih berada, menunggunya hingga benar-benar memasuki area gedung yang cukup aman. Walaupun sesungguhnya ingin sekali ia memutar kepala hanya untuk menatap wajah tampan itu sekali lagi. Karena setelah ini, Amanda tidak yakin akan bisa bertemu kembali dengan lelaki yang memiliki netra bagai awan badai kelabu itu lagi, meskipun Kairo berjanji akan mendapatkan cara untuk bertemu dengannya. Sekuat tenaga Amanda pun menahan isakan tangis yang membuat tenggorokannya terasa tercekat dan sakit. Ini aneh, dan juga bodoh. Tak seharusnya Amanda menangis, kan? Untuk apa dan mengapa dia menangis? Apa karena berpisah dengan Kairo?? Gilaa!!!! Seharusnya ia malah bersyukur telah lepas dari lelaki yang menyekapnya di dalam yacht, dan membuatnya hampir mati di tangan kapten Henry dan para sniper! Am
Amanda keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih setengah basah. Wanita itu hanya mengenakan jubah putih dan handuk yang membungkus rambutnya membentuk turban di atas kepala.Amanda tersenyum dengan menghela napas pelan, melihat Max yang masih terlelap pulas di ranjang. Dia pasti kelelahan, dengan semua luka di tubuhnya itu serta permainan panasnya tadi bersama Amanda. Lelaki memang kalau sudah terbakar gairah benar-benar tidak mempedulikan apa pun. Tadi saja Amanda sampai ketakutan jika jahitan pada luka Max akan terlepas, namun si penderitanya sendiri seakan tak peduli dan terus saja bergerak dengan liar menyetubuhinya.Amanda lalu bergerak mendekati Max, dan diam-diam memeriksa semua lukanya dengan teliti dan hati-hati. 'Syukurlah, tak ada luka jahitan yang terbuka,' desahnya dalam hati dengan perasaan yang sangat lega.Kaki jenjang itu pun melangkah dari ranjang menuju meja rias. Amanda memutuskan untuk mengeringkan rambutnya yang panjang hanya menggunakan handuk saja,
Amanda sedang asik berkutat di dapur untuk memasak makan siang sambil menonton televisi, sementara Max sedang menerima telepon penting. Kedutaan benar-benar memfasilitasi warganya yang berada di rumah perlindungan saksi dengan suplai bahan makanan mentah, karena mereka tidak diperkenankan untuk memesan makanan jadi dengan alasan faktor keamanan dan keselamatan. Biasanya Amanda memasak berdua bersama Max, karena jujur saja lelaki itu jauh lebih piawai memasak dibandingkan Amanda. Namun sejak setengah jam yang lalu, Max mendapatkan telepon dari Kedutaan Amerika, sehingga Amanda berinisiatif untuk memasak sendirian karena sebentar lagi masuk jam makan siang. Karena kemampuannya yang terbatas, Amanda pun hanya memasak makanan simpel : macaroni and cheese, brokoli rebus, serta apricot granola. Ketika makanan sudah siap, ia pun merapikan meja dan menaruh semuanya di sana. Amanda melirik Max yang masih sibuk bertelepon di ruang tamu, lalu ia pun memutuskan untuk menunggu kekasihnya itu
Amanda memasuki mobilnya dengan tangan yang gemetar dan perasaan yang kacau balau. Dengan hati yang terasa berat, ia pun menghempaskan bokongnya di atas kursi pengemudi. Jemarinya mencengkram setirnya erat-erat, dengan kening yang juga bersandar di sana. Berulang kali ia menarik napas untuk meredakan debaran jantungnya yang berdentam dengan liar tak terkendali. Sam sialan! Lelaki itu telah membuat semua usahanya selama ini untuk melupakan Kairo pun menjadi goyah, dan kembali mengingat lelaki itu!! Amanda mendesah pelan. Satu tangannya refleks terulur ke dalam saku jeans untuk menarik secarik kertas yang tersimpan di sana, lalu membaca kalimat yang ditulis dengan tangan itu. ~Stasiun Milano Centrale, pukul 7 malam ini, kereta 8024. Be there, Nona Amanda~ "Aaaahh!!" Amanda pun menjerit frustasi. Kenapa debaran jantungnya semakin menggila ketika membacanya??! Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Dia sudah berjanji pada Max untuk bersama-sama berangkat ke Washington beberapa min
"KAIRO..." Netra zamrud itu terlihat berkilau karena cairan bening yang membasahinya. Amanda menatap Kairo seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia terlalu lama tidak bertemu lelaki bersurai pekat ini, hingga membuat satu sudut hatinya yang beku kini mulai menghangat.Sosok yang ada di hadapannya itu terlalu tampan dan sempurna, namun sekaligus juga terlihat sangat berbahaya. Kairo memiliki garis wajah aristokrat dengan hidung yang sangat mancung, bibir tipis namun panjang dengan sudut-sudutnya yang selalu melekuk ke atas, mata berbentuk almond dengan iris kelabu bagai awan badai yang dinaungi sepasang alis tebal dan sepekat rambutnya.Garis rahang yang tegas berbentuk L membuat penampilannya semakin terlihat maskulin, meskipun ia memiliki kulit yang termasuk kategori putih tapi tidak seputih Sam ajudannya yang berasal dari keturunan negara tirai bambu.Wajahnya yang terlalu memikat itu seakan menyembunyikan pribadi yang 'nakal', bagaikan malaikat pembangkang yang baru saj
Amanda menjerit lirih dengan suaranya yang mulai serak karena terlalu sering menjerit. Sudah hampir tiga jam Kairo membuatnya tak berkutik di ranjang yang mulai tak berbentuk, sejak Kairo mulai menyetubuhi gadis itu dengan ganas."Kairo..." desahnya dengan napas yang terputus-putus, setelah pelepasannya yang tak terhitung sudah keberapa kalinya. Namun lelaki yang dipanggil itu tidak mengindahkan permohonan wanitanya yang sudah terkulai lemas itu. Lidah Kairo masih asik bergerilya di bagian hangat inti tubuh Amanda, menyapu, menjilat dan menghisap hingga rasanya jiwa wanita itu pun ikut tersedot dalam gelombang arusnya yang meluluhlantakkan jiwa.Sekali lagi Amanda menjerit. Tubuh indah bersimbah peluh itu pun menegang kaku, sebelum kembali lemas dan gemetar.Kairo pun mengamati wanitanya dengan tatapan memuja. Semua yang ada pada Amanda begitu indah, bagai mahakarya langka yang hanya ada satu di dunia. Dan lelaki itu merasa sangat beruntung karena sosok secantik ini kini berada di
"Kenalkan, namaku adalah Madam Ivonne, pemimpin Cielo Nostra. Dan aku... juga ibu dari Amanda Almira, Mr. Webster." *** Skenario terbaik yang terpikirkan oleh Max atas kemiripan sosok di hadapannya ini dengan Amanda, memang tidak jauh melenceng dari pernyataan Madam Ivonne. Max sudah menebak kalau wanita ini kemungkinan adalah ibu dari Amanda, meskipun di profile pribadi Amanda yang tersimpan dalam dokumen The Golden Badges, menyatakan kalau Amanda tidak memiliki seorang ibu sejak usianya lima tahun, karena wanita yang melahirkannya itu telah meninggal disebabkan kecelakaan lalu lintas. Dan kini, 21 tahun kemudian wanita itu tiba-tiba muncul kembali dari kematian, serta menjadi pimpinan organisasi mafia berbahaya Cielo Nostra?? Ivonne tertawa tanpa suara melihat Max yang masih terdiam. Sekarang ia yakin kalau lelaki muda yang menawan di hadapannya ini tidak akan menyerangnya, meskipun ikatan yang membelenggunya telah dilepaskan. Max pasti sangat penasaran pada dirinya. Lalu
Pagi hari yang agak mendung menyapa di kereta ekspress tujuan Athena, Yunani. Perlahan Amanda membuka kelopak matanya yang terasa amat berat. Meskipun tubuhnya masih serasa remuk karena kelelahan melayani birahi Kairo yang nyaris semalaman tak henti-henti bercinta dengannya, namun perasaannya sangat bahagia. Rasanya seperti jiwanya kini telah bebas. Senyum pun merekah di bibir merah muda tanpa perona itu, ketika menyadari kalau dirinya berada di dalam dekapan tubuh hangat yang menguarkan aroma maskulin yang sangat ia sukai. Aroma Kairo. Perlahan, Amanda pun berusaha untuk bergerak melepaskan pelukan erat Kairo untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Pada saat akhirnya ia berhasil membebaskan diri, Amanda pun meraih kemeja Kairo yang tergeletak di lantai dan mengenakannya untuk menutupi tubuh polosnya. Amanda hanya bisa mendesah pasrah melihat kondisi semua pakaiannya yang terlihat mengenaskan, tak berbentuk dan robek di sana-sini akibat keberingasan lelaki yang sudah mengk
"Monica??""Amanda??"Luca dan Kairo sama-sama menyebut nama dua orang wanita, yang sedang mengarahkan senjata mereka ke dua buah sasaran berupa papan bidik berbentuk bundar dengan pola-pola melingkar.Papan bidik itu terletak sekitar sepuluh meter di depan mereka.Namun kedua wanita itu sepertinya terlalu fokus, hingga sama sekali tak mendengar kalau namanya dipanggil. Beberapa orang penjaga yang terlihat berdiri mengawasi, segera membungkukkan badan penuh hormat kepada Luca dan Kairo yang baru saja datang.Kembali, suara tembakan terdengar menggelegar sebanyak dua kali, lalu setelahnya kedua wanita itu pun sama-sama menurunkan senjatanya."Apa yang kalian lakukan?!" Suara Luca yang terdengar sangat lantang membuat Amanda dan Monica sontak menoleh. Monica tersenyum tipis. "Kami cuma latihan, Papa." Wanita bersurai pirang itu pun memberikan hand gun miliknya kepada pengawalnya.Kairo bergerak cepat mendekati Amanda. "Kenapa latihan menembak malam-malam begini?" Tanyanya heran. Satu
Ketika Kairo dan Amanda turun ke lantai satu untuk memenuhi undangan makan malam dari Luca, lengan Kairo sama sekali tak lepas memeluk pinggang ramping kekasihnya.Sesampainya di meja makan panjang yang mewah itu, ayah angkat dan juga adik angkat Kairo ternyata sudah berada di sana menunggu mereka."Kairo! Senang melihatmu lagi, Nak!"Seorang pria elegan berusia lima puluhan menyapanya sambil tersenyum dari tempatnya duduk, sebuah kursi makan tinggi dengan ukiran rumit di bagian pinggirnya, bagaikan kursi kebesaran seorang raja."Selamat malam, Signore Luca," sapa Kairo penuh hormat, lalu ia menatap Monica yang duduk di sampng ayahnya. "Halo, Monica."Wanita yang mengenakan gaun hitam berlengan pendek dengan belahan dada rendah itu tersenyum manis kepada Kairo. "Halo juga, Kairo," sapa Monica dengan suara renyah. Ia hanya melirik sekilas ke arah Amanda dan tersenyum hambar. "Signore, perkenalkan wanita ini adalah kekasihku, Amanda." Kairo kemudian memperkenalkan Amanda.Luca menata
"Aaaa~" Jeritan manis dari bibir manis itu berulang kali terdengar menghiasi peraduan panas di kamar yang luas itu. Tak terhitung berapa kali Kairo menjadikan tubuh Amanda sebagai pemuas birahinya yang seakan tiada ujungnya, sekaligus juga untuk memberikan kepuasan kepada kekasihnya itu. Namun di saat Kairo mengira bahwa pada akhirnya ia telah terpuaskan, saat itu juga hasratnya kembali bergelora. Ia tak habis pikir kenapa hanya dengan melihat sosok Amanda yang terbaring dengan tubuh polos dipenuhi kilau peluh, seketika seluruh tubuhnya pun kembali memanas dipenuhi gairah yang meronta-ronta minta dilepaskan.Kekasihnya ini memang sangat seksi, tak akan ada bantahan soal itu. Namun ada sesuatu di dalam diri Kairo yang terus-menerus menginginkan Amanda--terus ingin memandangi wajah cantik yang merona jingga ketika terseret gairah, mata hijau yang sayu serta rintihan mendayu yang membuat darah Kairo semakin terasa panas. Ia ingin terus bergerak bagai kuda jantan yang liar di atas, d
"Setelah bertemu dengan Luca, kita langsung ke kamar saja. Aku tidak akan membiarkan kekasihku yang cantik ini turun dari ranjang lagi selamanya!" Tegas Kairo sambil menggeram di bibir Amanda dan melumatnya penuh gairah.Amanda sedikit kelabakan menerima serangan bibir Kairo yang menerjangnya dengan tiba-tiba bagaikan terpaan angin badai, tak membiarkan dirinya bersiap-siap terlebih dahulu.Desah lembut yang tak sengaja lolos dari bibir merah muda Amanda membuat Kairo semakin bersemangat. Lelaki itu pun mulai mendesak kekasihnya di dinding, dengan sengaja menghimpit tubuhnya hingga Amanda tidak akan mampu berkutik.Kairo membawa kedua tangan Amanda dan mengalungkan di lehernya, dan menggeram puas tatkala Amanda membenamkan jemarinya di dalam kelebatan rambut pirang tembaga lelaki itu. Kairo pun langsung menyambar pinggang ramping Amanda dan semakin merapatkan tubuh mereka, tak membiarkan jarak sedikit pun berada di antara mereka. Bahkan angin saja tak mampu melewati kedua tubuh yan
Amanda merinding ketika ia telah berada sangat tinggi dari atas tanah, bergelantungan bersama dengan Kairo di tangga tali yang terjulur dari dalam helikopter. Rasa cemas dan takut akan terlempar ke bawah membuatnya sedikit gentar.Namun perasaan itu pun seketika luntur, ketika tubuh besar Kairo pindah dan mengurung punggungnya dari belakang untuk memberikan kehangatan dan rasa aman yang tak dapat dijelaskan."Dingin?" Bisik lelaki itu di telinga Amanda. Napas Kairo yang hangat berhembus menerpa kulit leher Amanda.Amanda tersenyum dan menoleh, menatap netra Kairo yang dilapisi lensa kontak biru. "Sudah tidak lagi."Kairo pun mengeratkan dekapannya sambil mengendus-endus rambut Amanda yang terbang berhamburan terkena angin. "Sebentar lagi sampai, Sayang. Maaf kalau jemputannya tidak sesuai harapan.""Hm. Sesuai kok. Ini jemputan paling menyenangkan bagiku. Bisa menikmati pemandangan indah sambil dipeluk dengan erat," goda Amanda.Kairo terkekeh pelan. "Kamu suka pemandangannya?" Ama
"Keluar kau, pengecut! Hadapi aku!" Bentak balik Kairo yang kini terlihat sangat gusar. "Aku memintamu menjaga Amanda, bukan mengurung dan menjauhkannya dariku, brengsek!!" Desing suara peluru yang dimuntahkan senjata pun kembali terdengar. Kairo sepertinya sudah benar-benar geram dan gelap mata, hingga tanpa henti terus menembaki mobil mewah Max sebagai sasarannya, yang kini terlihat hancur mengenaskan. "Kairo!" Amanda berteriak memanggil kekasihnya, ketika melihat lelaki itu sepertinya sangat murka kepada Max. Amanda sebenarnya juga kesal dengan lelaki itu, namun ia tak ingin Kairo sampai menyakiti Max. "Berhenti! Kamu bisa mengenai Max!" teriak gadis itu lagi. Seketika Kairo pun menghentikan tembakannya, bagai anjing yang menuruti perintah tuannya. Sambil berdecih, ia menatap Amanda tanpa senyum. "Aku memang berharap salah satu peluru mengenainya, Sayang. Dia sudah benar-benar keterlaluan!" "Kairo, come on! Bukankah aku sudah menepati janji? Akulah yang merawat dan menj
Max mendorong perlahan kursi roda Amanda keluar dari ruangan VVIP menuju ke arah lift. Sepanjang perjalanan sejak mereka keluar dari kamar rawat, beberapa orang lelaki berjas hitam terlihat siaga dan berjaga.Max yang kini telah kembali resmi menjabat sebagai Pemimpin The Golden Badges cabang Milan, meminta pengawalan khusus untuk Amanda mengingat wanita itulah yang menghilangkan nyawa Ivonne Jessica Russel, pemimpin mafia Cielo Nostra. Keselamatan Amanda pun terancam, karena akan selalu ada kemungkinan para anggota mafia itu yang akan balas dendam kepadanya.Sesampainya di taman rumah sakit, Amanda memejamkan mata dan menghirup udara bebas dalam-dalam, membiarkan angin meniup lembut helai-helai rambut coklatnya.Aneka warna bunga yang bermekaran di taman pun seketika menjadi mood booster bagi Amanda.Seulas senyum kecil terlukis di bibirnya ketika mengamati bunga Peony merah rose dan kuning terang yang cantik."Kamu suka Peony?" Tanya Max ketika melihat tatapan tak putus Amanda ke
Saat Amanda kembali membuka kedua matanya, pertama kali yang ia sadari bahwa dirinya tengah berada di tempat yang tidak ia kenal. Apa dia masih berada di pantai aneh itu?Sepertinya tidak... karena untuk kali ini semuanya terasa begitu nyata, sangat berbeda dengan sebelumnya.Aroma khas rumah sakit menguar dan terhendus di hidung Amanda, membuatnya yakin kalau dirinya sedang terbaring di atas brankar."Amanda, kamu sudah sadar?"Suara seorang lelaki menyapanya lembut, membuat kepala bersurai coklat itu pun menoleh untuk melihatnya."Max??" Amanda mengernyit dan bertanya dengan suara yang serak. Dengan susah payah, ia pun menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Aku... dimana?" Max berjalan mendekatinya sambil tersenyum. "Kamu di rumah sakit. Sudah seminggu kamu mengalami koma, Amanda. Dan baru lima jam yang lalu akhirnya kondisi semua alat vitalmu mulai membaik sebelum kamu pun mulai sadar."Lelaki itu menuangkan air dari teko kaca ke dalam gelas, lalu memb
Kedua kelopak mata itu pun mulai terpisah secara perlahan, saat wanita itu merasakan air membasahi bagian bawah tubuhnya yang rebah di atas pasir empuk yang lembab.Tunggu dulu.Pasir??Serta-merta netra hijau zamrud itu pun membelalak lebar, tatkala baru menyadari dimanakah dirinya kini berada.Dengan gamang, wanita itu pun beranjak duduk. Pertama-tama sekali ia memandangi kedua tangan dan membolak-balikkan telapaknya dengan heran.Hei, jadi dia... tidak meninggal??Lalu ia pun mengalihkan wajah untuk mengamati sekitarnya. Manik bening itu pun membola menatap lautan lepas di sampingnya, dengan mentari yang bersinar cerah serta awan biru sebagai cakrawalanya.Ia benar-benar tidak ingat bagaimana bisa ia berada di pantai yang indah ini, dan tertidur di atas pasirnya.Apa yang terjadi?Suara tawa dan pekikan riang memutus lamunan wanita itu, membuatnya menoleh dan mencari sumber suara yang membuat jantungnya berdebar penuh antisipasi. Bukankah tawa itu terdengar familier?? Ia pun men