Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Lakukan yang sudah kamu ketahui," bisik Raymond mengusap kecil lengan Regina sebelum dia pergi meninggalkan istrinya itu sendiri di dalam kamar utama. Suara pintu tertutup lembut menerjang gendang telinga Regina, tertelanlah liur wanita itu, lalu menarik napas. Dia ..., meminta ini bukan karena dia penasaran dan mau, tapi lebih kearah ingin memberikan apa yang Raymond butuhkan. Memang suaminya tidak meminta, namun Regina tahu ini dibutuhkan. Memberi jauh lebih baik bukan? Sebagai istri yang tahu apa mau suaminya kenapa tidak? "Aku bisa," gumam Regina menyemangati diri sebelum mengambil langkah menuju ranjang sambil melepas piyama yang membungkus tubuhnya. Hal yang perlu dia lakukan sebelum Raymond masuk adalah melepas pakaian, mengepang rambut dan, berlutut di balik pintu untuk menyambut kedatangan pria itu. Well, Regina berjalan menuju ranjang guna meletakan piyamanya ke atas sana, tentu saja harus sudah terlipat dengan rapih dan cantik. Set
Awas Typo:) Happy Reading .... *** 'See you jam makan siang, Regina.' Senyum Regina tercetak cantik membaca pesan teks dari sang suami- Raymond yang selalu tidak pernah membangunkannya jika terlelap. 'Aku ada di rumah sakit jika kamu ingin tahu, bye the way.' "Dasar," gumam Regina menutup pesan, memilih membuka kontak dan menghubungi nomor Raymond. Ah jangan salah paham, itu pesan tadi pagi, sekitar pukul delapan pagi, sedang sekarang sudah pukul setengah sebelas pagi. Oh no-no, Regina bukan baru bangun, dia baru memegang ponsel, itu yang benar. Well, nyonya muda William itu baru memegang ponsel karena saat bangun dia langsung merapikan kamar, memasak dan mandi. Jika ada yang penasaran untuk apa Regina memasak, jelas untuk makan siang ia dan suaminya. Walau ada Sherly di sini, Regina tidak mau ketergantungan. "Hi, Husband," sapaan riang saat panggilan diterima. 'Ada apa?' tanya suara diseberang sana datar. "Sibuk, Sayang? Ganggu nggak?" bertanya dulu, Regina melangkah menuju
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina menghembuskan napas pelan, mencoba tenang dan tidak panik. Tenang, Maria tidak mungkin menyakitinya, dia tidak boleh takut, Maria baik. "Panggil dia ke sini, Sher," ujar Regina memerintah. "Baik, Miss, sebentar." Namun, jujur sejak mendengar kalimat Maria yang mengatakan bahwa wanita itu ..., hkm! Mencintainya, Regina tidak bisa tidak takut, apalagi Maria tipe yang mudah melukai diri hanya untuk mendapatkan perhatiannya, wajar Regina pusing bukan? Mengambil langkah menuju kursi di dekat kolam renang, angin berhembus pelan. Oke-oke, tenang, pokoknya tenang. Regina menyatukan kesepuluh jari, ia atur detak jantung yang tidak tenang. Satu ..., dua ..., detik bergerak, kecemasan Regina semakin menjadi, mana suaminya tidak di rumah lagi, sialan kenapa otak jadi Regina sejahat itu? Mohon maaf, posisikan diri kalian menjadi Regina, menganggap seseorang, sesama jenis sebagai sahabat karena merasa cocok, sefrekuensi, eh tahu-tahu ia justru diang
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Kedua kelopak terpejam Regina sudah terbuka sekitar sepuluh detik, wanita itu menatap suaminya yang masih fokus dengan ponsel sampai tidak sadar si istri sudah terbangun dari lelapnya pingsan. "Suamiku semakin tampan memakai jas dokter." Kepala Raymond menoleh cepat, menatap ke arah Regina yang pasang senyum lirih. "Hi, Handsome, sibuk banget sampai nggak sadar istri udah bangun dari mimpi indah hihi," cekikikan, pelan-pelan Regina membawa tubuh duduk. Raymond tidak menyahuti kalimat Regina, pria itu meletakan ponsel ke atas pahanya sendiri lalu bergerak membantu sang istri untuk duduk. "Ini jam berapa, Husband?" tanya Regina. "Tujuh malam." Kali ini Raymond menyahuti, menjawab sambil mengatur letak bantal kepala di belakang tubuh Regina agar bisa disandari oleh si istri. "Ha? Sumpah? Perasaan tadi masih jam sebelas deh, kamu bercanda ya?" Regina tidak percaya, menoleh ke arah jendela kamarnya, boom! Dia menemukan kegelapan, fix Raymond seriu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku tidak tahu marah dengan siapa, tapi aku sangat ingin marah." Regina diam, menunggu kalimat lanjutan dari pita suara suaminya. "Aku hanya tidak mau kamu kenapa-kenapa, Re, itu saja." Cup. Bibir Raymond jatuh lagi ke atas dahi Regina yang memejamkan mata, semakin merapatkan tubuh dengan tubuh suaminya. "I'm fine, Honey, i'm fine," bisik menenangkan. Tadi Regina sempat diceritakan oleh Sherly, siapa yang menyelamatkannya, siapa juga yang memeriksanya, sampai jam berapa Raymond pulang. Bagian terpenting untuk Regina adalah suaminya tidak bergerak dari kamar sejak masuk ke dalam sana, terus menunggu Regina membuka mata, sekhawatir itu Raymond, kata Sherly. "Aku khawatir, Regina, aku ingin marah besar jika kamu terus membantah." Namun ,dari tingkah laku suaminya dia percaya seratus persen akan kalimat Sherly. Kepala Regina mengangguk, dia paham. Dia sangat paham perasaan suaminya. "Tapi bukan marah denganmu." Iya, Regina sudah tahu. Ternya
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kenapa Kakak bisa di sini?!" "Kenapa tidak bisa?" Regina memeluk Julia setelah terkejut setengah mampus. "Oh my god, i miss you," bisiknya. Julia sendiri tersenyum kecil, melepas koper dan, membalas pelukan adiknya. "I miss you too, Adik nakal," bisiknya juga memejamkan mata, merasakan kehadiran Regina yang sangat ia rindukan. Untuk beberapa detik mereka saling memeluk, melepas rindu antar saudara perempuan yang sudah lama tidak bertemu. Kalau diwaktukan, mungkin sekitar tiga empat tahun mereka tidak bertemu, itu semua karena Julia sendiri, pergi tanpa penjelasan kepada Regina. "Kakak, kenapa ke sini? Ayah sama bunda tau?" tanya Regina mengakhiri adegan peluk memeluk. "Salah mau lihat adik sendiri? Ayah sama bunda belum tahu, Kakak di sini juga sebentar saja, ada kerjaan kemarin jadi deh sekalian," jawab Julia santai. Kepala Regina mengangguk paham. "Kalau begitu Kakakku yang cantik sarapan dulu, aku mau mengurus suami, dia akan berangkat
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Come, Dude, aku tidak akan mengganggu waktumu dan Regina, juga tidak akan membuat keributan, santai." "Pegang kalimatmu atau kau ketendang dari sini." Tepat pukul lima sore Raymond sudah pulang bekerja, pria itu sengaja menyelesaikan semua pekerjaannya secepat mungkin, ada satu hal yang ingin pria itu lakukan, sudah pasti berkaitan dengan Regina. Well, tanpa diundang Jefri pun ikut menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin, pria itu merengek ingin ke rumah Raymond, apalagi tujuannya? Yasudah pasti Julia lah. So, di sinilah dua pria tampan itu. Si psikiater tampan dan CEO sinting, melangkah memasuki rumah yang terasa sangat sepi. Cklek. Pintu kamar terbuka. "Loh, Abang udah pulang?" Itu Regina yang baru keluar dari kamar, si wanita mencepol rambut asal bersama kaos polos dan celana pendek. "Kok cepat banget, Sayang?" lanjut bertanya, Regina melangkah mendekati Raymond dan Jefri, dua pria itu duduk di sofa ruang menonton, satu membuka sepatu da
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kelemahan kamu dimenahan napas, kita fokus di sana terlebih dulu," ucap Raymond menahan tubuh Regina dengan cara memeluk pinggang istrinya itu, Regina sendiri memeluk leher Raymond, harus diingat dia tidak bisa menapak di lantai kolam. "Oke, tapi bertahap ya," pinta Regina sudah menarik oksigen, menabung sebelum harus masuk ke dalam air. "Sepuluh detik?" tanya Raymond menatap paras cantik istrinya, begitu cantik walau belum mandi. "No! Tiga detik." "Are you kidding me?" "Enggak, Abang, serius kok. Tiga detik dulu, baru lima, baru delapan, baru sepuluh," jawab Regina sangat terdengar bersemangat. "Lima, sepuluh, lima belas, dan seterusnya, oke?" tawar Raymond, "Hm ...." Regina berpikir, dia sedang menimbang apakah dia bisa? Tapi masa iya lima detik saja tidak bisa, anak SD saja tamat, yakali dia kalah. Oke fine! "Oke, tapi jangan lepas tubuh seksi ini, kalau dilepas aku marah," setuju dan mengancam, Regina memasang mimik sok seram yang jatu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Cklek. Raymond membuka pintu kamar mandi bertepatan dengan gerakan tangan istrinya yang duduk ke pinggir ranjang, memakai kaos super kebesaran milik Raymond sendiri. Mereka baru selesai, tepat pukul satu siang dan thanks tidak ada yang mengganggu. Gairah Raymond rasanya tidak habis kepada Regina, selalu berdebar setiap menyentuh kulit lembut sang istri. Memang yang halal rasanya jauh jauh jauh!!! Lebih nikmat. "Husband ...." Regina memanggil lirih sambil menoleh untuk menatap Raymond yang diam bersandar di ambang pintu kamar mandi, dan hal itu sudah membuat Raymond siap bertempur lagi jika tidak ingat kondisi kehamilan wanita itu. "Iya, Sayang, ada apa?" menyahut tanya, tangan Raymond terlipat di depan dada. Regina bergerak berdiri, berbalik menatap suaminya yang pun menatapnya. "Kerja?" tanya Regina mengusap keringat sendiri di bagian leher dengan punggung tangan. "Tidak minat," jawab Raymond sambil tersenyum kecil akan pemandangan seksi itu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku janji akan pelan." Tangan Raymond menyentuh pipi kiri Regina, mengusap dengan gerakan lembut namun erotis. Regina memejakan mata, menikmati apa yang memang ia incar, sentuhan suaminya. "Janji?" tanya Regina masih menikmati usapan jari Raymond di pipi. "Of course." Regina membuka mata, menatap Raymond yang sudah menindihnya. "Suamiku tidak bekerja?" Oh ya ayolah, kenapa bertanya perihal itu jika adik di bawah sana sudah menggeliat bangun? "Setelah makan siang?" Raymond balik bertanya, mencoba sabar walau tenggorokannya sendiri sudah tercekat oleh gairah. Masa bodoh dulu dengan kerjaan, sebulan lebih dia berpuasa, belum lagi kemarin lembur, biarkan Raymond melepas lelah. "Oke, sini." Lembut Regina tersenyum genit yang langsung disambut Raymond dengan lumatan manis ala mereka. Raymond mendapatkan lampu hijau tentu harus mengumandangkan janjinya dalam otak, pelan, harus lembut. Argh! Sebulan lebih Raymond berpuasa, sudah seperti bulan ramadh
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond ada di posisi urut pelipis sebab keinganan aneh Regina. Ini masih terlalu pagi, perlu diketahui jarum jam masih menunjukan angka tiga pagi. Dan kepala Raymond serasa siap meledak karena mata lelah dan telinga menjerit marah. "Husband ...." Istrinya merengek lagi dan dia bingung mau bagaimana. "Abang ...." Kalau boleh Raymond memilih, ia lebih memilih mengurusi semua pekerjaan saja daripada mendengar rengekan Regina dikala matanya sangat amat berat. "Regina, kita tunggu matahari naik," bisik Raymond yang sudah duduk di atas ranjang, menoleh lemas ke arah istrinya yang menatap cemberut. "Babynya mau sekarang!" Regina mulai memakai nada ngegas. "Kita cari ke mana, Re?" tanya Raymond pada Regina bersungut-sungut lelah agar wanita itu paham. For your information, Raymond baru pulang pukul satu sebab lembur memeriksa essai mahasiswa, dan begitu pulang Raymond belum bisa langsung tidur karena masih harus mengisi beberapa pendataan ke dalam
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond melumat bibir Regina, kali ini dengan gairahnya. Jika tadi sesi mereka saling mengungkapkan isi kepala dan hati maka sekarang sesi Raymond Arthur William menerima hadiahnya. "Hah ...." Napas Regina terengah. Well, nyonya muda William sudah menyiapkan itu. Setelah acara syukuran Raymond sangat sibuk bekerja, suaminya jauh lebih sibuk dari yang Regina bayangkan, maka dari itu hadiah darinya double. "Suamiku tegang aku senang," bisik Regina genit, sukses membuat Raymond menggendong tubuhnya ala ibu koala. "Kita butuh kamar utama." Raymond juga berbisik, segera mengambil langkah menuju anak tangga. Kepala Regina mengangguk, senyumnya masih genit pakai banget. Oke jangan ragukan Regina Adinda Putri dalam menggoda Raymond Arthur William, wanita itu sudah wisuda, tamat! Bersama mata yang saling menyelami, bersama debaran yang saling terasa, Raymond selalu memimpin, maka kakinya melangkah lembut menaiki anak tangga. Cklek. Tidak mau lama-la
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Udah kali natapnya, Abang, nanti tambah cinta baru tahu," ujar Regina tersenyum bersama kepala menunduk, wanita itu sedang sibuk memotong bolu gulung buatan suaminya sendiri. Raymond diam, tidak menjawab. Pria itu mana ambil peduli, selama ia mau maka akan ia lakukan. Well, detik ini jarum jam sudah ada diangka setengah dua belas malam. Awan tidak mungkin masih bergabung dengan kedua orangtuanya, anak itu sudah terlelap di dalam kamar, Regina sendiri membuat pesta kecil-kecilan berdua dengan sang suami. Mereka duduk di meja makan, niatnya akan pindah ke ruang televisi, tapi tunggu, Regina ingin mencicipi hasil tangan Raymond bersama Awan. "Selesai," ujar Regina setelah memindahkan dua potong bolu gulung ke atas piring. Kepala Regina terangkat dari tunduk, menatap ke arah Raymond yang ternyata oh ternyata masih betah menatapnya. "Udah jatuh cintanya?" tanya Regina bermaksud menggoda si suami. Raymond tersenyum manis, sangat tiba-tiba! Jangan
Awas Typo:) Happy Reading... *** Raymond tidak tahu lagi harus berkata apa. "Hahaha!!! Daddy, lucu!" "Ah ..., suamiku seksi." Ia habis-habisan ditertawai oleh Awan karena permintaan konyol istrinya sendiri, mana yang minta pakai acara menatap mupeng segala alias muka pengen. Ya Tuhan. Raymond tidak tahu harus malu atau bangga, satu sisi ditertawakan, satu lagi ditatap penuh cinta. Jadi, dia memilih keduanya, malu dan, bangga. "Awan, diam atau Daddy ke sana?" tanya Raymond sedang menuang tepung ke dalam mangkuk sedang. Istrinya meminta bolu, sudah pasti ia butuh tepung juga pengembang. "Awan saja yang ke sana!" Semangat Awan menyahuti, si gadis kecil itu menoleh menatap ke arah Regina. "Boleh, 'kan Mom?" Meminta izin kepada mommynya. "Hm? Ya, sure. Ganggu daddy," jawab Regina pasang senyum manis. Tentu saja ia memberi izin, sedang ia bayangkan Raymond bekerjasama dengan Awan untuk memenuhi keinginannya, pasti manis. "Okay, Mommy juga belgabung kalau ingin," bisik Awan, mengec
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Abang janji akan pulang pukul delapan, awas kalau telat, aku usir dari kamar." "Masih pagi, Re," balas Raymond menarik tali pinggangnya. "Karena masih pagi itu aku ingatkan." Oke, Raymond kalah. Ia tidak mau melawan istri yang semakin hari semakin bawel saja, dan semakin hari semakin posesif, sungguh Raymond tidak tahu apa yang salah dengan istrinya. Namun, saat ia bertanya pada mama, si wanita paruh baya yang melahirkannya itu berkata, sudah wajari saja, namanya juga sedang hamil, Ray. Begitu. "Sini." Tiba-tiba Regina sudah berdiri saja di depan tubuh Raymond, mengambil alih pekerjaan tangan si suami yang sedang memakai tali pinggang. Kalau kata Regina, dikarenakan Raymond bekerja tanpa dasi yang membuat ia tidak bisa melakukan adegan seperti di novel dan film, maka pekerjaan mengancing kemeja atau memakai tali pinggang menjadi urusan Regina. Aneh? Sangat! Raymond pun merasakan itu, istrinya terlalu menikmati tapi Raymond terlalu sengsara k
Awas Typo:) Happy Reading .... *** What?! Kedua netra Regina membulat mendengar kalimat suaminya. "Mau!!!" Awan sendiri berteriak kuat, membuat kedua netra Regina semakin membulat saja, tidak hanya itu, semua mata auto menatap ke arah si anak. Senyum kecil Raymond terbit, untuk Awan Putri Letta. "Oh my god!" gumam Awan terkejut ala-ala anak enam tahun. Si cantik dengan rambut pirang itu menutup mulut menganganya karena mendapati senyum manis seorang Raymond Arthur William, walau kecil. "Oke, welcome to my life, Awan." Titik, Raymond menggerling sebelum pergi dari hadapan dua kaum hawa berbeda usia. ***** "Abang, are you serious?" Raymond baru menegak jus digelasnya, lantas suara Regina sudah terdengar saja. Cepat juga si istri sadar dari keterkejutan. "Ya," jawab Raymond santai, kembali melanjutkan kegiatannya. Kedua mata Regina berkedip, ini dia berhalusinasi apa bagaimana? Dia mabuk ya? Tapi wait, sejak kapan dia meminum alkohol? Artinya dua kemungkinan, ini nyata atau m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak bisa berkata-kata, serius. Demi para leluhur, rumahnya yang biasa seperti kuburan alias sunyi sepi senyap, kini layaknya pasar pagi, ramai heboh dan gila. Apa yang bisa Raymond lakukan dengan kondisi seperti ini? Tidak ada, hanya berdiri, diam, melihat. Sangkin luar biasanya keturunan William itu tidak bisa berkomentar lagi. Look, halaman belakang rumahnya penuh oleh anak-anak, dari yang usianya sekitar enam tujuh tahun, hingga sembilan sampai sepuluh tahun. keuntungan di sini hanya satu, untung halaman rumahnya, bukan di dalam rumahnya. "Hi, ganteng!" Terdengar sapaan dari belakang tubuhnya, Raymond tahu itu sang istri- Regina. "Kamu tidak mengatakan sebanyak ini." Langsung berujar to the point, Raymond melirik sang istri yang bergerak memeluk lengannya, manja sekali. "Ya namanya anak yatim, Sayang, paling tidak dua sampai tiga puluh lah." Iyaps, right! Benar sekali. Di rumah yang Raymond bangun dengan hasil keringatnya sendir