"Siapa yang datang Shahnaz?" tanya Brams.
Keduanya saling berpandangan.Jantung Brams saat itu, tiba-tiba berdetak kencang.Dia teringat pada Jesselyn, yang lagi mengandung anaknya di Singapore.
Walau dalam kondisi khawatir, Brams tetap nekat dan berjalan ke arah pintu rumahnya.Shahnaz juga tidak mau ketinggalan, dia mengikuti langkah Brams dari belakang.
"Shahnaz...?"
Jesselyn yang merasa emosi saat melihat ada Shahnaz di dalam rumah itu bersama suaminya.
"Bu Jesselyn," tegur Shahnaz.
Telapak tangan Jesselyn melayang dan mendarat di pipi Shahnaz.Dia juga melihat muka Brams yang tertunduk saat Jesselyn menapar muka Shahnaz.
"Dasar pengkhianat," bentak Jesselyn.
Kalian memang pengkhianat. Dugaanku yang selama ini pada kalian ternyata tidak salah.Kalian memang ular berbisa yang pandai bersandiwara.
"Jesselyn..!" Ucap Brams.
"Apa, apa lagi yang ingin kamu katakan.Mungkin saat di Singapore, kamu sengaja mencari celah ya
Minuman Wisky kembali diteguk oleh Brams. Lima orang wanita sedang berada di kelilingnya. Mata Brams sudah terasa berat dan penglihatannya mulai goyang. Dia berjalan pulang dengan sempoyongan setelah membagi-bagi banyak uang pada para penghiburnya.Pemilik Cafe yang sudah kenal betul dengan Brams, kini menyuruh anggotanya untuk mengantar Brams pulang ke rumah. langkahnya yang sudah oleng,membuat pemilik Cafe merasa kasihan dan khawatir pada Brams jika pulang sendiri."Ayo pak, aku bantu." ucap pelayan laki-laki tersebut"Kamu tidak usah repot-repot membantuku, aku bisa pulang sendiri," jawab Brams.Lelaki itu tidak perduli dengan celoteh Brams.Dia terus membantu hingga Brams berada di dalam mobil."Jesselyn...Jesselyn..., nama itu terdengar sering keluar dari mulut Brams. Kini lelaki itu bisa menyimpulkan Brams sedang ada masalah dengan wanita yang bernama Jesselyn."Ayo pak,kita sudah sampai," ucap pelayan itu.Dia langsu
Mata Brams kini mulai terbuka, dia heran, kenapa dia bisa berada di kamarnya. Efek minuman kini sudah tidak terasa lagi, yang ada hanyalah rasa ngilu dan lemas yang berlebihan.Brams mencoba duduk dan berdiri, dia sama sekali tidak ingat dengan keberadaan Jesselyn di dalam rumahnya. Brams dengan santainya berjalan keluar dari kamar. Dia melihat Jesselyn sedang tertidur di sofa ruang tamunya."Ya tuhan,rupanya Jesselyn masih di rumah, bathin Brams.Dia mencoba mendekati istrinya. Dia merasa tidak tega untuk membangunkan istrinya yang lagi marah besar pada kelakuannnya. Tangan Brams menepuk tangan Jesselyn, dia melihat Jesselyn hanya berbalik saja tanpa sadar dari tidurnya."Hahh..kasihan Jesselyn, mungkin semalam dialah yang mengurus aku dan membawa aku hingga ke tempat tidur" bathin Brams.Demi membuat istrinya bahagia, Brams mencoba membuat segelas susus dan sepotong roti di meja dekat istrinya, sebagai ungkapan rasa penyesalan atas pe
"Sayang, apa kamu masih marah lagi padaku?" tanya Brams.Jesselyn hanya diam, dia sebenarnya masih kecewa pada Brams, apalagi melihat panggilan masuk dari Shahnaz, tadi malam.Jesselyn mencoba sabar dan menerima kenyataan. Dia senyum dan mendekati suaminya, Brams."Brams, aku tidak marah sama kamu. Aku hanya kesal pada sikap kamu dengan Shahhnaz dibelakangku," jawab Jesselyn."Sayang, kamu wajar saja marah padaku. Aku bisa terima itu. Aku berbuat demikian seakan ingin balas dendam dengan perbuatan kamu di ruangan Peter waktu itu."Iya sayang, aku bisa mengerti hal itu," jawab Jesselyn."Jesselyn, aku kecewa dan marah karena kamu terlihat santai berpegangan tangan dengan Peter.Brams sedikit merasa lega. Dia sudah bisa jujur mengatakan hal apa yang membuatnya marah. Brams berharap ada perubahan keluarganya, setelah saling jujur dalam menyelesaikan masalah."Sayang, apa tidak sebaiknya kita keluar saja ya!" Aku rasa k
Brams yang semakin bingung untuk menjawab pertanyaan Jesselyn, kini mengambil jalan pintas dengan mengulur waktu."Sayang, aku jawabnya nanti di rumah aja ya! Sekarang kita lebih baik menikmati makanan ini terlebih dahulu. Bukankan kamu dari tadi sudah lapar dan minta untuk makan di sini?""Oh iya, baiklah sayang, aku juga ingin menyantap makanan ini terlebih dahulu," ucap Jesselyn.Jesselyn tersenyum melihat Brams, yang sedang menikmati makan siang, Dia juga tidak mau ketinggalan dengan masakan seafood, favoritenya."Kringggg!"Suara ponsel Brams kini berbunyi. Dia segera melihat panggilan siapa yang masuk saat itu."Siapa sayang?" tanya Jesselyn.'Mampus aku, ada panggilan dari Shahnaz. Apa yang akan Jesselyn katakan bila dia tahu ada panggilan dari Shahnaz,' bathin Brams."Brams, telepon dari siapa?" tanya Jesselyn sekali lagi."Akhhh... entahlah, mungkin ada orang iseng atau salah sambung." Namanya juga t
Pak Soleh melihat ke belakang, dia bingung dengan uang yang disodorkan oleh Jesselyn. Mata pak Soleh terlihat menyipit dan bertanya dengan semuanya."Bu Jesselyn, kenapa ibu menyodorkan aku uang?" tanya pak Soleh"Pak Soleh, aku ingin pak Soleh bisa tutup mulut, aku punya rencana untuk mengintai suamiku. Apakah dia ada main di belakang dengan wanita yang bernama Shahnaz," jawab Jesselyn.Pak Soleh kini sudah tahu kemana sebenarnya tujuan Jesselyn. Dia juga merasa setuju dengan rencana Jesselyn tersebut. Sebagai sopir pribadi dari Beams, dia sudah sering kali melihat Shahnaz yang sudah keterlaluan dan selalu mengejar Brams kemana saja."Oke bu Jesselyn, aku setuju. Aku sebenarnya juga tisak suka dengan wanita yang bernama Shahnaz itu," jawab Pak Soleh.Jesselyn bingung dengan ucapan Pak Soleh."Pak Soleh, kenapa Bapak bisa berkata demikian?" tanya Jesselyn."Maaf bu, dari pertama kali dia masik lerja di sini, aku juga sudah
Jesselyn langsung berdiri, dia membayar makanan yang sama sekali belum habis. Rasa kesal yang amat sangat, dirasakan oleh Jesselyn saat berjalan keluar dari dalam Cafe."Aku harus ke kantor Brams, aku harus melihat langsung apa yang mereka lakukan di ruangan itu," bathin Jesselyn.******Ayunan langkah Shahnaz terlihat begitu cepat. Dia khawatir kalau Jesselyn mengetahui kedatangannya. Perlahan pintu ruangan Brams di dodong oleh Shahnaz, dia melihat Brams, lagi memainkan ponsel miliknya.."Brams, kamu kenapa tiba-tiba menghubungiku dan menyuhku untuk datang ke sini?," tanya Shahnaz."Shahnaz, kamu duduk dulu! Aku sengaja menghubungi kamu karena aku ingin mengatakan hal penting agar kamu bisa paham dengan maksut dan tujuanku.Dengan penasaran, Shanaz langsung duduk dan meletakkkan tas di atas meja. Dia sepertinya takut kalau- kalau ada Jesselyn di ruangan itu."Ada ap,Brams?" Tanya Shahnaz dengan penasaran."Shahnaz aku in
Brams siang itu juga langsung pulang ke rumah. Dia melihat istrinya lagi berada di dalam kamar. Brams yang sangat tahu, dia sangat bersalah dan kini hanya menunggu istrinya keluar dari ruang tamu.Hahhhh desah napas Brams kini terdengar, dia jadi bingung dan merasa kecewa dengan petistiwa yang terjadi pagi tadi di kantor.Jesselyn mengetahui kalau suaminya sudah pulang kerja. Dia hanya melihat dari kaca jendela dan tidak mau keluar dari kamarnya.Brams merasa sudah mulai bosan menunggu. Dia berdiri dan berjalan ke arah kamar mereka. Dengan memberanikan diri, dia mengetuk pintu dari kamar tersebut."Tok...Tok....Tok,"Suara pintu di dengar oleh Jesselyn. Dia malas dan tidak mau membuka pintu tersebut.Dengan lemas, Brams mencoba memanggil istrinya itu."Jesselyn," ucap Brams dengan suara memelas.Jesselyn tetap saja diam. Dia tidak mau membuka bahkan mendengar sapaan dari suaminya."Sayang buka pintunya dong," ucap Bram
Malam itu, Jesselyn dan Brams sama-sama merayakan perdamaian yang sangat bermakna dalam rumah tangga mereka. Jesselyn yang merasa bersalah, kini bermaksut melupakan semua masalah yang selama ini dia alami."Brams, bagaimana kalau aku tinggal disini saja dan berhenti bekerja di Singapore?" Tanya Jesselyn.Pandangan mata Brams, kini terlihat sangat berbinar. Dia sangat bahagia dengan pertanyaan istrinya."Sayang, apakah aku tidak salah mendengar ucapan kamu? Coba kamu ucapkan sekali lagi, agar aku puas dengan apa yang baru saja aku dengarkan!"Jesselyn tersenyum karena merasa lucu dengan tingkah suaminya. Dia menggelengkan kepalanya dan berusaha mengulang pertanyaannya kembali."Sayang, bagaimana jika aku tinggal di sini dan berhenti bekerja di Singapore?""Dari dulu aku berharap kamu mau tinggal disini sayang, aku tidak pernah menginginkan kamu untuk ikut bekerja. Sebagai suami aku sangat bertanggungjawab penuh atas diri kamu, walaupun