Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario.
"Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa.
"Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."
Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.
***
Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?
Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?
"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.
Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.
Cha?
Michalea?
Jadi, Mario masih berhubungan dengan Micha? Setelah sah menjadi suamiku? Apa-apaan Mario ini.
"Iya, Sayang."
Aku menoleh Mario, bisa-bisanya dia tersenyum saat istrinya terbakar api cemburu.
"Menuju apartemen, Cintaku."
Nada bicaranya begitu lembut, membuatku sedikit emosi. Apa Mario sengaja memancing emosiku? Gila saja dia terang-terangan bermesraan dengan Micha. Padahal di sampingnya ada aku. Apa dia lupa?
"Ya, begitulah. Dia bersamaku."
Aku meluruskan punggung tanpa memutus pandanganku dari Mario.
"Dia?"
Mario melirikku sekilas, tertawa kecil, kemudian memindah ponselnya ke telinga kanan, membuatku yang berada di sebelah kirinya kembali bersandar di kursi mobil.
"Tidak akan, Sayang. Percaya, oke!"
Aku membuang muka, rasanya menatap jalan lebih indah ketimbang menatap Mario.
"Dia bukan apa-apa, jangan khawatir. Bye."
Aku melirik mario melewati ekor mataku. Apa yang dimaksud 'Dia' adalah aku? Apa yang mereka bicarakan, sih? Dan ... sayang? Memanggilku saja Mario tidak pernah, lah, ini? Ingin sekali aku merebut ponsel itu, membantingnya, menginjak-injaknya, atau membuangnya ke jalan raya seperti yang dilakukan seorang istri jika menangkap basah suaminya tengah berbincang mesra dengan perempuan lain di televisi.
Namun, apa dayaku, kurasa Mario pasti tidak segan-segan menurunkanku di sini sekarang juga jika nekat melakukan hal itu. Jadi, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya untuk meminimalisir sakit hati. Rambu lalu lintas berganti warna, Mario pun mematikan teleponnya.
"Kalian belum putus?" tanyaku memecah keheningan.
"Apa itu penting?"
Tiga, tiga kata yang berhasil membuat darahku seketika mendidih.
"Tentu saja penting, sekarang aku adalah istrimu," jawabku menekankan setiap kata.
Mario mendecih, lalu suasana hening kembali, sampai tiba di apartemen miliknya.
Cukup sederhana, kukira apartemen Mario tampilannya akan sebelas-dua belas dengan rumah Papa. Ternyata tidak.
Luas memang, tapi tidak seluas rumah Papa, hanya ada satu lantai, tidak terlalu mewah, di teras hanya ada dua kursi dan satu meja. Gerbangnya dari kuningan yang dicat hitam. Pemandangan yang tampak saat pertama kali menginjakkan kaki ke dalam rumah adalah ruang tamu, lalu kamar mandi, kemudian dapur, ruang makan, dan di samping ruang makan ada dua kamar yang berjajar. Aku mengekori Mario sambil terus menyapukan pandangan ke setiap sudut ruangan, hingga tanpa sengaja menabrak laki-laki itu karena dia berhenti mendadak.
"Ini kamarku, tidurlah di kamar sebelah," ucapnya datar lalu masuk dan menutup pintu dengan kasar sampai menimbulkan suara debuman yang mengagetkan.
Aku menatap pilu pada pintu yang menelan raga Mario, apa selamanya dia akan terus seperti ini? Tidak! Jawabannya harus tidak. Aku hanya harus bersabar, seperti tokoh sinetron yang pernah kulihat diacara FTV. Suatu saat dia pasti bisa menerimaku, cepat atau lambat dia pasti akan mencintaiku, sekarang atau kelak dia pasti menyayangiku. Pasti.
"Bersabarlah, Anye! Kau pasti sanggup bertahan," gumamku menyemangati diri sendiri.
Ya ... mau bagaimana lagi, aku jauh dari Made. Mana mungkin dia bisa menyemangatiku. Ah, ya. Aku melupakan fakta bahwa aku hidup di era modern. Ada ponsel yang bisa menyambungkanku dengan Made, aku akan menghubungi gadis itu sekarang juga. Semoga saja dia tidak sedang berkencan dengan prianya.
***
Setelah satu minggu tidak pulang, akhirnya Mario pulang kemarin malam. Jadi, hari ini aku sengaja membuat sarapan setelah salat Subuh. Padahal, biasanya aku baru memasak setelah seluruh ruangan sudah benar-benar bersih. Aku ingin mengambil hati Mario, mungkin saja dengan cara ini Mario akan lebih sering pulang. Sebab Made dulu bilang bahwa masakanku sangat lezat dan bikin ketagihan.
Kucicipi nasi goreng buatanku untuk sarapan hari ini. Setelah itu membaginya menjadi dua porsi, satu untuk Mario, satu lagi untukku.
"Yo! Kamu enggak sarapan?!" teriakku.
Tiga detik setelahnya kudengar suara pintu kamar terbuka, mengeluarkan seorang Mario yang sudah rapi dengan jas abu-abu gelapnya, aroma maskulin seketika tersebar di ruang makan yang tempatnya tepat di samping kamar Mario. Dia berjalan cepat, tidak menghiraukanku yang sudah menyiapkan sarapan untuknya.
"Yo?"
"Aku sudah telat."
Penolakan, lagi-lagi aku mendapat penolakan. Kulirik jam yang menempel di dinding atas lemari es.
Pukul 06.22
Sepagi ini dia bilang sudah terlambat? Mana mungkin? Kutarik napas dalam-dalam untuk menetralisir nyeri di ulu hati, alibi konyol lagi-lagi dipersenjatakannya untukku.
Kutarik sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan asap, menyantapnya hingga tandas bersama bulir-bulir bening dan isakan kecil disetiap suapannya. Kurasa, nasi jatah Mario akan kujadikan menu makan siang, sayang kalau dibuang, nanti nasinya menangis--seperti kata ibu panti dulu.
***
Angin malam menyapa wajahku yang sedang menunggu suami pulang, pantaskah aku menyebutnya suami? Sedang, menganggapku ada saja dia enggan.
Tek-Tek-Tek!
Suara pukulan penjual tahu tek sudah terdengar, pertanda sekarang sudah jam sepuluh lebih. Kuputuskan menunggu Mario di ruang tamu, satu jam lagi dia belum sampai, itu tandanya dia tidak pulang.
Pernikahanku dengan Mario memasuki usia tiga minggu, namun hubungan kita tidak juga membaik. Mario sangat jarang pulang ke apartemennya, tidur di mana laki-laki itu? Apa dia punya apartemen lain? Sekalinya pulang dia hanya mengambil sesuatu, entah itu baju atau apa saja kebutuhannya.
Selama tiga minggu aku dan Mario berada di rumah yang sama, selama itu pula Mario tidak pernah dengan sengaja menatapku. Ah, jangankan menatap, melirik saja tidak pernah. Dia tidak pernah berada di rumah lebih dari lima jam. Dia tidak pernah berbicara lebih dari lima kata. Dia tidak pernah menampilkan ekspresi selain datar, tidak ada senyum, tidak ada amarah, apalagi sedih. Sebenci itukah dia padaku?
Setiap dia pulang aku selalu menyambutnya dengan senyuman, menawarinya makan, menawari bantuan, memberi perhatian, atau apa pun yang sekiranya bisa memperbaiki hubungan kita.
Namun, dia terlalu angkuh untuk kurengkuh, dia terlalu jauh untuk kutempuh. Pernikahan ini memang atas dasar perjodohan, tetapi jika hatiku sudah terlanjur tertawan? Siapa yang bisa kupersalahkan? Bukankah cinta memang bisa berlabuh pada siapa saja tanpa kita bisa menentukannya?
"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya."Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa."Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ....""Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya men
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut, mempersiapkan mental dan juga hati pun kewarasan sebelum masuk ke rumah. Micha ada di sini, aku yakin dia pasti berada di ruang tamu bersama Mario, duduk bersanding sambil bersenda gurau, itu kebiasaan mereka. Entah ini kali keberapa Mario mengajak gadis itu, saking seringnya aku sampai tak bisa menghitung.Gelak tawa yang tadinya memenuhi udara di ruang tamu seketika berhenti saat aku menarik knop pintu. Benar, kan! Mereka tengah duduk di kursi, bermesraan dan bercanda. Dugaanku sesuai dengan kenyataan.Aku melangkah menuju kamar dengan raut yang kuatur sebiasa mungkin, meski pada kenyataannya dada ini bergemuruh hebat. Setidaknya aku tampak menganggap mereka angin lalu, seperti anggapan mereka terhadapku.Aku merasa Mario melepas rangkulannya di pundak Micha saat aku hendak menutup pintu kamar."Suamimu pulang, Micha ada di sini.
Aku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKaubilang, "Cinta tidak tinggal, pergilah, jangan menetap!"Aku bersamamu kala kauterpejamNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuIni bukanlah kemauanku, semesta memaksa kita tak bersamaSaat kauterpejam aku ada di sisimuNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaMata memang bisa salah melihat apa sajaAkan tetapi, cahaya cinta itu nyataTiadalah hati salah dalam merasaBiarpun bibir enggan mengaku dan berucap iyaHati tidaklah bisa berbohong, pun menghindar dari perasaan yang lumrah adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuMemori sudah bekuLidah pun semakin keluTiada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataanAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKau memang tak pernah mengatakan cintamu padaku
Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak."Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin."A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan."Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku."Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki
Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.Tok! Tok! Tok!"Elli! Kau sedang apa?"Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?Tanpa me
3. Alasan"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya."Se-selamat pagi, Pa."Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.Aku harus jawab apa?Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'Tidak! Tidak!Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar da
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut, mempersiapkan mental dan juga hati pun kewarasan sebelum masuk ke rumah. Micha ada di sini, aku yakin dia pasti berada di ruang tamu bersama Mario, duduk bersanding sambil bersenda gurau, itu kebiasaan mereka. Entah ini kali keberapa Mario mengajak gadis itu, saking seringnya aku sampai tak bisa menghitung.Gelak tawa yang tadinya memenuhi udara di ruang tamu seketika berhenti saat aku menarik knop pintu. Benar, kan! Mereka tengah duduk di kursi, bermesraan dan bercanda. Dugaanku sesuai dengan kenyataan.Aku melangkah menuju kamar dengan raut yang kuatur sebiasa mungkin, meski pada kenyataannya dada ini bergemuruh hebat. Setidaknya aku tampak menganggap mereka angin lalu, seperti anggapan mereka terhadapku.Aku merasa Mario melepas rangkulannya di pundak Micha saat aku hendak menutup pintu kamar."Suamimu pulang, Micha ada di sini.
"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya."Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa."Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ....""Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya men
Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario."Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa."Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.***Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.Cha?Michalea?Jadi, Ma
3. Alasan"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya."Se-selamat pagi, Pa."Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.Aku harus jawab apa?Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'Tidak! Tidak!Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar da
Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.Tok! Tok! Tok!"Elli! Kau sedang apa?"Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?Tanpa me
Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak."Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin."A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan."Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku."Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki
Aku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKaubilang, "Cinta tidak tinggal, pergilah, jangan menetap!"Aku bersamamu kala kauterpejamNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuIni bukanlah kemauanku, semesta memaksa kita tak bersamaSaat kauterpejam aku ada di sisimuNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaMata memang bisa salah melihat apa sajaAkan tetapi, cahaya cinta itu nyataTiadalah hati salah dalam merasaBiarpun bibir enggan mengaku dan berucap iyaHati tidaklah bisa berbohong, pun menghindar dari perasaan yang lumrah adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuMemori sudah bekuLidah pun semakin keluTiada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataanAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKau memang tak pernah mengatakan cintamu padaku