Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.
Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.
Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.
Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.
Tok! Tok! Tok!
"Elli! Kau sedang apa?"
Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?
Tanpa menjawab panggilan dari Pak Tio, aku berlari menuju kamar mandi. Dikeadaan segenting ini kamar mandi adalah tempat paling tepat untuk berlari. Beruntung rumah super megah ini memiliki kamar mandi di setiap kamar tidurnya.
Dengan gerakan secepat kilat, kucuci wajah yang dipolesi riasan tebal yang terasa berat.
Sial!
Aku baru ingat pesan periasku tadi, harusnya aku membersihkan wajah menggunakan micellar water terlebih dahulu sebelum mencuci muka. Lihat! Eye shadow, lipstik dan bedak tebal sialan ini jadi tidak bersih sempurna.Kukenakan lagi jilbab instan yang tadi kubawa. Berlari menuju meja rias untuk membersihkan sisa riasan yang masih melekat, tetapi niat kuurungkan saat mendapati Pak Tio tengah duduk manis sambil berbincang dengan perias sewaannya.
Mereka sontak menoleh saat menyadari kehadiranku, membuatku merasa kikuk dan salah tingkah juga malu.
"Kan, udah saya bilang tadi, Mbak, sebelum cuci muka pakai micellar water dulu, enggak bersih to jadinya, riasannya," ucap Bu Yuni, perias yang kuperkirakan memasuki usia empat dekade itu dengan tertawa renyah.
"Maklum, Mbak Yun! Elli enggak pernah dandan," timpal Pak Tio dengan kekehan ringannya. Netranya mengikutiku yang berjalan dengan penuh rasa malu menuju meja rias, kaca meja rias lebih bening ketimbang kaca di kamar mandi, rasanya ingin tertawa melihat betapa buruk rupanya aku saat ini. Pantas saja Pak Tio dan Bu Yuni menertawakanku.
"Dasarannya ayu, Pak. Mau dandan atau ndak, ya tetep katon ayu,"¹ puji Bu Yuni dengan bahasa yang ... sedikit membuatku tidak mengerti. Maklum, aku asli Jakarta. Sedangkan Bu Yuni ini berasal dari Surabaya. Bicaranya masih sering diselipi dengan bahasa Jawa, mengucapkan Bahasa Indonesia saja masih sangat medok.
"Mbak Yun! Tipis aja dandanannya, tamunya udah enggak banyak-banyak banget, kok," pesan Pak Tio selepas Bu Yuni mengelap wajahku menggunakan kapas yang sudah ditetesi dengan micellar water.
"Ell! Papa turun dulu, nanti kamu temuin Papa di bawah, ya! Kamu mau Papa pamerin ke teman SMA Papa dulu." Aku hanya mengangguk, ada kehangatan yang menyelimuti kalbu saat Pak Tio memanggil dengan sebutan 'Elli', itu semacam ... panggilan kesayangan. Karena Pak Tio satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu. Elli diambil dari nama belakangku, Anyelir Elliana. Kata Pak Tio, dia lebih suka memanggilku Elli karena berbeda dengan yang lain.
Bu Yuni menuntunku turun mencari keberadaan Pak Tio setelah selesai merias, sekalian pamit pulang katanya. Aku yang memang tak berani ke mana-mana pun menurut saja. Untunglah sekarang hanya mengenakan kutu baru, baru beli beberapa hari yang lalu. Tidak seperti pagi tadi, mengenakan gaun yang begitu panjang dan berat yang perkiraan lebih berat dari bobotku.
Sampai di tempat di mana Pak Tio dan rekannya berada, aku menatap canggung pada pria paruh baya yang merupakan teman SMA Pak Tio selama beberapa detik, lalu tersenyum.
"Pak! saya pulang dulu, ya," pamit Bu Yuni pada Pak Tio.
"Loh, Mbak Yun! Enggak makan dulu?"
Bu Yuni tertawa ringan. "Udah dikasih buah tangan segini banyaknya, Pak! Nanti siapa yang makan? Lawong Sudan putra saya sama suami ndak doyan makanan laut e, palingan nanti yang makan, ya, saya sama Resti adiknya Sudan," ceritanya panjang lebar sambil mengangkat tas kain berukuran jumbo berwarna hijau gelap membuat Pak Tio tergelak.
"Ya sudah, Mbak! Makasih untuk hari ini, jangan kapok saya mintai bantuan." Bu Yeni mengangguk. "Mana bisa saya kapok disewa orang se-loman² Bapak," jawab Bu Yuni membuat Pak Tio lagi-lagi tergelak.
"Ya sudah, saya pulang. Mari, Pak Tio, Mbak Anye, Pak!" pamitnya padaku, Pak Tio, dan teman Pak Tio.
Aku menganggukkan kepala sekali sambil mengulas senyum sebagai tanggapan, begitu juga Pak Tio dan temannya. Kami pun terlibat perbincangan setelah keberadaan Bu Yuni tak lagi terlihat. Ah, bukan kami, lebih tepatnya mereka--Pak Tio dan Temannya. Aku hanya menyimak dan sesekali angkat bicara, itu pun kalau mendapat pertanyaan dan dimintai pendapat. Kalau tidak, ya, diam.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku duduk di depan meja rias sambil mengusap kapas yang sudah terlebih dahulu kutetesi dengan micellar water pada wajah, seperti yang dilakukan Bu Yuni tadi.
Syukurlah hari ini aku sedang bulanan, jadi bisa langsung istirahat, tidak perlu mengganti tujuh belas rakaat yang kutinggalkan selama sehari penuh.
Kupunguti kelopak-kelopak mawar merah yang bertabur di atas tempat tidur berukuran king size milik Mario, lalu membuangnya ke tempat sampah, menata dua guling di tengah sebagai pembatas, lalu merebahkan diri di sisi kanan ranjang.
Entah angin apa yang menerbangkan anganku pada sosok Mario, tiba-tiba saja aku memikirkan laki-laki itu. Hampir dua puluh empat jam aku berada di bawah atap yang sama dengannya, tetapi aku hanya sekali melihatnya, saat akad dilaksanakan tadi. Itu pun dia hanya menunduk saja.
Dia tampak begitu tampan dan gagah dengan tuxedo biru tua yang didesain khusus oleh perancang busana ternama untuk tubuh atletisnya.
Ah, memikirkan Mario ternyata membuatku terlelap.
Baru saja jiwaku melayang, Mario membuka pintu dengan kasar, membuatku kembali terbangun. Kulihat jam di ponsel samping kepala, angka menitnya baru berganti enam digit.
Singkat sekali tidurku.
Niat untuk memejamkan mata kembali kuurungkan saat sadar tengah ditatap Mario dengan tajam, kilatan netranya menghunus nyaliku seketika. Dadanya naik turun tampak menahan emosi.
Aku menelan ludah dengan susah payah sebelum angkat bicara, "Aku akan pindah ke kamar tamu, maaf!" ucapku takut.
Kudengar dia mendengus keras, membuatku bergeming di atas ranjang dengan posisi duduk.
"Apa kau sudah gila? Papa akan memukuliku kalau tahu kita tidak tidur sekamar!" geramnya.
"Tidurlah di sofa, ambil saja selimutnya, aku tidak kedinginan," lanjutnya seperti perintah yang terdengar tidak menerima bantahan.
Ekspresiku? Jangan ditanya lagi. Bibir terbuka lebar dengan kening yang membentuk lipatan.
"Apa telingamu sudah tidak berfungsi?!" bentaknya menyadarkanku dari keterkejutan.
Malam sudah larut, aku lelah karena acara resepsi hari ini dan sudah tidak bertenaga lagi untuk berdebat. Jadi, tanpa membantah, ku turunkan kakiku, melangkah menuju sofa dan memejamkan mata di sana. Ditemani dinginnya malam, lelahnya badan, dan air mata.
¹ "Dasarnya memang cantik, Pak! Mau dandan atau tidak ya tetap terlihat cantik."
² Dermawan
3. Alasan"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya."Se-selamat pagi, Pa."Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.Aku harus jawab apa?Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'Tidak! Tidak!Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar da
Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario."Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa."Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.***Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.Cha?Michalea?Jadi, Ma
"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya."Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa."Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ....""Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya men
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut, mempersiapkan mental dan juga hati pun kewarasan sebelum masuk ke rumah. Micha ada di sini, aku yakin dia pasti berada di ruang tamu bersama Mario, duduk bersanding sambil bersenda gurau, itu kebiasaan mereka. Entah ini kali keberapa Mario mengajak gadis itu, saking seringnya aku sampai tak bisa menghitung.Gelak tawa yang tadinya memenuhi udara di ruang tamu seketika berhenti saat aku menarik knop pintu. Benar, kan! Mereka tengah duduk di kursi, bermesraan dan bercanda. Dugaanku sesuai dengan kenyataan.Aku melangkah menuju kamar dengan raut yang kuatur sebiasa mungkin, meski pada kenyataannya dada ini bergemuruh hebat. Setidaknya aku tampak menganggap mereka angin lalu, seperti anggapan mereka terhadapku.Aku merasa Mario melepas rangkulannya di pundak Micha saat aku hendak menutup pintu kamar."Suamimu pulang, Micha ada di sini.
Aku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKaubilang, "Cinta tidak tinggal, pergilah, jangan menetap!"Aku bersamamu kala kauterpejamNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuIni bukanlah kemauanku, semesta memaksa kita tak bersamaSaat kauterpejam aku ada di sisimuNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaMata memang bisa salah melihat apa sajaAkan tetapi, cahaya cinta itu nyataTiadalah hati salah dalam merasaBiarpun bibir enggan mengaku dan berucap iyaHati tidaklah bisa berbohong, pun menghindar dari perasaan yang lumrah adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuMemori sudah bekuLidah pun semakin keluTiada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataanAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKau memang tak pernah mengatakan cintamu padaku
Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak."Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin."A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan."Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku."Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut, mempersiapkan mental dan juga hati pun kewarasan sebelum masuk ke rumah. Micha ada di sini, aku yakin dia pasti berada di ruang tamu bersama Mario, duduk bersanding sambil bersenda gurau, itu kebiasaan mereka. Entah ini kali keberapa Mario mengajak gadis itu, saking seringnya aku sampai tak bisa menghitung.Gelak tawa yang tadinya memenuhi udara di ruang tamu seketika berhenti saat aku menarik knop pintu. Benar, kan! Mereka tengah duduk di kursi, bermesraan dan bercanda. Dugaanku sesuai dengan kenyataan.Aku melangkah menuju kamar dengan raut yang kuatur sebiasa mungkin, meski pada kenyataannya dada ini bergemuruh hebat. Setidaknya aku tampak menganggap mereka angin lalu, seperti anggapan mereka terhadapku.Aku merasa Mario melepas rangkulannya di pundak Micha saat aku hendak menutup pintu kamar."Suamimu pulang, Micha ada di sini.
"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya."Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa."Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ....""Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya men
Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario."Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa."Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.***Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.Cha?Michalea?Jadi, Ma
3. Alasan"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya."Se-selamat pagi, Pa."Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.Aku harus jawab apa?Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'Tidak! Tidak!Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar da
Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.Tok! Tok! Tok!"Elli! Kau sedang apa?"Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?Tanpa me
Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak."Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin."A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan."Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku."Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki
Aku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKaubilang, "Cinta tidak tinggal, pergilah, jangan menetap!"Aku bersamamu kala kauterpejamNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuIni bukanlah kemauanku, semesta memaksa kita tak bersamaSaat kauterpejam aku ada di sisimuNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaMata memang bisa salah melihat apa sajaAkan tetapi, cahaya cinta itu nyataTiadalah hati salah dalam merasaBiarpun bibir enggan mengaku dan berucap iyaHati tidaklah bisa berbohong, pun menghindar dari perasaan yang lumrah adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuMemori sudah bekuLidah pun semakin keluTiada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataanAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKau memang tak pernah mengatakan cintamu padaku