Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak.
"Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin.
"A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.
Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan.
"Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku.
"Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.
Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki atasan yang begitu baik, dia sangat baik, sangat perhatian.
Namun, tak dapat kupungkiri, bahwa ada kebaikannya yang menjadi akar dari segala pelik dalam hidupku, sumber dari segala sakit, dan awal dari segala luka.
Madeline menggenggam tangan kananku. "Dia mungkin memang pria baik-baik, mengingat sifat ayahnya yang sangat baik. Akan tetapi, kudengar dia sudah memiliki kekasih, jika dia menerimamu sebagai istrinya ...." Made lepaskan genggamannya, lalu menghela napas panjang. "kurasa dia tak akan menerimamu sepenuhnya. Entahlah, Anye. Sungguh aku tak bisa berhenti berfikir buruk tentang pernikahan kalian," lanjutnya menatapku nanar.
"Aku akan baik-baik saja, Made. Percayalah! Bukankah aku masih memiliki kau?" Aku berusaha tersenyum di depan Made, dia sudah banyak berfikir pasal kehidupanku, tak mungkin perkara sepele kujadikan beban tambahan untuknya. Ini saatnya melepas tali yang bergantung pada keluarga Made, terlalu banyak yang dia dan orang tuanya keluarkan untukku yang notabenenya bukan siapa-siapa.
Kudengar Made membuang napas kasar lagi. "Baiklah, Anye. Datanglah padaku kapan saja, apartemenku selalu terbuka untukmu. Jika kau ingin, aku akan memberimu kunci duplikat, agar jika suatu saat suamimu berlaku buruk, kau bisa langsung menuju apartemenku. Aku ... aku akan selalu merindumu." Lagi-lagi Made memelukku, hanya saja kali ini lebih erat. Made adalah bukti dari malaikat berkulit manusia itu ada, dia adalah kebaikan yang yang dapat dijamah pancaindra.
Aku akan menikah besok, dengan anak dari pemilik kafe tempatku bekerja. Mario--dialah calon suamiku. Tolong jangan tanyakan siapa nama panjangnya, pekerjaannya, atau umurnya. Karena aku tidak tahu menahu tentang itu semua.
Lalu, bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang notabenenya adalah orang asing?
Akan kuceritakan.
Empat tahun yang lalu, saat itu aku genap berusia enam belas tahun, aku melamar pekerjaan pada Pak Tio, di kafe miliknya, Lanti's Cafe namanya. Cafe itu bukanlah tempat pertama atau satu-satunya yang kudatangi. Aku sudah menawarkan diri di banyak tempat, dan Lanti's Cafe ini adalah tempat ke sembilan.
Aku melamar pekerjaan hanya bermodalkan tekad, minat, dan ijazah SMP. Kurasa, itulah yang membuat mereka menolakku mentah-mentah. Padahal sudah kukatakan, menjadi cleaning service pun aku tak keberatan, yang penting boleh bekerja paruh waktu.
Mereka semua memandangku seperti gadis manja, dan hal itu membuatku kesal bukan main. Hey! Bagaimana aku tidak kesal? Besar di panti asuhan, lalu sejak umur tujuh tahun selalu ikut Ibu Panti bekerja. Bahkan, Ibu Panti memujiku sebagai gadis pekerja keras.
Dia membuka warung kecil-kecilan untuk biaya kelangsungan hidup semua anak panti, saat itu penghuni panti masih sedikit dan aku adalah yang paling muda, saudara pantiku semua sudah menginjak remaja, mereka bekerja untuk menyambung hidup mereka agar tak terlalu membebani Ibu Panti. Aku sudah terbiasa hidup susah sejak kecil. Jadi, lumrah bukan, jika aku tak terima dinilai manja?
Tunggu! Bukankah aku tadi akan bercerita tentang perjodohanku dengan Mario? Baiklah, kurasa cukup untuk cerita panti.
Saat aku menginjak usia lima belas tahun, anak panti semakin banyak, sungguh tak tega jika harus terus menerus merepotkan Ibu Panti, apalagi usia beliau sudah hampir menginjak empat dekade. Jadilah aku pamit meninggalkan panti. Saat itulah aku bertemu Made, ketika mengistirahatkan diri di pohon mangga depan sekolahannya. Tampaknya dia kasihan melihatku, melihat aku yang tiga tahun lebih muda tapi lebih tidak beruntung daripadanya perkara dunia.
Hubungan kita berjalan sangat baik, orang tua Made mencarikan kost-kostan minimalis karena aku tak mau tinggal bersama mereka, membiayai sekolah, makan, dan kebutuhan lainnya. Lagi-lagi aku merasa merepotkan orang lain. Jadi, kuputuskan mencari pekerjaan saat liburan akhir semester.
Akhirnya aku diterima bekerja di Lanti's Cafe, menjadi seorang pelayan. Saat liburan, aku akan bekerja full day. Selebihnya, mulai pulang sekolah sampai jam sembilan malam.
Kata pekerja lainnya, semenjak aku bekerja di sana, Pak Tio jadi sering menyambangi kafenya. Dia seringkali mengajakku makan atau sekadar datang memberiku sesuatu, kadang baju, boneka, dan ice cream. Dia juga pernah membelikanku alat tulis serta tas dan sepatu saat masih sekolah dulu. Hingga banyak karyawan yang bergosip bahwa aku ini istri simpanan Pak Tio sebab istri Pak Tio sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu karena serangan jantung. Lalu, apa pantas mereka men-cap diriku sebagai istri simpanan? Padahal, usia kami lebih cocok disandingkan sebagai anak dan orang tua.
Pak Tio bahkan pernah menanggung biaya pengobatanku saat terserang demam berdarah dan maag akut. Juga pernah membayar hutang uang kost yang kutunggak selama empat bulan.
Karena itulah aku menerima perjodohan ini tanpa basa basi dan tanpa mempertimbangkannya lagi, Pak Tio terlalu baik untuk ditolak permintaannya. Meskipun aku tahu Mario tidak menyukai perjodohan ini.
Aku memang pernah bertemu dengannya, hanya sekali. Saat kami bertunangan. Dia tidak melihatku barang sekilas, hal itulah yang membuatku yakin bahwa dia sebenarnya tidak mengharapkan perjodohan ini. Entah apa alasannya dia tidak menyukai perjodohan ini, tetapi tidak juga menolaknya.
Merasa aneh? Tentu saja. Dia laki-laki, jadi kurasa seharusnya dia punya wewenang mencari istri sendiri. Bukankah Made bilang dia punya kekasih?
Ya Tuhan! Aku benar-benar bingung sekarang, pernikahanku tinggal menghitung jam dan aku baru memikirkan semua? Memikirkan konsekuensi menikahi kekasih orang lain, menanggapi sikap Mario yang terlihat membenciku, menanggapi pertanyaan mertua jika suatu saat mempertanyakan tentang hubungan kami, memikirkan bagaimana cara menanggapi kekasih Mario saat dia menyebutku pelakor, atau bagaimana cara menghadapi kekasih laki-laki itu jika tiba-tiba melabrakku.
Tunggu! Apa aku harus menolak sebutan pelakor? Akan tetapi, aku kan memang bukan pelakor. Aku menerima perjodohan ini saat belum mengetahui kenyataan bahwa Mario memiliki kekasih. Jadi, aku tidak layak disebut pelakor, bukan?
Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.Tok! Tok! Tok!"Elli! Kau sedang apa?"Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?Tanpa me
3. Alasan"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya."Se-selamat pagi, Pa."Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.Aku harus jawab apa?Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'Tidak! Tidak!Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar da
Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario."Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa."Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.***Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.Cha?Michalea?Jadi, Ma
"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya."Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa."Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ....""Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya men
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut, mempersiapkan mental dan juga hati pun kewarasan sebelum masuk ke rumah. Micha ada di sini, aku yakin dia pasti berada di ruang tamu bersama Mario, duduk bersanding sambil bersenda gurau, itu kebiasaan mereka. Entah ini kali keberapa Mario mengajak gadis itu, saking seringnya aku sampai tak bisa menghitung.Gelak tawa yang tadinya memenuhi udara di ruang tamu seketika berhenti saat aku menarik knop pintu. Benar, kan! Mereka tengah duduk di kursi, bermesraan dan bercanda. Dugaanku sesuai dengan kenyataan.Aku melangkah menuju kamar dengan raut yang kuatur sebiasa mungkin, meski pada kenyataannya dada ini bergemuruh hebat. Setidaknya aku tampak menganggap mereka angin lalu, seperti anggapan mereka terhadapku.Aku merasa Mario melepas rangkulannya di pundak Micha saat aku hendak menutup pintu kamar."Suamimu pulang, Micha ada di sini.
Aku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKaubilang, "Cinta tidak tinggal, pergilah, jangan menetap!"Aku bersamamu kala kauterpejamNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuIni bukanlah kemauanku, semesta memaksa kita tak bersamaSaat kauterpejam aku ada di sisimuNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaMata memang bisa salah melihat apa sajaAkan tetapi, cahaya cinta itu nyataTiadalah hati salah dalam merasaBiarpun bibir enggan mengaku dan berucap iyaHati tidaklah bisa berbohong, pun menghindar dari perasaan yang lumrah adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuMemori sudah bekuLidah pun semakin keluTiada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataanAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKau memang tak pernah mengatakan cintamu padaku
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut, mempersiapkan mental dan juga hati pun kewarasan sebelum masuk ke rumah. Micha ada di sini, aku yakin dia pasti berada di ruang tamu bersama Mario, duduk bersanding sambil bersenda gurau, itu kebiasaan mereka. Entah ini kali keberapa Mario mengajak gadis itu, saking seringnya aku sampai tak bisa menghitung.Gelak tawa yang tadinya memenuhi udara di ruang tamu seketika berhenti saat aku menarik knop pintu. Benar, kan! Mereka tengah duduk di kursi, bermesraan dan bercanda. Dugaanku sesuai dengan kenyataan.Aku melangkah menuju kamar dengan raut yang kuatur sebiasa mungkin, meski pada kenyataannya dada ini bergemuruh hebat. Setidaknya aku tampak menganggap mereka angin lalu, seperti anggapan mereka terhadapku.Aku merasa Mario melepas rangkulannya di pundak Micha saat aku hendak menutup pintu kamar."Suamimu pulang, Micha ada di sini.
"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya."Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa."Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ....""Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya men
Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario."Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa."Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.***Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.Cha?Michalea?Jadi, Ma
3. Alasan"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya."Se-selamat pagi, Pa."Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.Aku harus jawab apa?Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'Tidak! Tidak!Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar da
Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.Tok! Tok! Tok!"Elli! Kau sedang apa?"Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?Tanpa me
Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak."Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin."A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan."Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku."Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki
Aku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKaubilang, "Cinta tidak tinggal, pergilah, jangan menetap!"Aku bersamamu kala kauterpejamNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuIni bukanlah kemauanku, semesta memaksa kita tak bersamaSaat kauterpejam aku ada di sisimuNamun, saat kaulihat dunia, saat itulah aku tak lagi adaMata memang bisa salah melihat apa sajaAkan tetapi, cahaya cinta itu nyataTiadalah hati salah dalam merasaBiarpun bibir enggan mengaku dan berucap iyaHati tidaklah bisa berbohong, pun menghindar dari perasaan yang lumrah adaAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuMemori sudah bekuLidah pun semakin keluTiada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataanAku mencintaimu, tapi aku meninggalkanmuKau memang tak pernah mengatakan cintamu padaku