Percayalah kalau ada voting buat mantan ter-kurang ajar kukira si Vio ini akan menjadi mantan paling wahid yang akan aku pilih dalam voting.
Kukira setelah Pak Ravi memberikan atm, hutangku akan selesai tapi ternyata dia lagi-lagi menggangguku.Baru saja aku turun dari ojek sepulang dari ngobrol sama Pak Ravi, si Vio dengan pongahnya lagi bersandar ke tembok kontrakanku seakan dia sudah menunggu sejak lama. Untungnya, Pak Ravi nggak jadi mengantarku coba kalau jadi bisa perang dunia ketiga lagi karena dua jantan ini kembali bertemu.Aku tak mengerti dosa apa yang aku lakukan sebelumnya? Hingga bukannya aku dapat mantan yang baik malah dapat mantan yang ... entah. Apa mungkin aku kurang sedekah?"Mau apa lagi kamu ke sini? Bukannya hutang udah saya bayar lunas?" tanyaku langsung pada inti permasalahan.Rasanya ingin garuk tembok lalu mencakar mukanya.Belum kering luka batin, dia sepertinya mau menambah luka lagi. Lima tahun kebersamaan kami tampaknya tak berarti, ibarat panas bertahun lamanya dihapus hujan sehari.Kacau."Saya? Sejak kapan panggilan 'aku' jadi 'saya?" tanya Vio dengan wajah kesal."Sejak lebaran monyet. Dahlah, kamu mau ngapain ke sini? Saya gak ada waktu ngobrol sama calon suami orang," jawabku tegas.Bagiku tak ada lagi panggilan 'aku-kamu' seperti dulu. Ogah!Vio menyeringai, rambut di dagunya yang lebih mirip bulu ketek dibanding janggut itu ikut melebar."Ngokeh, kalau kamu mau kita lebih resmi. Baik Sara Elvira Wijayanto saya mau nanya barang saya yang lain.""Barang kamu yang lain? Barang yang mana?"Aku melotot karena pertanyaannya sangat mengada-ngada. Perasaan apa yang dia berikan sudah kuserahkan semua bahkan hingga k*tang, aku balikin takutnya dipelet."Kamu lupa waktu dulu, saat orang tua kamu kecelakaan kamu pernah minjem jam tangan almarhum bapak saya untuk dijual demi mengeluarkan jasad orang tua kamu kan dari rumah sakit. Kamu ingat?" tanya Vio yang langsung membuat lututku lemas tak bertenaga.Oh ya Allah! Dia mau menagih yang itu juga? Apa dia sudah gila?"Iya saya ingat. Tapi kan, waktu itu kamu yang nawarin diri Vio. Kata kamu pakai aja dulu, soalnya kamu kasian liat saya, Kok, sekarang kamu tagih lagi? Please-lah Vio, ini namanya pemerasan!""Pemerasan? Kamu yang tanda tangan kok, kamu gak ingat pas saya minta kamu tanda tangan surat perjanjian?""Hah kapan? Perasaan kamu cuman bilang butuh ttd saya buat registrasi apa gitu.""Makanya kalau ada yang ngasih surat perjanjian itu dibaca! Itu sebenarnya surat perjanjian di mana kamu akan mengembalikan jam tangan almarhum bapak saya, b*do kok dipiara?" hina Vio penuh kemenangan."Dasar buntut kasiran! SIIIIAAAAL!" teriakku kencang dengan emosi.Sumpah ya, aku tak peduli jika akhirnya beberapa orang warga melihat ke arahku. Namanya juga hidup di gang, pertengkaran sekecil apa pun akan terdengar."Hahahaha ... iya aku emang buntut kasiran, kamu mau apa?" ledeknya songong sambil menunjukan deretan giginya yang berbehel mahal.Pamer.Rasanya ingin kulayangkan sumpah serapah sekarang pada Vio setelah mendengar penghinaan si kutu busuk ini.Aku benar-benar menyesal telah ceroboh main asal tanda tangan.Namun, apa daya dia benar sekarang? Aku ingat sekarang, dulu dua tahun lalu waktu aku sedang sedih-sedihnya di depan pusara ibuku, si Vio datang dengan membawa satu lembar kertas yang katanya itu bagian kelengkapan dari rumah sakit, karena aku sedang kalut bodohnya aku tak membaca keseluruhan apa isi kertas itu karena percaya pada Vio dan sekarang aku kena batunya.Ya Allah!Kalau seandainya bunuh orang enggak dosa, mungkin sekarang aku sudah menyiramkan bensin pada wajah Vio dan membakarnya hidup-hidup."Gimana? Saya benar, kan? Jadi, jangan merasa menang dengan kamu mau menikah dengan Pak Ravi, karena saya lebih tahu kamu dari pada dia! Selamanya kamu gak akan lepas dari saya karena surat ini akan mengikatmu!""Maksud kamu apa?" tantangku mendadak mendapat firasat buruk. Terutama ketika dia mengeluarkan selembar kertas yang ia acungkan tepat di depan hidungku."Cih! Masih nanya lagi? Dengar, perjanjian ini akan saya jadikan senjata karena kamu belum membayar hutang barang pemberian saya satu lagi dan asal kamu tahu saya ingin jam tangan itu kembali utuh bukan dengan bentuk uang dan sebagainya, ingat jam tangan yang sama dengan model yang sama.Kamu tidak mau mengecewakan Ibuku yang sudah menganggapmu anak bukan? Bayangkan jika dia tahu jam peninggalan suaminya kamu jual, pasti dia akan membencimu.""B*rengs*k!" Aku mengepal geram mendengar ucapan Vio yang bergulir bagai peluru yang terus menerus menembus jantung.Tak kusangka kecerobohanku dia jadikan alat untuk memeras. Tapi, kali ini aku tak akan tinggal diam. Dia sungguh berbeda dengan Bu Eva yang baik, Vio sungguh produk gagal dari keturunannya."Oke, saya akan mencarinya tapi sebelum itu boleh saya pinjam suratnya?" tanyaku dengan nada yang mencoba biasa. "Kali aja kan kamu mau nipu saya?""Boleh kok, nih silahkan cek!""OKE."Aku langsung merebut kertas yang ia sodorkan dan tanpa melihat gegas kusobek kertas itu sampai hancur berkeping-keping dengan amarah yang udah sampai ke ubun-ubun.Srek! Srek!"Sara! Mau apa kamu?" bentak Vio membuat semua orang yang sudah menonton kami semakin heboh.Mau bagaimana lagi bertengkar di depan kontrakan ya pasti jadi konsumsi umum dong. Tetapi, aku tak peduli karena fokusku hanya ingin melenyapkan surat perjanjian terkutuk ini.Aku tertawa puas setelah surat perjanjian itu aku sobek dan kulemparkan ke mukanya. "Makan tuh surat perjanjian! Sekarang, perjanjian kita gak ada lagi! Pergi kau mantan nggak ada akhlak!" ocehku dengan dada membusung marah.Sekejap Vio terlihat marah tapi tiba-tiba dia tersenyum sinis. "Dasar bodoh! Kamu pikir aku sebod*h kamu? Saya kan punya salinannya."Hah? Fix dia sakit jiwa.(***)Pernah nggak sih, merasa bahwa hidupmu hancur dan merasa tak penting lagi hidup? Kukira aku sedang merasakannya sekarang.Jam tangan! Jam tangan! Jam tangan! Ah ... harus ke mana aku mencarinya?Aku ingat dulu pernah menjualnya pada seorang kolektor bahan antik via online tapi tadi pas aku cek ternyata nomorku sudah diblokir sama orang itu, akun medsos si kolektor pun raib entah ke mana.Ya ampun! Kenapa aku bisa seceroboh ini, sih? Mana aku lupa merek jamnya. Yang kuingat hanya bentuknya saja, itu memang jam tua tapi katanya sangat bernilai historis jadi si kolektor mau membeli jam itu berapa pun biayanya."Agggghhhhh!" Aku kembali berteriak seperti orang gila di kursi rotan yang ada di kamar kontrakan.Sungguh aku bingung harus minta tolong siapa lagi.Ke Pak Ravi? Ah, enggaklah. Dia pasti marah setelah aku tolak permintaannya untuk bertemu keluargaku.Habisnya gila aja, dia minta nikah tiga hari.Emang aku ini anak ayam yang tinggal kawinin terus kelar? Nggak semudah itu Fernando Jose.Terlebih, di kota ini aku hanya hidup sebatang kara.Hanya Wak Omen yang bisa kuandalkan sebagai keluarga itu pun dia sudah tua dan dia tinggal di kampung.Aku tak mau merepotkannya.Banyak yang bilang dulu orang tuaku itu kawin lari jadi banyak yang tak setuju tentang hubungan orang tuaku. Beruntung, aku dibesarkan dengan baik sampai bisa kuliah hingga musibah terjadi, dua tahun lalu kecelakaan nahas akhirnya merenggut orang tuaku dan saat itu aku kuakui hanya Vio yang ada di sampingku.Menilai latar belakangku ini.Sepertinya aku harus memikirkan tentang kesepakatan kami.Apa aku gagalkan saja kesepakatan ini? Tapi bagaimana caranya mengembalikan uang dosen muda itu?Kasian juga dia, setahuku dia dulu juga pengamen cilik di lampu merah sampai diangkat anak oleh Pak Sasongko--seorang pengusaha dari Surabaya yang sedang berkunjung ke Bandung.Tok. Tok. Tok.Di tengah kegalauan level akut kudengar pintu rumah kontrakan diketuk seseorang."Siapa?" tanyaku sambil beringsut dari kursi yang ada di kamar menuju pintu untuk membukanya.Cklek. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, muncullah seorang lelaki tampan dengan menggunakan jas.Wajahnya bersinar cerah walau di bawah lampu teras yang hampir padam."Pak Ravi? Ngapain ke sini?" tanyaku dengan mata membulat sempurna.Terlebih saat kulihat ada Pak Sasongko dan seorang wanita setengah baya menyertainya, kutebak itu istri Pak Sasongko.Pak Ravi tersenyum sumringah, begitu pun kedua orang tua di belakangnya.Belum sadar sepenuhnya karena masih syok, Pak Ravi tetiba membisik di telingaku."Halo, Sar? Saya ke sini bawa ibu-ayah angkat saya untuk melamarmu, jadi boleh saya masuk? Oh iya, saya juga udah hubungin W* Omen uwa-mu dari kampung. Jadi, kamu gak punya alasan lagi buat nolak kan?""Eh, W* Omen? Bapak jemput dia?"Gila ya, lelaki satu ini terniat. Iya niat banget balas dendam sama ibunya.Jangan-jangan dia menguntitku selama ini?"Iya, jadi kita bisa nikah dulu secara agama jika kamu mau. Kamu gak lupa kan, maharnya sudah kamu terima lebih dulu.""Ma-mahar?""Iya, uang empat puluh juta yang saya gunakan untuk membayar hutangmu. Hutang barang mantan. Kamu tahu kan, di muka bumi ini tak ada yang gratis?"Dan seketika pegangan tanganku di gagang pintu pun terlepas. Mendengar ucapan Pak Ravi, aku tak bisa berkata apa-apa lagi.Aku mati kutu. On the way kejang-kejang.Ekpektasi wanita kalau dilamar itu si cowoknya bawa bunga sambil menyodorkan cincin. Kemudian dengan lembut si cowok berbisik di telinga si cewek."Will you marry me?"Sedap!Namun, aku? Yang ada si cowok membisikan."Kamu ingat kan, hutang kamu?"Gubrak.Ya Allah! Apa segini susahnya hidup sebagai anak perempuan yatim-piatu? Sekalinya dapat suami ganteng yang mengajak berumah tangga alasannya karena hutang.Apa nggak ada yang lebih elit lagi?Bodohnya, dengan berat hati aku terima lamaran Pak Ravi dan berakhirlah aku di sini sebagai calon istri dari seorang Ravi Mahendra yang masih menunggu resepsi satu minggu lagi.Pasti banyak yang bertanya, kenapa seminggu lagi? Nggak jadi tiga hari? Jawabannya karena Bu Gea--istri Pak Sasongko ingin semua koleganya hadir tanpa terkecuali. Selain itu, jadwal KUA penuh mungkin banyak yang kebelet nikah sehingga meski persyaratan lengkap ada hal lain yang menjadi pertimbangan.Mendengar itu, tentu saja Pak Ravi awalnya kecewa tapi yang namanya Pak R
Setelah bertemu dengan Vio dan Pak Ravi ada dua hal yang menjadi prinsip dalam hidupku, prinsip kesatu jangan mudah percaya sama mulut lelaki dan prinsip kedua jangan muda menerima pemberian apa pun dari orang lain. Kenapa? Karena akan sangat menyusahkan dan merepotkan. Jika tak ingat kalau aku masih punya iman, aku mungkin sudah bunuh diri. Untunglah, aku pernah dengar kajian kalau orang yang berhutang itu entar di akhiratnya bakal susah. Jadi, dari pada susah mending nikah sama Pak Ravi aja. Sama-sama susah, kan? Maka, dengan segenap hati dan seberat body akhirnya aku sampai juga di hari ini.Tepat seminggu sesudah resepsi Vio akhirnya giliran aku yang menggelar akad dan resepsi yang melelahkan. Meski kata Bu Gea masih sangat sederhana karena hanya mengundang kolega penting dan keluarga terdekat, tapi tetap saja badanku berasa remuk semua. "Hoaaaaam!" Aku kembali menguap ketika tubuh ini berhasil kurebahkan di atas tempat tidur. Mataku mulai menerawang menembus langit-langit kam
Kesan hari pertama jadi istri yang dinikahi akibat hutang itu rasanya seperti kamu jadi Captain America yang kesasar di negeri Alakadabra alias 'OLENG'.Seharusnya kurutuki Pak Ravi yang seenak udelnya tak membangunkanku dan berangkat lebih dulu. Sebagai asisten dosen tentu saja ini bencana bagiku, apa pendapat para mahasiswa kalau dosen lebih dulu datang dibanding asdos-nya? Bisa di-bully habis-habisan aku sama mahasiswa yang lagi praktikum. Mereka kan tengil dan pastinya aku akan jadi bulan-bulanan. Duh Gusti! Heran deh, segitu kejamnya punya laki enggak ada manis-manisnya. Kalau aku kesiangan, bangunkan kek atau elus kek pipinya biar sadar. Ini bukannya empati tapi malah sengaja biar aku terlena.Alhasil, dengan langkah terburu-buru aku pamit sama mertua dan memesan ojek untuk sampai di tempat perkuliahan secepat mungkin. Lalu, berakhirlah aku di sini. Di depan lab Material-1 di mana Pak Ravi sedang berdiri dengan tatapan dingin seraya mengabsen mahasiswa satu-persatu. Biasan
Kata Mbah G**gle, biar hubungan kita sama pasangan itu aman, tentram dan loh jinawi, jangan pernah membahas dan membawa masalah mantan baik dalam kondisi apa pun kecuali kepepet. Tetapi kayaknya hal itu tidak berlaku bagi aku dan Pak Ravi, wong tujuan misi kita adalah membalas dendam pada istri mantanku beserta Vio kok. Eh, bentar ... emang Pak Ravi mau memberi pelajaran sama si mantan 'enggak ada akhlak juga' gitu? Ah, itu kayaknya aku aja kali dia enggak. Pak Ravi itu lelaki paling egois yang pernah aku temui, mana mungkin dia berpikiran tentang bagaimana perasaanku jika untuk memarahi seorang Sara di depan mahasiswanya saja dia bisa. Bayangkan, hanya karena perkara cincin ketinggalan di kamar mandi, tuh laki repotnya udah sampai ke ubun-ubun. Sampai membuat satu kelas horor hanya karena tingkahnya. Gimana kalau aku ketinggalan dalaman?"Saraaa! B*ha dan CD kamu nih, kok ada di wastafel?" Astaga! Kejadian. Serius? Mendengar teriakan yang tiba-tiba dari arah kamar mandi, aku la
Banyak yang bilang cara menaklukan orang sombong bin tukang pamer itu hanya dengan dua cara. Satu mengabaikannya karena kamu nggak peduli dan dua bertindaklah lebih dari 'si sombong' agar dia tahu di atas langit masih ada langit.So, menimbang dan melihat kelakuan suamiku akhirnya aku bisa menyimpulkan. Kurasa langkah kedua itulah yang sedang Pak Ravi jalankan bagi Bu Hana, disebabkan Bu Hana itu emang suka merendahkan orang lain. Hanya karena lingerie dia tega membawa-bawa hutang masa laluku pada suaminya.Beruntung, Pak Ravi itu selain pintar ngomel dia juga pintar melaksanakan misi sehingga harga diriku tadi bisa terselamatkan dan menurutku itu langkah yang cerdas.Walau ... harus kuakui itu berlebihan. Apalagi kalau sampai meluk-meluk pinggang kan kasian hati perawan kayak aku ini, berasa dikasih harapan gitu."Kamu mau sampai kapan bengong gitu? Ini malam hari ya, saya gak mau kamu kesurupan karena nggak kemasukan aja kamu udah ngerepotin saya. Lebih baik kamu bersiap karena seb
Disclaimer:Jika ada yang bertanya apakah aku senang tinggal di perumahan elit? Jawabannya adalah TIDAK.Kenapa? Karena baru seminggu aku tinggal di perumahan rasanya beratku turun beberapa ons.Penyebabnya tak lain dan tak bukan, karena aku kekurangan bahan asupan jajanan kesukaanku seperti bakso, cendol, siomay sampai kue putu. Tragis!Kukira tinggal di perumahan elit itu menyenangkan karena fasilitas lengkap tersedia tanpa memikirkan esok makan apa, tapi setelah aku jalani rasanya gaya hidup seperti ini tak cocok denganku.Jujur, aku belum terbiasa dengan kondisi sepi dan angkuh seperti ini.Di mana para tetangga bersifat individual tanpa mempedulikan satu sama lain. Pantas saja, jika ada kejadian pembunuhan mereka tak akan tahu karena bagiku masing-masing rumah memiliki barier tersendiri bagi pihak asing.Termasuk rumah Bu Hana dan Vio, sepemantauanku akibat pagar yang tinggi, aku jadi tidak tahu aktivitas mereka padahal aku harus tahu demi kelancaran misi. Sudah kuduga membalas d
Yakinlah sifat dasar manusia itu tidak mungkin langsung berubah dalam satu waktu dan sekarang aku menyesal karena terlalu berharap.Pak Ravi tetaplah dosen menyebalkan yang suka memerintah dan galak. Buktinya, meski semalam dia sudah membelaku di hadapan nenek sihir--Bu Hana, esok harinya dia kembali menjadi manusia paling enggak peka sedunia. Sudah kuduga, baginya aku tak lebih dari sebuah sandiwara.Aku saja yang bodoh membawanya baper sampai ke sumsum tulang. Padahal untuk Pak Ravi, mungkin aku tak lebih dari remahan ranginang di kaleng monde, rasanya ada tapi bukan fokus utama.Luka tapi tak berdarah.Arrh! Apa mungkin dia sebenarnya malu karena ulahku yang memakai barang kawe di pesta kemarin? Sehingga dia kesal kalau aku sudah mempergunakan uangnya untuk hal yang tak berguna.Tuk. Tuk."Sara! Sar! Kamu bisa jaga mereka lebih dekat? Karena mereka mulai berisik," perintah Pak Ravi disertai ketukan di meja berhasil menghancurkan lamunanku.Aku tersentak kaget menatap Pak Ravi yang
"Jangan dekati lelaki mana pun, tanpa seijin saya. Kalau nggak, mungkin saya tidak bisa menahan diri lagi!"Aaaa!Aku meremas rambut sendiri lalu membasuh muka berkali-kali.Nggak! Aku yakin Pak Ravi nggak cemburu! Dia mengatakan itu karena gak mau misinya gagal. Sadar, Ra! Sadar!JANGAN BERHARAP LEBIH!Kembali aku menahan napas, memejamkan mata sejenak lalu menghembuskannya lagi perlahan sampai dadaku tenang, aku mencoba mengembalikan rona wajahku yang memerah sambil menatap wastafel. Aku tidak mau siapa pun tahu kalau diri ini sedang kegeeran karena dosen jutek yang ngomong aja pakai muter-muter kayak kipas angin.Sumpah ya, kata-kata Pak Ravi itu emang menyebalkan. Sekalinya bertitah hatiku dibikin gegana (gelisah, galau dan merana) tiada dua. Mana buat nulis kata 'cemburu' aja dia mah pakai TTS, berasa banget aku nikah sama dosen kalau begini.Namun, kali ini aku tidak akan terpancing dan membodohi diri sendiri. Cukup! Aku tak mau lagi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Asem."F
Aku sungguh tak menginginkan acara penyambutan yang kaku dan menyedihkan seperti ini ketika kembali ke kediaman keluarga Sasongko.Namun, apa yang aku bisa harapkan? Jika kehadiran kami saja membuat semua orang kecewa karena Bang Ravi menyampaikan kabar tentang kehamilanku pada keluarga yang jelas-jelas tak menginginkannya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Gea dengan nada berat sehingga terdengar seperti gumaman.Saat ini kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu dengan formasi lengkap. Bu Gea, Wita dan Pak Songko ketiganya seketika diliputi atmosfer gelap terutama Wita. Gadis itu sampai menundukan kepala menahan tangis yang hendak keluar.Aku paham kondisi ini pasti sangat sulit bagi semua. Sebagai wanita, Wita pasti sangat sakit hati ketika tahu lelaki yang ia cintai selama ini ternyata telah memiliki anak dari perempuan yang ia benci. Apalagi pernikahannya pun harus gagal karena Bang Ravi lebih memilih aku."Kata Dokter baru lima minggu Bu, minta doanya," kata Bang Ravi. Kurasakan geng
Aku memainkan sendok yang kupegang dengan perasaan malas. Sudah setengah jam berlalu tapi aku masih saja tak bisa menghabiskannya. Rendang, nasi, parkedel dan lalaban yang ada di hadapanku benar-benar tak dapat menggugah selera.Hari ini tepat dua minggu berselang dari hari di mana aku diminta pergi dengan paksa dan berakhir di villa persembunyian Bu Hana yang berada di kaki gunung Pangrango. Bu Hana? Bu Hana ibu kandung Bang Ravi? Iya dia. Siapa sangka, di saat aku merasa ingin pingsan di pinggir jalan karena merasa kehilangan tujuan, dialah yang membawaku ke sini. Sungguh kebetulan, aku yang hendak melarikan diri setelah dihina dan diusir bertemu dengan seorang perempuan yang kukira musuh. Beruntung, saat itu tak ada Vio di sana sehingga dengan amannya aku bisa menyembunyikan diri. Entah, ini karena kasian atau dia berpikir sebaiknya merawatku demi rasa bersalahnya kepada seorang Ravi, jujur aku tak peduli. Aku tidak tahu ada modus apa di balik kebaikan Bu Hana yang tiba-tiba ini
Langkah ini begitu gontai saat keluar dari ruang perawatan Pak Sasongko. Pikiranku berkecamuk tak tentu arah karena memikirkan permintaan Ayah angkat yang tetap mau menikahkanku dengan Wita. Kata beliau hanya aku harapan dia untuk menjaga anak bungsunya.Sejujurnya, sampai saat ini aku masih belum bisa memberi jawaban. Sekali pun Ibu mendesak dan Wita tentu saja berharap, aku memilih bersikeras menunda keputusan. Aku tak ingin emosi dan mengambil jalan yang salah. Terutama, aku tak ingin menyakiti Sara.Aku mencintainya. Itu pasti. Hanya saja aku belum menemukan cara agar membuat Sara tetap di sisiku tanpa menjadikannya objek kemarahan keluarga Sasongko. Sebagai lelaki aku tak boleh gegabah bertindak."Ravi tunggu!" Suara tegas milik Ibu menahan langkahku yang hendak menuju ke arah pintu keluar. "Ibu ingin bicara."Aku berbalik dan memaksakan senyum. "Iya Bu. Ada apa lagi?" tanyaku menahan rasa enggan.Otakku benar-benar penat dan butuh istirahat."Kamu bisa jagain Wita malam ini?""L
Patah hati adalah sebuah kejadian yang pasti dialami oleh hampir seluruh manusia yang mengaku pernah jatuh cinta. Kisah patah hati pun nggak sama, semua orang punya kisah berbeda. Tapi, berkali-kali patah hati karena suami tak membuat hatiku menyerah. Entah mungkin karena sudah terbiasa.Bang Ravi, pria itu terlalu nyata untuk aku lupakan. Kenangan dan segala sesuatu tentangnya membuatku tak bisa beralih pikiran. Lalu, aku harus apa? Ketika aliran sesak ini semakin tak tahu diri.Menangis? Ah, aku lelah! Bahkan rasanya aku seperti menjilat ludahku sendiri.Dulu, aku mengatakan, menangis untuk Bang Ravi sama saja dengan menangisi kebodohan tapi fakta membuktikan kalau aku malah tenggelam dalam kebodohanku sendiri.Baru seminggu saja aku bersembunyi, ternyata diri ini sudah sangat merindu seorang Ravi.Aku rindu wanginya.Aku rindu suaranya.Aku rindu tatapannya, tawanya, ciumannya, dekapannya dan semua tentangnya.Aku hampir merasa gila tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kusangka
Apa yang kamu harapkan Sara? Ngimpi!Sejak awal pernikahanku memang sudah salah. Tak seharusnya mempermainkan pernikahan dan kutahu Bang Ravi hanya ingin memperalatku sebagai objek balas dendam.Tak lebih! Sepantasnya aku sadar itu hingga tak terlalu menyuapi angan dengan harapan. Namun, aku saja yang bodoh masih merasa semua akan baik-baik saja.Padahal setelah ini selesai, dia tetap milik keluarganya dan aku tetap kembali ke titik semula seorang gadis yang berhutang barang pada mantannya.Bruk!Aku menutup pintu dengan keras. Entahlah, ubun-ubunku terasa mendidih melihat Bang Ravi memeluk Wita.Apakah arti dari pelukan itu adalah mereka akan menikah? Dan lelaki itu akan menuruti perintah orang tua angkatnya?"Sialan!" Spontan aku membanting bantal ke lantai. Mulai dari sekarang, aku tak akan percaya mulut lelaki satu pun.Aku tak akan mendengarkan Bang Ravi sama sekali. Aku akan bertindak sesukaku, kami hanya suami-istri di atas kertas. Untuk apa aku setia? Jika pada akhirnya akulah
"Sebelum dia menjadi suami kamu. Ravi adalah anak angkat kami. Jadi, saya harap kamu sadar kedudukanmu Sara."Kata-kata Pak Sasongko terus saja terngiang di kepalaku. Bagaikan sebuah kaset yang terus diputar di kepala dan membuat gelisah.Emang seharusnya aku tak perlu sekhawatir ini karena Bang Ravi sudah berjanji mau menjagaku. Namun, tetap saja rasa keberatan itu timbul karena bukan Bu Gea yang berbicara tapi Pak Sasongko.Ayah angkat Bang Ravi yang terbiasa diam itu sekarang seolah bersebrangan denganku. Sebagai menantu aku jadi merasa serba salah dan juga tak yakin akan hubungan ini. Lambat-laun belang dari keluarga ini terlihat, sekali pun mereka baik jika berkenaan dengan anak kesayangan pasti apa pun dikorbankan termasuk perasaan orang lain.Karena Wita. Rasa cinta Wita pada Bang Ravi-lah yang menjadi alasan aku menjadi ragu dan sekarang adik iparku itu kecelakaan tepat di mana aku sedang berbulan madu.Haruskah aku curiga? Mungkinkah ini disengaja?Memikirkan ini semua membua
POV RAVIAku tersenyum saat melihat Sara dengan gembira bermain pasir putih yang terbentang sepanjang pantai. Rambut panjangnya yang tertiup anginberkibar menjadikannya lebih cantik.Sara adalah istimewa. Itulah yang kuketahui sejak pertama kali mengenalnya. Kuakui rasa pada Sara terasa lebih dalam dan kuat seiring berjalannya waktu. Maka, ketika hari ini aku melihatnya bersama ibu kandung yang telah kuanggap mati, jiwa ini seakan memberontak.Aku tak rela Sara dekat-dekat dengan wanita kejam itu, aku takut dia terpengaruh sehingga meninggalkanku seperti Ibu.Setiap melihat wajah Sara, entah kenapa aku kadang ragu apakah hubungan kami bisa berjalan lama? Bukan. Bukan karena aku menyangsikan kesetiaannya tapi aku takut tak sanggup bertahan tanpanya."Makasih ya Pak, Bapak udah bawa aku ke pantai," kata Sara dengan senyuman di bibirnya yang kemerahan."Iya, sama-sama tapi bisakah kamu gak panggil saya lagi dengan sebutan Bapak? Saya suamimu dan udah mengambil kesucianmu pula, masa ma
Mataku terbuka saat suara dorongan pintu paling pelan menyapa gendang telinga. Samar aku melihat warna cat kamar yang berbeda.Perasaan kamarku nggak bercat abu. Kok, ini jadi abu? Terus baunya ini ... sepertinya aku kenal.Di mana aku? Aku memegang kepalaku yang terasa pening lalu mencoba bangkit dan mendudukan diri."Aw!" Aku meringis saat kurasakan daerah selangkanganku yang sedikit sakit.Ah, kenapa ini? "Sudah bangun?" Sebuah suara menyapa. Aku sontak mendongak melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam kamar. Melihatnya di kamar ini membuatku dengan cepat menyembunyikan wajah malu.Seketika otakku cepat berfungsi dengan baik dan sadar kalau semalam kami sudah melewati batas tapi entah mengapa aku tak merasa bersalah.Kami halal. Ya, toh?Pak Ravi tersenyum melihatku yang seperti kucing ketahuan mencuri ikan. Wajahku pasti sangat merah karena siapa sangka kalau yang merebut keperawananku adalah Pak Ravi.Entah harus bahagia atau sedih."Sudah jangan malu-malu gitu. Minum air
Orang bilang kentut di depan suami itu adalah bagian dari bentuk keakraban sekaligus tanda kita sudah nyaman. Nah, masalahnya kentut yang kulakukan itu terbilang kentut yang kurang ajar jauh dari kata bentuk akrab.Orang lagi sakit malah dikasih kentut. Untung jadi sembuh, coba kalau jadi nambah sakit? Bisa bahaya jika Pak Ravi pingsan karena baunya."Udah buang air besarnya?" tanya Pak Ravi saat aku baru keluar dari toilet.Aku nyengir kuda. Merasa bersalah juga lega. Pantas saja kentutku bau soalna aku baru ingat belum BAB."Udah Pak. Hehe ... oh ya, buburnya enak gak?" kataku sambil menghampiri Pak Ravi yang sedang duduk di atas kursi meja makan. Mengalihkan issu adalah jalan ninjaku.Aku mengambil tempat tepat di depan Pak Ravi yang masih sibuk menyantap bubur yang kubuat tadi.Melihat Pak Ravi terlihat lebih baik dan segar, dalam hati aku tersenyum senang, setidaknya dia tak nampak mengkhawatirkan lagi meski masih sedikit pucat."Mau jawaban jujur atau modus?"Bukannya menjawab,