Kesan hari pertama jadi istri yang dinikahi akibat hutang itu rasanya seperti kamu jadi Captain America yang kesasar di negeri Alakadabra alias 'OLENG'.
Seharusnya kurutuki Pak Ravi yang seenak udelnya tak membangunkanku dan berangkat lebih dulu. Sebagai asisten dosen tentu saja ini bencana bagiku, apa pendapat para mahasiswa kalau dosen lebih dulu datang dibanding asdos-nya? Bisa di-bully habis-habisan aku sama mahasiswa yang lagi praktikum.Mereka kan tengil dan pastinya aku akan jadi bulan-bulanan.Duh Gusti! Heran deh, segitu kejamnya punya laki enggak ada manis-manisnya. Kalau aku kesiangan, bangunkan kek atau elus kek pipinya biar sadar. Ini bukannya empati tapi malah sengaja biar aku terlena.Alhasil, dengan langkah terburu-buru aku pamit sama mertua dan memesan ojek untuk sampai di tempat perkuliahan secepat mungkin.Lalu, berakhirlah aku di sini. Di depan lab Material-1 di mana Pak Ravi sedang berdiri dengan tatapan dingin seraya mengabsen mahasiswa satu-persatu.Biasanya kalau dalam kondisi normal, aku akan datang lebih dulu dan memastikan semua pendukung pengajaran lengkap. Tapi kali ini aku benar-benar apes.Semoga aku nggak dipecat. Udah mah berhutang masa kehilangan pekerjaan, meski bosnya suami sendiri.Tok. Tok. Tok."Pa-agi Pak," sapaku gagap pada lelaki tegap berjas lab tersebut.Pak Ravi dan semua mahasiswa di lab sontak menoleh ke arahku. Di antara mereka ada yang senyum-senyum nakal, merasa puas asdos mereka mungkin akan habis dimarahi oleh dosen killer bernama Ravi Mahendra.Pak Ravi melirik ke arahku sekilas. "Oh Bu asdos sudah datang rupanya? Kenapa telat?"Jiaah! Bukannya Bapak yang nggak bangunin saya? Tega.Ingin rasa kucakar mukanya sekarang juga."Bangunnya kesiangan Pak, maaf," jawabku sambil tersenyum ngenes.Sayang, si cakep tetap datar tanpa berniat membalas senyumanku."Bohong Pak, Teh Sara mah pasti abis nangis tuh Pak soalnya ditinggal nikah," celetuk Geri si biang onar di kelas Kimia C."Iya, Pak. Pasti hatinya lagi berdarah-darah," timpal yang lain membuatku semakin terpojok.Ya ampun! Si*lan banget dah mulut-mulut lemes anak mahasiswa ini. Andai ada pelajaran akhlak kukasih nilai E juga nih, biar pada remedial.Harus kuakui gosipku sebagai mantan yang terbuang dan berhutang memang cukup merebak di kalangan civitas wajar kalau mereka tahu.Ah ... andai aku bisa jujur mengatakan kalau aku baru nikah sama dosen yang ditakuti sama mereka.Bisa minta maaf tujuh turunan kali si pembully itu, tapi kami sepakat merahasiakan ini kepada orang-orang kampus karena khawatir rencana kami gagal. Lebih baik mereka tidak tahu kami menikah, hingga jika kami bercerai pun mereka tak akan heboh.Terlebih sampai saat ini aku masih butuh pekerjaan ini dan Pak Ravi tidak bisa dekat dengan asdos lain."Udah Pak, kasih masuk aja, Teh Sara mungkin sulit dapat ojek," kata Kevin si ketua kelas. Akhirnya di antara para solimin ada juga yang soleh beneran.Pak Ravi yang sejak tadi hanya terdiam mengamati sekelilingnya akhirnya mengalihkan pandangan kepadaku. Mata kami beradu pandang sepersekian detik sebelum dia mengeluarkan suara tegas."Masuklah! Bantu saya, lain kali saya minta datang lebih pagi karena ada yang harus kita siapkan sebelum praktikum," ujarnya yang langsung kusambut dengan anggukan."Iya, Pak."Fiuh! Selamat kali ini.(***)Di mana-mana yang namanya asisten dosen itu tugasnya adalah menjadi follower setia bagi si dosen dan harus mau disuruh apa saja tanpa ada kata 'capek' atau 'lelah' bahkan untuk berkata 'tidak' saja itu butuh pertimbangan matang.Namun, pengalamanku selama menjadi asdos Pak Ravi perasaan enggak semenderita Rika dan Hani yang menjadi asdos bagi dosen lain karena meski Pak Ravi killer dia cukup tahu kapan memerintah dan kapan dia kerjakan sendiri.Hanya, entah kenapa semenjak otakku ternoda gara-gara dia bertelanjang dada di malam pertama kami, hati ini suka ketar-ketir tanpa sebab kalau tanpa sengaja kami bersitatap sekali pun dia menatapku karena dia mau meminta salinan file atau membawakan sesuatu.Benar kata Anjel si centil di kelas ini, kalau Pak Ravi itu gantengnya udah level luar angkasa.Damage-nya enggak ada obat. Ya ... kecuali kalau dia udah mulai galak, kegantengannya ambruk sampai perut bumi."Teh, Teh, mau nanya dong." Tiba-tiba Kevin menyenggol lenganku di saat aku sedang bengong tanpa sadar di pojokan sambil melihat Pak Ravi mengajari kelompok Anjel."Iya, Kev? Ada yang bisa dibantu?" tanyaku pada Kevin. Di kelas ini hanya dia dan Sari yang bisa kuandalkan jika Kim-C sudah mulai ricuh.Mungkin karena jarak umur kami hanya empat tahun jadi mereka jarang memanggilku Ibu, biasanya langsung 'Teteh' karena aku juga mantan kakak tingkat mereka, bedanya sebentar lagi aku akan melaksanakan S-2 di sini jadi tidak bekerja seperti teman angkatanku yang lain.Eh, salah deng aku bekerja tapi sebagai asdos dan partner in crime-nya si dosen jutek."Enggak Teh. Kevin cuman mau nanya, boleh aku minta nomer Teteh? Ya, kali aja kan Pak Ravi lagi halangan hadir, jadi kita bisa komunikasi," kata Kevin seraya menyunggingkan senyumannya."Oh gitu, tapi Sari juga udah punya nomer Teteh kok," jawabku sopan. Sebenarnya aku malas memberikan no hape pada sembarang orang, termasuk pada Kevin si mahasiswa berprestasi."Ya, beda atuh Teh, saya minta ya? Oh, iya, Teteh pulang dijemput siapa? Mau pulang bareng saya?""Saya pulang ....""Eheum!"Mampus. Si killer memergoki kami sedang mengobrol di tengah pengajarannya, siapa pun tahu dia paling anti kalau ada yang berisik.Sontak saja pandangan Pak Ravi mengarah pada Kevin dan itu membuatku tegang.Ya Salam ... semoga dia nggak ngamuk."Kevin, apa Anda sudah selesai praktikumnya?" tanya Pak Ravi dengan nada yang dibuat normal tapi masih terdengar dingin.Kevin yang terkejut ditanya begitu langsung mengangguk. "Sudah Pak, tapi saya butuh bantuan Teh Sara buat memeriksa khawatir jurnal saya salah," jawab Kevin berbohong."Nggak perlu sama Sara untuk kelompok kamu biar saya yang periksa dan ... Sara!"Tiba-tiba mata elang Pak Ravi menatap ke arahku tajam, saking tajamnya aku berpikir akan ada cahaya laser keluar dari sana."Iya, Pak?" sahutku tegang karena kelas mendadak hening. Semua menahan napas, baru kali ini dia bernada tinggi memanggil namaku di depan yang lain."Kamu tolong ambil hasil laporan praktikum dari kelompok lain lalu setelah itu datang di ruangan saya.""Baik Pak.""Dan untuk kelas ini. Saya harap sebelum kelas saya berakhir, tidak ada forum dalam forum! Jika ada kesulitan untuk mahasiswi perempuan bisa tanya ke Sara dan yang laki-laki ke saya. Kalian mengerti?""Iya, Paaaaaak," jawab anak-anak kompak.Setelah itu tanpa basa-basi Pak Ravi langsung pergi keluar ruangan dengan wajah beku seakan yang kulakukan adalah kesalahan yang fatal.What the hell? Terus apalagi katanya?Kalau ada kesulitan cewek ke cewek, cowok ke cowok? Halo! Emang ini lagi pengajian? Pakai berdasarkan gender?Duh Gusti! Ada apa dengan dia sih?(***)"Permisi Pak," ujarku sambil memasuki ruangan Pak Ravi.Lelaki itu ternyata sudah bersandar di mejanya sambil melipat tangan di depan dada."Kamu senang digoda mahasiswa saya?" sindirnya telak membuatku merasa tak memiliki harga diri."Eh? Digoda? Siapa yang digoda Pak, dia hanya minta nomer hape dan menawarkan pulang.""Jangan belaga polos. Kamu tahu kan, tandanya lelaki tertarik pada wanita itu adalah ketika dia mengganggunya.""Seperti Bapak gitu?" balasku dengan mata yang tak kalah tajam.Heran, masalah kecil saja dia besar-besarkan."Saya bukannya mau ganggu kamu tapi kamu yang ganggu saya. Sekarang saya tanya, mana cincin nikah kamu?" tanyanya membuatku langsung mengecek jari manis dan seketika mataku membulat."Loh, kok gak ada? Kemarin aku pakai Pak, serius." Seperti baru kerampokan, aku langsung mengecek seluruh saku dan tas yang kubawa tapi hasilnya nihil. Mana cincin mahal lagi."Aduh, di mana ya?" keluhku panik karena takut mertua bertanya juga.Dia menghela napas berat melihatku yang kelimpungan, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan cincin dari dalam sakunya."Dasar ceroboh! Nih! Jangan tinggalkan lagi di kamar mandi," ujarnya seraya menyerahkan cincin nikah ke depan wajahku.Mataku sontak membelalak lebar. "Wah! Akhirnya ketemu. Eh, bentar jadi Pak Ravi nyuruh saya ke sini dan berantem kayak tadi cuman untuk ....""Ya, cincin itulah! Apalagi? Biar cowok yang deketin kamu tahu kalau kamu sudah nikah. Ah ya setelah pakai itu, kamu boleh pergi dari ruangan ini karena saya banyak urusan," usirnya kalem sambil duduk di kursi tanpa melihat wajahku yang semi frustasi.AAAAA! Otewe hipertensi.Kata Mbah G**gle, biar hubungan kita sama pasangan itu aman, tentram dan loh jinawi, jangan pernah membahas dan membawa masalah mantan baik dalam kondisi apa pun kecuali kepepet. Tetapi kayaknya hal itu tidak berlaku bagi aku dan Pak Ravi, wong tujuan misi kita adalah membalas dendam pada istri mantanku beserta Vio kok. Eh, bentar ... emang Pak Ravi mau memberi pelajaran sama si mantan 'enggak ada akhlak juga' gitu? Ah, itu kayaknya aku aja kali dia enggak. Pak Ravi itu lelaki paling egois yang pernah aku temui, mana mungkin dia berpikiran tentang bagaimana perasaanku jika untuk memarahi seorang Sara di depan mahasiswanya saja dia bisa. Bayangkan, hanya karena perkara cincin ketinggalan di kamar mandi, tuh laki repotnya udah sampai ke ubun-ubun. Sampai membuat satu kelas horor hanya karena tingkahnya. Gimana kalau aku ketinggalan dalaman?"Saraaa! B*ha dan CD kamu nih, kok ada di wastafel?" Astaga! Kejadian. Serius? Mendengar teriakan yang tiba-tiba dari arah kamar mandi, aku la
Banyak yang bilang cara menaklukan orang sombong bin tukang pamer itu hanya dengan dua cara. Satu mengabaikannya karena kamu nggak peduli dan dua bertindaklah lebih dari 'si sombong' agar dia tahu di atas langit masih ada langit.So, menimbang dan melihat kelakuan suamiku akhirnya aku bisa menyimpulkan. Kurasa langkah kedua itulah yang sedang Pak Ravi jalankan bagi Bu Hana, disebabkan Bu Hana itu emang suka merendahkan orang lain. Hanya karena lingerie dia tega membawa-bawa hutang masa laluku pada suaminya.Beruntung, Pak Ravi itu selain pintar ngomel dia juga pintar melaksanakan misi sehingga harga diriku tadi bisa terselamatkan dan menurutku itu langkah yang cerdas.Walau ... harus kuakui itu berlebihan. Apalagi kalau sampai meluk-meluk pinggang kan kasian hati perawan kayak aku ini, berasa dikasih harapan gitu."Kamu mau sampai kapan bengong gitu? Ini malam hari ya, saya gak mau kamu kesurupan karena nggak kemasukan aja kamu udah ngerepotin saya. Lebih baik kamu bersiap karena seb
Disclaimer:Jika ada yang bertanya apakah aku senang tinggal di perumahan elit? Jawabannya adalah TIDAK.Kenapa? Karena baru seminggu aku tinggal di perumahan rasanya beratku turun beberapa ons.Penyebabnya tak lain dan tak bukan, karena aku kekurangan bahan asupan jajanan kesukaanku seperti bakso, cendol, siomay sampai kue putu. Tragis!Kukira tinggal di perumahan elit itu menyenangkan karena fasilitas lengkap tersedia tanpa memikirkan esok makan apa, tapi setelah aku jalani rasanya gaya hidup seperti ini tak cocok denganku.Jujur, aku belum terbiasa dengan kondisi sepi dan angkuh seperti ini.Di mana para tetangga bersifat individual tanpa mempedulikan satu sama lain. Pantas saja, jika ada kejadian pembunuhan mereka tak akan tahu karena bagiku masing-masing rumah memiliki barier tersendiri bagi pihak asing.Termasuk rumah Bu Hana dan Vio, sepemantauanku akibat pagar yang tinggi, aku jadi tidak tahu aktivitas mereka padahal aku harus tahu demi kelancaran misi. Sudah kuduga membalas d
Yakinlah sifat dasar manusia itu tidak mungkin langsung berubah dalam satu waktu dan sekarang aku menyesal karena terlalu berharap.Pak Ravi tetaplah dosen menyebalkan yang suka memerintah dan galak. Buktinya, meski semalam dia sudah membelaku di hadapan nenek sihir--Bu Hana, esok harinya dia kembali menjadi manusia paling enggak peka sedunia. Sudah kuduga, baginya aku tak lebih dari sebuah sandiwara.Aku saja yang bodoh membawanya baper sampai ke sumsum tulang. Padahal untuk Pak Ravi, mungkin aku tak lebih dari remahan ranginang di kaleng monde, rasanya ada tapi bukan fokus utama.Luka tapi tak berdarah.Arrh! Apa mungkin dia sebenarnya malu karena ulahku yang memakai barang kawe di pesta kemarin? Sehingga dia kesal kalau aku sudah mempergunakan uangnya untuk hal yang tak berguna.Tuk. Tuk."Sara! Sar! Kamu bisa jaga mereka lebih dekat? Karena mereka mulai berisik," perintah Pak Ravi disertai ketukan di meja berhasil menghancurkan lamunanku.Aku tersentak kaget menatap Pak Ravi yang
"Jangan dekati lelaki mana pun, tanpa seijin saya. Kalau nggak, mungkin saya tidak bisa menahan diri lagi!"Aaaa!Aku meremas rambut sendiri lalu membasuh muka berkali-kali.Nggak! Aku yakin Pak Ravi nggak cemburu! Dia mengatakan itu karena gak mau misinya gagal. Sadar, Ra! Sadar!JANGAN BERHARAP LEBIH!Kembali aku menahan napas, memejamkan mata sejenak lalu menghembuskannya lagi perlahan sampai dadaku tenang, aku mencoba mengembalikan rona wajahku yang memerah sambil menatap wastafel. Aku tidak mau siapa pun tahu kalau diri ini sedang kegeeran karena dosen jutek yang ngomong aja pakai muter-muter kayak kipas angin.Sumpah ya, kata-kata Pak Ravi itu emang menyebalkan. Sekalinya bertitah hatiku dibikin gegana (gelisah, galau dan merana) tiada dua. Mana buat nulis kata 'cemburu' aja dia mah pakai TTS, berasa banget aku nikah sama dosen kalau begini.Namun, kali ini aku tidak akan terpancing dan membodohi diri sendiri. Cukup! Aku tak mau lagi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Asem."F
Semenjak menikah dengan Pak Ravi ada satu hal yang paling aku takutkan yaitu melihatnya marah. Entahlah, kukira itu hal yang wajar mengingat Pak Ravi itu tipe lelaki yang jarang ngomong tapi sekalinya ngomong membuat orang ingin bakar rumah.Nyelekit banget, sumpah. Pantas jika Bu Gea--mertuaku bilang, harus sabar jadi istri seorang Ravi Mahendra karena dari kecil dia memang sudah hidup penuh dengan kekerasan.Menjadi sebatang kara sebelum akhirnya ditemukan Pak Sasongko membuat Pak Ravi menjadi pribadi yang tak pandai mengekspresikan rasa. Saking dinginnya, dia sampai tak bisa berdekatan dengan perempuan, kecuali Bu Gea dan Wita. Tapi, untungnya semua itu tidak lantas menjadikannya seorang gay karena kalau sampai dia belok, alamat kiamat memang sudah sangat dekat."Eheum!" Aku berdehem. Memberi kode gugup pada Pak Ravi yang sejak tadi menatap tajam ke arahku.Sudah setengah jam kami duduk berhadapan di ruang tamu dan dia hanya memandangku lurus tak berkedip, seolah mau marah tapi ...
Sesuai anjuran mertua yang sudah tidak dapat diganggu gugat. Pada akhirnya dengan sangat terpaksa dua hari ini aku harus berakhir di vila keluarga yang berada dalam area istana bunga yang bernuansa hijau dan menenangkan. Sayangnya, keindahan alam ini harus terusik akibat kabar mantanku yang ternyata mengambil honeymoon di tempat yang sama.Alamak! Ini sih namanya sudah jatuh tertimpa tangga ditambah ketiban Hulk juga. Berat, benar-benar berat. Aneh, entah ini kebetulan atau salah satu dari ketiga orang itu telah merencanakannya. Namun, kurasa ini ide yang buruk karena baru saja kemarin merasakan kebebasan berjauhan dari Vio eh, hari ini aku malah bertemu dengan 'si pelit' di taman sekitar vila--tempat di mana aku sedang melakukan joging. Payahnya, aku sendirian lagi tanpa Pak Ravi karena dia memang selalu sibuk dengan dunianya.Aku memelankan ritme lariku saat jarak kami kian menipis. Dari ekor mata ini, kudapati bayangan sang mantan yang tengah melakukan peregangan sambil memamerk
POV RaviSara itu tipe cewek yang suka memendam segala sesuatu sendiri. Bisa termasuk langka, karena sikapnya yang ceroboh dan ceplas-ceplos kadang dapat mengundang tanya.Sempat aku berpikir dari pada aku jadikan dia istri lebih baik aku museumkan biar terawat keunikannya tapi jika begitu nanti bagaimana dia akan membantuku membalas dendam? Selama ini, kurasa kehadiran Sara cukup membantu dalam hal membuat ibu kandungku menderita.Maka dengan sedikit menyesal kuurungkan niat itu apalagi setelah melihatnya menangis dan dihina pagi ini.Kasian. Itu alasan pertama aku membantunya tapi sekarang ... entah. Kupikir otakku mendadak gila hanya dengan memikirkan Sara.Sepertinya aku harus segera mengakhiri ini sebelum terlambat karena semakin hari aku semakin tak bisa mengendalikan diri. Aku tidak mau dia yang seharusnya menjadi kekuatanku sebaliknya akan menjadi kelemahanku.Bukankah begitulah cara seorang lelaki bertahan? Itulah kenapa di beberapa negara, seorang pasukan khusus sangat menja
Aku sungguh tak menginginkan acara penyambutan yang kaku dan menyedihkan seperti ini ketika kembali ke kediaman keluarga Sasongko.Namun, apa yang aku bisa harapkan? Jika kehadiran kami saja membuat semua orang kecewa karena Bang Ravi menyampaikan kabar tentang kehamilanku pada keluarga yang jelas-jelas tak menginginkannya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Gea dengan nada berat sehingga terdengar seperti gumaman.Saat ini kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu dengan formasi lengkap. Bu Gea, Wita dan Pak Songko ketiganya seketika diliputi atmosfer gelap terutama Wita. Gadis itu sampai menundukan kepala menahan tangis yang hendak keluar.Aku paham kondisi ini pasti sangat sulit bagi semua. Sebagai wanita, Wita pasti sangat sakit hati ketika tahu lelaki yang ia cintai selama ini ternyata telah memiliki anak dari perempuan yang ia benci. Apalagi pernikahannya pun harus gagal karena Bang Ravi lebih memilih aku."Kata Dokter baru lima minggu Bu, minta doanya," kata Bang Ravi. Kurasakan geng
Aku memainkan sendok yang kupegang dengan perasaan malas. Sudah setengah jam berlalu tapi aku masih saja tak bisa menghabiskannya. Rendang, nasi, parkedel dan lalaban yang ada di hadapanku benar-benar tak dapat menggugah selera.Hari ini tepat dua minggu berselang dari hari di mana aku diminta pergi dengan paksa dan berakhir di villa persembunyian Bu Hana yang berada di kaki gunung Pangrango. Bu Hana? Bu Hana ibu kandung Bang Ravi? Iya dia. Siapa sangka, di saat aku merasa ingin pingsan di pinggir jalan karena merasa kehilangan tujuan, dialah yang membawaku ke sini. Sungguh kebetulan, aku yang hendak melarikan diri setelah dihina dan diusir bertemu dengan seorang perempuan yang kukira musuh. Beruntung, saat itu tak ada Vio di sana sehingga dengan amannya aku bisa menyembunyikan diri. Entah, ini karena kasian atau dia berpikir sebaiknya merawatku demi rasa bersalahnya kepada seorang Ravi, jujur aku tak peduli. Aku tidak tahu ada modus apa di balik kebaikan Bu Hana yang tiba-tiba ini
Langkah ini begitu gontai saat keluar dari ruang perawatan Pak Sasongko. Pikiranku berkecamuk tak tentu arah karena memikirkan permintaan Ayah angkat yang tetap mau menikahkanku dengan Wita. Kata beliau hanya aku harapan dia untuk menjaga anak bungsunya.Sejujurnya, sampai saat ini aku masih belum bisa memberi jawaban. Sekali pun Ibu mendesak dan Wita tentu saja berharap, aku memilih bersikeras menunda keputusan. Aku tak ingin emosi dan mengambil jalan yang salah. Terutama, aku tak ingin menyakiti Sara.Aku mencintainya. Itu pasti. Hanya saja aku belum menemukan cara agar membuat Sara tetap di sisiku tanpa menjadikannya objek kemarahan keluarga Sasongko. Sebagai lelaki aku tak boleh gegabah bertindak."Ravi tunggu!" Suara tegas milik Ibu menahan langkahku yang hendak menuju ke arah pintu keluar. "Ibu ingin bicara."Aku berbalik dan memaksakan senyum. "Iya Bu. Ada apa lagi?" tanyaku menahan rasa enggan.Otakku benar-benar penat dan butuh istirahat."Kamu bisa jagain Wita malam ini?""L
Patah hati adalah sebuah kejadian yang pasti dialami oleh hampir seluruh manusia yang mengaku pernah jatuh cinta. Kisah patah hati pun nggak sama, semua orang punya kisah berbeda. Tapi, berkali-kali patah hati karena suami tak membuat hatiku menyerah. Entah mungkin karena sudah terbiasa.Bang Ravi, pria itu terlalu nyata untuk aku lupakan. Kenangan dan segala sesuatu tentangnya membuatku tak bisa beralih pikiran. Lalu, aku harus apa? Ketika aliran sesak ini semakin tak tahu diri.Menangis? Ah, aku lelah! Bahkan rasanya aku seperti menjilat ludahku sendiri.Dulu, aku mengatakan, menangis untuk Bang Ravi sama saja dengan menangisi kebodohan tapi fakta membuktikan kalau aku malah tenggelam dalam kebodohanku sendiri.Baru seminggu saja aku bersembunyi, ternyata diri ini sudah sangat merindu seorang Ravi.Aku rindu wanginya.Aku rindu suaranya.Aku rindu tatapannya, tawanya, ciumannya, dekapannya dan semua tentangnya.Aku hampir merasa gila tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kusangka
Apa yang kamu harapkan Sara? Ngimpi!Sejak awal pernikahanku memang sudah salah. Tak seharusnya mempermainkan pernikahan dan kutahu Bang Ravi hanya ingin memperalatku sebagai objek balas dendam.Tak lebih! Sepantasnya aku sadar itu hingga tak terlalu menyuapi angan dengan harapan. Namun, aku saja yang bodoh masih merasa semua akan baik-baik saja.Padahal setelah ini selesai, dia tetap milik keluarganya dan aku tetap kembali ke titik semula seorang gadis yang berhutang barang pada mantannya.Bruk!Aku menutup pintu dengan keras. Entahlah, ubun-ubunku terasa mendidih melihat Bang Ravi memeluk Wita.Apakah arti dari pelukan itu adalah mereka akan menikah? Dan lelaki itu akan menuruti perintah orang tua angkatnya?"Sialan!" Spontan aku membanting bantal ke lantai. Mulai dari sekarang, aku tak akan percaya mulut lelaki satu pun.Aku tak akan mendengarkan Bang Ravi sama sekali. Aku akan bertindak sesukaku, kami hanya suami-istri di atas kertas. Untuk apa aku setia? Jika pada akhirnya akulah
"Sebelum dia menjadi suami kamu. Ravi adalah anak angkat kami. Jadi, saya harap kamu sadar kedudukanmu Sara."Kata-kata Pak Sasongko terus saja terngiang di kepalaku. Bagaikan sebuah kaset yang terus diputar di kepala dan membuat gelisah.Emang seharusnya aku tak perlu sekhawatir ini karena Bang Ravi sudah berjanji mau menjagaku. Namun, tetap saja rasa keberatan itu timbul karena bukan Bu Gea yang berbicara tapi Pak Sasongko.Ayah angkat Bang Ravi yang terbiasa diam itu sekarang seolah bersebrangan denganku. Sebagai menantu aku jadi merasa serba salah dan juga tak yakin akan hubungan ini. Lambat-laun belang dari keluarga ini terlihat, sekali pun mereka baik jika berkenaan dengan anak kesayangan pasti apa pun dikorbankan termasuk perasaan orang lain.Karena Wita. Rasa cinta Wita pada Bang Ravi-lah yang menjadi alasan aku menjadi ragu dan sekarang adik iparku itu kecelakaan tepat di mana aku sedang berbulan madu.Haruskah aku curiga? Mungkinkah ini disengaja?Memikirkan ini semua membua
POV RAVIAku tersenyum saat melihat Sara dengan gembira bermain pasir putih yang terbentang sepanjang pantai. Rambut panjangnya yang tertiup anginberkibar menjadikannya lebih cantik.Sara adalah istimewa. Itulah yang kuketahui sejak pertama kali mengenalnya. Kuakui rasa pada Sara terasa lebih dalam dan kuat seiring berjalannya waktu. Maka, ketika hari ini aku melihatnya bersama ibu kandung yang telah kuanggap mati, jiwa ini seakan memberontak.Aku tak rela Sara dekat-dekat dengan wanita kejam itu, aku takut dia terpengaruh sehingga meninggalkanku seperti Ibu.Setiap melihat wajah Sara, entah kenapa aku kadang ragu apakah hubungan kami bisa berjalan lama? Bukan. Bukan karena aku menyangsikan kesetiaannya tapi aku takut tak sanggup bertahan tanpanya."Makasih ya Pak, Bapak udah bawa aku ke pantai," kata Sara dengan senyuman di bibirnya yang kemerahan."Iya, sama-sama tapi bisakah kamu gak panggil saya lagi dengan sebutan Bapak? Saya suamimu dan udah mengambil kesucianmu pula, masa ma
Mataku terbuka saat suara dorongan pintu paling pelan menyapa gendang telinga. Samar aku melihat warna cat kamar yang berbeda.Perasaan kamarku nggak bercat abu. Kok, ini jadi abu? Terus baunya ini ... sepertinya aku kenal.Di mana aku? Aku memegang kepalaku yang terasa pening lalu mencoba bangkit dan mendudukan diri."Aw!" Aku meringis saat kurasakan daerah selangkanganku yang sedikit sakit.Ah, kenapa ini? "Sudah bangun?" Sebuah suara menyapa. Aku sontak mendongak melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam kamar. Melihatnya di kamar ini membuatku dengan cepat menyembunyikan wajah malu.Seketika otakku cepat berfungsi dengan baik dan sadar kalau semalam kami sudah melewati batas tapi entah mengapa aku tak merasa bersalah.Kami halal. Ya, toh?Pak Ravi tersenyum melihatku yang seperti kucing ketahuan mencuri ikan. Wajahku pasti sangat merah karena siapa sangka kalau yang merebut keperawananku adalah Pak Ravi.Entah harus bahagia atau sedih."Sudah jangan malu-malu gitu. Minum air
Orang bilang kentut di depan suami itu adalah bagian dari bentuk keakraban sekaligus tanda kita sudah nyaman. Nah, masalahnya kentut yang kulakukan itu terbilang kentut yang kurang ajar jauh dari kata bentuk akrab.Orang lagi sakit malah dikasih kentut. Untung jadi sembuh, coba kalau jadi nambah sakit? Bisa bahaya jika Pak Ravi pingsan karena baunya."Udah buang air besarnya?" tanya Pak Ravi saat aku baru keluar dari toilet.Aku nyengir kuda. Merasa bersalah juga lega. Pantas saja kentutku bau soalna aku baru ingat belum BAB."Udah Pak. Hehe ... oh ya, buburnya enak gak?" kataku sambil menghampiri Pak Ravi yang sedang duduk di atas kursi meja makan. Mengalihkan issu adalah jalan ninjaku.Aku mengambil tempat tepat di depan Pak Ravi yang masih sibuk menyantap bubur yang kubuat tadi.Melihat Pak Ravi terlihat lebih baik dan segar, dalam hati aku tersenyum senang, setidaknya dia tak nampak mengkhawatirkan lagi meski masih sedikit pucat."Mau jawaban jujur atau modus?"Bukannya menjawab,