Disebuah ruangan temaram itu terdapat Jovian dan Helena yang sedang saling memeluk satu sama lain, kepala Jovian bersandar di pundak sang ibu dengan tangan dan kakinya melingkar erat di pinggang Helena dan Helena yang menikmati momen seperti ini. Jovian bercerita jika dirinya akan pergi ke Korea Selatan untuk lomba lari disana dengan teman-temannya, Helena sangat bangga dengan itu tetapi tak dipungkiri jika Helena sangat khawatir.
"Nanti Mama jaga rumah oke? Nanti Mr . Albert akan mengirimkan video Jonvan-nie dan teman-teman!" Ucap Jovian ceria.
"Apa yakin Mama tidak perlu ikut?" Tanya Helena khawatir dan dijawab dengan gelengan kepala Jovian.
"No Mama! Lucas, Baixian dan Ace juga tidak diantar dan hanya didampingi oleh Mr. Albert dan Mrs. Erika saja." Jelas Jovia membuat rasa khawatir Helena sedikit berkurang.
Albert dan Erika, Helena mengetahui kedua orang tersebut mereka adalah adik tingkatnya dulu yang bahkan satu fakultas dengannya hanya saja Helena tidak melanjutkan kuliahnya dan menikah dengan William, William juga melarangnya untuk bersekolah lebih lanjut dan hanya menyuruhnya diam di rumah saja. Sedikit menyesal memang.
"Baiklah jika seperti itu, tapi Jovian harus berjanji satu hal pada Mama!" Ucap Helena dengan pelukannya yang semakin erat.
"Apa itu?"
Mengecup kening Jovian dan berbisik, " Jovian harus berjanji akan baik-baik saja di sana dan tidak nakal."
Jovian tersenyum mendengar ucapan ibunya, tentu saja Jovian akan menepati janjinya karena Jovian sayang selalu dengan Mama dan tidak akan membuat Mama sedih ataupun kecewa.
"Aku janji, Mama juga janji untuk baik-baik saja disini kan?" Tanya Jongin pada Helena
"Tentu saja sayang ku, Mama akan baik-baik saja disini."
Senyuman manis Jovian semakin merekah mendengar ucapan ibunya, ibunya sudah berjanji untuk baik-baik saja dan Jovian tidak akan khawatir berlebihan jika disana. Segera memeluk tubuh Helena dengan erat dan mengecup pipi sang ibu dengan sayang tak lupa senyuman manisnya menghiasi wajah menggemaskan putranya.
"Jovian sayang Mama!"
"Mama lebih menyayangi mu sayang."
___________
Pagi hari yang sangat dingin membuat orang-orang akan menarik selimutnya kembali dan melanjutkan tidurnya, namun tidak dengan Jovian dan Helena mereka berdua akan berkeliling menjual susu dengan sepeda pemberian paman Kris, dengan sweater tebal dan juga sarung tangan hangat yang sangat manis melekat di tubuh mungil Jovian.
Sebenarnya Helena tidak ingin jika putranya ikut berkeliling di pagi yang dingin seperti ini, namun Jovian terus merengek dan berakhir mendiami dirinya hingga sore dan Helena tidak menyukai itu, akhirnya Helena menyetujui keinginan Jovian dengan syarat Jovian harus memakai pakaian ekstra hangat.
"Jovian-nie pegangan oke? Mama akan sedikit cepat!" Ucap Helena dan Jovian segera memeluk pinggang Helena erat tak ingin jatuh.
"Baik ma."
Helena mengayuh sepedanya dengan cepat ketika ada satu paket susu yang masih tersisa di keranjang sepedanya, susu itu harus habis agar Helena mendapatkan uang untuk belanja persiapan keberangkatan Jovian ke negara ginseng.
"Jovian ingin ikut Mama?" Tanya Helena saat sudah turun dari sepedanya.
"Ikut Mama!" Pekik Jovian dan Helena tersenyum melihat tingkah polos putranya.
"Baiklah, ayo!"
Lengannya menggenggam erat jemari sang ibu, rasanya hangat bukan sekedar hangat di telapak tangannya saja tetapi hatinya pun ikut hangat. Dan melirik tangan Helena yang menjinjing tas berisi susu untuk rumah berikutnya. Jovian tersenyum lebar saat melihat wajah sang ibu Jovian tidak apa-apa jika dia tidak memiliki mainan mahal seperti dulu lagi Jovian hanya ingin meminta pada Tuhan jika dia tidak ingin Mama meninggalkan nya seperti Papa.
"Permisi? Saya membawa pesanan susu anda."
"Terimakasih, dia putramu?" Tanya wanita berambut pirang itu.
"Ya, dia putraku." Jawab Helena dengan senyuman bahagia.
"Dia sangat manis, kau ibu yang sangat hebat."
Helena tersenyum mendengar pujian itu, tidak sepenuhnya salah namun tidak sepenuhnya benar. Helena bukan ibu yang hebat, bahkan Helena tidak bisa membelikan mainan ataupun baju bagus untuk putranya, Jovian memang tidak merengek namun karena itulah Helena menganggap dirinya adalah ibu yang buruk, putranya hanya diam saja dan menahan semua penderitaan yang ayahnya beri. Helena tidak meminta pesangon apapun pada William hanya saja Helena berharap jika William masih memberinya tempat untuk sekedar beristirahat dia dan Jovian-nya.
"Jovian ingin membeli apa?" Tanya Helena
"Tidak ada Ma, Jovian tidak mau apa-apa." Jawab Jovian dengan gelengan kepala.
"Tidak mau mainan?"
"Tidak Ma, uangnya tabung saja untuk nanti." Ucap Jovian ceria membuat hati Helena bagai teriris, putranya menahan semua keinginannya demi hidup dan bisa makan.
"Jika ingin apa-apa maka Jovian jangan sungkan untuk minta pada mama ya?" Ucap Helena dan Jovian mengangguk imut, dan tentu saja Jovian tidak akan melakukan hal itu karna Jovian tahu jika ekonomi Helena saat ini sangat lah kurang, Jovian tidak ingin membuat ibunya kelelahan karna bekerja.
Helena berharap jika Jovian dan dirinya akan baik-baik saja dan tuhan memberinya kebahagiaan yang baru setelah badai yang menerjang mereka tahun lalu yang bahkan rasa lukanya masih saja terasa.
Helena dan Jovian menaiki sepedanya untuk segera pulang dan mengantar Jovian sekolah, Jovian senang sekali setelah sekian lama tidak jalan-jalan dengan sang ibu karena sibuk kerja, dan sekarang Jovian merasakannya lagi walaupun tidak bisa disebut jalan-jalan juga sih, tapi selelah apapun pekerjaan itu jika kita melakukannya demi orang yang kita cintai maka beban berat pun akan ringan.
Dan Jovian tidak bisa memungkiri jika dirinya merindukan punggung lebar dan kokoh milik ayahnya, yang selalu memeluknya dan menggendongnya ketika mereka ke taman hiburan, apa Jovian akan pergi ke taman hiburan nanti? Tapi tiketnya mahal sekali. Mungkin ketika Jovian sudah besar saja, dia akan mengajak Mama ke sana dan bersenang-senang tanpa pekerjaan berat.
Nanti suatu saat Jovian akan melihat sang ibu yang menunggunya pulang kerja di kursi teras rumah baru yang lebih layak bukan ruangan kecil yang bahkan tidak memiliki ventilasi udara seperti saat ini.
"Tolong jaga Jovian.""Baik Mrs. Helena, kami akan menjaga anak-anak."Hari ini Jovian dan teman-temannya berangkat ke Korea Selatan menaiki burung besi, dulu Jovian sering naik pesawat dengan Mama dan Papa untuk pergi berlibur, tetapi saat ini dapat naik pesawat gratis saja sudah sangat bersyukur. Inginnya Jovian mengajak Mama tetapi karena teman-temannya tidak ditemani oleh orang tua dan ibunya harus bekerja membuat Jovian mengurungkan niatnya pun."Jovian jangan nakal disana oke?" Ucap Helena pada JovianJovian mengangguk," Iya Ma!"Jovian dan yang lainnya pun berjalan menuju pesawat, meninggalkan para orang tua murid yang ber dadah ria, Jovian melihat Mama nya tersenyum senang namun itu tak membuat Jovian lega. Jovian tahu jika Mama nya sangat mengkhawatirkannya dan mungkin Mama khawatir jika Jongin bertemu Papa yang meninggalkan Mama.Saat di pintu masuk pesawat Jovian menoleh dan melambaikan tangannya pada Helena yang terus menatap pun
Albert, Erika dan Abigail panik bukan main disaat dua anak didiknya hilang, bahkan Abigail sudah melapor pada pihak sekolah agar mengumumkan berita kehilangan dua bocah menggemaskan itu. Lucas terus saja menangis menyebut nama Jovian dan Ace yang terisak karena melihat orang-orang disekelilingnya panik, dia baru saja bangun dan duduk lalu gurunya sudah memekik panik ditambah Lucas menangis. Hei- dia tidak tahu apa-apa dan tingkah mereka membuatnya takut."Lucas jangan menangis, Jovian dan Baixian akan ketemu." Ucap Erika menenangkan bocah berdarah German itu."Benar! Jovian dan Baixian pasti ada di sekitar sekolah dan tidak akan hilang jauh." Tambah Albert menenangkan bocah yang meraung karena panik itu."Tapi kan sekolah ini luas, bagaimana jika mereka berdua tidak ketemu?" Tanya Ace dengan polosnya membuat tangis Lucas semakin keras.Abigail dan Albert meringis melihat kelakuan anak didiknya, sangat polos ucapannya namun sangat merepotkan dampaknya.
Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus."Jovian, angkat karung berisi timun itu.""Baik paman."Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus."Jovian, angkat karung berisi timun itu.""Baik paman."Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang
Albert, Erika dan Abigail panik bukan main disaat dua anak didiknya hilang, bahkan Abigail sudah melapor pada pihak sekolah agar mengumumkan berita kehilangan dua bocah menggemaskan itu. Lucas terus saja menangis menyebut nama Jovian dan Ace yang terisak karena melihat orang-orang disekelilingnya panik, dia baru saja bangun dan duduk lalu gurunya sudah memekik panik ditambah Lucas menangis. Hei- dia tidak tahu apa-apa dan tingkah mereka membuatnya takut."Lucas jangan menangis, Jovian dan Baixian akan ketemu." Ucap Erika menenangkan bocah berdarah German itu."Benar! Jovian dan Baixian pasti ada di sekitar sekolah dan tidak akan hilang jauh." Tambah Albert menenangkan bocah yang meraung karena panik itu."Tapi kan sekolah ini luas, bagaimana jika mereka berdua tidak ketemu?" Tanya Ace dengan polosnya membuat tangis Lucas semakin keras.Abigail dan Albert meringis melihat kelakuan anak didiknya, sangat polos ucapannya namun sangat merepotkan dampaknya.