Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.
Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus.
"Jovian, angkat karung berisi timun itu."
"Baik paman."
Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang bersangkutan. Paman Kris bilang pekerjaan di Rusia harus selesai sebelum keberangkatannya ke China, ditambah Helena sakit dan tidak bisa ikut bekerja.
"Jovian ambil yang ringan, jangan yang berat!" Ucap Kris memperingati bocah manis itu.
"Aku kuat paman!" Ucap Jovian dengan senyuman manis nya.
"Bukan karena kau kuat Jovian! Apapun itu ada porsinya!" Ucap Kris tegas, dia tidak tega melihat bocah manis itu bekerja dengan keras.
"Letakkan karung itu dan ambil yang ringan." Tambah nya lagi.
Jovian yang mendengar nada tidak bisa dibantah pun mengikuti perintah Kris dengan meletakkan karung berat itu dan mengganti nya dengan karung yang ringan membuat Kris tersenyum."Terimakasih paman." Ucap Jovian dan Kris tersenyum.
Hari ini Jovian ikut ke kota dengan mobil bak terbuka milik Kris menggantikan ibunya, Jovian sangat bersemangat karena dia bisa melihat mobil-mobil dan gedung-gedung tinggi dengan gratis, anggap saja sebagai liburan.
"Jovian tidak sekolah?" Ucap Lily salah satu pekerja disana.
"Tidak Lily, Jovian libur." Jawab Jovian ceria, Lily pun terkekeh melihat Jovian yang menggemaskan, bocah laki-laki manis yang dia izinkan untuk memanggil namanya. Menurutnya itu sangat manis.
"Baiklah nikmati hari mu Jovian."
"Lily juga harus menikmati hari mu." Ujar Jovian.
_______
Sesampainya di kota pun Jovian berbinar bahagia saat netranya melihat gedung-gedung tinggi dan mewah itu, apa perusahaan ini sama seperti perusahaan Papa? Itu sangat besar. Dulu Jovian selalu mengunjungi perusahaan Papa saat sekolahnya dibubarkan, bermain di taman luas dan asri dengan kucing liar di belakang bangunan besar milik Papa.
"Jovian jangan sampai hilang oke, pegang tangan Lily erat agar tidak tersesat!" Ucap Lily dengan tangannya menggenggam erat jemari mungil Jovian.
"Baik Lily." jawab Jovian, padahal Jovian sudah 12 tahun namun semua itu tertutupi dengan tubuh mungilnya dan baby face nya.
Jovian mengikuti langkah Lily dengan riang, mata bulatnya tak henti-henti untuk melihat apa yang menurutnya aneh, bibir mungilnya terbuka kagum melihat mobil mewah yang berjejer rapi, namun netranya terfokus pada salah satu mobil hitam mengkilap di depan toko kopi elegan itu, seperti milik Papa. Mobil yang William beli saat Jovian melihat film di laptop sang Papa dan menemukan mobil yang membuatnya terkagum dan berakhir menyuruh William untuk membeli dan memakai mobil itu. Jovian tersenyum saat mengingat itu namun sedetik kemudian Jovian menggeleng cepat, mobil itu banyak sekali dibelahan dunia bukan hanya milik ayahnya saja.
"Jovian kita sudah sampai, apa Jovian-nie lelah?" Tanya Lily.
"Tidak Lily, tapi mengapa kita berhenti disini? Apa tidak di pasar?" Tanya Jovian kebingungan.
Lily tersenyum saat mendengar rentetan pertanyaan Jovian, sepertinya Jovian belum diberitahu oleh Kris, dasar menyebalkan.
"Kita tidak berjualan di pasar Jovian, tapi kita mengirimkannya untuk perusahaan besar." Jelas Lily dan Jovian mengangguk sambil bergumam faham.
"Kau lihat paman Kris? Lihat, dia sedang berbicara dengan sekertaris perusahaan besar ini." Tunjuk Lily pada Kris yang sedang mengobrol dengan lelaki dewasa yang memakai seragam kerjanya. Jovian jadi mengingat Papa yang selalu memakai itu setiap hari dan Papa selalu meminta Mama agar memasangkan dasinya pada Mama.
"Jadi begitu ya.." Jovian mengangguk kecil, rambut halusnya sedikit terbang karena angin.
"Kalian boleh istirahat." Ucap Sam, lelaki paruh baya yang bekerja sebagai tangan kanan Kris.
"Terimakasih paman Sam!" Ucap Jovian, Sam ikut tersenyum melihat senyuman secercah mentari pagi itu rasanya hangat jika melihat wajah Jovian putra satu-satunya Helena, ahh Helena beruntung sekali mendapatkan hadiah dari Tuhan berupa anak yang menggemaskan dan baik seperti Jovian.
"Sama-sama manis." Jawab Sam
Jovian menggeleng pelan, "Aku tampan Paman!" Ucapnya membuat Sam dan Lily juga pekerja lain tertawa.
"Baiklah kau tampan." Sam terkekeh geli melihat bocah bermata bulat itu berbinar bahagia saat di sebut tampan, Sam jadi tidak tega untuk mengatakan bahwa Jovian itu manis bukan tampan bahkan Sam yakin pasti beberapa orang akan menyebut Jovian itu cantik.
_______
Lily dan Jovian sedang menikmati Pizza yang Kris bagikan, Jovian merindukan rasa Pizza karena sekarang untuk membeli satu box Pizza bisa membeli makanan pokok sebanyak 3x dan Jovian harus menghemat! Helena harus beli obat dan haris sembuh!"Lily, aku haus." Ucap Jovian pelan, Pizza yang Jovian makan sedikit pedas membuat tenggorokannya terasa seperti terbakar.
Lily terkekeh saat melihat ekspresi wajah Jovian yang menatapnya memohon, seperti puppy!!
"Mari, Lily antar ke toko sana biasanya disana menyediakan berbagai jenis minuman." ucap Lily menunjuk toko kopi elegan yang sebelumnya Jovian lihat.
"Tapi bukankah itu untuk kopi saja?" tanya Jovian.
"Tidak, mereka menyediakan beberapa minuman lain juga." Jelas Lily dan Jovian mengangguk sambil tersenyum.
Jovian menggandeng tangan Lily, berjalan dengan riang karena akan mendapatkan minum. Hanya segelas air putih saja Jovian tidak apa-apa, saat ini Jovian sangat haus lagipula untuk membeli satu gelas minuman disana setara dengan membeli satu galon air mineral di desa, Jovian menjadi perhitungan dan terlalu banyak berfikir jika ingin membeli sesuatu semenjak sang ibu tidak sanggup untuk bekerja.
Kring~
Lonceng pun terdengar saat Jovian mendorong pintu toko itu, dan indra penciumannya langsung disambut oleh harum kopi yang sangat menenangkan. Ini seperti kopi kesukaan Papa yang selalu Helena buat.
"Jovian-nie duduk disana oke?" Ucap Lily menunjuk kursi di belakang.
Jovian tersenyum dan mengangguk, "Baik Lily!" Ucapnya lalu berlari kecil menuju kursi yang Lily tunjuk.
Sudah lama Jovian tidak ke tempat seperti ini, dulu dirinya, Mama dan Papa sering mengunjungi restoran mewah dan juga mall untuk bermain. Saat ini? Lupakan! Untuk makan saja terkadang susah. Jovian tidak mau Mama tambah sakit.
Di saat sedang menikmati penampilan toko kopi, Mata bulat Jovian menangkap seseorang yang sangat dia rindukan, William. Jovian berdiri dengan senyuman bahagia nya ingin melangkahkan kaki mungilnya menuju sang Papa namun terhenti saat seorang perempuan memeluk tubuh kekar ayahnya, ayahnya tersenyum dan balas memeluk wanita itu dengan ciuman mesra di bibir merah wanita itu.
"Papa..."
"Jovian mau ke mana?" Tanya Lily. Dia kebingungan saat melihat bocah lucu itu berdiri mematung melihat dua orang dewasa yang sedang bercumbu mesra, Lily menggeleng sambil menggerutu dalam hati, orang-orang dewasa jaman sekarang memang tak tahu tempat!
"Jangan melihatnya Jovian-nie! Itu tidak baik!" Pekik Lily
"Lily! Jika dua orang berciuman, apa mereka saling menyayangi? Ataukah ada arti lain?" Jovian mengabaikan perkataan Lily dan mengajukan pertanyaan yang ada di kepalanya.
Lily kelabakan saat mendengar pertanyaan polos bocah laki-laki manis ini, astaga! Harus jawab apa? Tapi bukankah Jovian kan sudah 12 tahun? Mungkin tak apa asal dengan kata-kata yang bijak.
"Mmmm, mungkin iya dan mungkin juga tidak." Jawab Lily ragu
"Mengapa?" Tanya Jovian, mata bulatnya seolah menggambarkan jika dirinya saat ini membutuhkan jawaban.
"Seperti ini Jovian, mereka yang berciuman belum tentu saling menyayangi dan mencintai. Karena ada juga yang melakukan itu karena sesuatu yang... Mmm mendesak, ah hanya sekedar kesenangan sesaat ya itu!" Jelas Lily dengan gugup, dia tidak mau mencemari pikiran polos Jovian!
"Apa orang dewasa selalu seperti itu? Meninggalkan apa yang mendukung mereka hanya karena seseorang yang lebih menarik lagi?" Tanya Jovian membuat Lily terdiam.
"Ya, ada juga orang-orang yang sangat serakah seperti itu, tidak memikirkan orang yang selalu mendukungnya lalu meninggalkan mereka dengan mudahnya." Ucap Lily.
"Terkadang orang dewasa itu egois ya Lily?"
Lily tersenyum lembut pada Jovian, mengusap kepala Jovian dengan lembut dan mengangguk, "Nanti Jovian jangan mencontoh mereka oke? Jangan menyakiti hati orang yang menyayangi mu." Ucap Lily tersenyum pedih.
"Aku janji!" ucap Jovian dengan senyumannya.
Mengambil botol minum nya lalu berjalan keluar bersama Lily, menatap punggung lebar ayahnya dengan senyuman manis nya, Jovian hanya ingin ayahnya dan mamanya bahagia saja. Walaupun dengan mengorbankan dirinya sendiri, dia tidak apa-apa.
Ya, terkadang rasa sayang sering kali membutakan pikiran, mengorbankan diri sendiri untuk orang yang tersayang dan tak memperdulikan keadaan nya. Jovian membenci perasaan itu, yang selalu membuatnya sakit namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa untuk menghilangkan rasa sakit itu.
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
Langkah kakinya yang mungil itu terus menyusuri jalanan yang sepi, anak rambutnya bergoyang tertiup angin, Jovian atau yang kerap disapa Jovan-nie anak laki-laki baru menginjak usia 10 tahun itu bersenandung kecil.Jemarinya menggenggam erat setangkai bunga matahari dan bibir mungil itu tak henti-hentinya tersenyum, Jovian akan memberikan bunga ini pada sang Mama dan Papanya. Namun langkah kakinya terhenti saat suara pecahan barang dan teriakan sang ibu terdengar."Kau menyembunyikan nya selama ini!! Kau tega pada Jovian!!""Sudah kubilang itu kesalahan!""Tapi wanita itu sudah memiliki anak hasil perbuatan mu William!""Maka izinkan aku untuk menikahinya Helena!!"Perdebatan hingga makian dari bibir sang ayah pun semakin keras, Jovian tidak mengerti mengapa Mama dan Papanya bertengkar hebat, bukankah hari ini adalah hari pernikahan mereka? Seharusnya mereka bahagia dan merayakannya seperti biasa, bercanda dan tertawa bahagia."Lalu baga
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus."Jovian, angkat karung berisi timun itu.""Baik paman."Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang
Albert, Erika dan Abigail panik bukan main disaat dua anak didiknya hilang, bahkan Abigail sudah melapor pada pihak sekolah agar mengumumkan berita kehilangan dua bocah menggemaskan itu. Lucas terus saja menangis menyebut nama Jovian dan Ace yang terisak karena melihat orang-orang disekelilingnya panik, dia baru saja bangun dan duduk lalu gurunya sudah memekik panik ditambah Lucas menangis. Hei- dia tidak tahu apa-apa dan tingkah mereka membuatnya takut."Lucas jangan menangis, Jovian dan Baixian akan ketemu." Ucap Erika menenangkan bocah berdarah German itu."Benar! Jovian dan Baixian pasti ada di sekitar sekolah dan tidak akan hilang jauh." Tambah Albert menenangkan bocah yang meraung karena panik itu."Tapi kan sekolah ini luas, bagaimana jika mereka berdua tidak ketemu?" Tanya Ace dengan polosnya membuat tangis Lucas semakin keras.Abigail dan Albert meringis melihat kelakuan anak didiknya, sangat polos ucapannya namun sangat merepotkan dampaknya.