Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.
Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?
Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan.
"Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.
Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi.
"Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal ini pada putranya.
Jovian yang mendengar jawaban Ken menghela nafas panjang, bagaimana jika ibunya sakit parah? Bagaimana jika ibunya kesakitan namun dirinya tidak bisa membantu apa-apa? Dan... bagaimana jika ibunya meninggalkannya? Jovian menggeleng pelan menghapus pikiran negatif yang berkumpul pada otaknya.
"Tapi Mama baik-baik saja kan?" Tanya Jovian
Ken tersenyum pedih melihat itu, "Paman juga tidak tahu." Ucapnya pelan membuat Jovian semakin ketakutan.
Suara pintu terbuka pun membuat Jovian berlari menuju sang dokter."Bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian.
Dokter berwajah barat itu tersenyum dan mengusap pucuk kepala Jovian, "Ibu mu baik-baik saja, dia sedang istirahat tetapi untuk kedepannya saya mohon, Mrs. Helena tidak boleh melakukan pekerjaan berat." Jelas dokter.
Jovian dan Ken mengangguk, mereka berjalan memasuki ruangan ibunya dirawat dan Jovian menemukan Helena yang terbaring lemah di brankar rumah sakit membuat Jovian sedih, dokter bilang ibunya sakit tapi Jovian tidak tahu ibunya menderita penyakit apa. Jovian bukanlah anak kecil yang mudah dibodohi seperti tahun lalu, Jovian mengerti jika penyakit yang diderita oleh ibunya adalah penyakit serius. Jovian sedikit kesal dengan sikap ibunya yang selalu menganggap dirinya anak kecil, Jovian hanya ingin membantu ibunya itu saja.
"Mama..."
Tangannya terulur mengusap wajah cantik Helena yang semakin tirus, badannya pun semakin kurus beda sekali dengan Helena yang dulu, sangat berisi dan terawat. Tapi Helena tetap paling cantik bagi Jovian.
"Mama baik-baik saja kan paman?" Tanya Jovian.
Ken mengangguk dengan senyuman meneduhkan, "Helena baik-baik saja, dia wanita yang kuat." Ucapnya membuat Jovian merasa sedikit lega.
Ken melirik Jam yang menggantung di dinding, sudah sangat siang dan dirinya absen bekerja di ladang tapi tak apa, yang penting Helena mendapatkan penanganan yang baik.
Ken mengeluarkan roti yang selalu dia bawa dan memberikan pada Jovian, anak itu belum makan dari pagi hingga sekarang. Ken tahu sekali kebiasaan Jovian yang selalu menabung uang yang Helena berikan untuk membeli sepotong roti ataupun makanan lain, semenjak Helena sering sakit Jovian sering mengabaikan sarapan paginya bahkan ketika Helena tiba-tiba drop dan digantikan oleh Jovian, bocah itu tidak makan seharian jika tidak ditegur. Hal itu membuat Ken khawatir.
"Terimakasih paman." Ucap Jovian dengan senyuman manis nya, dia sangat lapar. Jovian melirik Ken yang duduk di sisi nya dengan tangan terlipat di perut, Jovian melirik roti yang dia pegang dan membelah menjadi dua.
"Paman ini, roti nya besar." Ucap Jovian sambil menyodorkan sepotong roti pada Ken.
Ken yang melihat itupun tersenyum, bahkan disaat kelaparan pun Jovian memikirkan orang lain, Ken menggeleng dan mendorong pelan roti itu.
"Paman sudah makan roti tadi." Ucap Ken, memang benar saat menunggu Jovian Ken sempat memakan roti satu bungkus.
"Apa tidak apa-apa paman?" Tanya Jovian ragu.
"Tidak apa-apa, makanlah!" Ucap Ken dan Jovian tersenyum senang sambil berterimakasih.
Melihat Jovian yang memakan roti dengan lahap membuat Ken terpikir untuk memberitahu keadaan Helena dan Jovian pada Kris, Ken tahu jika pemuda bermata panda itu menyukai Helena dan sangat menyayangi Jovian, tetapi akhir-akhir ini Ken selalu mendengar kabar jika ladang di China sedang bermasalah dan membuat Bos-nya kerepotan. Apa dirinya harus memberitahu hal ini atau tidak?
________
Jovian telah selesai mandi dan menemukan sang ibu yang sudah siuman, Jovian segera berlari memeluk tubuh Helena erat namun tidak menyakiti. Helena yang melihat itupun tersenyum, mengusap punggung mungil putranya sayang.
"Mama baik-baik saja? Apa ada yang sakit?" Tanya Jovian beruntung membuat Helena tersenyum
"Mama baik-baik saja." Jawab Helena membuat Jovian bernafas lega.
"Jika lelah Mama bilang pada Jovian jangan ditahan dan membuat Mama semakin sakit, Jovian khawatir." Rengek Jovian.
Helena terkekeh pelan mendengar rengekan putranya itu, Helena kan jadi semakin tidak tega untuk memberitahu keadaannya pada Jovian, pasti putranya akan sedih.
"Baik, maafkan Mama oke?"
"Aku maafkan kali ini, lain kali tidak!" Ucap Jovian merajuk
Helena tertawa kecil melihat tingkah manja putranya, "Baik!"
Jovian berbaring di ranjang bersama ibunya, memeluk tubuh Helena erat dan menghirup aroma yang membuat Jovian tenang. Dan tak lama dengkuran halus terdengar, Helena tersenyum melihat Jovian yang sudah tertidur pulas, putranya ini memang tak akan tahan jika sudah bersentuhan dengan kasur.
Helena menatap wajah Jovian dengan intens seakan takut jika itu adalah waktu terakhirnya untuk melihat putranya, Helena memang tak tahu hari apa dan jam berapa dia akan mati tetapi Helena tau dia sudah tidak akan lama lagi dan Helena tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bersama dengan Jovian-nya.
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
Langkah kakinya yang mungil itu terus menyusuri jalanan yang sepi, anak rambutnya bergoyang tertiup angin, Jovian atau yang kerap disapa Jovan-nie anak laki-laki baru menginjak usia 10 tahun itu bersenandung kecil.Jemarinya menggenggam erat setangkai bunga matahari dan bibir mungil itu tak henti-hentinya tersenyum, Jovian akan memberikan bunga ini pada sang Mama dan Papanya. Namun langkah kakinya terhenti saat suara pecahan barang dan teriakan sang ibu terdengar."Kau menyembunyikan nya selama ini!! Kau tega pada Jovian!!""Sudah kubilang itu kesalahan!""Tapi wanita itu sudah memiliki anak hasil perbuatan mu William!""Maka izinkan aku untuk menikahinya Helena!!"Perdebatan hingga makian dari bibir sang ayah pun semakin keras, Jovian tidak mengerti mengapa Mama dan Papanya bertengkar hebat, bukankah hari ini adalah hari pernikahan mereka? Seharusnya mereka bahagia dan merayakannya seperti biasa, bercanda dan tertawa bahagia."Lalu baga
Kalian tahu? Terkadang orang dewasa itu sangat egois, mementingkan ego dan juga harga diri hingga melupakan sesuatu yang membutuhkan mereka. Selalu menyalahkan sang anak yang tidak bisa berperilaku baik, padahal sang anak hanya menjalankan apa yang dia lihat.Ketika perceraian terjadi sang anak yang menjadi korban pun hanya mengalah dan memilih untuk berada di pihak siapa. Di paksa untuk terlihat kuat dan ber wajah polos tak tahu apa-apa."Dengan ini saudara William Ooh dan Helena resmi berpisah."Suara hakim dan tiga ketukan palu pun terdengar pertanda semuanya berakhir, rumah tangga yang di bangun susah payah telah hancur karena kesalahan dan ego masing-masing. Menjadikan Jovian sebagai korban, tidak mendapatkan pesangon apapun dari suaminya. Helena masih bersyukur memiliki tabungan walaupun isinya hanya sanggup untuk menyekolahkan Jovian hingga satu tahun saja. Tapi tak apa, Helena masih bisa bekerja dan itu demi anaknya, Jovian-nya."Mama, kita akan t
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus."Jovian, angkat karung berisi timun itu.""Baik paman."Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang
Albert, Erika dan Abigail panik bukan main disaat dua anak didiknya hilang, bahkan Abigail sudah melapor pada pihak sekolah agar mengumumkan berita kehilangan dua bocah menggemaskan itu. Lucas terus saja menangis menyebut nama Jovian dan Ace yang terisak karena melihat orang-orang disekelilingnya panik, dia baru saja bangun dan duduk lalu gurunya sudah memekik panik ditambah Lucas menangis. Hei- dia tidak tahu apa-apa dan tingkah mereka membuatnya takut."Lucas jangan menangis, Jovian dan Baixian akan ketemu." Ucap Erika menenangkan bocah berdarah German itu."Benar! Jovian dan Baixian pasti ada di sekitar sekolah dan tidak akan hilang jauh." Tambah Albert menenangkan bocah yang meraung karena panik itu."Tapi kan sekolah ini luas, bagaimana jika mereka berdua tidak ketemu?" Tanya Ace dengan polosnya membuat tangis Lucas semakin keras.Abigail dan Albert meringis melihat kelakuan anak didiknya, sangat polos ucapannya namun sangat merepotkan dampaknya.