Albert, Erika dan Abigail panik bukan main disaat dua anak didiknya hilang, bahkan Abigail sudah melapor pada pihak sekolah agar mengumumkan berita kehilangan dua bocah menggemaskan itu. Lucas terus saja menangis menyebut nama Jovian dan Ace yang terisak karena melihat orang-orang disekelilingnya panik, dia baru saja bangun dan duduk lalu gurunya sudah memekik panik ditambah Lucas menangis. Hei- dia tidak tahu apa-apa dan tingkah mereka membuatnya takut.
"Lucas jangan menangis, Jovian dan Baixian akan ketemu." Ucap Erika menenangkan bocah berdarah German itu.
"Benar! Jovian dan Baixian pasti ada di sekitar sekolah dan tidak akan hilang jauh." Tambah Albert menenangkan bocah yang meraung karena panik itu.
"Tapi kan sekolah ini luas, bagaimana jika mereka berdua tidak ketemu?" Tanya Ace dengan polosnya membuat tangis Lucas semakin keras.
Abigail dan Albert meringis melihat kelakuan anak didiknya, sangat polos ucapannya namun sangat merepotkan dampaknya.
_______
"Jovian! Baixian!"
"Mrs. Erika!!"
Jovian dan Baixian turun dari gendongan dua remaja itu dan berlari menuju guru mereka, Erika bernafas lega saat melihat dua bocah nya baik-baik saja dan tidak lecet, bisa-bisa dia dan guru lainnya di tuntut oleh orang tua anak-anak ini.
"Kalian dari mana?" Tanya Erika dengan panik, hei dia hanya guru kecil dari negara lain yang mengajar anak-anak dari berbagai negara di Rusia! Dia tentu saja panik saat anak didiknya nya hilang dari jangkauannya.
"Maaf, ini salah ku." cicit Baixian dengan kepalanya yang menunduk.
Jovian menggeleng, "Salah ku juga." cicit Jovian
"Baixian mau pipis tapi tersesat." Jelas Baixian dengan bibirnya yang mulai melengkung menahan tangis, wajahnya memerah.
"Jovian menyuruh Baixian pipis sembarangan." Tambah Jovian yang juga ikut mulai menangis, hidungnya kembang kempis lucu.
"Dan teman kakak disana marah." Ucap Baixian lalu menangis keras. Erika yang mendengar penjelasan dari kedua bocah menggemaskan ini pun hanya menganga tak percaya.
Melihat Baixian menangis membuat Jovian ikut menangis, ini juga salahnya yang memberi saran untuk pipis di semak-semak dan berakhir di marahi oleh pria tinggi berwajah seram, Jovian semakin terisak saat wajah pemuda berwajah menyeramkan itu Jovian menggeleng cepat guna mengenyahkan pikiran anehnya namun membuatnya penasaran setengah mati itu.
Erika melirik dua remaja tampan dibelakang Jovian dan Baixian yang sedang meringis melihat kedua bocah ajaib itu, Sean yang mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk Jovian dan mencium seluruh wajah menggemaskan adiknya dan Matthew yang ingin sekali terbahak melihat bocah menyebalkan itu menangis gara-gara temannya Evan, ah dia sangat puas melihat wajah pasrah bocah menyebalkan milik Baixian.
"Maafkan perilaku anak-anak didik saya, saya berjanji anak-anak tidak akan mengacau lagi." Ucap Erika sambil meringis tak enak.
"Tidak apa-apa, jangan berlebihan dan temanku tidak marah dia memang memiliki dialek bahasa yang sedikit menyeramkan." Jelas Matthew cepat sambil menggaruk tengkuknya karena merasa canggung dan ditambah teman es nya Sean hanya diam saja asyik memandangi bocah manis itu.
"Dan terimakasih karena sudah mengantarkan mereka." Ucap Erika sambil membungkuk, Jovian dan Baixian yang melihat itupun semakin menangis keras. Erika akan dipenggal karena ulah mereka.
"Jangan penggal kepala Mrs. Erika!!" Pekik Baixian dengan wajah memerah dan air mata yang mengalir di pipi chubby nya.
"Kami yang salah! Jangan penggal Mrs . Erika!" Jovian menangis, dia tidak mau karena ulah nakalnya membuat seseorang yang dia sayangi menderita.
Sean, Matthew dan Erika terdiam tidak mengerti, apa maksudnya memenggal? Ini bukan acara hukum mati.
"Apa maksudnya?" Ucap Matthew tidak mengerti.
"Mrs. Erika membungkuk! Aku melihat jika membungkuk itu permintaan maaf terakhir untuk orang yang akan di penggal." Isak Baixian dan diangguki Jovian yang terlalu percaya dan terbawa suasana.
Mrs. Erika memejamkan matanya menahan malu, sebenarnya film apa yang kedua bocah ini tonton? Apa itu membungkuk adalah permintaan maaf terakhir untuk orang yang akan di penggal? Dia akan dipenggal? Astaga? Bukankah itu hal yang lumrah untuk dilakukan oleh orang-orang di negara Korea? Erika melupakan jika kedua bocah itu bergaul dengan orang-orang Rusia yang tak memiliki kebiasaan itu.
"Haha..?" Matthew tertawa canggung, hanya pencitraan! Sebenarnya dia ingin tertawa terbahak mendengar hal itu, bocah-bocah nakal yang polos nyerempet bodoh.
Sean menahan lagi agar tidak tertawa dan menculik bocah menggemaskan itu, hidungnya yang merah dan pipinya yang chubby di hiasi bekas air mata adalah paket komplit menggemaskan.
"Maafkan anak-anak ku hehe, mereka menonton hal-hal yang tak masuk akal." Ringis Erika tak enak pada dua pemuda tampan itu. Dia tidak tahu harus bicara apa jika sudah malu seperti ini, dia yakin kedua remaja tampan itu sedang mati-matian menahan tawa karena tingkah konyol Jovian dan Baixian.
"Tidak apa-apa mereka sangat menggemaskan sekali." Ucap Sean dengan senyuman tampannya.
"Ya betul anak-anak tak lengkap jika tidak konyol haha." Ucap Matthew menambahkan sambil tertawa.
"Baiklah anak-anak berhenti menangis dan ucapan terimakasih pada kakak-kakak yang menolong kalian." Ucap Erika.
Jovian dan Baixian berhenti menangis saat mendengar itu, apa Mrs. Erika tidak sedih dan tidak takut? Dia akan dipenggal. Mata sembap Jovian melihat wajah Sean yang dari tadi terus menatapnya memuja yang membuatnya sedikit takut, namun krna tatapan intens yang Sean berika membuat rindu pada ayahnya sedikit terbayar, Jovian ingin memeluknya lagi namun malu.
"Mrs. Erika tidak akan di penggal anak-anak!"
Baixian menyenggol kecil siku Jovian, melirik temannya dan mengangguk imut lalu meminta maaf dan berterimakasih kepada Matthew dan Sean yang telah menolong mereka.
"Terimakasih." ucap mereka bersamaan.
"Sama-sama, jangan sampai tersesat lagi." Ucap Matthew tersenyum palsu, sejujurnya dia masih sedikit jengkel mengingat telinganya di gigit oleh mahkluk mungil itu.
Erika menggiring dua bocah itu menuju tempat duduk mereka di aula, pasti yang lain panik karena dia tak kunjung datang membawa dua bocah nakal ini. Erika menghela nafas panjang, anak-anak memang unik dengan tingkah dan pikiran polosnya.
"Tunggu!"
Erika menghentikan langkahnya dan melihat Sean yang berdiri di belakangnya, ada apa dengan remaja tampan itu?
"Bolehkah aku memeluk Jovian?" Tanya Sean canggung.
Erika terdiam mendengar itu, pesona seorang Jovian tak main-main! Melirik Jovian yang mendongak ke atas menatapnya sepertinya Jovian juga ingin dipeluk oleh Sean. Dasar anak-anak tahu saja yang mana yang tampan!
"Ya."
Jawaban dari Erika membuat Sean senang bukan main, tanpa basa-basi Sean mengangkat tubuh mungil Jovian ke dekapannya, memeluk erat tubuh Jovian, menghirup aroma bayi yang ada di tubuh adiknya. Kapan lagi dia akan merasakan ini? Ini adalah kesempatan langka!
Hangat, dan nyaman itulah yang Jovian rasakan, rasanya seperti dipeluk Papa dan wangi Sean pun sangat mirip dengan Papa. Lengan mungilnya balas memeluk tubuh kekar Sean dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Sean, rasanya seperti memiliki Papa lagi.
"Kakak menyayangi mu." bisik Sean di telinga Jovian membuat bocah manis itu menatap wajah tegas pemuda yang sialnya sangat mirip dengan ayahnya.
Dengan berat hati Sean menurunkan Jovian dan menatap wajah adiknya lekat, Sean ingin memeluk tubuh mungil itu lebih lama lagi, menghabiskan waktunya dengan Jovian pasti menyenangkan.
"Terimakasih." Ucap Sean dan segera berjalan meninggalkan Erika yang terdiam dengan perasaan yang sedikit janggal.
"Ah, maaf teman ku mungkin buru-buru." Ucap Matthew tak enak, Sean sialan! Dasar kulkas tidak sopan.
"Tidak apa-apa, teman mu baik-baik saja?" Tanya Erika yang merasa jika Sean terlihat tidak baik-baik saja setelah memeluk Jovian.
"Mungkin iya dan mungkin tidak, dia jarang berbicara terbuka." Jelas Matthew
"Jaga kak Sean dengan baik ya." Ucap Jovian tiba-tiba, Matthew yang mendengar itu tersenyum lembut bocah yang ini sangat manis sekali.
"Baik!"
_________
"Lucas berhenti menangis, Jovian sudah ketemu!" Ucap Albert dan Lucas buru-buru menyusut cairan yang keluar dari hidungnya dengan tisu yang gurunya berikan.
"Mana?" Tanya Lucas.
"Lucas, Ace!" Panggil Jovian dengan tangannya melambai-lambai.
"Jovian, Baixian!!"
Albert dan Abigail lega saat melihat Erika membawa dua anak nakal itu, akhirnya mereka tidak repot mengurus tangisan Lucas yang menyebalkan. Anak-anak memang sadis."Dari mana kalian?" Tanya Abigail sambil berkacak pinggang.
Jovian dan Baixian menunduk tidak berani menatap kedua gurunya yang sedang menatap mereka dengan sangsi. Melirik Erika dengan tatapan anak anjing nya membuat wanita dewasa itu menghela nafasnya, mana tega menolaknya!
"Akan aku jelaskan nanti, aku butuh istirahat dan air minum." Ucap Erika dan kedua bocah nakal itu menatapnya berbinar.
Tatapan Jovian dan Baixian seakan mengatakan 'Terimakasih Mrs. Erika! Kami menyayangi mu' ugh! Anak-anak memang sadis! Erang Erika dalam hati.
Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus."Jovian, angkat karung berisi timun itu.""Baik paman."Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian
Jovian berlari kencang dengan perasaan khawatir, paman Ken bilang sang ibu tiba-tiba jatuh pingsan saat bekerja dengan darah yang keluar dari hidungnya. Akhir-akhir ini pun Jovian merasa jika Helena tidak baik-baik saja, Mama nya selalu menyembunyikan kesedihan bahkan rasa sakit yang di dera nya Helena tidak mau membaginya dengan Jovian.Tuhan, apa tidak cukup Papa saja yang meninggalkan ku? Apa kau juga akan mengambil Mama?Jovian menghampiri Ken yang berdiri di depan pintu unit gawat darurat, melempar ranselnya sembarangan."Paman, bagaimana dengan Mama?" Tanya Jovian dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Ken menggeleng dan mengusap pucuk kepala Jovian, dulu Jovian sangat kecil saat pertamakali dibawa ke ladang dan sekarang Jovian sudah tinggi."Paman tidak tahu." Jawab Ken ragu, Helena menderita kanker otak dan dia tidak bisa memberi tahu keadaan Helena pada Jovian karena Ken sudah berjanji pada wanita cantik itu untuk tidak memberi tahu hal
Setelah lomba lari di Korea Selatan berakhir Jovian tak pernah absen untuk selalu menggosip ria dengan Baixian tentang Sean, sejujurnya Jovian sedikit rindu, tidak-tidak! Sangat rindu! Melihat wajah Sean sama seperti melihat wajah ayahnya, dan itu membuat Jovian tersenyum sendiri memikirkan momen-momen menyenangkan dengan ayahnya dulu.Minggu depan Jovian naik kelas dan usia Jovian pun sudah menginjak 12 tahun, namun Jovian sedih mengingat Helena yang sekarang mulai sakit-sakitan, Mama bilang dia hanya kelelahan biasa tapi Jovian tak percaya saat dia melihat satu plastik penuh berisi obat-obatan dan Helena semakin kurus."Jovian, angkat karung berisi timun itu.""Baik paman."Sinar matahari yang terik tak menghentikan kegiatan Jovian yang sedang mengangkut karung-karung sayuran, sebentar lagi paman Kris akan pindah ke China dan menetap disana untuk mengurus pasar milik ayahnya dan hal itu membuat anak buahnya kerepotan dengan mengurus hal-hal yang
Albert, Erika dan Abigail panik bukan main disaat dua anak didiknya hilang, bahkan Abigail sudah melapor pada pihak sekolah agar mengumumkan berita kehilangan dua bocah menggemaskan itu. Lucas terus saja menangis menyebut nama Jovian dan Ace yang terisak karena melihat orang-orang disekelilingnya panik, dia baru saja bangun dan duduk lalu gurunya sudah memekik panik ditambah Lucas menangis. Hei- dia tidak tahu apa-apa dan tingkah mereka membuatnya takut."Lucas jangan menangis, Jovian dan Baixian akan ketemu." Ucap Erika menenangkan bocah berdarah German itu."Benar! Jovian dan Baixian pasti ada di sekitar sekolah dan tidak akan hilang jauh." Tambah Albert menenangkan bocah yang meraung karena panik itu."Tapi kan sekolah ini luas, bagaimana jika mereka berdua tidak ketemu?" Tanya Ace dengan polosnya membuat tangis Lucas semakin keras.Abigail dan Albert meringis melihat kelakuan anak didiknya, sangat polos ucapannya namun sangat merepotkan dampaknya.