Felicia melongo, tak habis pikir. “Apa kamu nggak mencoba untuk melawan?”Theo menggeleng, dia menatap Felicia dengan mata berkaca-kaca.Felicia membalas tatapan Theo dengan lekat. Bisa dia lihat sorot lemah di mata Theo. Theo yang biasanya ceria saat berada di dekatnya, kini tampak tak berdaya.“Aku … nggak bisa melawan,” ungkap Theo.Felicia mendekat pada Theo. Dia tahu, pasti berat bagi Theo untuk bercerita tentang ini.“Kenapa?” tanya Felicia dengan perlahan.“Aku takut, Feli,” cicit Theo, suaranya memelan. “Karena udah sejak kecil aku mengalami itu, aku takut. Sampai dewasa, ketakutan itu masih ada. Aku udah berusaha berani, tapi tubuhku seolah bertindak sendiri.”Theo melepaskan tangan Felicia, meremas kedua tangannya sendiri yang mendadak gemetar hanya karena mengingat perlakuan buruk Martin padanya.“Kamu lihat? Aku cuma sedang mengingat pun sampai gemetar, ini reaksi alami tubuhku. Aku takut sama Papaku sendiri. Aku … pengecut ‘kan?” tanya Theo, dengan ragu menatap mata Felic
Felicia ingin ikut menangis. Ia sungguh tak tega membayangkan Theo disakiti oleh orang-orang itu. Theo mengangkat kepalanya, dan ia terbelalak karena Felicia mengecup bibirnya tiba-tiba,Cup!Felicia sengaja mengecup Theo, niatnya untuk membuat Theo tenang dan merasa lebih baik. Namun, sepertinya Theo tergoda untuk melakukan yang lebih dari sekadar kecupan.Mata Theo bertemu dengan mata Felicia. Menyadari tatapan Felicia yang menunjukkan kasih sayang padanya pun membuatnya tersentuh, tapi tatapan Theo kini mengarah ke bibir Felicia yang sedikit terbuka.“Feli …” panggil Theo dengan suara serak khas orang habis menangis.Theo meraih wajah Felicia, sedangkan Felicia menyentuh wajah Theo untuk mengelap jejak air mata di sana. Tatapan mereka sama-sama lekat.Theo mendekatkan wajahnya ke arah Felicia, kali ini ia yang memulai lebih dulu, mempertemukan bibirnya dengan bibir Felicia, mencium sang kekasih dalam-dalam.Bibir Theo bergerak melumat bibir Felicia, menyesap bibir manis Felicia den
Theo menyeringai, mendekatkan wajahnya ke arah Felicia. Ia hanya berniat jahil, tapi malah melihat Felicia menutup mata dengan bibir agak dimajukan seolah menunggu dicium.Theo terbelalak. Jangan bilang … ‘itu’ yang dipikirkan oleh Felicia adalah hal mesum? Wah, Theo tak menduga.Namun, karena tak mau membuat Felicia menunggu, Theo pun mengecup bibir Felicia. Theo menyentuh pipi Felicia, mencium sang kekasih dengan lembut.Ciuman lembut Theo berlanjut, dan Felicia pun membalasnya dengan senang hati. Pikiran Felicia masih membayangkan hal mesum yang akan terjadi setelah ini.Felicia menyambutnya, mengalungkan tangan ke leher Theo, menarik Theo agar semakin mendekat. Namun, tiba-tiba … Theo malah mengakhiri ciuman mereka!Felicia merasa heran sekaligus agak kecewa. Ia membuka matanya, menatap Theo dengan tatapan bertanya-tanya.“Kenapa berhenti?” tanya Felicia dengan suara lirih.Theo tersenyum melihat raut wajah Felicia. “Ayo kita berlanjut melakukan ‘itu’,” ajaknya.“Melakukan ‘itu’ a
Tak lama, Felicia mendengar tawa kecil dari luar. Tanpa diberitahu, ia langsung tahu siapa yang melakukan ini padanya, dan suara tawa siapa itu.Sang pelaku menyeringai, kemudian kembali tertawa. “Haha! Rasakan itu!”Sophia berjalan pergi dari sana. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia meletakkan sesuatu di depan kamar mandi, sebuah papan yang berisi informasi bahwa toilet itu sedang diperbaiki. Memang terkadang ada yang seperti itu, tapi kali ini toiletnya sudah baik-baik saja.Sophia sengaja melakukannya agar tak ada satupun orang yang ke toilet itu, dan Felicia tak akan diselamatkan oleh siapapun. Wah … ia puas sekali hanya dengan memikirkannya.Setelah ini, Sophia yakin Felicia akan meminta putus dari Theo, karena tak ingin mengalami kejadian seperti ini lagi.Dan, sebenarnya Sophia sudah memikirkan ide ini sejak kemarin-kemarin, mengurung Felicia di bilik kamar mandi.“Tolong buka pintunya!” teriak Felicia sejak tadi. “Ada orang di sini!”Felicia mencoba tetap tenang meski detak
Felicia berusaha tersenyum kepada Theo, tak ingin membuat Theo khawatir.Dan, tiba-tiba Theo memeluk Felicia dengan erat, merasa sangat bersyukur bahwa Felicia baik-baik saja.“Kenapa kamu bisa terkunci di dalam sana?” tanya Theo dengan nada khawatir.Felicia menunduk, “Itu ... ulah Sophia. Dia yang mengunci aku di bilik kamar mandi.”Theo terkejut, meskipun tidak sepenuhnya. Karena saat menonton rekaman CCTV, ia pun merasa curiga kepada Sophia.“Aku … nggak tahu salahku di mana. Tapi, Sophia udah keterlaluan ke aku dua kali!” adu Felicia, tak tahan lagi. Ia mendongak, menatap Theo. “Waktu itu, saat aku terjatuh ke kolam renang, itu juga karena Sophia.”Mendengar pengakuan Felicia, Theo langsung mendidih, merasa marah. Wajahnya berubah serius dan memerah. Ia tak bisa membiarkan Sophia terus berbuat seenaknya.“Aku yakin Sophia memperlakukanku seperti itu karena dia menyukaimu, The," ucap Felicia.Theo menghela napas panjang. “Aku akan mengurus ini nanti. Sekarang, kamu harus makan dan
Theo merasa darahnya berhenti mengalir mendengar pernyataan Martin. Matanya membulat, mulutnya terbuka tanpa suara.“Barusan … Papa bilang apa?” tanya Theo.Sorot mata Martin langsung menajam. “Apa Papa harus mengulanginya lagi?”“E-enggak perlu.”Theo seketika gugup, ia menunduk sesaat. Martin paling tak suka jika harus mengulangi ucapannya, tipe pria yang maunya benar-benar diperhatikan jika sedang berbicara."Papa ingin menjodohkan aku dengan Sophia?" gumam Theo, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Martin. Ia tentu mendengar ucapan Martin, tapi hanya ingin memastikannya lagi.“Ya, ini untuk masa depan perusahaan. Sophia berasal dari keluarga yang berpengaruh, bisnis Papanya Sophia nggak kalah dengan Papa. Pernikahanmu dengan Sophia, itu ide bagus yang bisa memperkuat kerja sama kita,” tegas Martin.Martin memperhatikan Theo lamat-lamat, masih dengan raut dinginnya.“Memangnya Sophia mau menikah sama aku?” Theo berusaha untuk menolak, ia harus mencari alasan untuk menolaknya.
Tiba di apartemennya, Theo merasa tubuhnya lelah dan pikirannya kacau. Ia berjalan masuk dengan langkah lunglai, langsung menuju sofa panjang dan menjatuhkan diri di sana.Pikiran tentang pertemuannya dengan Martin terus menghantui Theo. Bayangan wajah sang Papa yang dingin dan kata-kata yang menusuk membuat Theo merasa tercekik.Theo menutup matanya, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan masa kecilnya yang penuh tekanan dan kekerasan kembali muncul, membuatnya semakin terguncang.Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponselnya dan menelepon Felicia. Ia membutuhkan Felicia, setidaknya dengan mendengar suara Felicia pun cukup.Untungnya, Felicia mengangkat panggilan tak lama kemudian.[Halo, The?] sapa Felicia dari seberang sana.“Feli …” panggil Theo dengan suara lemah.[Kamu kenapa?]Theo terdiam. Sepertinya Felicia merasa ada yang aneh, makanya Felicia bertanya begitu.“Aku … habis menemui Papa.”[Pak Martin?! Astaga! Kenapa kamu menemui Papamu?!]Theo bisa mendengar nada
Theo menggenggam erat tangan Felicia ketika mereka berjalan bersama ke parkiran.“Kamu nggak malu punya pacar seperti aku?” tanya Theo tiba-tiba.Mendengar pertanyaan itu, Felicia langsung berhenti melangkah.“Kenapa kamu bertanya begitu? Memangnya kamu memalukan?” Felicia mengerjap heran.“Aku … nggak normal. Kamu dengar sendiri tadi kata psikiater itu.”Felicia maju selangkah, mendekat kepada Theo lalu menyentuh wajah kekasih berondongnya itu.“The, dengar aku. Ada masalah kesehatan mental bukan berarti enggak normal, itu normal banget. Kamu sedang sakit, itu yang benar. Dan aku yakin kamu akan sembuh.”Felicia tersenyum lembut kepada Theo. Saat ini Theo sedang menunduk, agak cemberut sambil menatap genggaman tangan mereka, lalu Theo memainkan jari-jari tangan Felicia.Melihat tingkah Theo membuat Felicia ingin tertawa. Terkadang Theo masih bertingkah seperti anak kecil, sungguh menggemaskan.“Kamu harus percaya diri di depan Papamu. Kamu itu ganteng,” puji Felicia. Ia menangkup waj
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p
Flashback, sebelum kedatangan Theo.Setelah usaha Felicia tak membuahkan hasil untuk menemukan Theo, Felicia tak menyerah sampai di situ.Setiap hari, tak terlewat satu hari pun, Felicia akan mencoba menghubungi nomor Theo. Tapi, hasilnya nihil, seolah nomor Theo tak aktif lagi atau mungkin Theo sudah ganti nomor.Dan, setiap ada kesempatan, Felicia akan menemui Martin untuk meminta diberitahu lokasi Theo. Namun, Martin masih tutup mulut.Ketika satu tahun berlalu dan ia masih saja menemui Martin, tampaknya Martin emosi dan langsung mengusirnya begitu ia muncul di depan pintu ruangan CEO.Rasanya … Felicia seperti akan gila. Ia begitu putus asa, tak tahu lagi di mana keberadaan Theo, seperti apa kondisi Theo, dan hanya bisa menerka-nerka selama satu tahun.Felicia mulai berubah, menjadi lebih pendiam, dan tak lagi fokus pada pekerjaannya. Dan, satu-satunya yang memahami kemungkinan penyebab Felicia menjadi seperti itu adalah Marcell.“Feli, kamu butuh bantuan?” tanya Marcell.Felicia m
2 tahun kemudian.Perkiraan Theo meleset.Theo mengharapkan bisa lulus hanya dengan menghabiskan waktu satu semester alias enam bulan. Namun, ternyata ia tak bisa. Akhirnya, ia baru lulus setelah satu tahun meneruskan kuliah di Inggris.Dan, rencana Theo untuk kabur belum matang.Theo merasa tidak bisa menemui Felicia hanya berbekal ijazah, ia ingin menjadi pria keren yang sudah berpengalaman dan nantinya bisa langsung mencari kerja saat di Indonesia. Jadi, Theo menyempatkan untuk bekerja di Inggris selama satu tahun.Setelah mendapatkan pengalaman kerja sekaligus mengumpulkan uang, Theo sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Ia akan langsung mengajak Felicia menikah, entah bagaimanapun caranya.Meskipun sudah dua tahun tak saling bertukar kabar dan tak bertemu, Theo yakin perasaan Felicia masih sama untuknya. Dan, ia yakin Felicia pasti masih setia menunggunya.“Pak Martin baru saja menghubungi, beliau berkata akan berkunjung besok,” beri tahu salah satu bodyguard.Theo hanya mengang
Felicia masih mematung di tempat usai mendengar perkataan Sophia, rasanya dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar.Harus ke mana ia mencari Theo?Sophia memperhatikan Felicia sekilas.Sophia masih menaruh rasa tak suka pada Felicia karena merasa Theo direbut oleh Felicia, padahal ia yang lebih dulu menyukai Theo. Namun, sekarang, melihat Felicia tampak syok sampai terdiam lama seperti itu jadi membuat Sophia sedikit iba.Ya, hanya sedikit, ia tidak ingin peduli pada orang seperti Felicia yang sempat dibencinya.Maka, tanpa bicara apa pun lagi, Sophia berjalan pergi dari hadapan Felicia.“Theo …” gumam Felicia dengan suara bergetar menahan tangis.Felicia rasanya sulit untuk melangkah sekarang, jadi ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, apa Theo benar-benar pergi meninggalkannya tanpa kabar? Tapi, kenapa? Alasannya apa?Tunggu, Martin!Felicia terbelalak ketika menyadari soal Papa Theo. Bisa saja ini ulah Martin yang ingin memisahkannya de