“Feli?” kaget Theo atas kedatangan sang kekasih, ia bergegas beranjak duduk.Belum sempat Theo bicara lagi, Felicia yang sedang menangis tiba-tiba memeluknya.“Feli, kenapa nangis? Ada yang sakit? Kamu … udah baik-baik aja? Kapan kamu pulang dari rumah sakit?” Theo memberondong Felicia dengan pertanyaan.Felicia menggeleng, tak menjawab dan masih memeluk Theo sambil menangis.Tak tahu mengenai apa yang terjadi pada sang kekasih, tapi Theo tak lagi bertanya lagi dan memilih untuk diam sambil membalas pelukan Felicia.Ketika tangis Felicia reda, barulah Theo melepaskan Felicia. Theo menatap lekat Felicia, mengelap jejak air mata di wajah Felicia dengan ibu jarinya, mengusap lembut pipi sang kekasih.“Kamu kenapa, hm?” tanya Theo dengan lembut.“Kaki kamu, The … siapa yang melakukan itu?” tanya Felicia dengan suara bergetar.Pertanyaan Felicia sontak membuat Theo terbelalak. Akhirnya Theo menyadari kalau bagian betisnya terekspos, ia berniat menutupinya, namun sudah terlambat. Felicia me
Felicia melongo, tak habis pikir. “Apa kamu nggak mencoba untuk melawan?”Theo menggeleng, dia menatap Felicia dengan mata berkaca-kaca.Felicia membalas tatapan Theo dengan lekat. Bisa dia lihat sorot lemah di mata Theo. Theo yang biasanya ceria saat berada di dekatnya, kini tampak tak berdaya.“Aku … nggak bisa melawan,” ungkap Theo.Felicia mendekat pada Theo. Dia tahu, pasti berat bagi Theo untuk bercerita tentang ini.“Kenapa?” tanya Felicia dengan perlahan.“Aku takut, Feli,” cicit Theo, suaranya memelan. “Karena udah sejak kecil aku mengalami itu, aku takut. Sampai dewasa, ketakutan itu masih ada. Aku udah berusaha berani, tapi tubuhku seolah bertindak sendiri.”Theo melepaskan tangan Felicia, meremas kedua tangannya sendiri yang mendadak gemetar hanya karena mengingat perlakuan buruk Martin padanya.“Kamu lihat? Aku cuma sedang mengingat pun sampai gemetar, ini reaksi alami tubuhku. Aku takut sama Papaku sendiri. Aku … pengecut ‘kan?” tanya Theo, dengan ragu menatap mata Felic
Felicia ingin ikut menangis. Ia sungguh tak tega membayangkan Theo disakiti oleh orang-orang itu. Theo mengangkat kepalanya, dan ia terbelalak karena Felicia mengecup bibirnya tiba-tiba,Cup!Felicia sengaja mengecup Theo, niatnya untuk membuat Theo tenang dan merasa lebih baik. Namun, sepertinya Theo tergoda untuk melakukan yang lebih dari sekadar kecupan.Mata Theo bertemu dengan mata Felicia. Menyadari tatapan Felicia yang menunjukkan kasih sayang padanya pun membuatnya tersentuh, tapi tatapan Theo kini mengarah ke bibir Felicia yang sedikit terbuka.“Feli …” panggil Theo dengan suara serak khas orang habis menangis.Theo meraih wajah Felicia, sedangkan Felicia menyentuh wajah Theo untuk mengelap jejak air mata di sana. Tatapan mereka sama-sama lekat.Theo mendekatkan wajahnya ke arah Felicia, kali ini ia yang memulai lebih dulu, mempertemukan bibirnya dengan bibir Felicia, mencium sang kekasih dalam-dalam.Bibir Theo bergerak melumat bibir Felicia, menyesap bibir manis Felicia de
Theo menyeringai, mendekatkan wajahnya ke arah Felicia. Ia hanya berniat jahil, tapi malah melihat Felicia menutup mata dengan bibir agak dimajukan seolah menunggu dicium.Theo terbelalak. Jangan bilang … ‘itu’ yang dipikirkan oleh Felicia adalah hal mesum? Wah, Theo tak menduga.Namun, karena tak mau membuat Felicia menunggu, Theo pun mengecup bibir Felicia. Theo menyentuh pipi Felicia, mencium sang kekasih dengan lembut.Ciuman lembut Theo berlanjut, dan Felicia pun membalasnya dengan senang hati. Pikiran Felicia masih membayangkan hal mesum yang akan terjadi setelah ini.Felicia menyambutnya, mengalungkan tangan ke leher Theo, menarik Theo agar semakin mendekat. Namun, tiba-tiba … Theo malah mengakhiri ciuman mereka!Felicia merasa heran sekaligus agak kecewa. Ia membuka matanya, menatap Theo dengan tatapan bertanya-tanya.“Kenapa berhenti?” tanya Felicia dengan suara lirih.Theo tersenyum melihat raut wajah Felicia. “Ayo kita berlanjut melakukan ‘itu’,” ajaknya.“Melakukan ‘itu’ a
Tak lama, Felicia mendengar tawa kecil dari luar. Tanpa diberitahu, ia langsung tahu siapa yang melakukan ini padanya, dan suara tawa siapa itu.Sang pelaku menyeringai, kemudian kembali tertawa. “Haha! Rasakan itu!”Sophia berjalan pergi dari sana. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia meletakkan sesuatu di depan kamar mandi, sebuah papan yang berisi informasi bahwa toilet itu sedang diperbaiki. Memang terkadang ada yang seperti itu, tapi kali ini toiletnya sudah baik-baik saja.Sophia sengaja melakukannya agar tak ada satupun orang yang ke toilet itu, dan Felicia tak akan diselamatkan oleh siapapun. Wah … ia puas sekali hanya dengan memikirkannya.Setelah ini, Sophia yakin Felicia akan meminta putus dari Theo, karena tak ingin mengalami kejadian seperti ini lagi.Dan, sebenarnya Sophia sudah memikirkan ide ini sejak kemarin-kemarin, mengurung Felicia di bilik kamar mandi.“Tolong buka pintunya!” teriak Felicia sejak tadi. “Ada orang di sini!”Felicia mencoba tetap tenang meski detak
Felicia berusaha tersenyum kepada Theo, tak ingin membuat Theo khawatir.Dan, tiba-tiba Theo memeluk Felicia dengan erat, merasa sangat bersyukur bahwa Felicia baik-baik saja.“Kenapa kamu bisa terkunci di dalam sana?” tanya Theo dengan nada khawatir.Felicia menunduk, “Itu ... ulah Sophia. Dia yang mengunci aku di bilik kamar mandi.”Theo terkejut, meskipun tidak sepenuhnya. Karena saat menonton rekaman CCTV, ia pun merasa curiga kepada Sophia.“Aku … nggak tahu salahku di mana. Tapi, Sophia udah keterlaluan ke aku dua kali!” adu Felicia, tak tahan lagi. Ia mendongak, menatap Theo. “Waktu itu, saat aku terjatuh ke kolam renang, itu juga karena Sophia.”Mendengar pengakuan Felicia, Theo langsung mendidih, merasa marah. Wajahnya berubah serius dan memerah. Ia tak bisa membiarkan Sophia terus berbuat seenaknya.“Aku yakin Sophia memperlakukanku seperti itu karena dia menyukaimu, The," ucap Felicia.Theo menghela napas panjang. “Aku akan mengurus ini nanti. Sekarang, kamu harus makan dan
Theo merasa darahnya berhenti mengalir mendengar pernyataan Martin. Matanya membulat, mulutnya terbuka tanpa suara.“Barusan … Papa bilang apa?” tanya Theo.Sorot mata Martin langsung menajam. “Apa Papa harus mengulanginya lagi?”“E-enggak perlu.”Theo seketika gugup, ia menunduk sesaat. Martin paling tak suka jika harus mengulangi ucapannya, tipe pria yang maunya benar-benar diperhatikan jika sedang berbicara."Papa ingin menjodohkan aku dengan Sophia?" gumam Theo, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Martin. Ia tentu mendengar ucapan Martin, tapi hanya ingin memastikannya lagi.“Ya, ini untuk masa depan perusahaan. Sophia berasal dari keluarga yang berpengaruh, bisnis Papanya Sophia nggak kalah dengan Papa. Pernikahanmu dengan Sophia, itu ide bagus yang bisa memperkuat kerja sama kita,” tegas Martin.Martin memperhatikan Theo lamat-lamat, masih dengan raut dinginnya.“Memangnya Sophia mau menikah sama aku?” Theo berusaha untuk menolak, ia harus mencari alasan untuk menolaknya.
Tiba di apartemennya, Theo merasa tubuhnya lelah dan pikirannya kacau. Ia berjalan masuk dengan langkah lunglai, langsung menuju sofa panjang dan menjatuhkan diri di sana.Pikiran tentang pertemuannya dengan Martin terus menghantui Theo. Bayangan wajah sang Papa yang dingin dan kata-kata yang menusuk membuat Theo merasa tercekik.Theo menutup matanya, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan masa kecilnya yang penuh tekanan dan kekerasan kembali muncul, membuatnya semakin terguncang.Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponselnya dan menelepon Felicia. Ia membutuhkan Felicia, setidaknya dengan mendengar suara Felicia pun cukup.Untungnya, Felicia mengangkat panggilan tak lama kemudian.[Halo, The?] sapa Felicia dari seberang sana.“Feli …” panggil Theo dengan suara lemah.[Kamu kenapa?]Theo terdiam. Sepertinya Felicia merasa ada yang aneh, makanya Felicia bertanya begitu.“Aku … habis menemui Papa.”[Pak Martin?! Astaga! Kenapa kamu menemui Papamu?!]Theo bisa mendengar nada