Share

Persik

Author: Nirv
last update Last Updated: 2021-08-29 06:19:56

Langit siang tampak mendung, awan-awan tebal menggantung rendah, mengaburkan sengatan matahari yang biasanya menyiksa di musim kemarau. Angin berembus lembut, membawa serta aroma tanah basah yang khas di musim penghujan. Di halaman depan Kampus Utpala, tiga sosok duduk di bawah pohon besar, menanti dengan kesabaran yang semakin menipis.

Andro mengangkat kepalanya, memandang patung dewi bersayap yang berdiri anggun di tengah taman air mancur. Matanya menelusuri ukiran halus pada wajah patung itu, setiap lekuk sayap yang membentang, buku di tangan kirinya, dan globe di tangan kanannya. Ia melamun, pikirannya melayang entah ke mana.

Gede, yang sedari tadi memperhatikannya, menyeringai jahil. Dengan gerakan cepat, ia memetik sehelai rumput, lalu tanpa aba-aba, memasukkan ke dalam mulut Andro.

"Bwak!" Andro tersedak, rasa pahit klorofil menyentak lidahnya. Ia segera meludahkan rumput itu dan menatap Gede dengan tatapan penuh dendam.

"Anjing lu, De!" makinya dengan suara serak.

Gede tertawa keras, nyaris jatuh dari kursinya. "Lagian lu kenapa siang bolong melamun kaya orang kesurupan?" ejeknya.

Andro mendengus kesal, mengusap mulutnya yang masih terasa getir. "Gue cuma mikirin tuh patung. Kenapa harus pegang buku sama globe?" tanyanya, kini benar-benar penasaran.

Gede mengangkat alis, lalu menjawab dengan nada sok bijak. "Karena buku itu jendela dunia, dan globe itu melambangkan dunia bisa kita genggam. Artinya, kalau lu punya ilmu, lu bisa menguasai dunia, Ndro."

Andro mengangguk pelan, kagum pada jawaban itu. "Anjir, keren juga lu mikirnya."

Gede tertawa kecil. "Makanya, Ndro, udah jadi mahasiswa tua masih aja baru sadar. Semua orang di kampus ini pasti tahu makna patung itu."

Andro menyeringai. "Tapi kenapa tuh Dewi gak pegang botol anggur sama gelas aja?" tanyanya, nada suaranya setengah bercanda.

Gede membalas dengan cepat, "Kalau gitu namanya Dewi Mabok, Ndro!"

Tawa mereka pecah bersamaan, namun tawa itu terputus ketika suara mesin mobil mendekat. Dari arah gerbang kampus, sebuah Expander Cross Hitam melaju perlahan, lalu berhenti tepat di depan mereka.

Puput, yang sedari tadi diam, langsung menunjuk ke arah mobil itu. "Itu mereka!" serunya, matanya berbinar penuh semangat.

Pintu kemudi terbuka, dan dari dalam keluarlah Nathan.

Dengan kacamata hitam dan kaos putih polos yang menempel sempurna di tubuh atletisnya, ia berjalan dengan santai, membawa aura yang sulit diabaikan. Puput, yang melihatnya, langsung menahan napas. Seakan waktu melambat, matanya tak berkedip, terpaku pada sosok lelaki itu.

"He’s a peach of a guy..." gumamnya tanpa sadar, wajahnya merona.

Nathan menyunggingkan senyum tipis, lalu menatap mereka bertiga. "Maaf udah bikin kalian nunggu."

Padahal, jam baru menunjukkan 13:58—hanya dua menit sebelum waktu janji mereka.

"Xixi, gapapa, Nat. Kamu gak perlu minta maaf," jawab Puput dengan senyum manis yang berusaha disembunyikannya.

Mereka sudah siap berangkat. Puput membawa tas penuh perlengkapan, Gede mengenakan jaket tebal, namun Andro... hanya mengenakan kaos hitam dan jeans, dengan tas yang tampak nyaris kosong.

Nathan memandangnya dengan ragu. "Ndro, lu gini doang?" tanyanya heran.

Andro mengangkat bahu. "Iya. Mau bawa apalagi?"

"Serius? Disana dingin, Ndro."

"Yaelah, Nat. Ngapain peduli amat? Tujuan gua bukan liburan ke gunung, tapi buat mabok."

Nathan menghela napas dalam. "Serah lu deh, awas aja nanti menggigil."

Andro menyeringai. "Woles, kan ada Amer yang ngangetin badan."

Nathan hanya menggelengkan kepala. "Yaudah, cepet naik."

Mereka pun memasuki mobil. Andro membuka pintu belakang, mendapati Axel dan Jena sudah duduk di bangku paling belakang.

"Eh, kalian udah di sini," sapanya santai.

Jena tersenyum. "Yap."

Sementara itu, Puput hendak masuk ke kursi depan, namun Nathan menghentikannya dengan cepat.

"Ups… No no… Puput duduk belakang juga," katanya sambil menahan pintu.

Puput menatapnya dengan bingung. "Kenapa aku gak boleh duduk depan?" tanyanya dengan wajah melas.

Nathan hanya tersenyum misterius. "Kursi itu udah dipesan. Puput duduk belakang aja, ya?"

Dengan senyum khasnya yang memabukkan, Nathan berhasil membuat Puput menurut begitu saja. Ia pun masuk dan duduk di samping Andro dan Gede.

Begitu semua sudah di dalam, Nathan menekan pedal gas. Mobil melaju keluar dari kampus, menuju jalan utama.

Beberapa menit berlalu, lalu lintas cukup lengang hingga mereka tiba di sebuah pertigaan dengan lampu merah menyala. Nathan menghentikan mobil, menunggu giliran.

Saat lampu berubah hijau, seharusnya ia belok ke selatan—arah menuju villa. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Nathan tetap melaju lurus, ke arah barat.

Puput langsung menyadari ada yang aneh. "Nathan, kenapa kamu lurus? Bukannya ke puncak itu belok ke selatan?" tanyanya dengan nada bingung.

Andro ikut menimpali. "Iya, Nat. Lu salah jalan?"

Nathan tetap tenang, tangannya mantap di setir. "Njemput orang yang udah mesen kursi depan," jawabnya santai.

Mata Puput membesar. "Siapa?" tanyanya semakin penasaran.

Nathan melirik ke kaca spion tengah, senyum licik terukir di bibirnya. "Entar kalian juga tau."

Mobil terus melaju, meninggalkan pertigaan itu. Di dalam mobil, keheningan terasa menegang, dan entah mengapa, udara di dalamnya seolah menjadi lebih dingin.

Andro menyandarkan kepala ke jendela, menatap jalanan yang mulai menanjak. Meskipun ia tak menunjukkan ekspresi apa pun, hatinya dipenuhi rasa penasaran.

Siapa yang mereka jemput?

Dan kenapa Nathan tidak langsung memberitahu?

Di luar, langit semakin gelap, tanda hujan mungkin akan turun. Namun, di dalam mobil, suasana justru terasa lebih mencekam—seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar perjalanan biasa menuju villa.

Mobil hitam itu melambat sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang tak begitu mewah, namun cukup nyaman untuk menaungi sebuah keluarga kecil. Cat putih yang membalut dindingnya berpadu dengan aksen biru muda, memberikan kesan tenang dan bersahaja. Rumah itu terletak di persimpangan jalan, tepat delapan blok dari perempatan utama, masuk dalam wilayah blok F dengan nomor 8 terpampang jelas di tembok gerbang.

Nathan menarik napas dalam sebelum akhirnya mendorong pintu mobil dan melangkah keluar. Sepatu kulitnya menapak di aspal yang mulai terasa hangat di bawah terik matahari siang. Dengan langkah tegap, ia mendekati pagar besi hitam yang tampak sedikit berkarat di beberapa sudutnya.

"Permisi!" serunya lantang, suaranya menggema di halaman rumah yang sepi. Tak ada sahutan.

Nathan mengernyit, matanya menyapu halaman kecil yang tampak bersih meski tak ada tanda-tanda aktivitas. Ia mencoba lagi. "Permisi!"

Sekali lagi, hanya keheningan yang menyambutnya. Tidak ada langkah kaki yang mendekat, tidak ada suara dari dalam rumah. Ia pun mulai merasa curiga. Perlahan, ia meraih pagar dan mendorongnya sedikit. Pintu pagar itu tidak terkunci, bergeser dengan mudah tanpa mengeluarkan suara berdecit.

Nathan melangkah masuk, tatapannya kembali menyapu sekeliling rumah. Biasanya, ada sebuah mobil putih yang terparkir rapi di garasi samping, tetapi kali ini garasi itu kosong. Satu-satunya benda yang terlihat di sana hanyalah sebuah sepeda gunung tua yang bersandar malas di tembok, rantainya berdebu seakan sudah lama tak dipakai.

Instingnya berbisik ada sesuatu yang tak beres. Ia melangkah lebih jauh, mendekati pintu utama, dan menekan bel yang terpajang di sisi kiri dekat daun pintu kayu berwarna coklat tua. Suara bel menggema singkat di dalam rumah, lalu kembali sunyi.

Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Nathan menghela napas, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu sekali lagi, namun gerakannya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di bawah pintu. Sepasang sepatu hak rendah berwarna coklat, merek Louis Vuitton, tergeletak berantakan di depan ambang pintu. Mata Nathan menyipit seketika. Ia mengenali sepatu itu.

"Dasar bocah ini..." gumamnya, setengah mendengus kesal.

Tanpa berpikir panjang, tangannya bergerak meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan. Tidak terkunci.

Nathan mendorong pintu hingga terbuka lebar, membiarkan udara dalam rumah yang lebih sejuk menyentuh kulitnya. Ia melangkah masuk dengan penuh keyakinan, seolah sudah begitu mengenal setiap sudut ruangan ini. Langkah kakinya berderap mantap menuju tangga yang mengarah ke lantai dua. Sepanjang perjalanan, rumah itu terasa begitu hening, nyaris seperti rumah tak berpenghuni.

Sesampainya di lantai atas, Nathan berdiri di depan sebuah kamar dengan pintu yang sedikit terbuka. Ia bisa merasakan udara di dalamnya lebih lembap, bercampur dengan aroma parfum yang samar tercium.

Tanpa ragu, ia mendorong pintu itu perlahan, membiarkan cahaya dari luar menerobos masuk dan mengungkap apa yang tersembunyi di baliknya.

Suasana di dalam kamar Lyora dipenuhi keheningan yang mendebarkan. Aroma lembut dari parfum vanila bercampur dengan sedikit wangi kayu dari perabotan memenuhi udara. Cahaya matahari yang menerobos dari celah tirai jatuh lembut di atas tubuh Lyora, menyoroti lekuk tubuhnya yang terbalut hanya oleh tanktop tipis dan celana dalam.

Nathan berdiri di ambang pintu, matanya mengamati Lyora yang masih terbaring dengan mata tertutup, bibirnya sedikit terbuka, seakan masih tenggelam dalam mimpi. Pandangan Nathan turun ke jemari Lyora yang erat menggenggam boneka hyena kesayangannya. Sebuah seringai muncul di bibirnya.

Ia tidak terburu-buru. Ia menikmati momen ini.

Nathan mendekat dengan langkah ringan, menahan napasnya agar tidak mengusik tidur Lyora terlalu cepat. Ia lalu menunduk, menggesekkan hidungnya ke leher Lyora, menyusuri kulit halus itu dengan napas hangatnya. Bibirnya mengecup lembut di sana, sesekali menggigit kecil, seperti mencicipi sesuatu yang sangat berharga.

Lyora mengerang pelan dalam tidurnya, tubuhnya sedikit bergerak. Tapi bukannya terbangun, ia malah semakin tenggelam dalam sensasi yang samar-samar terasa nyata namun masih berselimutkan bayang-bayang mimpi.

Merasakan reaksi itu, Nathan semakin berani. Tangannya menyelinap ke bawah tanktop Lyora, jari-jarinya menjelajah perlahan, menelusuri kulit perut yang rata, naik sedikit ke atas hingga menemukan sesuatu yang membuatnya tersenyum puas.

Lyora mengerang lagi, tubuhnya menegang sesaat sebelum ia menggeliat, seolah meminta lebih. Dalam pikirannya yang masih setengah sadar, ia membayangkan dirinya masih berada dalam mimpi—di mana ia berada dalam pelukan seseorang yang berbeda.

Namun, sesuatu terasa lebih nyata. Lebih panas.

Dalam sepersekian detik, kesadaran Lyora kembali. Mata indahnya terbuka perlahan, pandangannya masih kabur, tetapi ia bisa merasakan kehangatan di belakangnya, bisa merasakan bagaimana tangan besar itu menggenggamnya dengan penuh kepemilikan.

Jantungnya berdegup cepat.

Nathan.

Matanya membelalak. Ia buru-buru membalikkan tubuhnya, dan detik itu juga, wajah Nathan—yang berada begitu dekat—tersenyum penuh arti.

"Bunny..." Suara Lyora terdengar serak, napasnya sedikit terengah akibat kejutan yang baru saja dirasakannya. "Ngapain kamu di sini?"

Alih-alih menjawab, Nathan menelusuri pipinya dengan punggung jarinya, menyusuri garis rahangnya hingga ke dagu, lalu dengan gerakan yang perlahan, ia menunduk dan menyapu bibir Lyora dengan ciuman yang nyaris tidak menyentuh—cukup untuk membuat tubuh Lyora menegang, cukup untuk membuat pikirannya kacau.

"Kamu nggak bangun-bangun," Nathan berbisik tepat di atas bibirnya. "Aku harus membangunkanmu dengan caraku sendiri."

Sebelum Lyora sempat membalas, bibir Nathan sudah benar-benar menempel di bibirnya, mencium dengan perlahan namun semakin dalam. Tangannya menahan tengkuk Lyora, mendekatkannya lebih erat. Lyora terkejut, tetapi alih-alih mendorongnya, tubuhnya malah bereaksi berbeda—ia terperangkap dalam ciuman itu, dalam cara Nathan menuntutnya tanpa tergesa-gesa, dalam bagaimana bibir mereka bergerak seolah sudah saling mengenal sejak lama.

Lyora meremas lengan Nathan, separuh ingin menahannya, separuh lagi ingin menyerah pada arus yang membawanya semakin dalam.

Namun, di tengah ketegangan yang semakin menggila, kesadarannya kembali menghantam.

Ia menarik diri dengan napas tersengal. "Bunny... nanti Mama pulang," ucapnya dengan suara gemetar.

Nathan mengusap bibirnya dengan ibu jarinya, masih tersenyum nakal. "Masih ada waktu," katanya, nyaris seperti bisikan yang menggoda.

Lyora memejamkan matanya sesaat, berusaha mengendalikan gejolak yang masih berputar di dalam dirinya.

"Aku nggak mau cari masalah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Nathan hanya terkekeh, tetapi kali ini, ia mengalah. Ia beranjak dari ranjang, lalu meraih jaket tebal yang tergantung di dekat pintu.

"Pakai ini."

Lyora menatapnya dengan bingung. "Buat apa?"

"Kita pergi," jawab Nathan santai.

Lyora mengerutkan kening. "Ke mana?"

Nathan hanya tersenyum misterius. "Udah, ikut aja."

Setengah enggan, setengah penasaran, Lyora akhirnya meraih jaket itu dan mengenakannya. Tapi ketika ia hendak mengganti pakaiannya, Nathan malah tetap berdiri di tempat, menatapnya tanpa niat pergi.

Lyora melotot. "Keluar dulu!"

"Kenapa?" Nathan tersenyum jahil. "Udah lihat juga tadi."

"Ish, Bunny!"

Nathan tertawa, tetapi akhirnya ia berjalan ke pintu. Hanya saja, bukannya keluar, ia malah menutup pintu rapat dan bersandar di sana dengan tangan menyilang di dada.

Lyora menghela napas panjang. "Kamu nyebelin banget, tahu nggak?"

"Yup."

Mau tak mau, Lyora tersenyum kecil meskipun masih jengkel. Ia akhirnya mengalah dan mengganti bajunya dengan cepat, lalu mendekati Nathan yang masih berdiri dengan ekspresi puas.

Nathan menggenggam pergelangan tangannya, lalu menariknya keluar kamar.

"Kita berangkat," ucapnya santai.

Dengan masih sedikit kesal, tetapi diam-diam berdebar, Lyora akhirnya mengikuti Nathan ke luar rumah—menuju perjalanan yang belum ia ketahui akan membawanya ke mana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Honestly, I'm Pregnant!   Stroberi

    Hari ini langit Bogor tidak menunjukkan warna jingga sama sekali meskipun hampir menjelang malam. Hanya ada warna abu abu awan tebal yang menyelimuti atap bumi di sepanjang jalan.Rintik - rintik hujan membasahi kaca depan mobil Expander Cross berwarna merah itu. Ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, begitu saja seterusnya wiper kaca depan mobil itu bergerak. Memang sudah menjadi tugas wiper untuk mengusap air yang Mulai membanjiri kaca depan mobil.Entah sudah berapa lama Lyora memandangi gerakan konsisten dari wiper itu. Seakan membuat gadis bermata coklat itu terhipnotis. Rasa kantuk mulai menguasai seluruh tubuhnya. Kelopak matanya perlahan mulai sayup."Cit..."Terdengar suara rem berdecit hingga menusuk telinga. Pria berkaos putih yang mengemudikan mobil mendadak menginjakkan pedal remnya. Sontak membuat badan Lyora terhentak ke depan, tak hanya Lyora, lima orang yang duduk di jok belakang juga ikut terhentak ke depan."Woy, ada apa Nat?"Andro yang duduk tepat dibelakang Nathan menep

    Last Updated : 2021-08-29
  • Honestly, I'm Pregnant!   Anggur

    Universitas Utpala, atau yang lebih dikenal sebagai "Kampus Biru," adalah salah satu institusi pendidikan swasta paling prestisius di Jakarta. Para mahasiswa yang berhasil masuk ke sini bukan hanya harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi juga tekad dan ambisi yang kuat. Di antara mereka, ada satu nama yang sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik—Lyora Joschellyn. Gadis berusia sembilan belas tahun itu adalah mahasiswa baru di jurusan Teknik Informatika. Dengan rambut hitam kecoklatan yang jatuh dalam potongan medium berlapis, serta poni lembut yang membingkai wajahnya yang berbentuk hati, Lyora memiliki kecantikan yang tak bisa diabaikan. Bukan tipe kecantikan yang mencolok seperti selebgram dengan wajah sempurna hasil editan, tetapi lebih kepada pesona alami yang memikat. Mata coklat gelapnya membawa kesan misterius, bibirnya penuh dengan semburat merah alami, dan kulitnya yang cerah bersinar dalam balutan kesederhanaan. Namun, bukan hany

    Last Updated : 2021-08-27

Latest chapter

  • Honestly, I'm Pregnant!   Stroberi

    Hari ini langit Bogor tidak menunjukkan warna jingga sama sekali meskipun hampir menjelang malam. Hanya ada warna abu abu awan tebal yang menyelimuti atap bumi di sepanjang jalan.Rintik - rintik hujan membasahi kaca depan mobil Expander Cross berwarna merah itu. Ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, begitu saja seterusnya wiper kaca depan mobil itu bergerak. Memang sudah menjadi tugas wiper untuk mengusap air yang Mulai membanjiri kaca depan mobil.Entah sudah berapa lama Lyora memandangi gerakan konsisten dari wiper itu. Seakan membuat gadis bermata coklat itu terhipnotis. Rasa kantuk mulai menguasai seluruh tubuhnya. Kelopak matanya perlahan mulai sayup."Cit..."Terdengar suara rem berdecit hingga menusuk telinga. Pria berkaos putih yang mengemudikan mobil mendadak menginjakkan pedal remnya. Sontak membuat badan Lyora terhentak ke depan, tak hanya Lyora, lima orang yang duduk di jok belakang juga ikut terhentak ke depan."Woy, ada apa Nat?"Andro yang duduk tepat dibelakang Nathan menep

  • Honestly, I'm Pregnant!   Persik

    Langit siang tampak mendung, awan-awan tebal menggantung rendah, mengaburkan sengatan matahari yang biasanya menyiksa di musim kemarau. Angin berembus lembut, membawa serta aroma tanah basah yang khas di musim penghujan. Di halaman depan Kampus Utpala, tiga sosok duduk di bawah pohon besar, menanti dengan kesabaran yang semakin menipis. Andro mengangkat kepalanya, memandang patung dewi bersayap yang berdiri anggun di tengah taman air mancur. Matanya menelusuri ukiran halus pada wajah patung itu, setiap lekuk sayap yang membentang, buku di tangan kirinya, dan globe di tangan kanannya. Ia melamun, pikirannya melayang entah ke mana. Gede, yang sedari tadi memperhatikannya, menyeringai jahil. Dengan gerakan cepat, ia memetik sehelai rumput, lalu tanpa aba-aba, memasukkan ke dalam mulut Andro. "Bwak!" Andro tersedak, rasa pahit klorofil menyentak lidahnya. Ia segera meludahkan rumput itu dan menatap Gede dengan tatapan penuh dendam. "Anjing lu, De!" makinya dengan suara serak. Gede ter

  • Honestly, I'm Pregnant!   Anggur

    Universitas Utpala, atau yang lebih dikenal sebagai "Kampus Biru," adalah salah satu institusi pendidikan swasta paling prestisius di Jakarta. Para mahasiswa yang berhasil masuk ke sini bukan hanya harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi juga tekad dan ambisi yang kuat. Di antara mereka, ada satu nama yang sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik—Lyora Joschellyn. Gadis berusia sembilan belas tahun itu adalah mahasiswa baru di jurusan Teknik Informatika. Dengan rambut hitam kecoklatan yang jatuh dalam potongan medium berlapis, serta poni lembut yang membingkai wajahnya yang berbentuk hati, Lyora memiliki kecantikan yang tak bisa diabaikan. Bukan tipe kecantikan yang mencolok seperti selebgram dengan wajah sempurna hasil editan, tetapi lebih kepada pesona alami yang memikat. Mata coklat gelapnya membawa kesan misterius, bibirnya penuh dengan semburat merah alami, dan kulitnya yang cerah bersinar dalam balutan kesederhanaan. Namun, bukan hany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status